Tubuh Sabrina bergetar dibentak dan diusir Ibu Renata. Sebulir air mata berhasil lolos dari kelopak matanya. Dalam hati, Sabrina berkata, 'Betapa hinanya aku. Andai saja ayah enggak punya utang pada mereka, aku tak sudi menyewakan rahim ini. Meski sekarang aku mulai merasa nyaman berada di dekat tuan Darren.'
"Sabrina, kamu tuli? Pergi dari sini! Kalau mau sarapan, ke belakang. Bersama pembantu kami," sambung Ibu Renata semakin tinggi intonasi suaranya. "Ma, Sabrina istriku. Dia berhak sarapan di sini. Oh ya, aku sampe lupa. Aku udah merobek surat perjanjian nikah kontrak kami. Aku dan Sabrina udah bukan nikah kontrak lagi, Ma, Pa." Darren begitu tenang menyampaikan perihal pernikahannya pada Ibu Renata dan Pak Sugeng. Tentu saja, kedua orang tua itu sangat terkejut, kedua mata mereka membesar. "Jangan g1la kamu, Darren! Kamu mau menjadikan wanita kampungan itu istri sah-mu?" Ibu Renata tak percaya dengan penjelasan Darren. Namun, lelaki yang sudah dua kali menikah itu tetap tenang. Ia justru menggenggam telapak tangan Sabrina. "Iya, Ma. Meskipun Sabrina wanita kampungan, tapi aku mencintainya. Aku jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu." Tanpa rasa malu, Darren mengungkapkan perasaannya. Sabrina menoleh, memandang wajah suaminya dengan lekat. Lelaki yang sebelumnya dia pikir, berperangai buruk ternyata mau membela dan menentang Ibu Renata. "Darren, Papa dan Mama menikahkanmu dengan Sabrina hanya sampai Sabrina melahirkan anakmu saja, bukan karena kami setuju kamu punya istri seperti dia, Darren. Kami hanya ingin memiliki cucu dari darah dagingmu. Hanya itu saja. Jadi, kalau Sabrina sudah melahirkan anakmu, kalian harus bercerai. Sabrina, kamu masih ingat isi perjanjian nikah kontrak 'kan?" Pak Sugeng lebih tenang bicaranya. Tidak meledak-ledak seperti Ibu Renata walau sangat terkejut mendengar pengakuan dari anak tunggalnya. Sabrina merunduk, tidak memberikan jawaban berupa kata-kata atau isyarat. "Dasar wanita kampungan! Jadi sekarang kamu udah ngehasut Darren supaya pernikahan kalian resmi? Iya?" Pagi itu, di rumah keluarga Wirawan benar-benar terjadi keributan. Darren terdiam, tidak ingin menjawab pertanyaan sang ibu. "Darren jawab!" sentak Ibu Renata. Bukannya menjawab, Darren justru menggenggam telapak tangan Sabrina, lalu berdiri. "Kalau Mama enggak mau melihat Sabrina satu meja saat sarapan atau makan, aku akan membawanya pergi dari rumah ini." Semakin terkejut kedua orang tua itu. Mulut Ibu Renata menganga lebar, begitu pula Pak Sugeng. Tidak menyangka kalau anak semata wayang mereka berani membantah dan melawan. "Darren, kamu mau kemana? Tunggu Darren!" Ibu Renata mengejar Darren yang menggenggam telapak tangan Sabrina. "Jangan pergi dari rumah ini. Kamu anak kami satu-satunya!" Ibu Renata mengiba, menatap anak dan menantunya. Sabrina bersembunyi di balik punggung Darren. Takut menghadapi Ibu Renata dan Pak Sugeng. "Darren, sudahlah. Jangan diperpanjang masalah ini. Kalau kamu mau Sabrina sarapan bersama kami, silakan. Ma, ayok kita sarapan!" Pak Sugeng berusaha menengahi. Tidak ingin Darren pergi dari rumah. Ibu Renata pun pasrah, tak ingin membahas masalah menantu barunya. Usai sarapan, Sabrina membantu asisten rumah tangga