Season IIMatahari hampir tengah hari makin cerah, udara tidak terlalu panas menyengat. Axel pikir, cerahnya sama seperti wajah Lily yang cantik, berseri. Apalagi kalau sedang digoda, pipiny bersemu merah jambu. Seperti itu saat ini wajah Lily, dan Axel sangat menyukainya. Dadanya berdetak setiap kali menatap dalam wajah istrinya itu. Rasanya memang setiap kali bersama Lily, jantung Axel tidak bisa berdetak dengan benar. Tapi, tanpa Lily, jantungnya berhenti berdetak. Dan darahnya berhenti mengalir. “Memangnya kenapa? Di sini kan, lazim melihat adegan kita tadi.” Axel tersenyum miring, rasanya siap menyerang Lily lagi. Mata Lily membesar, “Apa?” Dalam hati Lily menyangkal perlakuan Axel tadi. Namun, hatinya tergelitik, Lily menyukai bahasa cinta dari Axel. “Ayo! Aku khawatir si kembar, Alex dan pengasuhnya sedang menunggu kita.” “Ah ....” Axel menarik tangan Lily hingga badannya membentur dada Axel. “Nanti saja dulu, tadi mereka bilang akan istirahat dulu di taman.” Lily tida
Season IIMakan malam menjadi hal yang tidak terduga untuk Lily, karena Axel bertemu dengan teman lamanya. Robert, melirik ke arah Lily yang sedang tersenyum. “Oh, temanmu perempuan?” ulang Axel meledek, mana sangka Axel tanggap soal pasangan hidup. “Ya, begitulah,” jawab Robert. “Kau sendiri?” Axel melirik Lily, “Ayo, aku kenalkan ke istriku.” “Istri?” ulang Robert sambil mengulurkan tangan. “Kau terlalu cantik untuk menjadi istri si kampret ini,” ledeknya. “Lily,” katanya sambil menyebutkan nama. “Nama yang indah,” puji Robert. Dia melepaskan jabatan tangannya, lalu melirik ke arah Axel. “Bahkan namanya saja terlalu indah untuk si Kampret ini.” “Ah, sudah. Bilang saja kau iri karena istriku sangat cantik,” seru Axel sambil memutar bola mata. “Oh, itu dia, temanku.” Robert menunjuk dengan dagunya. Ada seorang wanita bergaun merah marun. Mata Lily tertuju ke sepatu yang dipakai wanita itu. Karena mirip dengan punya Lily. Axel sekilas terpana, matanya seperti dia kenal. Tapi
Season III“Lalu ... Yang tadi kau ucapkan, apakah hanya tipu dayamu saja?” Robert mendesah, “Mungkin aku yang terlalu besar rasa hingga mengira kau akan mau menerimaku apa adanya. Terlepas dari jabatanku, atau apa yang aku punya.” Bree menatap Robert dalam, menelan ludahnya perlahan. “Aku tidak berbohong. Sejak kita bertemu di pantai aku sudah tertarik secara pribadi padamu. Hanya saja ....” Bree mengedikkan bahu. “Aku iri kepada temanmu, dia punya istri yang cantik, bahagia, tidak ada masalah yang berarti dalam hidupnya.” Robert tersenyum dengan lebar, “Kau ini. Apa kau mau menikahiku? Kalau soal bahagia, bagaimana pun caranya, aku akan membuatmu bahagia.” Bree tersenyum tak kalah lebar dengan Robert. “Aku lelah bermain cinta dari satu wanita ke wanita lain. Aku ingin wanita yang memahamiku. Kalau kau memahamiku, aku akan membuatmu menjadi wanita yang punya segalanya.” Senyuman Bree makin lebar. “Kalau kita jalani dulu saja, bagaimana?” “Apa kau masih trauma?” “Ya. Aku masih
Season IIISatu minggu Lily dan Axel ada di Barcelona. Pagi ini mereka bersiap untuk pulang. “Apa oleh-oleh ini cukup untuk mamamu?” tanya Lily sambil membereskan beberapa barang yang Axel beli. “Cukup. Itu adalah pesanan Mama,” jawab Axel sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Nada suaranya santai sekali, pikir Lily. Jadi, dia tidak mau ambil pusing. “Tahu sendiri, kan, Mama sampai ganggu-ganggu dengan meneleon kita terus.” Axel menaruh handuknya, lalu mengambil kaus putih. Lily mendengus, “Kau saja yang terlalu angkuh tidak mau mengangkat telepon dari mamamu. Siapa tahu penting,” timpal Lily. Koper dan semua barang yang sudah disimpan rapi ditutup, rapat. Axel melihat ponselnya, ada notifikasi yang masuk. “Ada undangan makan siang dari Robert, apa kau mau ikut?” Lily menggeleng, “Aku ingin ada di kamar saja, istirahat. Besok adalah hari yang melelahkan.” “Kita dalam perjalanan pulang, masa lelah?” kata Axel cuek. Dia tidak mengganti bajunya, hanya pakai celana panjang
