Caraka sama sekali tak memikirkan kondisi badan yang ada di bawah dirinya. Ia tak berniat untuk bermain lembut, menatap wajah istri keduanya ini selalu mengingatkannya akan fakta bahwa dia seorang jalang yang hanya menjual diri.Hal itu makin membuatnya bergerak kasar sesuka hati untuk memuaskan hasratnya yang sudah lama terabaikan. Caraka hanya terus menjilat dan menggigit di setiap kulit tubuh Ashana. Mengabaikan gerakan gelisah sebagai respon dari kekasarannya itu.Tak ingin melakukan foreplay lebih lama, Caraka menanggalkan semua pakaiannya secepatnya dan kembali menindih tubuh mungil Ashana. Menatap wajah yang sudah merah padam karena obat itu, Caraka menyeringai, “Ingat, ini kamu yang minta. Jangan salahkan jika aku berbuat kasar” ucapnya setengah hati.Mencoba memposisikan diri untuk segera memasuki adegan panas mereka. Tanpa aba-aba Caraka langsung menghujam masuk tanpa mempedulikan Ashana yang mungkin kesakitan.“Akhhh” pekik Ashana karena rasa sakit yang mendera hebat di pan
Ashana sama sekali tak bergerak dari tempatnya, ia masih menangis di antara selimut itu. Setelah menangis lama, ia baru sadar semua badannya terasa sakit, kepalanya menjadi pusing, belum lagi tenggorokannya yang terasa kering seakan mencukupi semua penderitaan nya di pagi ini.Seakan dunia mengejek, sinar matahari justru bersinar terang menyapa di balik gorden. Hembusan tipis angin masuk dengan izin dari sela gorden. Ashana merapatkan lagi selimutnya, ia tak sanggup untuk sekedar beranjak walaupun ia sangat haus saat ini.Tok tok tokDan saat itu pintu kamar terbuka setelah ketukan singkat itu, merasa heran tak mungkin jika itu Caraka. Ashana menoleh pelan untuk melihat pelaku. Dina, art baru itu masuk dengan wajah bahagia yang terpampang jelas, kedua tangannya membawa nampan penuh berisi sarapan.Melihat Ashana yang terbalut selimut itu, semakin melebarkan senyum Dina. Itu artinya rencananya semalam berhasil, tapi wajahnya berubah masam ketika melihat Ashana tak bergerak sama sekali,
Caraka dengan perasaan kesal dan marah bersamaan, langsung keluar dari kamar yang semalam menjadi saksi keganasannya. Ia tau pasti Ashana tak bisa bergerak dengan nyaman sekarang, pasti tubuh wanita itu kesakitan dan kelelahan. Karena itu, ia mencoba menahan emosinya dengan keluar dari kamar itu.Turun ke lantai 1 ia berjalan ke arah dapur, menemukan Dina yang terlihat bahagia pagi ini.“Selamat pagi Pak” sapanya.Caraka bahkan tak menjawab, “Bawakan sarapan untuk Ashana ke kamar atas, pastikan ia memakan sarapannya” perintahnya pada Dina yang membuat wanita itu sedikit diam.Tak ada jawaban Caraka kembali menatap Dina, “Apa kamu tidak bisa mendengar?” sarkasnya membuat Dina tersentak. “Bisa Pak, akan saya bawakan sarapan nya ke atas” ucapnya menunduk merasakan ngeri dan takut bersamaan.Mendengar itu, Caraka mengangguk. Tanpa basa basi, ia mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkan apartemen. Ia masih harus pergi bekerja, meninggalkan Ashana dengan Dina tidak akan terlalu buruk.
Ashana mengerjap pelan ketika merasa silau dengan cahaya yang masuk ke matanya. Matanya terasa sakit ketika membuka mata, belum terbiasa dengan silaunya cahaya. Kembali memejamkan matanya lagi, setelah beberapa detik ia kembali membuka matanya dan mendapati plafon dengan desain modern berwarna krim.Berkedip lagi ketika merasakan pusing dan denyut nyeri yang terasa di tubuhnya, sebuah suara membuatnya menoleh. “Kamu sudah bangun?” Caraka dengan sabar duduk di sebelah ranjang Ashana, menunggu wanita itu hingga sepenuhnya sadar dari pingsannya.Wajah kesakitan itu berubah kaget ketika melihat Caraka ada di sampingnya. “Pak Caraka?...” ucapnya yang langsung ingin duduk tapi rasa sakit langsung menyebar di tubuhnya membuatnya meringis berhenti bergerak.Caraka langsung bangkit dari duduk nya dan mengulurkan tangan memegang lengan atas Ashana menahannya agar tak kembali bergerak, “Jangan bergerak, sebaiknya kamu kembali istirahat” ucap Caraka menuntun agar Ashana kembali merebahkan diri di
Caraka turun dari mobilnya setelah mengantarkan Ashana pulang kembali ke apartemen. Wanita itu memaksa untuk pulang tak ingin lagi menghabiskan malamnya di rumah sakit. Disanalah Caraka sadar di balik wajah teduh yang lebih sering polos itu ternyata wanita ini sangat keras kepala.Menghela napas, Caraka memasuki lift menuju penthouse miliknya. Ia sedikit merasa tak enak karena harus meninggalkan Ashana sendiri. Padahal wanita itu masih sakit dan terlebih penyebab wanita itu sakit adalah karena dirinya. Karena Caraka yang tak bisa menahan diri untuk terus memeluk Ashana sehingga lupa jika itu adalah pengalaman pertama untuknya.Ia merasa bersalah, mendongak menatap angka merah yang terus berganti hingga ke nomor lantai penthousenya. Ia tak bisa menemani Ashana malam ini karena ia harus bicara dengan Bellanca. Ia harus memberitahukan istrinya itu bahwa ia sudah tidur dengan Ashana agar permasalahan yang terus membuat mereka bertengkar tak ada lagi.Ia sudah merasa lelah jika harus terus
Caraka memegang kepalanya yang lagi-lagi terus berdenyut, ia bingung dengan sikap Bellanca yang seakan menjaga jarak darinya. Bahkan semalam pun begitu juga, istrinya itu kembali menolaknya.“Pak Caraka, apa anda baik-baik saja?” tanya asistennya yang sejak tadi memperhatikan dan merasa ada yang tidak beres dengan atasan nya itu.Caraka menggeleng singkat, “Saya tidak apa-apa” ucapnya kembali menurunkan tangannya dan berhenti di depan pintu lift. Menunggu pintu lift khusus direktur itu terbuka, sebelum itu matanya tanpa sengaja menangkap kehadiran Ashana dari ujung matanya.Wanita itu baru datang dan segera bergabung dengan karyawan lain, menunggu lift khusus karyawan tepat di samping Caraka.Matanya terus melirik, Ashana terlihat manis pagi ini dengan rok pensil kerjanya yang berwarna hitam dan blouse kerja simple berwarna cokelat. Rambutnya di ikat satu tinggi yang menampilkan leher putihnya. Pemandangan yang indah di lihat, apalagi wajahnya sudah kembali terawat tampak mulus dan c
Ashana terkejut melihat reaksi Caraka yang terlihat sangat berlebihan ketika lift berhenti mendadak. Ia bingung harus bagaimana, sejenak ia hanya menonton reaksi Caraka yang mendesis tak karuan. Pria itu tadinya langsung meluruh ke lantai, dengan kedua tangannya menutup erat kedua telinganya. Kewibawaan dan karakter dingin Caraka yang selalu di lihat Ashana seolah lenyap begitu saja berganti dengan karakter lemah yang sangat butuh pertolongan.Ada apa dengan Caraka?Kenapa reaksi Caraka bisa seperti ini?Di bawah suara berdering dan lampu merah yang masih menyala membuat desisan Caraka makin kasar terdengar oleh Ashana. Pria itu terus menggumamkan sesuatu yang tak jelas di dengar. Mendengar itu ia segera sadar, ada yang salah dengan reaksi ini. Sepintas Ashana seolah merasa deja vu.Ia pernah melihat reaksi yang sama ketika ibunya pertama kali mendengar Ayahnya meninggal. Ibunya menjerit dengan menutup telinga seakan tak ingin mendengar perkataan itu. Dan setelahnya tiap kali Ibunya
Bersamaan dengan keadaan Caraka yang mulai tenang, pintu lift terbuka yang membuat semua pandangan karyawan dan teknisi yang ada di depan lift melongo kaget. Adegan di depan mereka sangat tak biasa untuk terjadi antara atasan dan bawahan. Tak ada yang berani bicara, mereka diam hingga Aden asisten Caraka segera masuk.Aden dengan sigap menarik lengan Caraka dari Ashana, memisahkan kedua orang itu, “Pak Caraka, kita harus pergi dari sini” ucap Aden segera membantu Caraka berdiri. Lemahnya tubuh Caraka mengharuskan Aden untuk menopangnya.Sedangkan Ashana yang masih di balut rasa cemas melihat keadaan itu, segera berdiri dan melangkah keluar ingin mengikuti. Tapi baru saja keluar beberapa langkah dari lift, Aden segera menoleh ke belakang menatap dirinya, seraya memberi kode dengan menggelengkan kepala.Langkah kaki Ashana segera berhenti saat itu juga, ia paham kode itu ia tak bisa mengikuti Caraka. Di tempat ini perbedaan mereka jelas ketara, untuk sesaat jantungnya kembali berdenyut