Season IISemua mata tertuju ke arah suara pintu yang terbuka. Apalagi ketika seseorang muncul dan mengatakan, “Aku yang akan mengantar Lily ke altar dan juga yang akan menyerahkan ke Axel waktu first dance.” Ruangan rapat itu menjadi hening begitu Darren bersuara. Axel memerhatikan kecanggungan dan ketegangan di ruangan rapat itu. Jadi, dia berdiri dan menghampiri Darren.“Ah, semuanya, perkenalkan, ini adalah Darren, kakak dari Lily,” ucap Axel sambil tersenyum ke semu peserta rapat yang ada. Pengatur cara mengkonfirmasi tugas Darren, jadi, nanti Anda yang akan mengantar Lily?” “Ya, betul sekali,” jawab Darren. Axel lantas menggeser kursi agar Darren bisa duduk di antara peserta rapat. “Aku tunggu di luar saja,” ujar Steven canggung, rasanya sudah cukup dia mengantar Darren sampai ke ruangan ini. Lily menoleh ke arah Darren, dan tersenyum, seperti mengucap terima kasih. Malamnya, Darren dikenalkan secara resmi ke keluarga Axel. Lewat acara makan malam bersama di hotl tempat
Season IIResepsi pernikahan berlanjut hingga malam. Di tengah persiapan resepsi, Lily bersama keluarga yang lain, menunggu di ruangan VIP. Karena ada Darren, Lily mengenalkan anak-anaknya. Lily hanya pikir ini sudah saatnya.“Darren, aku mau memperkenalkan anak-anakku,” Lily berkata, sambil tersenyum. “Mereka—keponakanku?” Mata Darren berbinar, melihat kedua anak lucu yang gendongan Lily dan satu lagi di gendongan Axel. “Ya, mereka kembar,” jawab Lily sambil tersenyum. Anak-anak itu sedang tidur dengan pulas. “Astaga, mereka lucu-lucu, boleh aku menggendongnya?” seru Darren, matanya kali ini berkaca-kaca. Dia berkata kepada Axel. “Siapa nama mereka?” “Ini Charlotte,” ujar Lily sambil memberikan anaknya ke gendongan Darren. “Kalau yang Axel gendong, Aiden,” paparnya. Darren mengambil anak itu dengan hati-hati, “Mereka kecil sekali,” katanya berbisik. “Apakah mereka tidak terusik kalau sedang ramai begini?” “Tidak. Mereka akan tenang, setelah ini akan naik ke kamar lagi, karena
Season IIPesta resepsi selesai lewat tengah malam. walau acara selesai, Axel mengobrol, dan minum bersama beberapa teman dekatnya. Obrolan mereka menurut Lily tidak relevan dengan dirinya, malah membuatnya minder. Kebanyakan Lily tidak mengalami apa yang Axel alami dulu. Sekolah di sekolah kenamaan, kuliah di universitas yang kebanyakan orang kaya. Untung ada Kate di dekat Lily, kalau Meredith tidak kalah sibuk dengan Nyonya Margot yang menjamu para tamu. Meski acara selesai, Nyonya Margot juga masih beramah tamah. “Axe, aku kembali ke kamar duluan,” pamit Lily. Axel mencegah, menggenggam tangan Lily. “Nanti dulu. Apa kau selelah itu?” Lily menundukkan badan, berbisik. “Aku bosan. Pembicaraan mereka tidak sama denganku.” Axel menatap Lily, “Baik. Aku akan segera menyusul,” janji Axel. “Tolong, jangan tidur dulu,” kata terakhirnya sambil tersenyum miring. Lily membalasnya dengan senyuman, “Aku tidak tahu apakah akan tahan terjaga atau tidak,” ledeknya. Axel tertawa kecil, mata
Season II“Nona? “Aku bisa membawamu ke klinik terdekat,” tawarnya. Bree menganga lalu menelan ludah, entah sudah berapa lama dia tidak menikmati lelaki. Kalau dulu dia selalu merasa kurang dengan Axel, selalu ada Diego yang melengkapinya. “Tidak. Tidak ada yang sakit. Aku permisi dulu,” pamit Bree, berjalan melewati pria itu. Sial seribu sial, gerutu Bree. Bukannya melupakan dan membuang jauh kenangan dengan Axel, dia malam ingin menikmati tubuh pria itu. Bree merana di kamarnya sendirian. Sebelum makan malam, wanita itu memutuskan untuk pergi ke restoran yang ada di hotel ini. Mungkin meminum alkohol akan menjadi obat kesepian yang tebaik. Wanita itu memilih gaun terbaik. Sama seperti yang dia lakukan beberapa tahun lalu dengan bersama Axel. Bedanya, malam ini dia sendirian. Bree memilih gaun mini marun terbuka, dan selop dengan tumit tinggi emas. Dandan secantik yang dia bisa. Entah, malam ini hanya ingin saja. Bree berjalan dengan percaya diri memasuki area bar. Duduk di
