Memegang ponsel sang kakak di tangannya, mata Dyandra tertegun menatap. “Pengacara perceraian?”
“Iya, setelah ini kamu akan bercerai dengan Arka, ‘kan? Kamu butuh pengacara terbaik. Dia agak mahal, tapi kerjanya bagus. Highly recomended, kata Bertha,” angguk Drupadi mengingatkan bahwa perjalanan Dyandra masih panjang menuju kebahagiaan.Bayangan Arka melintas, begitu juga segudang kenangan mereka bersama sejak masa kuliah hingga detik ini. Hingga bagaimana tadi malam ia dipeluk dan dikecup. Segala mengubah panggilan mereka menjadi Papa dan Mama. Semua itu ....“Ya, kamu benar. Aku harus mulai berkonsultasi dengan Paula. Mencari tahu apa saja yang dibutuhkan untuk bercerai,” tandas Dyandra membuang semua kenangan itu dari batinnya untuk detik ini.Mengisi pikiran dengan foto-foto Arka bersama Cersey sedang memilih gaun pengantin serta bagaimana tiga orang di rumah membohonginya untuk pergi bersama menghadiri akad nikah rahasia sekian minggu lalu. Ia harus pergiDyandra terkejut setengah mati melihat Skylar memiliki foto Arka sedang mencium pipinya. Dari mana kekasihnya itu bisa mendapatkannya? Dengan gugup ia membalas pesan sang lelaki.Dyandra [Aku tidak mempermainkanmu. Aku tidak tahu dia akan mencium pipiku. Semua terjadi begitu saja tanpa aku sadari.]Skylar [Oh, begitu? Di foto itu kamu tersenyum bahagia. Senang, ya, karena Arka mesra kepadamu?]Dyandra [Tentu saja aku bahagia. Anakku baru saja lahir. Sebenarnya aku mau berbagi kebahagiaan denganmu. Tapi, sudahlah. Kamu sepertinya lebih mempermasalahkan cium pipi itu.]Dyandra [Dan kamu harus tahu kalau selama ini memang Arka selalu mesra kepadaku. Tapi aku menolaknya.]Membaca Arka selalu mesra kepada Dyandra, ada sesuatu yang menghentak kencang dalam jiwa Skylar. Perasaan tidak terima. Sebuah cemburu yang naik hingga melebihi ubun-ubun. Tidak sudi Dyandra disentuh walau satu titik saja oleh lelaki lain, meski itu suaminya sendiri.
Dyandra tersenyum saat ciuman hangat mereka berhenti. Kedua mata saling menatap. Melihat semburat pelangi di netra masing-masing. Keindahan warna cinta yang sudah lama hilang dari asa. Bibir merahnya mengecup kening Skylar, turun ke hidung mancung, mengenai dua pipi kanan dan kiri, lanjut ke dagu, dan terakhir kembali berhenti di bibir. Saling mengecap, saling merasakan tubuh mereka. Lalu, bibir merah itu menuruni leher. Menyesap beberapa kali di sana, membuat geliat ringan pada tubuh gagah. Kedua tangan Skylar reflek memeluk punggung Dyandra. Tak lupa, dengan sigap melepas kaitan bra sang wanita dan meloloskannya hingga kini tak ada apa pun menutupi dada sang wanita. Skylar bisa merasakan puncak buah dada bergerak di atas pusarnya ketika Dyandra masih terus menciumi dadanya yang ditumbuhi sedikit bulu halus. “Aaahhh!” desahnya mengerang ketika lidah hangat dan basah sang wanita menyapu dua bundaran cokelat tua di dada. Setiap desahan yang terdengar dari mulu
Dengan tubuh yang masih menyatu, Dyandra mendongakkan kepala, lalu bertanya. “Ada apa, Sky? Kenapa kamu terlihat ... berbeda? Aku ada salah? Kamu masih marah denganku?”“Aku bukan marah, aku ....” Berhenti sejenak dan menarik napas dalam. “Aku hanya tidak mau kehilangan kamu. Aku juga tidak mau ada siapa pun menyentuh ini ... tubuh ini ....”Mengucap dengan mengusap punggung Dyandra dan berakhir di bibir sang wanita. “Dan bibir ini ... aku tak rela ada yang mengecupnya selain aku. Mengertikah kamu?”“Aku terlalu menggilaimu untuk mau berbagi tubuhmu meski hanya satu tapak saja, Dya.”Kalimat itu melambungkan Dyandra ke awang-awang. Hatinya membuncah dengan perasaan terharu karena begitu diinginkan, begitu diposesifi. Akan tetapi, “Aku masih harus mengurus surat-surat sebelum bisa benar-benar pergi dari Arka. Aku mohon, bersabarlah ....”Sklar mendekap erat hingga membuat wajah Dyandra kembali terbenam di antara dada dan pundak. Ia kecup pucuk kepala kekasihn
Memasrahkan urusan pembuatan akte kelahiran pada kenalan dari sahabatnya, Dyandra kini sedang mencari nama yang indah untuk bayi perempuan mungil di dalam dekapannya. “Bagaimana kalau diberi nama Hasya? Artinya keceriaan dalam bahasa Jawa. Dia menghadirkan keceriaan di wajahmu, ‘Yank,” ucap Arka duduk di hadapan istrinya.Dyandra mendongakkan wajah dan tersenyum. Ia sedang memberikan susu botol kepada sang bayi. Sejak pulang dari rumah sakit, dengan sengaja tidak mau putrinya terlalu banyak menyusu pada Cersey, sang ibu biologis. Tidurnya pun bersama di kamarnya. “Hasya nama yang bagus, aku suka itu ...,” gumamnya menatap Arka. Rasanya hampir tidak percaya momen ini datang juga. Di mana ia bisa menjadi seorang ibu meski bayi itu tidak lahir langsung dari dalam rahim. Memutar bola mata ke atas, Dyandra lanjut berucap. “Hasya Sasmita ....”“Hasya Sasmita Hasbyan Putri. Setuju?” Arka berpindah duduk ke sisi istrinya di atas ranjang. Meski sebenarnya en
Arka mengerutkan kening. Detik itu ia hampir yakin kalau Dyandra mengetahui hubungannya dengan Cersey. Akan tetapi, kembali berpikir .... Kalau memang istrinya tahu, kenapa diam saja? Wanita mana pun pasti akan menggila kalau tahu suaminya selingkuh. Seharusnya Dyandra marah, bukan?‘Hmm, mungkin dia hanya menggertak saja?’ batin Arka menyimpulkan sendiri. Menarik napas panjang, ia bertanya, “Memangnya aku menyebunyikan apa?”Dyandra ingin sekali berteriak dan mengatakan semua yang dipendam selama ini. Bagaimana dia tahu dengan mata kepala dan telinga sendiri bagaimana suami dan wanita penyedia rahim sewaan itu bercinta sekian bulan lalu di lantai satu. Akan tetapi, ia masih bisa menahan semuanya. Sudah berada sangat dekat dengan garis finish, maka tidak akan mengacaukan segala sesuatunya. Mengatur embusan napas, mencoba menenangkan diri, Dyandra hanya menggeleng. “Tidak ada, Mas. Aku hanya kelewat emosi. Sungguh, perutku sakit dan aku tidak mau diguncang meski
Setelah tahu Dyandra akan meminta Cersey pergi dari rumah, Arka segera membawa istri keduanya itu berkeliling mencari apartemen untuk disewa sementara ia belum membelikan rumah. “Lebih baik begini, Mas. Kalau aku di rumahmu terus juga nanti lama-lama Mbak Dyandra curiga. Aku pun sudah lelah berpura-pura,” ucap Cersey menenangkan suaminya yang sepanjang jalan terlihat emosi. “Aku yakin Dyandra berselingkuh. Hanya saja, aku tidak tahu dengan siapa!” dengkus Arka mengerucutkan bibir ke depan.Cersey tahu kalau ia harus bisa bersikap lembut dan menghibur walau pun dalam hati kesal karena suaminya sedemikian mencintai Dyandra. Akan tetapi, demi mempertahankan pernikahan mereka yang baru seumur jagung, ia mengalah. “Sudah, Mas, yang sabar. Nanti kalau memang Mbak Dyandra berselingkuh, pasti akan ketahuan. Sekarang, kamu jangan emosi terus, ya? Tenangkan dirimu. Yakinlah, kalau memang Mbak Dyandra macam-macam, dia yang rugi.” Cersey membelai dada bidang sang suami sa
Sepasang suami istri dengan kekasih rahasia mereka masing-masing. Yang satu berada di dalam lift, yang satu berada di luar lift. Tanpa tahu kalau mereka ada di gedung yang sama. Tanpa ragu mengamit genggaman kekasih masing-masing. Skylar memperhatikan angka di layar monitor atas lift. Kurang dua lantai lagi akan sampai di tempatnya berdiri. Sesekali tatapnya melihat ke arah Dyandra yang dirasa makin cantik setiap harinya. Ia tidak sabar menanti hari di mana bisa memiliki wanita itu secara utuh. “Sky, naik lift yang ini saja,” ucap Dyandra menarik tangan lelaki tampan di sebelahnya. Menuju sebuah lift yang telah terbuka. “Oke,” angguk Skylar. Keduanya melangkah kecil menuju kotak besi yang akan membawa ke lantai atas. Berdiri di depan pintunya dan menunggu beberapa orang di dalamnya keluar. Ada sekitar lima orang di dalam sana yang kemudian melangkah pergi.Arka di dalam lift bersama Cersey dan mereka sudah mencapai lantai utama yaitu
Arka telah sampai ke rumah dari perjalanan pulang kantor yang cukup panjang karena melewati kemacetan akibat kecelakaan di jalan tol. Turun dari mobil, keningnya berkerut melihat mobil sang istri ada di depan teras. “Mau pergi ke mana, Dyandra? Kenapa mobilnya tidak di garasi?” gumamnya meluncur begitu saja.“Mungkin mau pergi dengan teman-teman, Tuan?” sahut Pak Gito membawakan tas kerja Arka dan mengekor di belakang sang majikan. Arka mengangguk, tidak terlalu mendengar apa yang diucap sopirnya itu. Lebih fokus kepada siapa yang sedang ada dan duduk di ruang tamu. Membuat keningnya semakin mengernyit. Hati kian bergemuruh dan perasaan langsung mengatakan ada sesuatu yang salah. Sepuluh tahun menikah, bisa dihitung berapa kali Drupadi datang ke rumahnya. Sang kakak ipar yang sejak dulu tidak pernah akur dan diketahui tidak menyukai ibunya itu hampir tidak pernah datang kecuali ada sesuatu yang penting. Pak Gito meletakkan tas kerja m
Seorang wanita sedang duduk di sebuah meja restoran bersama satu orang anak perempuan berusia tiga tahun yang teramat cantik dan menggemaskan. Keduanya nampak asyik memandangi layar ponsel. Sang Bunda berucap, “Hari ini kita merayakan ulang tahunnya Ayah Arka. Kamu harus selalu mendoakan Ayah Arka, ya?” Mengatakan itu dengan mata berbinar, mengecup kening putrinya dengan khidmat. Ada satu desiran perih yang tak pernah bisa tertutup sempurna di dalam kalbu sang wanita. Ada satu cinta yang akan selalu ia kenang. Dari seseorang yang telah berkorban nyawa untuknya. Maka, ia akan memastikan nama sang almarhum suami selalu harum di mata putri mereka. Hasya yang baru menginjak usia tiga tahun hanya manggut-manggut mendengar permintaan ibunya. Ia menatap layar dan memandangi lelaki yang disebut sebagai ayahnya. “Ayah Arka, ya, Bunda?” ucapnya manis dan polos. “Iya, Ayah Arka. Setelah dari restoran ini, kita akan mengunjungi makamnya dan berdoa di sana
Dyandra datang ke rumah duka yang telah dipenuhi oleh keluarga besar Hasbyan serta kerabat lain. Rumah itu, tempatnya tinggal bersama Arka selama sepuluh tahun terakhir. Melangkah gontai, naik ke lantai dua, ke kamar mereka. Sekelebat ingatan muncul. Bahwa pada suatu waktu, ia melangkah dengan kegontaian yang sama di tangga ini setelah mendengar dengan telinganya sendiri bagaimana sang suami meniduri wanita lain. “Tuhan, kenapa sakit sekali?” tangisnya terisak ketika duduk di atas ranjang dan memandangi seluruh kamar tidur mereka. Foto pernikahan, foto liburan keliling dunia, bahkan foto saat mereka masih kuliah bersama terpampang rapi di sana. Arka tidak pernah mengenyahkan foto-foto ini, bahkan setelah surat curai ia layangkan satu bulan lalu. Hancur, Dyandra sangat hancur melihat semua kenangan diri yang tak akan terulang kembali. Perih yang tak terperi mengoyak setiap detik hingga air mata tak bisa berhenti mengalir. Mengambil pi
