Senyum Angelica masih menghiasai wajah meski kendaraan yang ditumpangi Sabrina dan Andre sudah tidak terlihat di depan mata. Angelica membalikkan badan, berjalan, kembali masuk ke dalam rumah. Dua security yang merasa aneh dengan gelagat Angelica tak ada yang berani bertanya apalagi Angelica terkenal angkuh. Pak Joko keluar gerbang, mencari keberadaan Sabrina. "Rudi, Non Sabrina enggak ada. Menurutmu Non Sabrina pergi kemana, ya?" tanya Pak Joko yang terlihat cemas dengan keberadaan istri kedua majikannya. "Mana kutahu, Pak. Mungkin Non Sabrina ada keperluan lain."Pak Joko berpikir sejenak, menarik napas panjang. "Sudah, Pak Joko. Jangan terlalu ikut campur. Kita di sini cuma security." Pak Rudi merangkul pundak sahabat kerjanya itu. Di dalam rumah, hati Angelica sangat bahagia. Ia tak sabar mendengar kabar Sabrina dari Andre. "Semoga saja Andre menjalankan perintahku dengan baik. Aku enggak akan membiarkan Sabrina menguasai Darren atau rumah ini. Walaupun keberadaanku di sini
Di depan pintu kamar Ibu Renata dan pak Sugeng, Darren mengetuk pintu berulang kali. Darren melirik arloji, pukul sembilan lewat tiga puluh lima menit. "Ada apa, Darren? Kenapa ketuk pintu keras sekali?" tanya Ibu Renata, sorot matanya seperti tak suka akan sikap anak kandungnya. "Sabrina di mana, Ma? Sabrina kemana?"Kening Ibu Renata mengkerut, heran akan pertanyaan Darren. "Apa maksudmu?"Pak Sugeng tiba-tiba berdiri di samping ibu Renata. Ingin tahu ada apa sebenarnya sampai Darren mengetuk pintu kamar dengan keras. "Sabrina enggak ada di kamar, Ma.""Enggak ada di kamar gimana? Tadi dia makan malam bersama kami." Kali ini Pak Sugeng yang menimpali. "Tapi, sekarang enggak ada, Pa. Astaghfirullah ... kemana dia?"Lelaki itu sangat panik, mengacak rambut kasar. "Darren, kamu tenang dulu. Apa kamu udah cari dia ke sekeliling rumah ini?" ibu Renata berusaha menenangkan hati Darren. "Belum, Ma. Tapi---""Udah, jangan tapi-tapi-an. Kita cari kesekeliling rumah dulu! Barang kali s
Angelica sangat terkejut mendengar pintu kamar diketuk-ketuk keras oleh ibu Renata. Suara cempreng nenek peot itu terdengar memekakan telinga. Kamar yang ditempati Angelica tidak kedap suara, mudah sekali mendengar suara dari luar. Baru saja Angelica hendak menghubungi Andre, panggilannya terputus gara-gara mendengar suara ibu Renata. Dengan langkah kesal, Angelica berjalan ke arah pintu. "Sebentaarrr ...." Teriak Angelica, Pintu terbuka. "Berisik banget sih? Enggak bisa ketuk pintunya pelan-pelan?" Angelica langsung nyolot di depan kedua mertuanya. "Enggak bisa!" jawab Ibu Renata tegas."Lica, sekarang kamu jujur. Kamu tau kan kemana perginya Sabrina? Iya 'kan?" Sorot mata ibu Renata begitu tajam. Membulat sempurna, seolah ingin menelan Angelica hidup-hidup. Ibu Renata mencari keberadaan Sabrina bukan karena ia telah membayar rahim wanita itu melainkan Ibu Renata belum merasa puas menikmati hasil masakan istri kedua anaknya. "Sabrina? Kenapa nanyain Sabrina ke aku? Memangnya aku
Tamp4r4n yang dilayangkan ibu Renata membuat Angelica terkejut setengah mati. "Pipi kananmu sudah kebagian belaian tangan Mama! Sekarang kamu jawab dengan jujur, kemana Sabrina, Angelicaaaa? Kemanaaaaa???"Suara Ibu Renata menggelegar, memekakan telinga. Pak Sugeng memijat pelipis, menggelengkan kepala. Sudah tidak tahu lagi cara menahan emosi istrinya. Angelica juga yang salah, mengulur waktu terus. "Sabrina pergi dengan s3lingkuhannya!" Jawaban Angelica membuat Darren, ibu Renata dan Pak Sugeng terkejut. Tubuh Ibu Renata sampai mundur selangkah. Melihat ekspresi mereka, Angelica semakin semangat mengarang cerita. "Ya, tadi itu aku nganterin Sabrina ke depan soalnya pacar dia yang dari kampung datang. Mereka sengaja janjian malam-malam begini karena dipikir, kamu bakalan pulang tengah malam, Darren! Ya kalian tunggu aja sih, mungkin sebentar lagi Sabrina pulang."Angelica pikir, keluarga Wirawan percaya begitu saja mendengar ceritanya. Yang terjadi justru, Darren menc3kik leher An
