Arka hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Hubungannya dengan Cersey yang baru seumur jagung memang terasa sangat intim. Akan tetapi ... beristri dua ...?Lelaki itu tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya. Bahkan tidak di dalam mimpi terliarnya sekalipun. Memiliki dua istri, bagaimana dengan Dyandra? Istri sahnya itu apakah tidak akan curiga nantinya?“Aku ... belum bisa memutuskan apa pun. Aku ... ini semua terlalu mendadak,” jawab Arka dengan lidah yang terasa kelu.“Ya, tidak apa, Mas. Kamu pikirkan saja dulu baik-baik. Lagipula, bukannya apa ... kamu tahu sendiri Mbak Dyandra tidak bisa punya anak. Apa kamu mau seumur hidup tidak memiliki keturunan yang dilahirkan secara normal?” Cersey tersenyum, terdengar lemah lembut. Akan tetapi, setiap perkataannya tertuju untuk mempengaruhi Arka agar mau menjadikannya istri kedua. “Aku dan Dya akan punya anak setelah ini darimu, dari rahimmu ….”“Iya, tapi apa selamanya mau begitu terus? Sewa rahim wanita lain? Kan leb
Ancaman Arka membuat Dyandra kembali terbelalak hingga matanya terbuka lebar. “A-apa? Kamu bilang apa barusan?”“Kalau kamu sudah tidak mau denganku, bicara terus terang! Aku akan mencari istri lain!” Arka kembali bersungut-sungut. “Ya, cari saja sana sesukamu!” tukas Dyandra akhirnya naik pitam dengan ocehan sang suami. “Silakan cari istri lain!” balasnya ikut geram. Arka terdiam. Lebih tepatnya … tertegun. Jawaban Dyandra semakin memperlihatkan kalau wanita itu sudah tidak mencintainya. “Ya, sudah. Kalau memang itu maumu!”Sambungan terhenti dan Arka bangkit dari kursi kerjanya. Ia berjalan mengelilingi ruangan kantor yang cukup luas sambil mengepalkan tangan ke segala arah. Bibirnya menggerutu tidak jelas. Memaki hubungannya dengan Dyandra yang dirasa semakin kacau dan tidak bisa diselamatkan. Sementara Dyandra juga tidak kalah terbelalaknya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, mendadak lelaki itu berbicara mengenai cari istri baru. “Apa kamu mau menikahi Cersey, Mas?” pikirn
Masih tidak percaya telah terkunci di dalam sebuah gudang bersama dengan Skylar, Dyandra terus menggedor pintu memanggil nama kakaknya. Akan tetapi, tidak ada jawaban sama sekali.“Sudahlah, nanti tanganmu retak karena menggedor pintu terus menerus,” hela Skylar yang sudah lebih dulu pasrah. Ia yakin tidak akan lama dikurung di gudang ini. “Tidak usah sok peduli denganku,” dengkus Dyandra melirik ketus.“Siapa yang bilang aku peduli? Aku hanya memberi tahu apa yang akan terjadi. Jangan pikir itu karena aku peduli kepadamu.”“Ya, ya, ya. Lelaki sepertimu memang tidak pernah peduli akan apa pun terutama perasaan wanita,” cibir Dyandra akhirnya berhenti menggedor pintu.Ia menghela napas panjang. Mengambil satu buah pakaian yang tidak terpakai dari rak bertuliskan “rejected” dan menjadikannya alas untuk duduk. Skylar melakukan hal serupa. Kini mereka duduk berdampingan dengan bersender pada pintu.“Apa menurutmu kita akan terkurung lama? Ponselku tertinggal di ruang kerja. Aku t
Ide Drupadi untuk mengurung adiknya bersama Skylar di sebuah gudang berisi pakaian ternyata bukanlah ide yang buruk. Dengan terkurung begitu, keduanya jadi bisa berbicara hati ke hati tanpa ada apa pun yang mengganggu. Toh, di sana juga tidak ada sinyal ponsel. Dyandra tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Kalimat Skylar mengatakan kalau lelaki itu ....“Kamu ... kamu bagaimana? Kamu kenapa?” Meluncur begitu saja pertanyaan ini dari bibir berwarna merah kecokelatan.Skylar tertawa sambil terus menatap lekat kepada wanita cantik di hadapannya. “Kamu dengar sendiri, Dya. Aku ... menyukaimu.”Entah harus digambarkan seperti apa perasaan di dalam dada Dyandra. Berdebar kencang, sedikit sesak karena benar-benar terkejut. “Me-menyukai aku? Menyukai bagaimana?” Dyandra makin terperangah. Semua dirasa blank.Wajah tampan terus menatap lekat. “Menyukaimu seperti seorang lelaki menyukai seorang perempuan,” jawab Skylar sendu, disertai senyuman tipis.Dyandra terus tertegun,