Pintu ruang operasi terbuka dengan lambat. Beberapa orang keluar dan memperlihatkan bukan wajah-wajah yang senang atau pun bahagia. Akan tetapi ….“Keluarga Pak Arka?” Mereka kembali bertanya, dan Dyandra melangkah gontai. Di belakangnya ada Moeryati yang juga berjalan teramat limbung hingga harus dipegangi oleh adiknya. “Arka ….” Dyandra tidak bisa meneruskan pertanyaan. Kalimat selanjutnya menyangkut di tenggorokan. Satu kata yang tidak bisa ia ucap. Tidak, tolonglah jangan seperti ini! Tidak atas namanya! Jerit Dyandra di dalam hati. Bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri kalau akhirnya ….“Maafkan kami, tapi … untuk sesaat beliau stabil. Selanjutnya, ada pembuluh darah lain yang mendadak pecah di otak dan ….”“Anakku!” jerit Moeryati menghentakkan kaki ke lantai berkali-kali. Ia mengguncang tubuh Aryati semakin lama semakin kecang. “Arkaaa!” Ambruk sudah Moeryati ke atas lantai sambil menangis, meraung, tersedu-sedu d
Batara terbelalak, begitu pula istrinya dan sang besan. Anak-anak mereka menjadi target pembunuhan? Kegilaan apa lagi ini di rumah tangga Dyandra dan Arka.“Di pinggir jalan tadi ada sebuah bengkel sepeda motor yang sudah tutup. Dia memiliki CCTV yang mengarah ke jalanan. Kami sudah memeriksanya dan apa yang terlihat makin menguatkan bukti bahwa ini bukanlah kecelakaan biasa,” tutur Sersan Andi. Dyandra masih termangu, ia mencoba mengingat apa yang terjadi. “Ban mobilku mendadak kempes. Pak Tri menepi. Tiba-tiba ada sepeda motor kencang menubruknya. Aku segera keluar untuk melihat kondisi Pak Tri. Kemudian … kemudian ….”Tak mampu meneruskan kalimat karena setelah itu terjadilah hal yang membuatnya sangat syok hingga kini. Kedua tangan gemetar saat mengingat detik demi detik nyawa hampir melayang. “Aku tidak tahu Arka dari mana … dia … dia … aku ditarik! Dia tertubruk mobil!” raung Dyandra memeluk ibunya dan menangis kencang. “Pak Arka
Terus menjerit, suara Dyandra mulai tertutup oleh sirine mobil ambulans dan polisi yang datang ke lokasi nahas tersebut. Orang ramai mengatakan tabrak lari kepada dua orang petugas hukum berseragam cokelat yang datang. Dari dalam ambulans, dua orang segera turun dan memeriksa keadaan Arka. “Kritis, cepat bawa ke rumah sakit,” ucap salah satu dari mereka dan berlari kembali ke dalam mobil untuk mengambil ranjang dorong. Pak Tri saat diperiksa oleh petugas ternyata sudah meninggal dunia. Leher sopir malang itu patah saat ditubruk sangat kencang oleh pengendara sepeda motor. Dengan dibantu oleh warga sekitar, ambulans berhasil membawa Arka masuk dan Dyandra duduk di kursi panjang, menatap nanar pada Arka yang sudah tidak sadarkan diri.“Halo, Dru?” isaknya menelepon sang kakak dan segera menjelaskan apa yang terjadi. “Tolong jemput Bu Wuri dan Hasya. Aku mau ke rumah sakit bersama Mas Arka!” pintanya sesenggukkan. Drupadi terengah, tidak
Dyandra spontan menuruni mobil saat melihat sopirnya tertubruk sepeda motor dengan kencang hingga terpental. Ia menjerit kencang sambil menghampiri. Sama sekali tidak tahu bahwa semua ini adalah rekayasa yang dibuat oleh Pondra dan Rani untuk menyingkirkan sang target. Baru saja beberapa detik di pinggir jalan raya, dua buah lampu terang menerjang. Sontak menoleh ke belakang, mata Dyandra terbelalak saat sebuah kendaraan menuju ke arahnya dengan snagat kencang. Tidak ada niat untuk mengerem, apalagi membanting setir agar tidak menubruknya. Dengan sangat jelas, mobil itu ingin menggempur tubuhnya. Semua terjadi dengan sangat cepat hingga rasa syok menguasai sang wanita. Membuat tubuhnya membeku tak dapat berbuat apa pun, termasuk menghindari bencana yang sebentar lagi terjadi. Seiring mendekatnya dua sinar bundar tersebut, Dyandra hanya bisa memejamkan mata dan menutup wajah. Ia pasrah jika memang ini akhir hidup yang tertulis untuknya.
