"Enggak. Nyonya besar mengajak saya ke klinik kecantikan untuk perawatan wajah. Ke butik, beliin saya baju-baju ini!" Sabrina menjawab jujur sembari mengangkat beberapa goodie bag ke depan wajah Angelica. Ia tak mau merasa takut lagi berhadapan dengan wanita itu. Mereka sama-sama istri Darren, sama-sama menantu keluarga Wirawan. Tak peduli, Sabrina hanya menantu sewaan atau bukan."Kurang ajar sekali kamu! Berani kamu menarik perhatian mama Renata?" Masih tak terima, putri tunggal Pak Adyatama menanggapi cerita Sabrina. "Saya enggak kurang ajar. Saya diajak Nyonya besar. Nyonya besar yang membelikan baju-baju ini dan ... dan mengajak saya ke salon." Sabrina mengelak sebutan Angelica padanya. Sedikit pun Sabrina tidak mencari perhatian wanita yang disegani itu. "Sama saja, b0d0h! Sini, siniin! Baji-baju ini mestinya punya aku, bukan punya kamu, p3lakor!" Dengan kasar, Angelica merebut goodie bag dari tangan Sabrina. "Nyonya, itu punya saya. Saya mohon kembalikan!" pinta Sabrina beru
Di dalam rumah, ibu Renata terus saja mengingatkan Sabrina agar melawan jika Angelica berbuat kurang ajar. "Kalau ada orang yang jahat sama kamu, kamu jangan diam saja, Sabrina. Lawan dia! Barang sendiri diambil malah diam, cuma bisa nangis. Payah sekali kamu! Nih, barang-barangmu! Cepat, simpan di dalam kamar. Setelah itu, ke dapur! Bantuin aku masak!" titah ibu Renata menyerahkan beberapa goodie bag yang sempat diambil Angelica. "Terima kasih, Nyonya.""Ya!" Ibu Renata lebih dulu menuju ke dapur. Sementara Sabrina, masuk ke kamar, menyimpan hasil belanjaannya bersama ibu mertua. Sisi lain, Sabrina bahagia karena ibu Renata sangat perhatian. Sisi lain, dia masih merasa takut akan sikap Angelica apalagi tadi ibu Renata sempat menampar pipi istri pertama Darren itu. Keluar kamar, Sabrina langsung bergegas menuju ke dapur, membantu ibu mertua yang tengah memasak. "Sabrina!" Panggilan Angelica menghentikan langkah Sabrina. Istri kedua Darren itu menelan saliva, melihat Angelica berj
"Pa, Darren pulang jam berapa?" tanya ibu Renata ketika duduk di kursi meja makan. Di ruang makan itu terdapat Pak Sugeng, Ibu Renata, Angelica dan Sabrina. Malam ini, mau tidak mau Angelica makan bersama istri kedua suaminya. "Mungkin jam sepuluh, Ma." Sabrina terkejut mendengar jawaban pak Sugeng. Selera makannya mendadak hilang. Dia begitu murung karena suaminya pulang telat. Sedangkan Angelica, tersenyum tipis. Kesempatan yang bagus untuk menjalankan rencananya busuk. Usai makan malam bersama, Sabrina menunggu kepulangan Darren di ruang meja tamu. Entah sudah beberapa kali, Sabrina menyibak gorden, berharap kendaraan suaminya sudah datang. Handphone Darren juga tidak bisa dihubungi. Mungkin Darren sengaja mematikan handphone-nya supaya tidak ada yang mengganggu, supaya pekerjaannya cepat selesai. Sedari tadi Angelica memerhatikan Sabrina. Kepalanya melongok ke kanan dan ke kiri. Baru jam delapan malam, tetapi ibu Renata dan Pak Sugeng sudah masuk kamar. Biasanya dua oran