Season IILily dan Axel keluar dari kamar menjelang makan siang. Mereka berpapasan dengan Steven, ketika akan masuk lift. Lily dan Axel memelototi Steven, rambutnya basah, memakai kaus putih dan celana jin. “Apa? Kenapa kalian memandangku begitu?” tanyanya. “Apa kau tadi malam bersama dengan Meredith?” tanya Lily polos. Melihat rupa wajah Steven, tampaknya bukan hanya Lily dan Axel saja yang menikmati malam pertama sebagai pengantin. Ting! Pintu lift terbuka, dan Steven menghela napas lega, Lily tidak akan mendesak menjawab pertanyaan itu. Namun sial untuk Steven. Di lift hanya ada mereka bertiga. “Steve, kau tidak menjawab pertanyaanku?” desak Lily, sambil menatap wajah Steven. Steven memutar bola mata, “Tidak Lily, aku sibuk dengan kakakmu. Dia mabuk dan Meredith sibuk dengan Nyonya Margot. Hm?” lelaki itu lantas memutar balik badannya agar tidak berhadapan dengan Axel dan Lily. “Ke mana Darren?” tanya Lily. Axel hanya menatap Lily, tidak berkata apa-apa, dia mengantungkan
Season IIAxel membangunkan Lily begitu pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat. Tanda sabuk pengaman sudah menyala. Tidur Lily sangat pulas sampai Axel tidak tega sendiri. “Li, sudah hampir sampai. Pesawatnya sebentar lagi mendarat,” kata Axel pelan. Lily mengesampingkan rasa kantuknya. Begitu Axel bilang sebentar lagi akan mendarat, rasa antusiasnya pun bangkit. Seperti apa negara ini? Pasti indah, pikirnya. “Kau lelah?” tanya Axel berbisik ke arah Lily. Namun, Lily menggeleng, “Tidak. Aku tidak sabar ingin segera melihat negara ini.” Axel tersenyum, “Aku senang kalau kau senang.” Lily tidak berhenti tersenyum ketika mereka ada dalam mobil jemputan yang akan membawa mereka ke hotel. “Waw, negara ini indah, ya!” seru Lilmy kepada Axel. Matanya melebar, tidak sabar ingin mencoba segalanya. Makanan, tempat-tempat wisata.Lily seperti lupa sesaat siapa dirinya saat ini. Dia melihat ke arah anak-anaknya, yang sedang menyusu. Atau Aiden yang sedang terjaga. Namun, Lily menga
Season II “Ya, aku pikir tidak ada masalah kalau kita sarapan dulu. Kita juga tidak dikejar waktu,” tambah Axel, matanya menatap ke arah Lily, seperti memberikan kode. “Ayolah, saya ini sudah di booking untuk beberapa hari. Kalau tidak penuh target, saya akan dikenakan pinalti. Jadi, sebaiknya kita pergi sekarang saja. Nanti akan saya carikan tempat untuk sarapan, dengan menu yang enak.” Alex menolak karena kinerjanya juga nanti akana dipertanyakan.“Saya bayar pinaltinya!” seru Axel. “Saya akan ganti semua biaya ganti rugi selama bersama saya. Bagaimana, Alex? Nanti akan saya tambahkan bonus.” Si pemandu wisata itu diam sejenak, menatap Axel dengan tatapan yang mencurigakan. Tawaran Axel memang menggoda, tapi, Alex juga harus memikirkan masa depannya di biro perjalanan ini kalau tugasnya tidak tuntas. Axel seolah paham apa yang membuat si pemandu itu luluh: uang! Axel menganalisa kalau si pemandu itu berusia sekitar dua puluhan. Kalau dia adalah mahasiswa, pasti ingin cepat se
Season IIMatahari hampir tengah hari makin cerah, udara tidak terlalu panas menyengat. Axel pikir, cerahnya sama seperti wajah Lily yang cantik, berseri. Apalagi kalau sedang digoda, pipiny bersemu merah jambu. Seperti itu saat ini wajah Lily, dan Axel sangat menyukainya. Dadanya berdetak setiap kali menatap dalam wajah istrinya itu. Rasanya memang setiap kali bersama Lily, jantung Axel tidak bisa berdetak dengan benar. Tapi, tanpa Lily, jantungnya berhenti berdetak. Dan darahnya berhenti mengalir. “Memangnya kenapa? Di sini kan, lazim melihat adegan kita tadi.” Axel tersenyum miring, rasanya siap menyerang Lily lagi. Mata Lily membesar, “Apa?” Dalam hati Lily menyangkal perlakuan Axel tadi. Namun, hatinya tergelitik, Lily menyukai bahasa cinta dari Axel. “Ayo! Aku khawatir si kembar, Alex dan pengasuhnya sedang menunggu kita.” “Ah ....” Axel menarik tangan Lily hingga badannya membentur dada Axel. “Nanti saja dulu, tadi mereka bilang akan istirahat dulu di taman.” Lily tida
Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa
“Ayolah, malam ini hari ulang tahunku,” rajuk Axel kepada Lily—yang sedang tajam menatapnya.Lily pada akhirnya memaklumi kalau Axel nongkrong dengan para sahabatnya sampai tengah malam begini. “Yah, aku tidak akan marah lagi. Tapi kau tidur saja di sofa.”“Apa?” Dahi Axel mengerut, setengah kesadarannya hilang. Jadi dia tidak terlalu memahami apa yang Lily katakan.“Malam ini kau tidur di sofa,” ujar Lily galak. Dia lantas meninggalkan Axel sendirian berdiri terhuyung. Lalu merangkak ke sofa yang ada di kamar itu.Tidak lama, Axel pulas tertidur, meski di sofa, meringkuk tidak ada bantal atau selimut.Lily melihat kelakuan suaminya itu hanya mendecak dan geleng-geleng. “Apa kau masih berusia sebelas tahun? Lagi pula, siapa perempuan tadi yang ngobrol denganmu? Dasar centil!”Alam bawah sadarnya, Axel ingat kalau lusa dia harus bertemu dengan Naomi untuk membicarakan bisnis. “Naomi,” racau Axel tanpa sadar, dan juga dia tidak tahu kalau Lily mendengar racauannya.“Oh, jadi, nama perem
“Apa aku bisa sekolah lagi?” tanya Lily lugu.Lagu kesukaan Axel masih mengalun, penyanyi di panggung membawakannya dengan sangat indah. Suaranya merdu.“Bisa, asal dari rumah,” jawab Axel.“Ah, itu tidak seru. Aku tidak bisa bertemu dengan teman baru atau juga dosen baru. Aku terus akan ada di rumah. Membosankan!” protes Lily.Axel mencari cara agar tidak ada yang melihat istrinya, “Kau bisa minta temani Kate, agar dia bila belajar bersamamu. Soal biaya jangan khawatir, aku akan membicarakannya dengan Mama.”Lily melepas pelukan Axel, menjauh, “Kau ini bisanya apa-apa sama mamamu, bisa tidak kau pecahkan semua masalahmu sendiri.”Axel menatap Lily dengan mata yang membesar, “Apa? Apa dia benar-benar marah.” Lelaki itu lantas mengejar istrinya yang berjalan cepat ke dalam rumah.Namun, langkah Axel terhenti.“Axel?!”Dan Axel hapal betul suara itu, “Naomi?” dahinya mengerut, wanita itu tersenyum menyambut Axel, membuka kedua tangan. Axel tidak mau dianggap sombong karena tidak menerim
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Axel?”“Tidak ada. Kamu bisa pergi,” suruh Axel suaranya ketus dan kasar. Dan Kevin tahu sekali semua itu karena apa.Selesai jam kantor, Axel meninggalkan ruangannya. Namun, sekali lagi geram melihat ruangan kerja kosong.“Apa ini sudah jam pulang kantor?” batinnya berkata, celingukan, tidak ada siapa pun di sini.Axel makin kesal, meninju udara, mengerang dan menggeretakkan gigi sudah dia lakukan. Tidak ada yang ingat hari ini ulang tahunnya. Karyawannya satu pun tidak ada yang mengucapkan. Dan sekarang mereka seenak-enaknya pulang lebih awal?Lily istrinya dihubungi saja sulit. Mungkin dia sedang asyik dengan dosennya, pikir Axel.Meninggalkan gedung kantornya, Axel menyusun rencana untuk merayakan hari ulang tahunnya. Menghubungi beberapa teman-temannya agar bisa mengadakan pesta di bar.“Ya, ya, kita berkumpul dan minum. Aku akan ganti baju dulu di rumah, lalu akan segera ke klub,” ucap Axel, ingin menumpahkan kekesalannya.“Ah, baiklah. Kami a