membersihkan piring. Sementara Darren, diajak ngobrol Pak Sugeng di ruang kerja. Kesempatan itu dimanfaatkan Ibu Renata menegur Sabrina. Dia mengira kalau Sabrina-lah yang menghasut anaknya agar membatalkan perjanjian nikah kontrak. "Sabrina, sini kamu! Saya ingin bicara! Sini!" Sabrina terkejut, tangannya dicekal kuat Ibu Renata. Ibu mertuanya itu mengajak Sabrina ke belakang rumah, tidak ingin pembicaraannya nanti didengar oleh Darren. "Ada apa, Nyonya? Ada apa?" tanya Sabrina meringis menahan rasa sakit pada lengannya. "Ada apa, ada apa? Kamu kan, yang menyuruh Darren membatalkan pernikahan kontrak itu? Kamu juga yang minta Darren mengajakmu sarapan satu meja bersama kami? Ngaku!" Tubuh Sabrina bergetar dibentak Ibu mertuanya. Kepala yang tertutup hijab itu merunduk, jari jemarinya saling mer3mas. "Eng-enggak, Nyonya. Sa-saya enggak minta sarapan satu meja dengan Nyonya," jawab Sabrina merunduk. Ia hanya menjawab pertanyaan kedua, tidak mau menjawab pertanyaan pertama Ibu Renata. "Masa? Saya gak percaya. Sabrina, pokoknya kalau kamu udah kasih anak ke Darren, kamu harus pergi dari rumah ini meskipun Darren tidak menceraikanmu, Ngerti?" Ibu Renata mendorong bahu Sabrina. Wanita itu memejamkan kedua mata, lalu menganggukkan kepala. "Kalau kamu sampe ingkar janji, saya enggak akan segan-segan memenjarakan ayahmu." Ancaman Ibu Renata membuat Sabrina mendongakkan kepala. Mulutnya menganga lebar dengan kening mengkerut. "Nyonya, jangan penjarakan ayah saya. Saya mohon." "Makanya kamu jangan bertingkah! Jangan banyak tingkah! Kamu juga enggak boleh terlalu dekat dengan Darren. Tugasmu hanya mengandung benih Darren dan melahirkan cucu kami." Kedua mata Sabrina terpejam, menganggukkan kepala. Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan permintaan Ibu Renata. Tanpa menunggu tanggapan Sabrina, Ibu Renata meninggalkannya berdiri di belakang rumah. Tubuh Sabrina luruh ke atas lantai, menangis tersedu-sedu. Memikirkan nasib yang tengah dijalani. "Sabrina, kamu ngapain di sini?" Sabrina mendongak, mendengar suara Darren yang berada di sampingnya. Penuh kasih sayang, Darren berusaha membantu Sabrina berdiri namun dengan lembut, Sabrina menepis kedua tangan Darren. "Maaf, Tuan. Saya mau membantu si Mbok masak dulu. Permisi." Baru saja hendak masuk ke dalam rumah, Darren menarik pinggang ramping istrinya. Lalu, menumpu dagu di atas pundak Sabrina. "Ngapain kamu masak? Tugasmu hanya melayaniku, Sabrina."Sabrina bingung menjawab. Ia tak ingin dianggap wanita tak tahu diri di rumah ini apalagi ibu Renata sudah sangat jelas tidak menyukainya. Tidak hanya ibu Renata, Pak Sugeng dan Angelica pun tidak menyukainya. Darren merasa kasihan melihat istrinya. Merangkul pundak Sabrina dan mengecup pelipisnya mesra. "Kamu jangan takut. Di sini ada aku. Aku tau, tadi Mama menegurmu. Jangan kamu ambil hati. Mama begitu, karena belum tau siapa kamu. Aku yakin, kalau mama udah kenal baik kamu, mama akan menyukaimu," sambung Darren berkata pelan. "Kalau begitu, izinkan aku berusaha mengambil hati Nyonya Renata. Aku punya keahlian memasak. Insya Allah Nyonya akan menyukainya."Darren menghela napas berat. Berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Ya sudah kalau itu maumu."Senyum Sabrina mengembang seraya mengucapkan terima kasih. Ia sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk mengambil hati ibu mertua. Darren duduk di kursi dapur, memerhatikan istrinya yang tengah memasak bersama beberapa as
