"Kalau saya mengembalikan uang itu, apakah utang ayah saya masih ada?" Sabrina balik bertanya. Hatinya sangat takut kalau utang ayahnya belum dianggap lunas. "Aku bercanda, Sabrina. Kamu gak usah mengembalikannya. Utang ayahmu juga tetap dianggap lunas meski pernikahan kita bukan pernikahan kontrak. Kamu cukup persiapkan mental, menghadapi Angelica, istri pertamaku.""Tuan sudah menikah?" Sabrina terkejut. Kedua matanya hampir melompat. "Iya. Aku udah menikah selama 5 tahun tapi istriku belum bisa kasih keturunan. Aku juga udah gak cinta dia. Makanya orang tuaku menyarankan pernikahan ini."'Astaghfirullah, ternyata aku menikah dengan suami orang,' bathin Sabrina. Sabrina menelan saliva mendengar ucapan Darren. Pandangannya beralih keluar jendela mobil, membayangkan pertemuan pertama dengan istri pertama Darren. Sabrina memejamkan kedua mata, setetes air mata lolos membasahi wajah. Kini, tanpa ia sadari dirinya adalah seorang pel4kor. Dalam hati, Sabrina berulang kali beristighfar,
"Mama doakan saja supaya Sabrina segera hamil dan melahirkan anakku dengan selamat dan sehat," timpal Darren tidak ingin memperpanjang obrolan mereka. Darren tahu, perempuan yang berdiri di belakangnya sangat ketakutan. "Tentu saja. Aku akan mendoakan supaya dia cepat hamil, cepat melahirkan dan cepat pergi dari rumah ini." Ibu Renata melengos, pergi meninggalkan Darren dan Sabrina bersama Pak Sugeng. Sabrina menarik napas lega, walaupun ada rasa sakit di hati. Memegang dadanya yang berdebar tak karuan. "Hei, are you oke?" panggil Darren. "Hah?" Sabrina malah melongo. "Kamu takut?" Darren merundukkan sedikit kepala, ingin melihat wajah Sabrina. "I-iya. Takut banget," jawab Sabrina tersenyum miring. Darren terkekeh, meraih telapak tangan anak gadis pak Sudarso. "Enggak usah takut. Aku tadi kan udah bilang, ada aku. Apa yang mesti kamu takutin?""Huh, apaan ada aku? Buktinya waktu Mbak Lica memukul tubuhmu, kamu diam aja," cibir Sabrina, memanyunkan bibirnya. Darren mencubit gem
“Kamu udah keramas? Ini masih jam empat dini hari,” ucap Darren yang belum terlelap. Mereka semalaman menikm4ti kebersamaan sebagai sepasang suami istri. Pernikahan yang awalnya terpaksa dan dipaksa, kini Sabrina mulai bisa menerima Darren sebagai suaminya.“Aku mau sholat dulu,” jawab Sabrina sambil mengeringkan rambut.Mendengar jawaban Sabrina, Darren tercenung sejenak. Sudah lama sekali Darren tidak menjalankan kewajibannya.Dulu, sewaktu masih ada almarhumah neneknya dari pihak Pak Sugeng, neneknya selalu menyuruh Darren melaksanakan sholat.“Aku mau sholat Subuh juga.” Darren beranjak dari tempat tidur, berjalan cepat ke toilet, tidak menghiraukan tatapan heran Sabrina.Usai mandi besar, Darren mengenakan pakaian dan sarung untuk sholat Subuh. Sabrina sudah mengenakan mukena, duduk di atas sajadah.Hati Sabrina sangat bahagia karena Darren rupanya bisa melaksankan sholat bahkan bacaan Al-Quran-nya cukup bagus. Sabrina memanjatkan doa, mengucapkan rasa syukur. Pernikahan yang ter
Tubuh Sabrina bergetar dibentak dan diusir Ibu Renata. Sebulir air mata berhasil lolos dari kelopak matanya. Dalam hati, Sabrina berkata, 'Betapa hinanya aku. Andai saja ayah enggak punya utang pada mereka, aku tak sudi menyewakan rahim ini. Meski sekarang aku mulai merasa nyaman berada di dekat tuan Darren.'"Sabrina, kamu tuli? Pergi dari sini! Kalau mau sarapan, ke belakang. Bersama pembantu kami," sambung Ibu Renata semakin tinggi intonasi suaranya. "Ma, Sabrina istriku. Dia berhak sarapan di sini. Oh ya, aku sampe lupa. Aku udah merobek surat perjanjian nikah kontrak kami. Aku dan Sabrina udah bukan nikah kontrak lagi, Ma, Pa." Darren begitu tenang menyampaikan perihal pernikahannya pada Ibu Renata dan Pak Sugeng. Tentu saja, kedua orang tua itu sangat terkejut, kedua mata mereka membesar. "Jangan g1la kamu, Darren! Kamu mau menjadikan wanita kampungan itu istri sah-mu?" Ibu Renata tak percaya dengan penjelasan Darren. Namun, lelaki yang sudah dua kali menikah itu tetap tenang.
Sabrina bingung menjawab. Ia tak ingin dianggap wanita tak tahu diri di rumah ini apalagi ibu Renata sudah sangat jelas tidak menyukainya. Tidak hanya ibu Renata, Pak Sugeng dan Angelica pun tidak menyukainya. Darren merasa kasihan melihat istrinya. Merangkul pundak Sabrina dan mengecup pelipisnya mesra. "Kamu jangan takut. Di sini ada aku. Aku tau, tadi Mama menegurmu. Jangan kamu ambil hati. Mama begitu, karena belum tau siapa kamu. Aku yakin, kalau mama udah kenal baik kamu, mama akan menyukaimu," sambung Darren berkata pelan. "Kalau begitu, izinkan aku berusaha mengambil hati Nyonya Renata. Aku punya keahlian memasak. Insya Allah Nyonya akan menyukainya."Darren menghela napas berat. Berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Ya sudah kalau itu maumu."Senyum Sabrina mengembang seraya mengucapkan terima kasih. Ia sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk mengambil hati ibu mertua. Darren duduk di kursi dapur, memerhatikan istrinya yang tengah memasak bersama beberapa as
"Mbok yakin? Kalau perempuan kampung itu yang masak makanan ini?" Angelica menyela. Tak percaya jika lauk pauk yang terhidang di atas meja dibantu oleh Sabrina, istri kedua suaminya. "Yakin, Nyonya."Mbok Darmi menjawab sembari merundukkan kepala. Ibu Renata menelan saliva, lalu menghela napas berat. "Sudah, kamu boleh pergi dari sini.""Baik, Nyonya besar. Permisi."Mbok Darmi pergi dari ruang makan. Keluarga itu melanjutkan suapannya. Tampak sekali Ibu Renata menikmati hasil masakan menantu barunya itu. "Angelica, harusnya kamu juga pandai memasak. Lihat si Sabrina, walaupun dia perempuan kampung, tapi bisa memasak masakan selezat ini."Ucapan yang baru saja meluncur dari mulut Ibu Renata membuat semua mata orang yang ada di ruangan itu beralih padanya. Angelica tersinggung, menghela napas berat agar emosinya tidak membuncah."Terus, aku harus bisa masak juga? Gitu maksud Mama?" "Iya dong!" Jawab Ibu Renata meletakkan alat makan di sisi kanan dan kiri piring. "Meskipun kamu wani
Air mata Sabrina tak dapat tertahankan. Ia menangis dibentak ibu mertua. Sorot mata Ibu Renata yang tajam membuat nyali Sabrina semakin ciut. Baru saja tadi siang hati Sabrina bahagia karena wanita tua itu menyukai masakannya. Sekarang Ibu Renata berbuat kasar, mencekal pergelangan tangan sangat kuat bahkan Darren tidak mampu melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya itu. "Ma, tolong kasihani Sabrina. Dia enggak punya salah apa-apa. Kenapa Mama kasar sekali padanya?"Baru kali ini, Darren berbicara dengan intonasi suara cukup tinggi. Pandangan Ibu Renata beralih pada anak semata wayangnya. Dahi mengkerut, heran akan sikap Darren. "Kamu berani membentak Mama, Darren?" Pertanyaan Ibu Renata sarat penekanan. Darren menelan saliva, menghela napas panjang agar emosinya dapat terkontrol. "Maaf, Ma. Bukan maksudku ngebentak Mama. Tapi, Mama mau bawa kemana Sabrina? Kalau Mama mau ngajak dia pergi, silakan. Cuma jangan kasar begini, Ma. Kasihan Sabrina, dia ketakutan." Se
Tiba di halaman rumah Wirawan, Darren rupanya duduk di kursi teras, menunggu kedatangan mobil yang membawa istri dan ibunya. Melihat kendaraan mewah itu memasuki halaman rumah, Darren berdiri, berjalan cepat menghampiri. Ingin memastikan kondisi Sabrina. "Ngapain kamu, Darren?" tanya Ibu Renata saat keluar dari dalam mobil."Sabrina baik-baik saja, Ma? Mama enggak apa-apain dia kan, Ma?" Terlihat sekali kecemasan dari nada bicara anak semata wayangnya. "Bicara apa kamu? Sabrina enggak kenapa-napa. Masuk sana! Jangan ganggu Sabrina seharian ini karena dia, Mama suruh membuat cake!"Kening Darren mengkerut mendengar ucapan mamanya. Sebelumnya Darren sudah berpikiran buruk tentang Ibu Renata. "Mem-membuat cake?"Ibu Renata enggan menjawab pertanyaan Darren. Wanita itu masuk ke dalam rumah. Pandangan Darren beralih pada Sabrina yang keluar dari dalam mobil sambil membawa beberapa belanjaan bersama supir. "Sabrina! Sabrina kamu baik-baik saja?" Darren memegang kedua pundak istrinya.
Menurut Mbok Darmi, meskipun Sabrina hanya dinikahi secara kontrak tetapi wanita itu tetaplah majikannya. Mbok Darmi dan Mbak Tuti terkadang merasa tak enak hati jika Sabrina ikut berkutat di dapur. "Enggak apa-apa, Mbok. Saya kan di sini cuma istri sewaan. Kalau nanti saya udah hamil, udah melahirkan, mungkin Tuan Darren akan menceraikan saya.""Enggak akan!" Sebuah suara menyentak tiga wanita yang duduk di atas kursi itu. Mereka menoleh, lalu berdiri setengah membungkuk. Rupanya Darren berdiri di dekat pintu masuk dapur."Aku sudah katakan padamu berulang kali, kamu akan menjadi istriku selamanya." Sangat tegas, Darren mengungkapkan kalimat itu. Sabrina mengangguk sembari menimpali, "Iya, Tuan."Dua kata itu terdengar meragukan. Namun, Darren tidak mau memperpanjang ketegasannya. Ia berlalu, meninggalkan dapur. Kedua asisten rumah tangga Wirawan menghela napas. Sebelah tangan Mbok Darmi menyentuh pundak Sabrina. "Kamu enggak boleh mengatakan itu lagi, Nduk. Mungkin Tuan Darren b
"Pers3tan! Aku enggak peduli!" sela Darren sengit. "Aku heran sama Mama. Harusnya Mama lebih malu punya menantu yang suka s3lingkuh! Kalau aku dan Angelica bercerai, berarti ada yang salah dalam diri wanita itu! Aku juga punya beberapa bukti berupa rekaman video pers3lingkuhan Angel! Mama enggak usah khawatir nama baik keluarga Wirawan akan buruk kalau aku ceraikan dia!" Darren tak mau kalah. Menimpali terus ucapan mamanya. Mereka berdebat menjelang tengah malam. Kedua tangan ibu Renata mengepal. Napasnya turun naik menahan emosi yang ingin meluap. Jika tidak ingat Darren bukan anak tunggalnya, mungkin malam ini juga Darren akan diusir dari rumah. "Mama enggak setuju kalau kamu ceraikan si Angelica dan pertahankan Sabrina! Titik!" Sorot mata Ibu Renata begitu tajam. Tanpa menunggu tanggapan Darren, Ibu Renata pergi meninggalkan lelaki itu. Darren mengacak rambut kesal. Pandangannya lurus ke depan. Ia tak mungkin terus-menerus mengikuti kemauan mamanya. Darren harus mengambil sikap.
