Sabrina bingung menjawab. Ia tak ingin dianggap wanita tak tahu diri di rumah ini apalagi ibu Renata sudah sangat jelas tidak menyukainya. Tidak hanya ibu Renata, Pak Sugeng dan Angelica pun tidak menyukainya.
Darren merasa kasihan melihat istrinya. Merangkul pundak Sabrina dan mengecup pelipisnya mesra. "Kamu jangan takut. Di sini ada aku. Aku tau, tadi Mama menegurmu. Jangan kamu ambil hati. Mama begitu, karena belum tau siapa kamu. Aku yakin, kalau mama udah kenal baik kamu, mama akan menyukaimu," sambung Darren berkata pelan. "Kalau begitu, izinkan aku berusaha mengambil hati Nyonya Renata. Aku punya keahlian memasak. Insya Allah Nyonya akan menyukainya." Darren menghela napas berat. Berpikir sejenak lalu menganggukkan kepala. "Ya sudah kalau itu maumu." Senyum Sabrina mengembang seraya mengucapkan terima kasih. Ia sangat bahagia karena diberi kesempatan untuk mengambil hati ibu mertua. Darren duduk di kursi dapur, memerhatikan istrinya yang tengah memasak bersama beberapa asisten rumah tangga. "Tuan, lebih baik jangan di sini. Nanti badan Tuan bau dapur," celetuk Sabrina mendekati suaminya yang tersenyum bahagia melihat kecekatan Sabrina yang tengah menggoreng perkedel kentang. "Enggak apa-apa bau dapur. Yang penting, aku bisa menikmati kecantikanmu, Sabrina." Wajah Sabrina seketika memerah karena malu mendapat pujian dari Darren. Kedua asisten rumah tangga lainnya saling melempar senyum. "Tuan jangan berlebihan. Saya malu ...." cicit Sabrina berdiri di samping Darren. "Aku suka sikapmu yang malu-malu begini." Tanpa rasa malu pada kedua asisten rumah tangganya, Darren mendaratkan k3cupan di pipi Sabrina. Kedua mata Sabrina membeliak mendapati aksi mendadak sang suami. Pandangannya langsung mengarah pada Mbok Darmi dan Mbak Tuti. "Tuan ...." panggil Sabrina gemas. Ingin sekali ia mencubit Darren tetapi takut. Takut sikapnya tidak menyenangkan hati Darren. "Kenapa, Sayang? Mau balas c1umanku? Nih!" Darren semakin sengaja menggoda Sabrina. Ia menyodorkan pipi sebelah kiri tepat di depan b1b1r Sabrina. Sabrina menggelengkan kepala, meninggalkan suaminya yang terkekeh melihat Sabrina salah tingkah. "Darren!" panggilan seorang wanita tua membuat senyum Darren memudar. Sabrina jantungnya berdetak lebih cepat. Takut sekali kalau dirinya di marahi lagi. "Ngapain kamu duduk di dapur?" sentak Ibu Renata berdiri di samping Darren. Lelaki itu berdiri, menghela napas berat. "Pengen duduk aja, Ma. Aku permisi." Malas berdebat, Darren pergi meninggalkan dapur padahal ia ingin sekali menemani Sabrina memasak. Entahlah, Darren merasa nyaman dan bahagia jika berdekatan dengan Sabrina. Darren tersenyum menggelengkan kepala. Mungkin saat ini Darren tengah jatuh cinta pada Sabrina. "Kenapa kamu senyam-senyum?" Langkah kaki Darren terhenti ketika berpapasan dengan wanita yang masih mengenakan piyama. Rambut masih acak-acakan. Dari mulutnya menguar bau alkohol. "Bukan urusanmu!" Darren melengos, pergi meninggalkan Angelica yang kesal. Hatinya sangat kecewa dengan keputusan keluarga Wirawan. Mereka telah merestui Darren menikah lagi. Walau selama menikah, tidak pernah satu kali pun Darren menyentuhnya tetapi Angelica sangat tidak suka jika ada wanita lain dalam kehidupan rumah tangganya. Angelica melanjutkan langkah ke ruang makan. Ia menarik kursi, hendak menyantap sarapan yang terlambat. "Astaga, Angelica!" Baru saja Angelica menyuap roti tawar ke dalam mulut, tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. "Kamu itu ... astaga, apa kamu enggak bisa mandi dulu baru keluar kamar?" sentak Ibu Renata melihat kelakuan menantunya. Angelica