"Mbok yakin? Kalau perempuan kampung itu yang masak makanan ini?" Angelica menyela. Tak percaya jika lauk pauk yang terhidang di atas meja dibantu oleh Sabrina, istri kedua suaminya. "Yakin, Nyonya."Mbok Darmi menjawab sembari merundukkan kepala. Ibu Renata menelan saliva, lalu menghela napas berat. "Sudah, kamu boleh pergi dari sini.""Baik, Nyonya besar. Permisi."Mbok Darmi pergi dari ruang makan. Keluarga itu melanjutkan suapannya. Tampak sekali Ibu Renata menikmati hasil masakan menantu barunya itu. "Angelica, harusnya kamu juga pandai memasak. Lihat si Sabrina, walaupun dia perempuan kampung, tapi bisa memasak masakan selezat ini."Ucapan yang baru saja meluncur dari mulut Ibu Renata membuat semua mata orang yang ada di ruangan itu beralih padanya. Angelica tersinggung, menghela napas berat agar emosinya tidak membuncah."Terus, aku harus bisa masak juga? Gitu maksud Mama?" "Iya dong!" Jawab Ibu Renata meletakkan alat makan di sisi kanan dan kiri piring. "Meskipun kamu wani
Air mata Sabrina tak dapat tertahankan. Ia menangis dibentak ibu mertua. Sorot mata Ibu Renata yang tajam membuat nyali Sabrina semakin ciut. Baru saja tadi siang hati Sabrina bahagia karena wanita tua itu menyukai masakannya. Sekarang Ibu Renata berbuat kasar, mencekal pergelangan tangan sangat kuat bahkan Darren tidak mampu melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya itu. "Ma, tolong kasihani Sabrina. Dia enggak punya salah apa-apa. Kenapa Mama kasar sekali padanya?"Baru kali ini, Darren berbicara dengan intonasi suara cukup tinggi. Pandangan Ibu Renata beralih pada anak semata wayangnya. Dahi mengkerut, heran akan sikap Darren. "Kamu berani membentak Mama, Darren?" Pertanyaan Ibu Renata sarat penekanan. Darren menelan saliva, menghela napas panjang agar emosinya dapat terkontrol. "Maaf, Ma. Bukan maksudku ngebentak Mama. Tapi, Mama mau bawa kemana Sabrina? Kalau Mama mau ngajak dia pergi, silakan. Cuma jangan kasar begini, Ma. Kasihan Sabrina, dia ketakutan." Se
Tiba di halaman rumah Wirawan, Darren rupanya duduk di kursi teras, menunggu kedatangan mobil yang membawa istri dan ibunya. Melihat kendaraan mewah itu memasuki halaman rumah, Darren berdiri, berjalan cepat menghampiri. Ingin memastikan kondisi Sabrina. "Ngapain kamu, Darren?" tanya Ibu Renata saat keluar dari dalam mobil."Sabrina baik-baik saja, Ma? Mama enggak apa-apain dia kan, Ma?" Terlihat sekali kecemasan dari nada bicara anak semata wayangnya. "Bicara apa kamu? Sabrina enggak kenapa-napa. Masuk sana! Jangan ganggu Sabrina seharian ini karena dia, Mama suruh membuat cake!"Kening Darren mengkerut mendengar ucapan mamanya. Sebelumnya Darren sudah berpikiran buruk tentang Ibu Renata. "Mem-membuat cake?"Ibu Renata enggan menjawab pertanyaan Darren. Wanita itu masuk ke dalam rumah. Pandangan Darren beralih pada Sabrina yang keluar dari dalam mobil sambil membawa beberapa belanjaan bersama supir. "Sabrina! Sabrina kamu baik-baik saja?" Darren memegang kedua pundak istrinya.
"Enggak ada uang, Nyonya."Ibu Renata menggelengkan kepala mendengar jawaban Sabrina. "Oh iya ya. Jangankan buat kursus, buat kamu makan juga pasti susah."Sabrina tak menimpali ucapan merendahkan Ibu Renata. Tiba-tiba Darren datang sambil berdehem. Sedari tadi lelaki itu mendengar obrolan antara Ibu Renata dan Sabrina. "Darren, ngapain kamu di dapur? Ayok sana! Ayookk!"Tangan Darren ditarik paksa Ibu Renata agar menjauh dari dapur. "Ma, jangan tarik-tarik tanganku kayak gini. Aku bukan anak kecil, Ma." protes Darren berusaha melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya."Kamunya ngeyel!" Ibu Renata melotot, menatap anak semata wayangnya. "Sekarang kamu masuk kamar! Inget kata Mama, seharian ini jangan ganggu Sabrina! Paham, Darren?" Lagi, kedua mata Ibu Renata seperti mau melompat. Darren tersenyum menganggukkan kepala. Perintah Ibu Renata bagianya, awal mula yang baik untuk pendekatan dengan Sabrina. Darren masuk kamar, Ibu Renata kembali ke dapur. Wanita tua itu
Sabrina dan kedua asisten rumah tangga ibu Renata terkejut setengah mati mendengar penuturan wanita yang sangat disegani di rumah ini. "Ma, jangan ngomong sembarangan! Mana buktinya kalau aku seperti itu?" Bukannya merasa malu, Angelica justru menentang ibu Renata. "Eh, kamu bilang aku ngomong sembarangan? Dasar menantu enggak tau diri. Masih untung kamu enggak diceraikan Darren. Kalau diceraikan, kamu pasti jadi gembel! Pergi sana! Aku enggak mau terlalu jauh lagi membongkar aib kamu. Terserah padamu, mengaku atau tidak. Pergi sana! Muak aku lihat kamu!"Caci maki meluncur deras dari mulut Ibu Renata. Angelica menghentakkan kedua kaki. Pergi meninggalkan dapur. Berjalan cepat ke dalam kamar. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan ibu Renata. Kalau boleh jujur, Angelica sangat malu aibnya disebarluaskan di depan Sabrina yang tak lain istri kedua suaminya. Brugh!Pintu kamar dibanting keras Angelica. Wanita itu benar-benar marah. Rasanya ingin sekali Angelica membunuh wanita tua ber
Darren menghela napas berat. Ia berjongkok di samping kursi meja rias. Sabrina terkejut melihat tingkah suaminya. "Tuan, jangan jongkok di situ, kita duduk di sisi tempat tidur saja." Sabrina meraih pergelangan tangan suaminya. Ingin menuntun Darren agar berdiri, dan duduk di sisi tempat tidur. "Kalau di sini sama-sama duduk. Saya enggak enak kalau Tuan berjongkok," kata Sabrina membalas tatapan Darren. Lelaki itu kembali tersenyum, menyentuhnya lagi. "Iya, Sayang. Tadi gimana masaknya? Udah beres semua? Kamu pasti capek, Sini aku pijat tanganmu." Darren hendak meraih telapak tangan Sabrina, namun dihalau lembut oleh wanita yang telah menjadi istri kedua seorang pria bernama Darren Wirawan. "Jangan, Tuan. Saya enggak capek. Justru saya sangat senang bisa melakukan hobi saya lagi. Dan saya harap, Nyonya besar menyukai hasil masakan saya. Doain ya?" pinta Sabrina. Sikap Sabrina yang demikian membuat Darren semakin bahagia. Ia menarik tubuh Sabrina dalam dekapannya. "Iya, Sayang. Ak