Sabrina tertunduk lesu mendengar pertanyaan suaminya. Ingin bercerita tapi takut Darren melabarak Angelica dan pada akhirnya dia sendiri yang mendapat masalah. Angelica bicaranya sangat kasar. Akan tetapi, Sabrina pun sadar diri bahwa kedatangan dirinya di rumah ini, tentu saja menyakiti hati istri pertama Darren. "Maaf, Tuan. Saya baik-baik saja. Mungkin karena seharian ini kecapekan. Maaf ya, Tuan," kilah Sabrina memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Memang benar, seharian ini Sabrina berkutat di dapur. Belum lagi sebelumnya diajak ibu Renata ke swalayan. Mungkin benar yang dikatakan Sabrina. Wanita itu tidak punya masalah dengan siapa-siapa, tidak diganggu Angelica. Darren menarik napas panjang. Lalu, berkata, "Istirahatlah!" titah Darren. Kemudian meneguk segelas susu cokelat hangat, keluar kamar. Sabrina tak berani bertanya hendak kemana suaminya itu. Dia sudah meringkuk di atas tempat tidur. Berusaha memejamkan kedua mata. Mengingat kembali aktivitas seharian ini. Senyum Sabr
Angelica menjambak rambut dengan keras. Wanita itu benar-benar frustasi menghadapi keluarga Wirawan terutama Darren. Meskipun di dalam hati Angelica sudah tidak ada lagi cinta pada Darren tetapi ia tidak terima jika suaminya menikah lagi. Angelica bangkir, keluar kamar, hendak ke ruang meja makan. Kepalanya tengok kanan dan kiri. Khawatir ada orang yang memergoki. Sebenarnya hati Angelica mengakui kalau masakan Sabrina sangat lezat. Jika tidak karena gengsi, sewaktu makan malam bersama tadi, dia pasti nambah berulang kali.Dirasa mulai aman, Angelica mengendap-endap masuk ke ruangan itu. Melihat lauk pauk yang tersaji di atas meja, ia menelan air liur. Angelica mengambil piring dengan gerakan cepat. Tidak hanya makan dengan lauk pauk. Angelica juga sempat mencicipi cake dan brownis hasil buatan Sabrina. "Nona Angelica."Sebuah suara dari arah belakang membuat Angelica berhenti mengunyah. Ragu, ia menoleh ke belakang. "Ngapain kamu malam-malam ke dapur? Mau makan lagi? Enak ya, jadi
"Terima kasih atas masakannnya. Aku senang melihat Renata makan dengan sangat lahap. Sudah lama sekali dia tidak makan sebanyak tadi. Terima kasih," ujar Pak Sugeng yang sangat mencintai istrinya. Sabrina tersenyum tipis, menganggukkan kepala. "Sama-sama, Tuan besar."Hanya kalimat itu yang terucap dari Sabrina. Ia masih merasa canggung dan takut menghadapi Ibu Renata dan pak Sugeng. Hanya Darren yang sudah membuatnya nyaman. Sabrina menarik napas lega ketika Pak Sugeng meniggalkan ruang meja makan. Darren terkekeh melihat sikap sang istri. "Tuan, ngetawain saya?" tanya Sabrina dengan polosnya. Kekehan kecil itu terhenti melihat bibir Sabrina yang cemberut. "Kalau iya kenapa? Kamu mau menc1umku? Nih! Mau pipi kanan atau pipi kiri? Oh atau mau ini!" Darren sengaja memonyongkan bibirnya ke depan sembari memejamkan kedua mata. Sabrina terkekeh melihat raut wajah suaminya. "Hehehe ... Tuan, apa-apaan sih?" timpal Sabrina memalingkan wajah Darren ke sisi lain. Darren meraih kedua tel
