"Cantik juga ya istri orang. Wanita ini jauh lebih cantik dari Angelica. Sayang sekali kalau sampai aku bvnvh. Dari pada dibvnuh lebih baik aku rvd4 p4ksa saja. Pasti keuntungan dari video yang diperankan dia lebih besar. Hahahahaha ...." Gelak tawa Andre berderai membayangkan percint44n yang akan dilakukannya dengan Sabrina beberapa menit lagi. Hanya saja, Andre sedang menunggu Darso agar merekam aksi m3sumnya. Angelica ingin wajah Sabrina terlihat dengan jelas ketika mereka sedang melakukan hubungan suami istri. Gelak tawa Andre terhenti kala suara handphone-nya terdengar. Sebetulnya dari tadi handphone Andre berdering terus. Dia tahu kalau yang menghubungi adalah Angelica. Andre tidak ingin nantinya Sabrina curiga jika mengangkat panggilan Andre pada saat Sabrina masih sadarkan diri. "Hallo?" sapa Andre ketika menerima sambungan telepon Angelica. "Kamu tuli? Dari tadi diteleponin, enggak diangkat-angkat?" sentak Angelica pada lelaki s3lingkuhannya. Andre terkejut, menjauhkan han
Sudarso beranjak, mendekati pintu toilet. Terdengar suara gemericik air. Andre masih mandi. Dia harus segera mengembalikan Sabrina ke rumah keluarga Wirawan. "Aku harus membawa Sabrina dari sini. Anakku enggak boleh menjadi pemeran wanita Andre. Enggak boleh!" Lelaki tua itu dengan sigap mengambil obat kuat yang diletakkan di atas nakas. Memasukkan ke dalam saku jaket yang dikenakan. Lalu membopong tubuh Sabrina keluar kamar motel. Langkahnya begitu cepat, sebelum Andre memergoki aksinya. Sejak Sabrina menikah, Sudaro tak pernah menemuinya lagi, tak pernah menghubungi Sabrina. Sudarso terlalu sibuk mencari uang. Dia tidak ingin merepotkan Sabrina. Sampai akhirnya ia memutuskan pergi ke ibu kota dan bertemu dengan Andre yang membutuhkan kameramen. Sudarso yang sebelumnya bekerja sebagai kameramen di acara pernikahan kampung, mau menerima pekerjaan yang ditawarkan Andre. Ternyata bukan merekam atau memvideokan acara pernikahan melainkan menjadi kameramen untuk pembuatan film pendek a
Baru saja dua langkah ibu Renata keluar kamar, Pak Sugeng datang mensejajari langkahnya. "Sabrina udah pulang. Aku pengen tau, tadi dia pergi kemana!" jawab Ibu Renata berjalan cepat hendak menemui Sabrina. "Sabrina ... Sabrina tadi kamu pergi ... Pergi kemana?" Intonasi suara ibu Renata di kata terkahir pelan. "Ya Tuhan, Sabrina!" Pak Sugeng terkejut melihat kondisi Sabrina. Ia segera menghampiri Sabrina yang tak sadarkan diri. Disusul Ibu Renata. Semua karyawan yang bekerja di rumah Wirawan, duduk bersimpuh. "Sabrina, hei bangun Sabrina!" Ibu Renata menepuk-nepuk pipi menantu keduanya agar terbangun. Namun, Sabrina tak kunjung membuka mata."Siapa yang menemukan Sabrina?" tanya Pak Sugeng menatap semua karyawan satu persatu. Pak Joko maju selangkah, mendekati Pak Sugeng. "Maaf, Tuan. Tadi ... tadi ada orang yang datang mengantar Nona Sabrina.""Siapa orang itu?" Belum selesai cerita Pak Joko, Ibu Renata menyela. "Kami juga enggak tau, Nyonya. Wajahnya mengenakan masker. Ora
"Apa? Karena obat bius?" Ibu Renata sangat terkejut mendengar penjelasan dokter ketika selesai memeriksa kondisi menantu keduanya. Siapa yang membius Sabrina? Wanita itu berasal dari kampung? Siapa musuhnya? Kalau di rumah ini yang tak menyukai Sabrina adalah Angelica. "Kemungkinan besar seperti itu. Kalau sampai dua jam kedepan, Non Sabrina belum sadarkan diri, bawa ke rumah sakit saja. Nanti kami akan memeriksakan kondisinya secara intensif." Pak Sugeng dan ibu Renata menganggukkan kepala mendengar saran dokter Hardi. Dokter itu sudah lama menjadi dokter pribadi keluarga Wirawan. Tak berselang lama dokter pamit pergi, Darren datang, berjalan cepat menghampiri Sabrina yang berbaring di atas sofa. "Ya Allah, Sabrina! Kamu dari mana, Sayang?" Darren langsung memeluk tubuh wanita yang dicintai dan dirindukan. "Darren, Sabrina pingsan," kata Ibu Renata berdiri di samping Darren. "Pingsan? Sabrina, Sabrina bangun! Buka matamu, Sabrina!" Darren mengguncangkan tubuh Sabrina, menatap