Senyum Angelica masih menghiasai wajah meski kendaraan yang ditumpangi Sabrina dan Andre sudah tidak terlihat di depan mata. Angelica membalikkan badan, berjalan, kembali masuk ke dalam rumah. Dua security yang merasa aneh dengan gelagat Angelica tak ada yang berani bertanya apalagi Angelica terkenal angkuh. Pak Joko keluar gerbang, mencari keberadaan Sabrina. "Rudi, Non Sabrina enggak ada. Menurutmu Non Sabrina pergi kemana, ya?" tanya Pak Joko yang terlihat cemas dengan keberadaan istri kedua majikannya. "Mana kutahu, Pak. Mungkin Non Sabrina ada keperluan lain."Pak Joko berpikir sejenak, menarik napas panjang. "Sudah, Pak Joko. Jangan terlalu ikut campur. Kita di sini cuma security." Pak Rudi merangkul pundak sahabat kerjanya itu. Di dalam rumah, hati Angelica sangat bahagia. Ia tak sabar mendengar kabar Sabrina dari Andre. "Semoga saja Andre menjalankan perintahku dengan baik. Aku enggak akan membiarkan Sabrina menguasai Darren atau rumah ini. Walaupun keberadaanku di sini
Di depan pintu kamar Ibu Renata dan pak Sugeng, Darren mengetuk pintu berulang kali. Darren melirik arloji, pukul sembilan lewat tiga puluh lima menit. "Ada apa, Darren? Kenapa ketuk pintu keras sekali?" tanya Ibu Renata, sorot matanya seperti tak suka akan sikap anak kandungnya. "Sabrina di mana, Ma? Sabrina kemana?"Kening Ibu Renata mengkerut, heran akan pertanyaan Darren. "Apa maksudmu?"Pak Sugeng tiba-tiba berdiri di samping ibu Renata. Ingin tahu ada apa sebenarnya sampai Darren mengetuk pintu kamar dengan keras. "Sabrina enggak ada di kamar, Ma.""Enggak ada di kamar gimana? Tadi dia makan malam bersama kami." Kali ini Pak Sugeng yang menimpali. "Tapi, sekarang enggak ada, Pa. Astaghfirullah ... kemana dia?"Lelaki itu sangat panik, mengacak rambut kasar. "Darren, kamu tenang dulu. Apa kamu udah cari dia ke sekeliling rumah ini?" ibu Renata berusaha menenangkan hati Darren. "Belum, Ma. Tapi---""Udah, jangan tapi-tapi-an. Kita cari kesekeliling rumah dulu! Barang kali s
Angelica sangat terkejut mendengar pintu kamar diketuk-ketuk keras oleh ibu Renata. Suara cempreng nenek peot itu terdengar memekakan telinga. Kamar yang ditempati Angelica tidak kedap suara, mudah sekali mendengar suara dari luar. Baru saja Angelica hendak menghubungi Andre, panggilannya terputus gara-gara mendengar suara ibu Renata. Dengan langkah kesal, Angelica berjalan ke arah pintu. "Sebentaarrr ...." Teriak Angelica, Pintu terbuka. "Berisik banget sih? Enggak bisa ketuk pintunya pelan-pelan?" Angelica langsung nyolot di depan kedua mertuanya. "Enggak bisa!" jawab Ibu Renata tegas."Lica, sekarang kamu jujur. Kamu tau kan kemana perginya Sabrina? Iya 'kan?" Sorot mata ibu Renata begitu tajam. Membulat sempurna, seolah ingin menelan Angelica hidup-hidup. Ibu Renata mencari keberadaan Sabrina bukan karena ia telah membayar rahim wanita itu melainkan Ibu Renata belum merasa puas menikmati hasil masakan istri kedua anaknya. "Sabrina? Kenapa nanyain Sabrina ke aku? Memangnya aku