Ditemani oleh kakaknya, Dyandra mendatangi rumah sakit tempat Albert Kiersten dilarikan setelah terkena serangan jantung di ruang kantornya. Mereka duduk di sebuah cafetaria yang terletak cukup terpencil, jauh dari keramaian. Skylar kemudian terlihat berjalan dengan gontai. Langsung duduk di sisi Dyandra dan keduanya bertatapan sendu. Tak mampu berkata apa pun kepada satu sama lain. “Bagaimana dengan Om Albert?” tanya Drupadi menghela napas. “Sedang dipersiapkan untuk operasi. Ayahku memang benar terkena serangan jantung,” jawab Skylar dengan masih menatap pada kekasih gelapnya. “Beliau akan selamat, ‘kan? Maksudku, ini bukan kasus berat atau yang … yah, kamu tahulah maksudku,” tanya Drupadi lagi memastikan. “Setiap operasi pemasangan ring jantung akan ada resikonya. Tapi, dokter terbaik telah menangani. Jika tidak ada masalah, ya, Papa akan baik-baik saja,” angguk Skylar. Drupadi menghela napas lega. “Baiklah, aku mau ke k
Cersey terengah hebat ketika ponselnya mendadak tidak lagi ada suara Arka, ternyata sang suami telah menghentikan pembicaraan mereka. Jemari wanita cantik itu bergetar hebat bersamaan dengan rasa mual yang meraji perutnya. “Talak tiga? Talak tiga katamu, Mas Arka? Talak tiga, hah?” desisnya makin lama makin menjerit. Air mata menuruni lereng pipi putih yang telah dibubuhi dengan perona berwarna merah. Pertama hanya tetes demi tetes, tetapi lama kelamaan menjadi linangan ombak di samudera luas. Sangat deras, dan bibirnya kian gemetar. “TIDAAK! TIDAAAK!” Membanting ponsel ke atas sofa teramat kencang. Menjerit histeris, menjambak rambutnya sendiri. Mengambil mangkok buah yang ada di atas meja. Lalu, ia lempar sepenuh tenaga ke atas lantai hingga pecah berserakkan. Belum puas, tangannya kembali merajah vas bunga, menggempurkan ke dinding berlapis wall paper berwarna emas. “AKU BENCI KAMU, DYANDRA! AKU BENCI KAMU!” jerit Cersey tak berhe
Degup jantung Cersey sudah tidak aman lagi. Mendengar kalimat dari Arka bahwa mereka tidak bisa bersama ke depannya bagai gulungan tsunami menghantam dari sekian sisi. Tidak hanya kanan dan kiri, tetapi juga depan, belakang, atas, dan bawah. Bernapas memburu, dada kembang kempis, mata memerah berair, dan sekeliling terasa begitu menekan hingga sulit bernapas. Tinggal di ruang ber-AC sepanjang hari, tetapi kenapa sekarang seolah ada di Gurun Sahara? Dengan matahari tepat berada di atas kepala, menyinari dengan terik. “Cersey, maafkan aku. Hanya saja, ini terpak—”“Karena Mbak Dyandra? Karena kamu mau kembali kepadanya. Iya, ‘kan?” bentak Cersey memotong pembicaraan sang suami. Sebenarnya, ia sudah pernah menduga hal ini akan terjadi. Semenjak Dyandra mengajukan surat cerai, Arka seperti orang gila tak tentu arah. Antara obsesi atau cinta kepada istri pertamanya itu tidak jelas.Satu hal yang jelas adalah, ia tidak lagi mendatangi Cersey