Menit kemudian, Sabrina pun mengawali cerita. Dia menceritakan dari awal obrolannya bersama Angelica hingga sampai di sebuah tempat yang menurut supir taksi online itu adalah kantor suaminya. Walau Sabrina dari kampung, tetapi ia tahu kalau tempat yang mereka datangi bukan kantor perusahaan melainkan penginapan. Sabrina pun bercerita ketika ia hendak masuk ke dalam motel tersebut, ada seseorang dari belakang membekap mulut dan hidungnya sampai ia tak sadarkan diri. "Siapa yang membekapmu, Sabrina? Apa supir taksi itu?" selidik Darren setelah Sabrina selesai bercerita. Sabrina menggelengkan kepala. "Saya enggak tau, Tuan. Kejadiannya begitu cepat. Saya juga enggak tau, kenapa sudah ada di sini? Apa ada orang lain yang menolong saya atau jangan-jangan supir taksi itu yang menolong saya?" Sabrina menarik kesimpulan. Ia memang tak melihat jelas siapa orang yang membekapnya. "Bagaimana kalau supir taksi sendiri yang membekapmu, Sabrina?" tanya Darren menatap intens wajah istrinya. Sabr
Prediksi yang diucapkan ibu Renata membuat Angelica terbatuk-batuk. Terkejut, dengan ucapan sang ibu mertua. Kedua mata Angelica membeliak."Enggak mungkin, Ma! Enggak mungkin Sabrina hamil. Mereka nikah belum satu bulan! Kecuali ... sebelum nikah sama Darren dia udah berc1nta dengan lelaki lain!" elak Angelica emosi. Tidak hanya menyanggah dugaan ibu Renata, Angelica juga menuduh Sabrina.Angelica harus berpikir keras agar istri kedua Darren tidak cepat hamil. Bisa gawat kalau Sabrina sudah hamil. Bisa-bisa keberadaan Angelica di rumah Wirawan semakin tersingkirkan. "Sudahlah, jangan nuduh orang sembarangan. Kita lihat saja nanti." Lagi, Pak Sugeng yang menengahi perdebatan mereka. Pak Sugeng tak mau berburuk sangka. Dalam hati, ia sangat yakin kalau Sabrina wanita baik-baik. Rasanya tidak mungkin melakukan hubungan suami istri di luar pernikahan. "Giliran Sabrina saja, enggak boleh nuduh sembarangan. Tadi Sabrina nuduh aku, kalian diam saja. Enggak adil!" Angelica menarik kursi, p
Angelica sangat kecewa dan marah pada Andre. Handphone lelaki itu pun tak juga aktif padahal uang yang diminta Andre sudah ditransfer. Angelica merasa ditipu."Andre si4lan! Berani sekali dia menipuku! Awas saja, aku akan memberi perhitungan!" gerutu Angelica masuk ke dalam mobil. Semalam Angelica berencana hari ini akan di rumah seharian, menikmati hidup di rumah Wirawan tanpa adanya si p3lakor atau Sabrina. Namun, rencananya gagal total. Sabrina tiba-tiba sudah ada di rumah itu. Entah bagaimana bisa Sabrina datang kembali? Apa mungkin Andre melepas Sabrina begitu saja?Beberapa pertanyaan tentang Sabrina memenuhi otak Angelica. Ia ingin segera menemui Andre. Ingin menuntut penjelasan dan ingin uang yang sudah ditransfernya dikembalikan. Tiba di rumah Andre, Angelica mematikan mesin mobil. Sebelum turun dari mobil, sorot mata Angelica begitu tajam. Jika penjelasan Andre nanti tidak masuk akal, Angelica tidak akan segan-segan melaporkan bisnis haram kekasih gelapnya itu. Angelica tu
"Jadi mual-mual istri saya bukan karena hamil, dok?" Darren memastikan ucapan dokter kandungan bernama dokter Heni. "Bukan. Itu penyakit maag saja. Mungkin mbak Sabrina makannya telat atau banyak pikiran atau bisa karena hal lain. Kalau mual-mual karena hamil, biasanya disertai dengan badan lemas, kepala pusing. Kalau Mbak Sabrina hanya mual saja. Enggak pusing dan enggak lemas. Saya buatkan resep dulu, ya?" Penjelasan dokter membuat Darren dan Sabrina bernapas lega. Ternyata dugaan ibu Renata salah besar. Sabrina sangat yakin, hanya Darren yang menyentuhnya. Tidak ada lelaki lain. Begitu pula Darren, dia sangat yakin kalau Sabrina tidak mungkin hamil dari lelaki lain buktinya dialah yang merasakan kep3r4wanan Sabrina. Usai dari rumah sakit, Darren dan Sabrina menyempatkan diri ke minimarket. Darren menyuruh Sabrina membeli aneka macam makanan untuk ngemil. "Tuan, jangan beli apapun. Saya gak suka ngemil," kata Sabrina ketika mereka memasuki salah satu minimarket. "Harus suka. Aku
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen