Season II“Nona? “Aku bisa membawamu ke klinik terdekat,” tawarnya. Bree menganga lalu menelan ludah, entah sudah berapa lama dia tidak menikmati lelaki. Kalau dulu dia selalu merasa kurang dengan Axel, selalu ada Diego yang melengkapinya. “Tidak. Tidak ada yang sakit. Aku permisi dulu,” pamit Bree, berjalan melewati pria itu. Sial seribu sial, gerutu Bree. Bukannya melupakan dan membuang jauh kenangan dengan Axel, dia malam ingin menikmati tubuh pria itu. Bree merana di kamarnya sendirian. Sebelum makan malam, wanita itu memutuskan untuk pergi ke restoran yang ada di hotel ini. Mungkin meminum alkohol akan menjadi obat kesepian yang tebaik. Wanita itu memilih gaun terbaik. Sama seperti yang dia lakukan beberapa tahun lalu dengan bersama Axel. Bedanya, malam ini dia sendirian. Bree memilih gaun mini marun terbuka, dan selop dengan tumit tinggi emas. Dandan secantik yang dia bisa. Entah, malam ini hanya ingin saja. Bree berjalan dengan percaya diri memasuki area bar. Duduk di
Season IILily dan Axel keluar dari kamar menjelang makan siang. Mereka berpapasan dengan Steven, ketika akan masuk lift. Lily dan Axel memelototi Steven, rambutnya basah, memakai kaus putih dan celana jin. “Apa? Kenapa kalian memandangku begitu?” tanyanya. “Apa kau tadi malam bersama dengan Meredith?” tanya Lily polos. Melihat rupa wajah Steven, tampaknya bukan hanya Lily dan Axel saja yang menikmati malam pertama sebagai pengantin. Ting! Pintu lift terbuka, dan Steven menghela napas lega, Lily tidak akan mendesak menjawab pertanyaan itu. Namun sial untuk Steven. Di lift hanya ada mereka bertiga. “Steve, kau tidak menjawab pertanyaanku?” desak Lily, sambil menatap wajah Steven. Steven memutar bola mata, “Tidak Lily, aku sibuk dengan kakakmu. Dia mabuk dan Meredith sibuk dengan Nyonya Margot. Hm?” lelaki itu lantas memutar balik badannya agar tidak berhadapan dengan Axel dan Lily. “Ke mana Darren?” tanya Lily. Axel hanya menatap Lily, tidak berkata apa-apa, dia mengantungkan
Season IIAxel membangunkan Lily begitu pesawat yang mereka tumpangi akan mendarat. Tanda sabuk pengaman sudah menyala. Tidur Lily sangat pulas sampai Axel tidak tega sendiri. “Li, sudah hampir sampai. Pesawatnya sebentar lagi mendarat,” kata Axel pelan. Lily mengesampingkan rasa kantuknya. Begitu Axel bilang sebentar lagi akan mendarat, rasa antusiasnya pun bangkit. Seperti apa negara ini? Pasti indah, pikirnya. “Kau lelah?” tanya Axel berbisik ke arah Lily. Namun, Lily menggeleng, “Tidak. Aku tidak sabar ingin segera melihat negara ini.” Axel tersenyum, “Aku senang kalau kau senang.” Lily tidak berhenti tersenyum ketika mereka ada dalam mobil jemputan yang akan membawa mereka ke hotel. “Waw, negara ini indah, ya!” seru Lilmy kepada Axel. Matanya melebar, tidak sabar ingin mencoba segalanya. Makanan, tempat-tempat wisata.Lily seperti lupa sesaat siapa dirinya saat ini. Dia melihat ke arah anak-anaknya, yang sedang menyusu. Atau Aiden yang sedang terjaga. Namun, Lily menga
Season II “Ya, aku pikir tidak ada masalah kalau kita sarapan dulu. Kita juga tidak dikejar waktu,” tambah Axel, matanya menatap ke arah Lily, seperti memberikan kode. “Ayolah, saya ini sudah di booking untuk beberapa hari. Kalau tidak penuh target, saya akan dikenakan pinalti. Jadi, sebaiknya kita pergi sekarang saja. Nanti akan saya carikan tempat untuk sarapan, dengan menu yang enak.” Alex menolak karena kinerjanya juga nanti akana dipertanyakan.“Saya bayar pinaltinya!” seru Axel. “Saya akan ganti semua biaya ganti rugi selama bersama saya. Bagaimana, Alex? Nanti akan saya tambahkan bonus.” Si pemandu wisata itu diam sejenak, menatap Axel dengan tatapan yang mencurigakan. Tawaran Axel memang menggoda, tapi, Alex juga harus memikirkan masa depannya di biro perjalanan ini kalau tugasnya tidak tuntas. Axel seolah paham apa yang membuat si pemandu itu luluh: uang! Axel menganalisa kalau si pemandu itu berusia sekitar dua puluhan. Kalau dia adalah mahasiswa, pasti ingin cepat se
Season IIMatahari hampir tengah hari makin cerah, udara tidak terlalu panas menyengat. Axel pikir, cerahnya sama seperti wajah Lily yang cantik, berseri. Apalagi kalau sedang digoda, pipiny bersemu merah jambu. Seperti itu saat ini wajah Lily, dan Axel sangat menyukainya. Dadanya berdetak setiap kali menatap dalam wajah istrinya itu. Rasanya memang setiap kali bersama Lily, jantung Axel tidak bisa berdetak dengan benar. Tapi, tanpa Lily, jantungnya berhenti berdetak. Dan darahnya berhenti mengalir. “Memangnya kenapa? Di sini kan, lazim melihat adegan kita tadi.” Axel tersenyum miring, rasanya siap menyerang Lily lagi. Mata Lily membesar, “Apa?” Dalam hati Lily menyangkal perlakuan Axel tadi. Namun, hatinya tergelitik, Lily menyukai bahasa cinta dari Axel. “Ayo! Aku khawatir si kembar, Alex dan pengasuhnya sedang menunggu kita.” “Ah ....” Axel menarik tangan Lily hingga badannya membentur dada Axel. “Nanti saja dulu, tadi mereka bilang akan istirahat dulu di taman.” Lily tida
Season IIMakan malam menjadi hal yang tidak terduga untuk Lily, karena Axel bertemu dengan teman lamanya. Robert, melirik ke arah Lily yang sedang tersenyum. “Oh, temanmu perempuan?” ulang Axel meledek, mana sangka Axel tanggap soal pasangan hidup. “Ya, begitulah,” jawab Robert. “Kau sendiri?” Axel melirik Lily, “Ayo, aku kenalkan ke istriku.” “Istri?” ulang Robert sambil mengulurkan tangan. “Kau terlalu cantik untuk menjadi istri si kampret ini,” ledeknya. “Lily,” katanya sambil menyebutkan nama. “Nama yang indah,” puji Robert. Dia melepaskan jabatan tangannya, lalu melirik ke arah Axel. “Bahkan namanya saja terlalu indah untuk si Kampret ini.” “Ah, sudah. Bilang saja kau iri karena istriku sangat cantik,” seru Axel sambil memutar bola mata. “Oh, itu dia, temanku.” Robert menunjuk dengan dagunya. Ada seorang wanita bergaun merah marun. Mata Lily tertuju ke sepatu yang dipakai wanita itu. Karena mirip dengan punya Lily. Axel sekilas terpana, matanya seperti dia kenal. Tapi
Season III“Lalu ... Yang tadi kau ucapkan, apakah hanya tipu dayamu saja?” Robert mendesah, “Mungkin aku yang terlalu besar rasa hingga mengira kau akan mau menerimaku apa adanya. Terlepas dari jabatanku, atau apa yang aku punya.” Bree menatap Robert dalam, menelan ludahnya perlahan. “Aku tidak berbohong. Sejak kita bertemu di pantai aku sudah tertarik secara pribadi padamu. Hanya saja ....” Bree mengedikkan bahu. “Aku iri kepada temanmu, dia punya istri yang cantik, bahagia, tidak ada masalah yang berarti dalam hidupnya.” Robert tersenyum dengan lebar, “Kau ini. Apa kau mau menikahiku? Kalau soal bahagia, bagaimana pun caranya, aku akan membuatmu bahagia.” Bree tersenyum tak kalah lebar dengan Robert. “Aku lelah bermain cinta dari satu wanita ke wanita lain. Aku ingin wanita yang memahamiku. Kalau kau memahamiku, aku akan membuatmu menjadi wanita yang punya segalanya.” Senyuman Bree makin lebar. “Kalau kita jalani dulu saja, bagaimana?” “Apa kau masih trauma?” “Ya. Aku masih
Season IIISatu minggu Lily dan Axel ada di Barcelona. Pagi ini mereka bersiap untuk pulang. “Apa oleh-oleh ini cukup untuk mamamu?” tanya Lily sambil membereskan beberapa barang yang Axel beli. “Cukup. Itu adalah pesanan Mama,” jawab Axel sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Nada suaranya santai sekali, pikir Lily. Jadi, dia tidak mau ambil pusing. “Tahu sendiri, kan, Mama sampai ganggu-ganggu dengan meneleon kita terus.” Axel menaruh handuknya, lalu mengambil kaus putih. Lily mendengus, “Kau saja yang terlalu angkuh tidak mau mengangkat telepon dari mamamu. Siapa tahu penting,” timpal Lily. Koper dan semua barang yang sudah disimpan rapi ditutup, rapat. Axel melihat ponselnya, ada notifikasi yang masuk. “Ada undangan makan siang dari Robert, apa kau mau ikut?” Lily menggeleng, “Aku ingin ada di kamar saja, istirahat. Besok adalah hari yang melelahkan.” “Kita dalam perjalanan pulang, masa lelah?” kata Axel cuek. Dia tidak mengganti bajunya, hanya pakai celana panjang