Season IIIRobert menyadari ekspresi Lily, seperti keheranan. Dari tadi Lily tidak banyak bicara hanya tubuhnya yang bergerak atau wajahnya yang berekspresi. “Oh, bukan. Maksudku, bukan. Emily adalah wanita yang aku sayangi saat ini. Dan aku kehilangan anak bukan saat bersamanya. Tapi bersama mantanku,” papar Robert. Bree memutar bola mata, memalingkan wajah dari Robert dan yang lain. Pembual, gerutu Bree dalam hati. Namun, apakah iya, Robert adalah seorang pembual? Janjinya kepada Bree kemarin terlihat tulus, meski Bree juga tidak tahu bagaimana hatinya. “Oh,” Lily manggut-manggut mendengar itu. Hampir saja Lily bersimpatik kepada Emily. “Bagaimana rasanya hamil dan melahirkan, Lily?” tanya Emily sekadar basa basi. “Rasanya luar biasa. Aku sangat menikmatnya, apalagi ada Axel di sampingku waktu itu.” Axel mengusap kepala Lily, lalu mereka saling berpandangan dan tersenyum. Jantung Bree berdebar tak karuan. Axel dulu juga begitu kepadanya, hanya saja Bree anggap itu adalah ung
Season III“Sudah kuduga akan begini jadinya,” omel Lily. “Ayolah, ini sudah malam. Kita baru saja pulang kenapa kau terus ribut soal kakakmu. Bukankah kau sendiri yang menyelamatkannya?” “Ya, itu karena hati nuraniku, biar bagaimana pun Darren adalah kakakku. Hubungan darah lebih kental dari pada air.” Axel terdiam, merebahkan dirinya di ranjang, menatap langit-langit. “Lalu selanjutnya kau mau apa? Apa kau mau mengirim kakakmu kembali ke medan perang?” Lily yang sedang di meja rias menoleh ke arah Axel. Dia bangkit dari kursi lalu melangkah mendekat ke arah Axel. “Kalau perlu aku akan mengirimnya kembali ke medan perang.” Axel bangkit, kaget dengan jawaban istrinya. “Aku kira selama ini kau adalah orang yang penyayang, dan berhati lembut.” “Tidak soal kakakku. Dia banyak mengacaukan hidupku. Dan sekarang, dia akan mengacaukan pernikahanku lagi. Segera setelah renovasi apartemenku selesai. Darren harus tinggal di sana.” “Kamu terlalu kejam, Sayang,” goda Axel sambil membelai w
Season III“Kau membuat pandanganku beubah terhadapmu, Bung,” kata Darren kasar, menatap lurus Axel. Namun, Axel tahu memang tidak semudah itu mengubah pikiran Darren, kalau sekarang dia tersinggung, itu wajar saja.“Apa kau tahu Lily hampir menjadi mangsa pria hidung belang ketika dia tidak bisa membayar utang?” Axel berkata dengan tajam. “Kalau kau hampir kehilangan nyawamu. Maka, itu impas. Kalian sama-sama terluka dan sekarang harus berjuang lagi. Apa salahnya?” Darren terkekeh, “Ya, ya, ya, apalagi aku adalah lelaki. Di mana pikiranku? Tidak ada, kan hidup enak. Seperti kau misalnya,” sindirnya dengan tangan sambil menunjuk penampilan Axel. Axel mendengus, sambil tertawa konyol. Apa yang Lily katakan benar, Darren ini sangat keras kepala. “Lagi pula, kenapa bukan Lily yang datang kepadaku? Malah dia suruh suaminya yang datang?” “Justru, bukan dia yang menyuruh. Ini inisiatifku sendiri. Aku pikir, kalau dia yang datang, tangannya akan ringan menyiksamu. Kalau aku yang datang,
Season III“Undangan makan malam?” ulang Lily, lalu mendengus, ada Charlotte dalam gendongannya. “Ya. Sebenarnya, Robert yang punya ide. Mungkin dia juga ingin meluaskan jaringan di Napa karena dia baru saja datang. Tidak banyak sahabatnya ada di sini,” papar Axel di sambungan telepon. “Entahlah, aku hanya masih lelah,” kata Lily lalu menghela napas. “Seriously? Ini sudah satu minggu sejak kita pulang bulan madu. Apa kau masih sebegitu lelahnya?” Axel menahan tawa. “Apa kau tidak ingat selama satu minggu ini apa yang kau lakukan setiap malam?” desak Lily. “Tapi ... terima kasih padamu, Darren sudah mulai bekerja di perusahaanmu. Dia bertahan hidup.” “Kalau begitu, anggap saja ini adalah rasa terima kasihmu karena aku berhasil menghalau Darren. Bagaimana?” “Ah, kau ini selalu bisa bernegosiasi dengan siapa pun,” dengus Lily. “Ya, kalau tidak, aku tidak akan jadi CEO di sini,” ucap Axel dengan pongah. “Jadi, kau bisa bersiap nanti jam tujuh malam, aku akan jemput.” “Baiklah,”