tampak tak peduli, tetap menikmati sarapan paginya. Ibu Renata menghela napas berat, mengambil kasar roti tawar dari tangan Angelica. "Mandi dulu sana! Mama bilang mandi dulu!" Kedua mata Angelica terpejam, napasnya memburu menahan emosi. Kalau saja tidak ingin kedua ornag tuanya, tentu Angelica sudah kabur dari rumah bagai neraka baginya. Tanpa mengucap sepatah kata, Angelica berdiri, menendang kursi meja makan, lalu berlalu masuk ke dalam kamar. "Menantu s1alan! Enggak punya sopan santun!" maki Ibu Renata penuh emosi. Wanita tua itu memejamkan kedua mata, napasnya naik turun. Sebelah tangan memegang dada. Jika boleh jujur, sebenarnya Ibu Renata sudah sangat muak dengan tingkah polah Angelica yang sering kali kurang ajar padanya. "Ada apa, Ma?" Pak Sugeng yang sebelumnya ada di ruang kerja, setengah berlari menghampiri istrinya. Ibu Renata duduk di kursi meja makan sembari memegang dada. "Ma, Papa kan udah bilang, jangan sering marah-marah. Nanti dadamu sesak lagi." Pak Sugeng duduk di kursi samping Ibu Renata, mengusap-usap bahu istrinya. "Pa, si Angelica semakin kurang ajar. Dia sarapan di sini tapi belum mandi, Pa. Jorok banget. Ih, jijik. Benar-benar makin hancur itu anak." Ibu Renata masih saja marah. Sangat tidak suka akan sikap dan kebiasaan buruk Angelica. Wanita itu memang tidak tahu diri. Selalu saja membuat Ibu Renata kesal. Pak Sugeng menarik napas panjang. Bukan hanya Ibu Renata yang kerap kali dibuat kesal Angelica, Pak Sugeng pun sama. Kadang kala Pak Sugeng merasa risih jika melihat Angelica mengenakan pakaian yang sangat minim. "Sebelumnya Papa udah bilang, biarkan saja Darren menceraikan Angelica. Papa juga enggak suka Angelica dari awal. Kalau bukan Mama yang minta Papa setuju dengan pernikahan Darren dan Angelica, Papa enggak mau punya menantu sepertinya." "Sudahlah, Pa. Enggak usah ngomong yang dulu-dulu. Pokoknya Mama enggak mau Darren dan Angelica bercerai. Kalau mereka bercerai, nanti keluarga kita malu, Pa. Selama ini, keturunanku enggak ada yang rumah tangganya bercerai." Ibu Renata tetap bersikeras ingin rumah tangga Darren dan Angelica tetap utuh walaupun diantara mereka tidak pernah ada rasa cinta. Pak Sugeng tak mampu lagi menyanggah ucapan istrinya. Dia hanya menganggukkan kepala. *** Makan siang, Ibu Renata, Pak Sugeng, Darren dan Angelica sudah duduk di kursi meja makan. "Mama enggak mau, besok-besok kamu keluar kamar belum mandi Angelica. Keluar kamar, harus sudah mandi, harus sudah rapi, harus sudah wangi, harus sudah cantik. Paham kamu, Lica?" Ibu Renata memperingatkan menantunya yang tampak ogah-ogahan mendengar peringatan ibu mertua. "Paham, Ma." Mata Ibu Renata mendelik mendengar jawaban singkat Angelica. Kemudian, semua orang yang ada di situ, menyantap makan siang yang telah disajikan Sabrina dan kedua asisten rumah tangganya. "Kenapa masakan ini beda? Rasanya kok ...." Wajah Darren menegang, memandang Sabrina yang mengintip di dinding pembatas antara ruang makan dan ruang dapur. "Iya, ya. Kok masakannya beda, ya? Peh, enggak enak. Ini pasti hasil masakan wanita kampung itu." Angelica ikut-ikutan bicara. "Enggak ... bukan enggak enak," ralat Ibu Renata, sambil mencicipi semua masakan yang tersaji di atas meja. Kemudian, lidahnya mencecap sambil matanya terpejam. Sabrina yang mendengar perbincangan keluarga Wirawan bersedih. Mbok Darmi dan Mbak Tuti yang berdiri di samping kanan kiri Sabrina memegang bahu wanita itu. Berusaha menenangkan. "Enggak enak ya, Ma?" Pak Sugeng dan Darren menunggu penilaian Ibu Renata dari hasil masakan Sabrina dan kedua asiten rumah tangganya. "Masakan