Darren dan Sabrina masuk ke ruang makan. Terlihat ibu Renata dan Pak Sugeng sedang menikmati cake buatan Sabrina. "Ada apa, Ma?" Pertanyaan Darren membuat kedua orang tuanya mendongak. Menatap anak dan menantu keduanya sambil mengunyah. "Enggak ada apa-apa. Mama cuma mau nyuruh kalian makan bersama. Ayok duduk!" Ibu Renata menimpali setelah mengelap sudut bibir dengan selembar tissue. "Termasuk istri aku, Ma?" tanya Darren merangkul pundak Sabrina."Iyalah. Mama kan nyuruh kalian berdua ke sini. Emang si Mbak Tuti enggak bilang, heuh?"'Bi-bilang, Nyonya," jawab Sabrina cepat. "Ya udah, sekarang duduk, makan!"Perintah ibu Renata membuat senyum Darren mengembang. Begitu pula Sabrina, hatinya sangat bahagia karena sekarang sudah diperbolehkan makan satu meja dengan keluarga Wirawan."Heiii ... kenapa ada perempuan kam-pung di ruang makan? Astaga, bisa banyak kuman!" Suara Angelica yang menggelegar membuat orang-orang yang ada di meja makan terkejut. Mereka sontak mendongak, kecua
"Kalian mau kemana?" Pak Sugeng bertanya ketika Darren dan ibu Regina berpapasan dengannya di pintu depan. "Aku mau ---""Anterin aku pulang ke panti. Aku mau ambil beberapa pakaian ganti. Kalau boleh, aku mau nginap di sini sampai acara tahlilan mbakyu selesai," sela ibu Regina. Tidak ingin kalau pak Sugeng mengetahui kalau dirinya dan Darren menemui Angelica. "Boleh saja. Silakan."Setelahnya, Pak Sugeng masuk ke dalam rumah. Darren dan ibu Regina melanjutkan langkah, menuju tempat di mana Angelica ditahan. "Tante, kenapa enggak tinggal bersama kami saja?" tanya Darren ketika kendaraan yang mereka tumpangi melaju. "Enggak, Darren. Tante udah nyaman tinggal di panti."Jawaban ibu Regina membuat Darren terdiam seribu basa. Mereka baru bertemu beberapa jam, tapi Darren merasa kalau sudah sangat lama bertemu dengan ibu Regina. Mungkin karena diantara mereka terdapat ikatan darah. "Kenapa selama ini Tante enggak pernah muncul di acara keluarga kami?" tanya Darren heran. Mengingat k
Usai pemakaman, Ibu Regina bertanya kembali pada Darren. Di rumah itu hanya Darren yang bisa diajak bicara. Ibu Regina bertanya kenapa ibu Renata sampai ditusuk orang perutnya? Siapa pelakunya?Awalnya Darren tak ingin menjawab namun karena ibu Regina memaksa, akhirnya Darren mengatakannya. Kedua mata ibu Regina membeliak mendengar nama Angelica. "Jadi, yang membuat Mbakyuku meniggal Angelica juga?" ibu Regina teramat terkejut. "Iya, Tante. Tapi keadaan mama sempat membaik."Ibu Regina menggelengkan kepala berulang kali. Rasa sakit hati pada Angelica semakin besar. Anak dan kakaknya telah dibunuh wanita berhati iblis itu. Pandangan ibu Regina beralih pada ibu Anita yang menangis di depan pusara ibu Renata. Dengan kasar, ibu Regina mendorong tubuh ibu Anita hingga wanita itu terjungkang. "Munafik! Gara-gara anakmu, Mbak Renata meninggal! Anakmu, anak iblis! Dulu anakku yang dibunuhnya, sekarang kakakku!" Teriakan ibu Regina membuat ibu Anita dan orang lain terkejut. Mereka kasak-ku
Keluarga Wirawan berduka. Wanita yang selama ini mengharapkan cucu kini telah tiada ketika keinginannya itu dikabulkan Tuhan. Pak Sugeng duduk di samping jenazah ibu Renata sejak beberapa jam lalu. Belahan jiwanya telah hilang. Dibiarkan air mata membasahi wajah. Tak ada lagi sikapnya yang tegas, yang berwibawa dan yang berkharismatik. Kini, ia telah kehilangan semangat. "Pa, Papa makan dulu," ucap Darren mengingatkan sang papa yang seharian ini tidak ada makanan yang masuk ke dalam perut. "Nanti saja." Hanya itu jawaban yang terucap dari mulut lelaki yang ditinggal kekasih hatinya. Kekasih yang telah menemani hidupnya. Sabrina yang berada di dalam kamar, tengah memberi ASI pada kedua buah hatinya meneteskan air mata. Masih teringat jelas, bagaimana perhatiannya ibu Renata, bagaimana keinginan ibu Renata memiliki cucu. "Ya Allah, mohon kesabaran serta keikhlasan dalam hatiku ya Allah. Hamba tahu, semua ini sudah menjadi takdir-Mu."Rumah duka keluarga Wirawan semakin berjalan wak
Pak Sugeng bergegas keluar ruangan, hendak membeli brownies keinginan ibu Renata. Lelaki itu membeli brownies di toko yang letaknya tak jauh dari rumah sakit. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan ibu Renata. Hanya memakan waktu lima belas menit, pak Sugeng sudah kembali ke ruangan ibu Renata. Di dalam ruangan, terlihat ibu Renata sedang berbicara sendiri di depan handphone. "Lho, Mas. Cepat sekali belinya?" tanya ibu Renata heran. Ia lantas mematikan rekaman suara di handphone milik suaminya. Jangan sampai pak Sugeng tahu kalau ibu Renata meninggalkan pesan suara pada ponselnya. "Aku sengaja beli di toko kue terdekat. Ini aku beli dua. Ada yang pake toping keju dan ada yang enggak pake toping. Kamu mau makan yang mana dulu?" tanya pak Sugeng sembari menunjukan dua kotak brownies. Sengaja membeli dua supaya Ibu Renata memilih. "Aku mau toping keju. Mas, suapin aku ...," rengekan ibu Renata membuat hati pak Sugeng mencelos. Permintaan itu seperti mengisyaratkan sesuatu. "Tentu. A
"Aku harus bilang gitu, Anita. Umur orang enggak ada yang tau. Paling enggak kalau aku udah bilang, kamu bisa wujudin," jelas ibu Renata menatap sendu wanita yang napasnya turun naik karena kesal akan ucapannya. "G1la kamu, Renata! Bisa jadi umurku lebih dulu yang tamat daripada kamu." Sangat sewot ibu Anita menanggapi ucapan ibu kandung Darren. Ibu Renata meraih telapak tangan ibu Anita. Ia seolah memohon pada mantan besannya itu."Anita, aku mohon padamu. Kabulkan---""Stop!" sela Anita menghempaskan genggaman tangan ibu Renata. "Aku enggak mau dengar soal itu lagi. Renata, kamu pasti sembuh. Sekarang keinginan terbesarmu sudah Tuhan penuhi. Langsung dikasih dua, Renata. Kamu harus sembuh. Oke?" ucap ibu Anita. Jantungnya berdetak lebih cepat. Dia sangat takut kalau sahabat dari semasa SMA-nya itu benar-benar pergi meninggalkannya. Dia sangat takut, jika apa yang dikatakan ibu Renata akan terjadi. Ibu Anita menggelengkan kepala, menghalau pikiran dan firasat buruk. Sesaat, terjad
"Mama Anita?" pekik Darren melihat mantan ibu mertuanya yang berdiri di hadapan. "Darren, apa Mama boleh menjenguk Mamamu?" suara ibu Anita bergetar. Ia takut sekali jika keluarga Wirawan membencinya karena perbuatan jahat anak semata wayangnya, Angelica."Boleh, Ma. Silakan masuk."Darren memberi ruang pada ibu Anita agar masuk ke dalam ruangan. Semuanya terkejut akan kedatangan ibu Anita. Wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anita?" gumam ibu Renata melihat sahabatnya datang menjenguk. Ibu Anita merasa sangat bersalah akan perbuatan jahat yang dilakukan Angelica pada ibu Renata. "Renata, Renata ...." Ibu Anita menghambur dalam pelukan wanita yang telah melahirkan Darren. Pak Sugeng menarik mundur kursi roda Sabrina agar tidak menghalangi Ibu Anita yang memeluk sahabatnya. "Aku minta maaf, Renata ... aku minta maaaff ...." Permohonan maaf diucapkan ibu Anita disela pelukan pada sahabatnya. Ibu Renata mengusap lembut punggung ibu Anita. "Kamu enggak perlu minta maaf, Anita. Ka
Pertanyaan ibu Anita sarat penekanan. Tatapannya sangat tajam. Angelica memicingkan kedua mata, merasa kesal karena mamanya lagi dan lagi tidak membelanya justru membela orang lain. "Aku enggak bermaksud mencelakai dia. Tujuanku Sabrina dan calon anaknya!" tandas Angelica membalas tatapan ibu Anita tak kalah tajam. "Kenapa? Memangnya Sabrina melakukan kesalahan apa sama kamu, Lica?" Ibu Anita mencondongkan tubuh lebih ke depan. "Kesalahan apa?" Angelica mengulang pertanyaan mamanya. "Mama lupa, dia udah ngerebut kebahagiaanku! Gara-gara kedatangan dia di rumah itu, aku diusir! aku diceraikan. Hidupku hancur, kacau gara-gara dia! Dia enggak boleh lebih lama bahagia. Aku ingin ... aku ingin Sabrina hidupnya hancur dan menderita sepertiku!" Mendengar ucapan Angelica, ibu Anita menggelengkan kepala berulang kali. "Bodoh!" maki ibu Anita dipenuhi amarah. "Kamu sangat bodoh, Lica! Lihatlah ... akibat kebodohanmu, sekarang kamu di penjara! kamu akan mati di dalam sel sana, Lica!" sambun
Ibu Anita yang memutuskan pindah tempat tinggal terkejut mendengar kabar anak semata wayangnya menusuk perut ibu Renata. Kabar itu disampaikan oleh Jessi yang mengetahui keberadaan wanita yang telah melahirkan Angelica. "Anak kurang ajar! Aku pikir dia sudah m4ti!" geram ibu Anita mengepalkan kedua telapak tangan di hadapan wanita yang wajahnya mirip Sabrina. Tiga bulan lalu, ibu Anita tanpa sengaja bertemu dengan Jessi di kantor keluarga Wirawan. Jessi kala itu menemani Mr. Whang meeting di kantor Darren. Singkat cerita hubungan mereka semakin dekat. Jessi yang telah kehilangan sosok ibu, seperti menemukan sosok ibu dalam diri ibu Anita. Begitu pula ibu Anita. Sampai akhirnya, ibu Anita memutuskan pindah rumah karena tak nyaman selalu didatangi ibu Regina. Sekarang ibu Anita tinggal di apartemen yang dulu ditempati Darren dan Sabrina. "Awalnya Angelica ingin menusuk Sabrina. Tapi, dihalangi mama Renata.""Ya Tuhan ... Kenapa anak itu selalu mencari masalah?" Ibu Anita menutup waja
Pak Sugeng bergegas menuju ruangan Sabrina yang letaknya cukup jauh. Sedangkan Darren berjalan, menghampiri jendela ruangan yang di dalamnya ada ibu Renata. Darren tak menyangka kalau ibu Renata yang menyelamatkan nyawa Sabrina dan calon anaknya. Ternyata ibu Renata sikapnya sudah benar-benar berubah. Sangat menyayangi dan perhatian pada Sabrina. Dari kejauhan, Darren melihat pergerakan jari ibu Renata. Lalu, perlahan-lahan kedua mata wanita tua itu terbuka. Mulutnya menganga, seolah sedang bicara. Menit berikutnya, perawat yang menjaga ibu Renata di dalam ruangan membuka pintu. "Sus, Mama saya sudah sadarkan diri?" tanya Darren tampak sumringah."Betul, Mas. Apa Mas keluarga pasien?""Saya anaknya, Sus.""Oh silakan masuk, Mas."Suster membuka pintu ruangan lebar, mempersilakan Darren masuk. Lalu, suster itu berjalan cepat, hendak memanggil dokter yang menangani kesehatan ibu Renata. "Mama!" pekik Darren berdiri di samping wanita yang telah melahirkannya. Ibu Renata mengulas sen