Tamp4r4n yang dilayangkan ibu Renata membuat Angelica terkejut setengah mati. "Pipi kananmu sudah kebagian belaian tangan Mama! Sekarang kamu jawab dengan jujur, kemana Sabrina, Angelicaaaa? Kemanaaaaa???"Suara Ibu Renata menggelegar, memekakan telinga. Pak Sugeng memijat pelipis, menggelengkan kepala. Sudah tidak tahu lagi cara menahan emosi istrinya. Angelica juga yang salah, mengulur waktu terus. "Sabrina pergi dengan s3lingkuhannya!" Jawaban Angelica membuat Darren, ibu Renata dan Pak Sugeng terkejut. Tubuh Ibu Renata sampai mundur selangkah. Melihat ekspresi mereka, Angelica semakin semangat mengarang cerita. "Ya, tadi itu aku nganterin Sabrina ke depan soalnya pacar dia yang dari kampung datang. Mereka sengaja janjian malam-malam begini karena dipikir, kamu bakalan pulang tengah malam, Darren! Ya kalian tunggu aja sih, mungkin sebentar lagi Sabrina pulang."Angelica pikir, keluarga Wirawan percaya begitu saja mendengar ceritanya. Yang terjadi justru, Darren menc3kik leher An
"Kamu mau kemana, Darren?" Ibu Renata bertanya ketika Darren berjalan cepat menuju pintu depan. "Aku mau cari Sabrina," jawab Darren tanpa menoleh. "Cari kemana?" Pertanyaan pak Sugeng menghentikkan langkah kaki lelaki yang mulai frustasi kehilangan istrinya. "Aku enggak tau, Pa. Tapi, aku yakin kalau Sabrina bukan kabur, dia cuma pergi." Darren meyakinkan kedua orang tuanya jika Sabrina bukan wanita yang lari atau kabur dari tanggung jawabnya. Sabrina sudah terikat kontrak dengan keluarga Wirawan. Kalau pun Sabrina pergi dari sisi Darren, dia harus melahirkan anaknya lebih dulu."Kenapa kamu yakin begitu? Bisa saja Sabrina kabur dan menipu kita. Namanya juga perempuan zaman sekarang. Udahlah, jangan kamu cari Sabrina. Kita tunggu dia pulang saja!" Sebisa mungkin ibu Renata bersikap tenang. Mungkin yang dikatakan Angelica benar, Sabrina akan kembali ke rumah ini lagi dengan sendirinya. Hanya saja Ibu Renata tidak percaya kalau Sabrina bers3lingkuh. Rasanya tidak mungkin. "Aku engg
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama
Bibir Angelica tersenyum lebar. Lelaki yang pernah dirindukannya itu kini telah menghubunginya kembali. Tanpa berpikir panjang, Angelica menghubungi nomor tersebut. "Andre? Benar kamu Andre?" tanya Angelica saat sambungan telepon berlangsung. "Hai, Sayang. Benar, ini aku Andre. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" Senyum lebar yang sebelumnya menghiasi wajah Angelica, seketika mengerucut. Ia menarik napas panjang, duduk di sisi ranjang sembari menahan rasa sakit.Angelica tak langsung menjawab, ia tak mau menceritakan tentang yang dialaminya saat ini. Andre pasti curiga kalau ia bercerita. "Hm ... tentu saja kabarku enggak baik. Aku enggak baik karena kehilanganmu, Dre. Kamu kemana aja sih, Sayang? Kenapa ninggalin aku? Kamu tau, aku sekarang udah bercerai dengan Darren. Kita bisa bersama, Sayang."Andre dan Regina yang saat ini sedang di salah satu rumah sewa daerah Jakarta tersenyum mengejek. Lelaki itu sengaja meloudspeaker obrolannya agar ibu Regina mendengar. "Iya, S
"Darren!" Panggilan keras ibu Renata membuat Darren dan Sabrina terkejut setengah mati. Mereka langsung duduk berjauhan, menoleh ke belakang. Ibu Renata berdiri melipat kedua tangan di depan d4da, menatap nyalang mereka berdua. Sabrina berdiri, tubuhnya gemetar. Sementara Darren, bersikap santai meski sebelumnya terkejut. "Ma, kalau manggil jangan teriak-teriak. Lihat tuh Sabrina, dia sampe kaget. Sayang, calon anak kita enggak kaget 'kan?" tanya Darren mengelus perut istriya yang belum terlihat membuncit. "Hah? Eng-enggak, Mas." Terbata-bata menjawab pertanyaan sang suami. "Kalian ini, malah mesra-mesaraan di depan anak-anak. Enggak baik!" tandas ibu Renata mengingat tadi Darren mendekatkan bibirnya ke pipi sebelah kiri Sabrina. Dipikir, Darren akan menc1um Sabrina padahal hanya berbisik. "Mama suuzhon. Aku tadi bukan mesra-mesaraan. Aku cuma bisikin Sabrina saja.""Halah, alasan. Sekarang kita pulang! Mana Papamu?" Darren mengitari sekeliling, mencari keberadaan pak Sugeng. L
"Apa sih kamu, Re? Udah deh, aku belum kepikiran cari suami lagi. Nanti ajalah. Aku sekarang lagi mikirin keberadaan Angelica. Entah di mana dia?" Ibu Anita masih memikirkan anak yang sudah tidak menganggapnya sebagai seorang ibu. Ibu Renata menarik napas panjang, menatap lekat ibu Anita yang duduk berhadapan dengannya. "Kamu mau ajak dia tinggal di rumahmu lagi?" telisik ibu Renata. "Enggak. Aku cuma pengen tau aja keadaannya. Sebenarnya semalam aku sempet tidur tapi cuma sebentar. Anehnya, waktu aku tidur sebentar itu, sempet-sempetnya aku mimpi." Ibu Renata yang sebelumnya agak mencondongkan tubuh ke depan, kini duduk bersandar. "Mimpi apa?""Mimpi Angelica dikerubungi buaya. Tubuhnya dilahap buaya-buaya. Dalam mimpiku, Angelica nangis sambil ketawa. Pas bangun, aku enggak bisa tidur lagi. Ya sampai sekarang, aku masih mikirin dia."Sebetulnya ibu Renata sudah dapat menerka arti mimpi ibu Anita. Mungkin arti dari mimpi itu, Angelica kembali menju4l diri lagi. Ibu Renata menye
"Enggak," jawab ibu Anita tegas. Kepalanya menoleh, menatap pak Adyatama yang tampak terkejut mendengar jawaban ibu kandung Angelica. "Aku enggak mau jadi istrimu lagi. Aku enggak mau berumah tangga denganmu lagi. Ya, aku akui masih ada cinta dihatiku untukmu tapi maaf, untuk menjadikanmu suamiku lagi, aku enggak bisa. Aku bukan wanita bodoh seperti sebelumnya. Yang terlalu diperbudak perasaan. Aku ingin masa tuaku dipenuhi kebahagiaan dan kehidupan yang tenang," sambung ibu Anita masih menatap lelaki yang tenggorokannya seketika tersentak. Pak Adyatama pikir, ibu Anita mau diajak berumah tangga lagi dengan ucapan-ucapan manisnya. Ternyata tidak. Namun, pak Adyatama tidak menyalahkan keputusan ibu Anita. Sewajarnya jika ia tak mau berumah tangga dengannya lagi. Prilaku pak Adyatama sebelumnya sangat menyebalkan dan sering membuat ibu Anita kecewa. Perselingkuhan berulang kali, penggelapan uang perusahaan, utang di mana-mana sampai akhirnya perusahaan dan rumah miliknya diambil alih k
"Anita, aku sangat menyesal. Tolong maafkan aku. Aku janji, enggak akan selingkuh lagi. Enggak akan menikah lagi. Aku janji," bujuk pak Adyatama pada wanita yang kini duduk di kursi teras panti asuhan.Niat ibu Anita datang ke panti asuhan ini, ingin menghibur diri bertemu dengan anak-anak. Yang terjadi justru bertemu dengan lelaki yang semalam ia rindukan sekaligus lelaki yang telah membuatnya kecewa. Entah mesti bahagia atau marah bertemu dengan lelaki yang tega mengkhianati cintanya berulang kali. "Angelica di mana? Apa dia bersamamu?" Ibu Anita mengabaikan permohonan maaf dan janji yang diucapkan Adyatama. Ia justru teringat anak semata wayangnya. Meski Angelica sering menyakiti hati tapi sebagai seorang ibu, Anita selalu merindukan. "Angelica? Dia enggak ikut bersamaku. Aku enggak tau dia ada di mana." Jawaban Adyatama membuat ibu Anita terkejut. Dia pikir Angelica bersama Adyatama selama ini. Ibu Anita menoleh, dahinya melipat, kedua mata memicing. "Lho, bukannya dia bersama
Ibu Anita turun dari mobil. Begitu ibu Anita menoleh ke belakang, kedua matanya membeliak. Sebelumnya ia tak membayangkan dapat bertemu dengan pak Adyatama. Terkejut, melihat pak Adyatama tengah berdiri di samping pak Sugeng. Debaran jantungnya begitu cepat. Keringat dingin membasahi kedua tangan. Ibu Anita menelisik penampilan suaminya dari ujung kepala hingga ujung kaki. 'Kenapa dia ada di sini? apa Renata yang menyuruhnya datang?'Ibu Renata melenggang, menghampiri sahabatnya yang masih mematung di depan pintu mobil. Dia tahu kalau ibu Anita pasti tak menyangka ada pak Adyatama di panti itu. "Anita, bukan aku yang nyuruh dia datang ke sini. Sebelum aku datang, dia sudah ada di sini. Katanya, dia tersesat."Seolah mendengar pikiran ibu Anita, ibu Renata berbisik tepat di depan telinga sahabatnya itu. Ibu Anita menghela napas berat. "Jangan berdiri di sini, kita ke sana. Aku juga enggak tau gimana ceritanya dia sampai tersesat. Entahlah, aku gak terlalu percaya sama si Ady. Tadi d
Kendaraan yang ditumpangi keluarga Wirawan dan mobil box memasuki halaman panti asuhan. Anak-anak panti sudah berbaris rapi di depan teras, menyambut kedatangan keluarga pemilik panti ini.Dulu, panti asuhan itu berada di gedung yang di dalam hutan. Namun, gedung itu disuruh dikosongkan karena tanah tersebut masih sengketa. Oleh pak Sugeng dipindahalihkan ke gedung yang sekarang yang dahulunya milik keluarga berasal dari Belanda."Selamat datang, Pak Sugeng, Ibu Renata, dan Pak Darren," sapa pak Soleh ketika keluarga Wirawan turun dari mobil. "Pak Soleh, ini menantu kami. Namanya Sabrina." Ibu Renata menunjuk Sabrina. Anak pak Sudarso itu melipat kedua telapak tangan di depan d4d4. "Saya Sabrina.""Solehudin. Selamat datang, Mbak Sabrina.""Terima kasih, Pak."Pak Soleh bahagia melihat menantu ibu Renata yang sekarang. Lebih terlihat sopan dan ramah. Tidak seperti menantu sebelumnya. Datang ke panti hanya sebentar saja dan pulang lebih dulu dari pada mereka. "Silakan masuk. Acarany
Dua mobil telah keluarga dari kediaman keluarga Wirawan. Satu mobil ditumpangi keluarga tersebut. Satu mobil lagi, berupa mobil box yang isinya bingkisan untuk anak-anak panti dan pengurusnya. Sepanjang jalan menuju panti asuhan, Sabrina hanya diam saja. Wajahnya terlihat bersedih. “Sabrina?” panggil ibu Renata yang duduk di jok penumpang bersama pak Sugeng.Sabrina yang duduk di samping Darren, menoleh.“Iya, Ma?” Darren yang mengemudi pun melihat mamanya dari kaca spion depan. “Apa yang kamu pikirkan, Sabrina? Apa kamu lagi mikirin Bapakmu?” tanya ibu Renata yang mencemaskan keadaan menantunya. Ibu Renata tidak ingin Sabrina terlalu banyak pikiran sebab sedang mengandung cucu keluarga Wirawan. “Enggak, Ma. Saya enggak mikirin apa-apa.”Sabrina berusaha menutupi yang dipikirkannya. Andai mereka tahu, Sabrina saat ini ingin sekali bertemu dengan Jessica. Biar bagaimana pun, Jessica adalah saudara Sabrina satu-satunya. “Sukurlah. Mama harap, kamu enggak lupa kalau di dalam rahim