Berdua di sebuah gudang, Skylar menyatakan perasaanya kepada Dyandra. Wanita itu tidak menolaknya, tetapi juga belum mengatakan apa pun mengenai kelanjutan hubungan mereka. Sebaliknya, justru bertanya ada apa dengan pernikahan sang lelaki?“Kenapa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu hingga menjadi seperti ini?” ulang Dyandra ingin tahu yang sejujurnya.Menghela napas panjang dan menatap nanar ke langit-langit ruangan. Senyum enggan terlukis di wajah Skylar. Dia memang paling malas membahas pernikahannya. Akan tetapi, dirinya paham kalau Dyandra berhak tahu sebelum mereka melangkah ke sesuatu yang lebih dari sekedar menyatakan perasaan. “Aku dan Layla tidak pernah saling mencintai. Kami dipaksa menikah oleh kedua orang tua. Papaku tidak suka aku bermain wanita,” ucapnya memulai cerita. “Kata Papa, bermain wanita hanya merendahkan martabat keluarga.”“Hmm, Papamu tidak salah,” tanggap Dyandra tersenyum simpul. Skylar tertawa mendengar tanggapan sang wanita. “Yah, begitulah. Ak
Mendengar pertanyaan Skylar itu, Dyandra lumayan terkejut. Kencan? Pergi berdua? Pikirannya langsung mengarah pada Arka. Bagaimana kalau suaminya itu tahu? “Ehm, aku pikir dulu. Kita mau ke mana? Kamu tidak takut istrimu tahu?” Bertanya dengan gugup.“Kan sudah kubilang kalau aku dan Layla punya perjanjian sendiri. Kami bebas untuk bertemu siapa pun yang kami mau.”“Oh, iya, ya ....” Dyandra justru terngiang amukan Arka saat ia berada di luar kota. Waktu itu suaminya mendengar suara lelaki dan berkata akan membunuh siapa pun yang mendekatinya. “Kamu takut suamimu tahu tentang kita?” cetus Skylar lagi-lagi seakan bisa membaca pikiran lawan bicaranya.“Kamu tidak takut dia tahu? Dia ... Arka ... dia sangat posesif kepadaku,” angguk Dyandra terus terlihat ragu dan khawatir. “Ya, sudah. Aku serahkan ke kamu saja baiknya bagaimana. Kita kencan di kantormu saja kalau begitu,” hela napas Skylar di antara tawa kecilnya. “Kamu marah kepadaku?” tanya Dyandra menatap sesal.“Tidak, k
Hari telah gelap ketika Dyandra kembali ke rumahnya. Jam di dinding menunjukkan angka sembilan malam. Tidak biasanya dia pulang selarut ini.“Dari mana? Kok, tumben baru pulang?” Arka segera mempertanyakan kehadiran istrinya di saat Dyandra memasuki ruang kamar tidur.“Pergi dengan Dru. Hangout di cafe,” jawab Dyandra tenang. Memang ia baru saja pergi dengan kakak dan beberapa sahabatnya. “Kenapa tidak angkat teleponku?” Arka kembali bertanya dengan suara parau.“Tidak dengar.”Mendapati jawaban datar, dingin, dan cuek dari Dyandra membuat Arka melompat turun dari atas ranjang dan langsung menghampiri. Ia cengkeram kedua lengan wanita itu dan menarik ke arahnya. “Kamu masih cinta aku atau tidak?”Dyandra menatap nanar. Terdiam dan hanya menghela napas. Bayangan bayi di dalam kandungan Cersey melintas. Tiga bulan lagi, hanya itu yang dibutuhkan olehnya. “Ada apa denganmu, Mas? Salahku apa?” Menjawab dengan kembali bertanya.Arka teringat bahwa kondisi mereka berdua memang sud
Dyandra mematung di depan kamar mandi saat mendengar sang suami meminta password untuk ponselnya. “Buat apa password ponselku?” Bertanya seperti orang ling-lung yang tidak bisa mengikuti arah pembicaraan sang suami saking gugupnya.“Aku butuh memakai ponselmu sebentar. Sepertinya ponselku kehilangan sinyal. Aku butuh membuka Chrome untuk mencari sesuatu,” jawab Arka tersenyum tenang.“Mencari apa di Chrome?” Dyandra berjalan pelan dengan jantung berdetak sangat kencang.Pikirannya cepat mengingat rahasia apa saja yang ada di dalam ponsel itu. Kalau chat-nya dengan Skylar tidak ada karena lelaki itu baru saja membuka blokir chat. Foto mesra berdua juga tidak ada karena mereka baru saja meresmikan hubungan tadi siang.‘Mati aku! Chat dengan Drupadi!’ jerit Dyandra dalam hati. Bagaimana kalau Arka membaca bagaimana kakaknya itu menjodohkan dia dengan Skylar? Dunia bisa runtuh seketika! Suaminya pasti akan mendatangi Drupadi detik itu juga dan memaki sang kakak.‘Ya, Tuhan ... bagaim