ini beda banget rasanya. Rasanya tuh ... enak. Lezat. Semua bumbu dan rasanya pas. Ini ... ini siapa yang masak? Mbok Darmi ... Mboook ...." Sabrina tak menyangka kalau ibu Renata ternyata menyukai hasil masakannya. Darren tersenyum bahagia mendengar pujian yang meluncur dari mulut Ibu Renata. "Iya, Nyonya?" Mbok Darmi membungkukan setengah badan. Berdiri di samping Ibu Renata. "Mbok, ini siapa yang masak? Apa di rumah kita ada pembantu lain?" selidik Ibu Renata menatap wajah tua yang berdiri di sampingnya. "Enggak ada, Nyonya. Masakan ini ... eu ... masakan ini dibantuin sama Nona Sabrina, Nyonya." "Hah?","Mbok yakin? Kalau perempuan kampung itu yang masak makanan ini?" Angelica menyela. Tak percaya jika lauk pauk yang terhidang di atas meja dibantu oleh Sabrina, istri kedua suaminya. "Yakin, Nyonya."Mbok Darmi menjawab sembari merundukkan kepala. Ibu Renata menelan saliva, lalu menghela napas berat. "Sudah, kamu boleh pergi dari sini.""Baik, Nyonya besar. Permisi."Mbok Darmi pergi dari ruang makan. Keluarga itu melanjutkan suapannya. Tampak sekali Ibu Renata menikmati hasil masakan menantu barunya itu. "Angelica, harusnya kamu juga pandai memasak. Lihat si Sabrina, walaupun dia perempuan kampung, tapi bisa memasak masakan selezat ini."Ucapan yang baru saja meluncur dari mulut Ibu Renata membuat semua mata orang yang ada di ruangan itu beralih padanya. Angelica tersinggung, menghela napas berat agar emosinya tidak membuncah."Terus, aku harus bisa masak juga? Gitu maksud Mama?" "Iya dong!" Jawab Ibu Renata meletakkan alat makan di sisi kanan dan kiri piring. "Meskipun kamu wani
Air mata Sabrina tak dapat tertahankan. Ia menangis dibentak ibu mertua. Sorot mata Ibu Renata yang tajam membuat nyali Sabrina semakin ciut. Baru saja tadi siang hati Sabrina bahagia karena wanita tua itu menyukai masakannya. Sekarang Ibu Renata berbuat kasar, mencekal pergelangan tangan sangat kuat bahkan Darren tidak mampu melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya itu. "Ma, tolong kasihani Sabrina. Dia enggak punya salah apa-apa. Kenapa Mama kasar sekali padanya?"Baru kali ini, Darren berbicara dengan intonasi suara cukup tinggi. Pandangan Ibu Renata beralih pada anak semata wayangnya. Dahi mengkerut, heran akan sikap Darren. "Kamu berani membentak Mama, Darren?" Pertanyaan Ibu Renata sarat penekanan. Darren menelan saliva, menghela napas panjang agar emosinya dapat terkontrol. "Maaf, Ma. Bukan maksudku ngebentak Mama. Tapi, Mama mau bawa kemana Sabrina? Kalau Mama mau ngajak dia pergi, silakan. Cuma jangan kasar begini, Ma. Kasihan Sabrina, dia ketakutan." Se
Tiba di halaman rumah Wirawan, Darren rupanya duduk di kursi teras, menunggu kedatangan mobil yang membawa istri dan ibunya. Melihat kendaraan mewah itu memasuki halaman rumah, Darren berdiri, berjalan cepat menghampiri. Ingin memastikan kondisi Sabrina. "Ngapain kamu, Darren?" tanya Ibu Renata saat keluar dari dalam mobil."Sabrina baik-baik saja, Ma? Mama enggak apa-apain dia kan, Ma?" Terlihat sekali kecemasan dari nada bicara anak semata wayangnya. "Bicara apa kamu? Sabrina enggak kenapa-napa. Masuk sana! Jangan ganggu Sabrina seharian ini karena dia, Mama suruh membuat cake!"Kening Darren mengkerut mendengar ucapan mamanya. Sebelumnya Darren sudah berpikiran buruk tentang Ibu Renata. "Mem-membuat cake?"Ibu Renata enggan menjawab pertanyaan Darren. Wanita itu masuk ke dalam rumah. Pandangan Darren beralih pada Sabrina yang keluar dari dalam mobil sambil membawa beberapa belanjaan bersama supir. "Sabrina! Sabrina kamu baik-baik saja?" Darren memegang kedua pundak istrinya.
"Enggak ada uang, Nyonya."Ibu Renata menggelengkan kepala mendengar jawaban Sabrina. "Oh iya ya. Jangankan buat kursus, buat kamu makan juga pasti susah."Sabrina tak menimpali ucapan merendahkan Ibu Renata. Tiba-tiba Darren datang sambil berdehem. Sedari tadi lelaki itu mendengar obrolan antara Ibu Renata dan Sabrina. "Darren, ngapain kamu di dapur? Ayok sana! Ayookk!"Tangan Darren ditarik paksa Ibu Renata agar menjauh dari dapur. "Ma, jangan tarik-tarik tanganku kayak gini. Aku bukan anak kecil, Ma." protes Darren berusaha melepaskan cekalan tangan wanita yang telah melahirkannya."Kamunya ngeyel!" Ibu Renata melotot, menatap anak semata wayangnya. "Sekarang kamu masuk kamar! Inget kata Mama, seharian ini jangan ganggu Sabrina! Paham, Darren?" Lagi, kedua mata Ibu Renata seperti mau melompat. Darren tersenyum menganggukkan kepala. Perintah Ibu Renata bagianya, awal mula yang baik untuk pendekatan dengan Sabrina. Darren masuk kamar, Ibu Renata kembali ke dapur. Wanita tua itu
Sabrina dan kedua asisten rumah tangga ibu Renata terkejut setengah mati mendengar penuturan wanita yang sangat disegani di rumah ini. "Ma, jangan ngomong sembarangan! Mana buktinya kalau aku seperti itu?" Bukannya merasa malu, Angelica justru menentang ibu Renata. "Eh, kamu bilang aku ngomong sembarangan? Dasar menantu enggak tau diri. Masih untung kamu enggak diceraikan Darren. Kalau diceraikan, kamu pasti jadi gembel! Pergi sana! Aku enggak mau terlalu jauh lagi membongkar aib kamu. Terserah padamu, mengaku atau tidak. Pergi sana! Muak aku lihat kamu!"Caci maki meluncur deras dari mulut Ibu Renata. Angelica menghentakkan kedua kaki. Pergi meninggalkan dapur. Berjalan cepat ke dalam kamar. Hatinya benar-benar sakit diperlakukan ibu Renata. Kalau boleh jujur, Angelica sangat malu aibnya disebarluaskan di depan Sabrina yang tak lain istri kedua suaminya. Brugh!Pintu kamar dibanting keras Angelica. Wanita itu benar-benar marah. Rasanya ingin sekali Angelica membunuh wanita tua ber
Darren menghela napas berat. Ia berjongkok di samping kursi meja rias. Sabrina terkejut melihat tingkah suaminya. "Tuan, jangan jongkok di situ, kita duduk di sisi tempat tidur saja." Sabrina meraih pergelangan tangan suaminya. Ingin menuntun Darren agar berdiri, dan duduk di sisi tempat tidur. "Kalau di sini sama-sama duduk. Saya enggak enak kalau Tuan berjongkok," kata Sabrina membalas tatapan Darren. Lelaki itu kembali tersenyum, menyentuhnya lagi. "Iya, Sayang. Tadi gimana masaknya? Udah beres semua? Kamu pasti capek, Sini aku pijat tanganmu." Darren hendak meraih telapak tangan Sabrina, namun dihalau lembut oleh wanita yang telah menjadi istri kedua seorang pria bernama Darren Wirawan. "Jangan, Tuan. Saya enggak capek. Justru saya sangat senang bisa melakukan hobi saya lagi. Dan saya harap, Nyonya besar menyukai hasil masakan saya. Doain ya?" pinta Sabrina. Sikap Sabrina yang demikian membuat Darren semakin bahagia. Ia menarik tubuh Sabrina dalam dekapannya. "Iya, Sayang. Ak
Darren dan Sabrina masuk ke ruang makan. Terlihat ibu Renata dan Pak Sugeng sedang menikmati cake buatan Sabrina. "Ada apa, Ma?" Pertanyaan Darren membuat kedua orang tuanya mendongak. Menatap anak dan menantu keduanya sambil mengunyah. "Enggak ada apa-apa. Mama cuma mau nyuruh kalian makan bersama. Ayok duduk!" Ibu Renata menimpali setelah mengelap sudut bibir dengan selembar tissue. "Termasuk istri aku, Ma?" tanya Darren merangkul pundak Sabrina."Iyalah. Mama kan nyuruh kalian berdua ke sini. Emang si Mbak Tuti enggak bilang, heuh?"'Bi-bilang, Nyonya," jawab Sabrina cepat. "Ya udah, sekarang duduk, makan!"Perintah ibu Renata membuat senyum Darren mengembang. Begitu pula Sabrina, hatinya sangat bahagia karena sekarang sudah diperbolehkan makan satu meja dengan keluarga Wirawan."Heiii ... kenapa ada perempuan kam-pung di ruang makan? Astaga, bisa banyak kuman!" Suara Angelica yang menggelegar membuat orang-orang yang ada di meja makan terkejut. Mereka sontak mendongak, kecua
"Terima kasih atas masakannnya. Aku senang melihat Renata makan dengan sangat lahap. Sudah lama sekali dia tidak makan sebanyak tadi. Terima kasih," ujar Pak Sugeng yang sangat mencintai istrinya. Sabrina tersenyum tipis, menganggukkan kepala. "Sama-sama, Tuan besar."Hanya kalimat itu yang terucap dari Sabrina. Ia masih merasa canggung dan takut menghadapi Ibu Renata dan pak Sugeng. Hanya Darren yang sudah membuatnya nyaman. Sabrina menarik napas lega ketika Pak Sugeng meniggalkan ruang meja makan. Darren terkekeh melihat sikap sang istri. "Tuan, ngetawain saya?" tanya Sabrina dengan polosnya. Kekehan kecil itu terhenti melihat bibir Sabrina yang cemberut. "Kalau iya kenapa? Kamu mau menc1umku? Nih! Mau pipi kanan atau pipi kiri? Oh atau mau ini!" Darren sengaja memonyongkan bibirnya ke depan sembari memejamkan kedua mata. Sabrina terkekeh melihat raut wajah suaminya. "Hehehe ... Tuan, apa-apaan sih?" timpal Sabrina memalingkan wajah Darren ke sisi lain. Darren meraih kedua tel
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama
Bibir Angelica tersenyum lebar. Lelaki yang pernah dirindukannya itu kini telah menghubunginya kembali. Tanpa berpikir panjang, Angelica menghubungi nomor tersebut. "Andre? Benar kamu Andre?" tanya Angelica saat sambungan telepon berlangsung. "Hai, Sayang. Benar, ini aku Andre. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja?" Senyum lebar yang sebelumnya menghiasi wajah Angelica, seketika mengerucut. Ia menarik napas panjang, duduk di sisi ranjang sembari menahan rasa sakit.Angelica tak langsung menjawab, ia tak mau menceritakan tentang yang dialaminya saat ini. Andre pasti curiga kalau ia bercerita. "Hm ... tentu saja kabarku enggak baik. Aku enggak baik karena kehilanganmu, Dre. Kamu kemana aja sih, Sayang? Kenapa ninggalin aku? Kamu tau, aku sekarang udah bercerai dengan Darren. Kita bisa bersama, Sayang."Andre dan Regina yang saat ini sedang di salah satu rumah sewa daerah Jakarta tersenyum mengejek. Lelaki itu sengaja meloudspeaker obrolannya agar ibu Regina mendengar. "Iya, S
"Darren!" Panggilan keras ibu Renata membuat Darren dan Sabrina terkejut setengah mati. Mereka langsung duduk berjauhan, menoleh ke belakang. Ibu Renata berdiri melipat kedua tangan di depan d4da, menatap nyalang mereka berdua. Sabrina berdiri, tubuhnya gemetar. Sementara Darren, bersikap santai meski sebelumnya terkejut. "Ma, kalau manggil jangan teriak-teriak. Lihat tuh Sabrina, dia sampe kaget. Sayang, calon anak kita enggak kaget 'kan?" tanya Darren mengelus perut istriya yang belum terlihat membuncit. "Hah? Eng-enggak, Mas." Terbata-bata menjawab pertanyaan sang suami. "Kalian ini, malah mesra-mesaraan di depan anak-anak. Enggak baik!" tandas ibu Renata mengingat tadi Darren mendekatkan bibirnya ke pipi sebelah kiri Sabrina. Dipikir, Darren akan menc1um Sabrina padahal hanya berbisik. "Mama suuzhon. Aku tadi bukan mesra-mesaraan. Aku cuma bisikin Sabrina saja.""Halah, alasan. Sekarang kita pulang! Mana Papamu?" Darren mengitari sekeliling, mencari keberadaan pak Sugeng. L
"Apa sih kamu, Re? Udah deh, aku belum kepikiran cari suami lagi. Nanti ajalah. Aku sekarang lagi mikirin keberadaan Angelica. Entah di mana dia?" Ibu Anita masih memikirkan anak yang sudah tidak menganggapnya sebagai seorang ibu. Ibu Renata menarik napas panjang, menatap lekat ibu Anita yang duduk berhadapan dengannya. "Kamu mau ajak dia tinggal di rumahmu lagi?" telisik ibu Renata. "Enggak. Aku cuma pengen tau aja keadaannya. Sebenarnya semalam aku sempet tidur tapi cuma sebentar. Anehnya, waktu aku tidur sebentar itu, sempet-sempetnya aku mimpi." Ibu Renata yang sebelumnya agak mencondongkan tubuh ke depan, kini duduk bersandar. "Mimpi apa?""Mimpi Angelica dikerubungi buaya. Tubuhnya dilahap buaya-buaya. Dalam mimpiku, Angelica nangis sambil ketawa. Pas bangun, aku enggak bisa tidur lagi. Ya sampai sekarang, aku masih mikirin dia."Sebetulnya ibu Renata sudah dapat menerka arti mimpi ibu Anita. Mungkin arti dari mimpi itu, Angelica kembali menju4l diri lagi. Ibu Renata menye
"Enggak," jawab ibu Anita tegas. Kepalanya menoleh, menatap pak Adyatama yang tampak terkejut mendengar jawaban ibu kandung Angelica. "Aku enggak mau jadi istrimu lagi. Aku enggak mau berumah tangga denganmu lagi. Ya, aku akui masih ada cinta dihatiku untukmu tapi maaf, untuk menjadikanmu suamiku lagi, aku enggak bisa. Aku bukan wanita bodoh seperti sebelumnya. Yang terlalu diperbudak perasaan. Aku ingin masa tuaku dipenuhi kebahagiaan dan kehidupan yang tenang," sambung ibu Anita masih menatap lelaki yang tenggorokannya seketika tersentak. Pak Adyatama pikir, ibu Anita mau diajak berumah tangga lagi dengan ucapan-ucapan manisnya. Ternyata tidak. Namun, pak Adyatama tidak menyalahkan keputusan ibu Anita. Sewajarnya jika ia tak mau berumah tangga dengannya lagi. Prilaku pak Adyatama sebelumnya sangat menyebalkan dan sering membuat ibu Anita kecewa. Perselingkuhan berulang kali, penggelapan uang perusahaan, utang di mana-mana sampai akhirnya perusahaan dan rumah miliknya diambil alih k
"Anita, aku sangat menyesal. Tolong maafkan aku. Aku janji, enggak akan selingkuh lagi. Enggak akan menikah lagi. Aku janji," bujuk pak Adyatama pada wanita yang kini duduk di kursi teras panti asuhan.Niat ibu Anita datang ke panti asuhan ini, ingin menghibur diri bertemu dengan anak-anak. Yang terjadi justru bertemu dengan lelaki yang semalam ia rindukan sekaligus lelaki yang telah membuatnya kecewa. Entah mesti bahagia atau marah bertemu dengan lelaki yang tega mengkhianati cintanya berulang kali. "Angelica di mana? Apa dia bersamamu?" Ibu Anita mengabaikan permohonan maaf dan janji yang diucapkan Adyatama. Ia justru teringat anak semata wayangnya. Meski Angelica sering menyakiti hati tapi sebagai seorang ibu, Anita selalu merindukan. "Angelica? Dia enggak ikut bersamaku. Aku enggak tau dia ada di mana." Jawaban Adyatama membuat ibu Anita terkejut. Dia pikir Angelica bersama Adyatama selama ini. Ibu Anita menoleh, dahinya melipat, kedua mata memicing. "Lho, bukannya dia bersama
Ibu Anita turun dari mobil. Begitu ibu Anita menoleh ke belakang, kedua matanya membeliak. Sebelumnya ia tak membayangkan dapat bertemu dengan pak Adyatama. Terkejut, melihat pak Adyatama tengah berdiri di samping pak Sugeng. Debaran jantungnya begitu cepat. Keringat dingin membasahi kedua tangan. Ibu Anita menelisik penampilan suaminya dari ujung kepala hingga ujung kaki. 'Kenapa dia ada di sini? apa Renata yang menyuruhnya datang?'Ibu Renata melenggang, menghampiri sahabatnya yang masih mematung di depan pintu mobil. Dia tahu kalau ibu Anita pasti tak menyangka ada pak Adyatama di panti itu. "Anita, bukan aku yang nyuruh dia datang ke sini. Sebelum aku datang, dia sudah ada di sini. Katanya, dia tersesat."Seolah mendengar pikiran ibu Anita, ibu Renata berbisik tepat di depan telinga sahabatnya itu. Ibu Anita menghela napas berat. "Jangan berdiri di sini, kita ke sana. Aku juga enggak tau gimana ceritanya dia sampai tersesat. Entahlah, aku gak terlalu percaya sama si Ady. Tadi d
Kendaraan yang ditumpangi keluarga Wirawan dan mobil box memasuki halaman panti asuhan. Anak-anak panti sudah berbaris rapi di depan teras, menyambut kedatangan keluarga pemilik panti ini.Dulu, panti asuhan itu berada di gedung yang di dalam hutan. Namun, gedung itu disuruh dikosongkan karena tanah tersebut masih sengketa. Oleh pak Sugeng dipindahalihkan ke gedung yang sekarang yang dahulunya milik keluarga berasal dari Belanda."Selamat datang, Pak Sugeng, Ibu Renata, dan Pak Darren," sapa pak Soleh ketika keluarga Wirawan turun dari mobil. "Pak Soleh, ini menantu kami. Namanya Sabrina." Ibu Renata menunjuk Sabrina. Anak pak Sudarso itu melipat kedua telapak tangan di depan d4d4. "Saya Sabrina.""Solehudin. Selamat datang, Mbak Sabrina.""Terima kasih, Pak."Pak Soleh bahagia melihat menantu ibu Renata yang sekarang. Lebih terlihat sopan dan ramah. Tidak seperti menantu sebelumnya. Datang ke panti hanya sebentar saja dan pulang lebih dulu dari pada mereka. "Silakan masuk. Acarany
Dua mobil telah keluarga dari kediaman keluarga Wirawan. Satu mobil ditumpangi keluarga tersebut. Satu mobil lagi, berupa mobil box yang isinya bingkisan untuk anak-anak panti dan pengurusnya. Sepanjang jalan menuju panti asuhan, Sabrina hanya diam saja. Wajahnya terlihat bersedih. “Sabrina?” panggil ibu Renata yang duduk di jok penumpang bersama pak Sugeng.Sabrina yang duduk di samping Darren, menoleh.“Iya, Ma?” Darren yang mengemudi pun melihat mamanya dari kaca spion depan. “Apa yang kamu pikirkan, Sabrina? Apa kamu lagi mikirin Bapakmu?” tanya ibu Renata yang mencemaskan keadaan menantunya. Ibu Renata tidak ingin Sabrina terlalu banyak pikiran sebab sedang mengandung cucu keluarga Wirawan. “Enggak, Ma. Saya enggak mikirin apa-apa.”Sabrina berusaha menutupi yang dipikirkannya. Andai mereka tahu, Sabrina saat ini ingin sekali bertemu dengan Jessica. Biar bagaimana pun, Jessica adalah saudara Sabrina satu-satunya. “Sukurlah. Mama harap, kamu enggak lupa kalau di dalam rahim