Darren dan Sabrina masuk ke ruang makan. Terlihat ibu Renata dan Pak Sugeng sedang menikmati cake buatan Sabrina. "Ada apa, Ma?" Pertanyaan Darren membuat kedua orang tuanya mendongak. Menatap anak dan menantu keduanya sambil mengunyah. "Enggak ada apa-apa. Mama cuma mau nyuruh kalian makan bersama. Ayok duduk!" Ibu Renata menimpali setelah mengelap sudut bibir dengan selembar tissue. "Termasuk istri aku, Ma?" tanya Darren merangkul pundak Sabrina."Iyalah. Mama kan nyuruh kalian berdua ke sini. Emang si Mbak Tuti enggak bilang, heuh?"'Bi-bilang, Nyonya," jawab Sabrina cepat. "Ya udah, sekarang duduk, makan!"Perintah ibu Renata membuat senyum Darren mengembang. Begitu pula Sabrina, hatinya sangat bahagia karena sekarang sudah diperbolehkan makan satu meja dengan keluarga Wirawan."Heiii ... kenapa ada perempuan kam-pung di ruang makan? Astaga, bisa banyak kuman!" Suara Angelica yang menggelegar membuat orang-orang yang ada di meja makan terkejut. Mereka sontak mendongak, kecua
Darren menghela napas berat. Ia berjongkok di samping kursi meja rias. Sabrina terkejut melihat tingkah suaminya. "Tuan, jangan jongkok di situ, kita duduk di sisi tempat tidur saja." Sabrina meraih pergelangan tangan suaminya. Ingin menuntun Darren agar berdiri, dan duduk di sisi tempat tidur. "Kalau di sini sama-sama duduk. Saya enggak enak kalau Tuan berjongkok," kata Sabrina membalas tatapan Darren. Lelaki itu kembali tersenyum, menyentuhnya lagi. "Iya, Sayang. Tadi gimana masaknya? Udah beres semua? Kamu pasti capek, Sini aku pijat tanganmu." Darren hendak meraih telapak tangan Sabrina, namun dihalau lembut oleh wanita yang telah menjadi istri kedua seorang pria bernama Darren Wirawan. "Jangan, Tuan. Saya enggak capek. Justru saya sangat senang bisa melakukan hobi saya lagi. Dan saya harap, Nyonya besar menyukai hasil masakan saya. Doain ya?" pinta Sabrina. Sikap Sabrina yang demikian membuat Darren semakin bahagia. Ia menarik tubuh Sabrina dalam dekapannya. "Iya, Sayang. Ak
Sabrina dan kedua asisten rumah tangga ibu Renata terkejut setengah mati mendengar penuturan wanita yang sangat disegani di rumah ini. "Ma, jangan ngomong sembarangan! Mana buktinya kalau aku seperti itu?" Bukannya merasa malu, Angelica justru menentang ibu Renata. "Eh, kamu bilang aku ngomong sembarangan? Dasar menantu enggak tau diri. Masih untung kamu enggak diceraikan Darren. Kalau diceraikan, kamu pasti jadi gembel! Pergi sana! Aku enggak mau terlalu jauh lagi membongkar aib kamu. Terserah padamu, mengaku atau tidak. Pergi sana! Muak aku lihat kamu!"Caci maki meluncur deras dari mulut Ibu Renata. Angelica menghentakkan kedua kaki. Pergi meninggalkan dapur. Berjalan cepat ke dalam kamar. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan ibu Renata. Kalau boleh jujur, Angelica sangat malu aibnya disebarluaskan di depan Sabrina yang tak lain istri kedua suaminya. Brugh!Pintu kamar dibanting keras Angelica. Wanita itu benar-benar marah. Rasanya ingin sekali Angelica membunuh wanita tua ber
"Enggak ada uang, Nyonya."Ibu Renata menggelengkan kepala mendengar jawaban Sabrina. "Oh iya ya. Jangankan buat kursus, buat kamu makan juga pasti susah."Sabrina tak menimpali ucapan merendahkan Ibu Renata. Tiba-tiba Darren datang sambil berdehem. Sedari tadi lelaki itu mendengar obrolan antara Ibu Renata dan Sabrina. "Darren, ngapain kamu di dapur? Ayok sana! Ayookk!"Tangan Darren ditarik paksa Ibu Renata agar menjauh dari dapur. "Ma, jangan tarik-tarik tanganku kayak gini. Aku bukan anak kecil, Ma." protes Darren berusaha melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya."Kamunya ngeyel!" Ibu Renata melotot, menatap anak semata wayangnya. "Sekarang kamu masuk kamar! Inget kata Mama, seharian ini jangan ganggu Sabrina! Paham, Darren?" Lagi, kedua mata Ibu Renata seperti mau melompat. Darren tersenyum menganggukkan kepala. Perintah Ibu Renata bagianya, awal mula yang baik untuk pendekatan dengan Sabrina. Darren masuk kamar, Ibu Renata kembali ke dapur. Wanita tua itu