"Kamu mau kemana, Darren?" Ibu Renata bertanya ketika Darren berjalan cepat menuju pintu depan. "Aku mau cari Sabrina," jawab Darren tanpa menoleh. "Cari kemana?" Pertanyaan pak Sugeng menghentikkan langkah kaki lelaki yang mulai frustasi kehilangan istrinya. "Aku enggak tau, Pa. Tapi, aku yakin kalau Sabrina bukan kabur, dia cuma pergi." Darren meyakinkan kedua orang tuanya jika Sabrina bukan wanita yang lari atau kabur dari tanggung jawabnya. Sabrina sudah terikat kontrak dengan keluarga Wirawan. Kalau pun Sabrina pergi dari sisi Darren, dia harus melahirkan anaknya lebih dulu."Kenapa kamu yakin begitu? Bisa saja Sabrina kabur dan menipu kita. Namanya juga perempuan zaman sekarang. Udahlah, jangan kamu cari Sabrina. Kita tunggu dia pulang saja!" Sebisa mungkin ibu Renata bersikap tenang. Mungkin yang dikatakan Angelica benar, Sabrina akan kembali ke rumah ini lagi dengan sendirinya. Hanya saja Ibu Renata tidak percaya kalau Sabrina bers3lingkuh. Rasanya tidak mungkin. "Aku engg
"Cantik juga ya istri orang. Wanita ini jauh lebih cantik dari Angelica. Sayang sekali kalau sampai aku bvnvh. Dari pada dibvnuh lebih baik aku rvd4 p4ksa saja. Pasti keuntungan dari video yang diperankan dia lebih besar. Hahahahaha ...." Gelak tawa Andre berderai membayangkan percint44n yang akan dilakukannya dengan Sabrina beberapa menit lagi. Hanya saja, Andre sedang menunggu Darso agar merekam aksi m3sumnya. Angelica ingin wajah Sabrina terlihat dengan jelas ketika mereka sedang melakukan hubungan suami istri. Gelak tawa Andre terhenti kala suara handphone-nya terdengar. Sebetulnya dari tadi handphone Andre berdering terus. Dia tahu kalau yang menghubungi adalah Angelica. Andre tidak ingin nantinya Sabrina curiga jika mengangkat panggilan Andre pada saat Sabrina masih sadarkan diri. "Hallo?" sapa Andre ketika menerima sambungan telepon Angelica. "Kamu tuli? Dari tadi diteleponin, enggak diangkat-angkat?" sentak Angelica pada lelaki s3lingkuhannya. Andre terkejut, menjauhkan han
Sudarso beranjak, mendekati pintu toilet. Terdengar suara gemericik air. Andre masih mandi. Dia harus segera mengembalikan Sabrina ke rumah keluarga Wirawan. "Aku harus membawa Sabrina dari sini. Anakku enggak boleh menjadi pemeran wanita Andre. Enggak boleh!" Lelaki tua itu dengan sigap mengambil obat kuat yang diletakkan di atas nakas. Memasukkan ke dalam saku jaket yang dikenakan. Lalu membopong tubuh Sabrina keluar kamar motel. Langkahnya begitu cepat, sebelum Andre memergoki aksinya. Sejak Sabrina menikah, Sudaro tak pernah menemuinya lagi, tak pernah menghubungi Sabrina. Sudarso terlalu sibuk mencari uang. Dia tidak ingin merepotkan Sabrina. Sampai akhirnya ia memutuskan pergi ke ibu kota dan bertemu dengan Andre yang membutuhkan kameramen. Sudarso yang sebelumnya bekerja sebagai kameramen di acara pernikahan kampung, mau menerima pekerjaan yang ditawarkan Andre. Ternyata bukan merekam atau memvideokan acara pernikahan melainkan menjadi kameramen untuk pembuatan film pendek a
Baru saja dua langkah ibu Renata keluar kamar, Pak Sugeng datang mensejajari langkahnya. "Sabrina udah pulang. Aku pengen tau, tadi dia pergi kemana!" jawab Ibu Renata berjalan cepat hendak menemui Sabrina. "Sabrina ... Sabrina tadi kamu pergi ... Pergi kemana?" Intonasi suara ibu Renata di kata terkahir pelan. "Ya Tuhan, Sabrina!" Pak Sugeng terkejut melihat kondisi Sabrina. Ia segera menghampiri Sabrina yang tak sadarkan diri. Disusul Ibu Renata. Semua karyawan yang bekerja di rumah Wirawan, duduk bersimpuh. "Sabrina, hei bangun Sabrina!" Ibu Renata menepuk-nepuk pipi menantu keduanya agar terbangun. Namun, Sabrina tak kunjung membuka mata."Siapa yang menemukan Sabrina?" tanya Pak Sugeng menatap semua karyawan satu persatu. Pak Joko maju selangkah, mendekati Pak Sugeng. "Maaf, Tuan. Tadi ... tadi ada orang yang datang mengantar Nona Sabrina.""Siapa orang itu?" Belum selesai cerita Pak Joko, Ibu Renata menyela. "Kami juga enggak tau, Nyonya. Wajahnya mengenakan masker. Ora
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen