Ashana terkejut melihat reaksi Caraka yang terlihat sangat berlebihan ketika lift berhenti mendadak. Ia bingung harus bagaimana, sejenak ia hanya menonton reaksi Caraka yang mendesis tak karuan. Pria itu tadinya langsung meluruh ke lantai, dengan kedua tangannya menutup erat kedua telinganya. Kewibawaan dan karakter dingin Caraka yang selalu di lihat Ashana seolah lenyap begitu saja berganti dengan karakter lemah yang sangat butuh pertolongan.Ada apa dengan Caraka?Kenapa reaksi Caraka bisa seperti ini?Di bawah suara berdering dan lampu merah yang masih menyala membuat desisan Caraka makin kasar terdengar oleh Ashana. Pria itu terus menggumamkan sesuatu yang tak jelas di dengar. Mendengar itu ia segera sadar, ada yang salah dengan reaksi ini. Sepintas Ashana seolah merasa deja vu.Ia pernah melihat reaksi yang sama ketika ibunya pertama kali mendengar Ayahnya meninggal. Ibunya menjerit dengan menutup telinga seakan tak ingin mendengar perkataan itu. Dan setelahnya tiap kali Ibunya
Bersamaan dengan keadaan Caraka yang mulai tenang, pintu lift terbuka yang membuat semua pandangan karyawan dan teknisi yang ada di depan lift melongo kaget. Adegan di depan mereka sangat tak biasa untuk terjadi antara atasan dan bawahan. Tak ada yang berani bicara, mereka diam hingga Aden asisten Caraka segera masuk.Aden dengan sigap menarik lengan Caraka dari Ashana, memisahkan kedua orang itu, “Pak Caraka, kita harus pergi dari sini” ucap Aden segera membantu Caraka berdiri. Lemahnya tubuh Caraka mengharuskan Aden untuk menopangnya.Sedangkan Ashana yang masih di balut rasa cemas melihat keadaan itu, segera berdiri dan melangkah keluar ingin mengikuti. Tapi baru saja keluar beberapa langkah dari lift, Aden segera menoleh ke belakang menatap dirinya, seraya memberi kode dengan menggelengkan kepala.Langkah kaki Ashana segera berhenti saat itu juga, ia paham kode itu ia tak bisa mengikuti Caraka. Di tempat ini perbedaan mereka jelas ketara, untuk sesaat jantungnya kembali berdenyut
Caraka baru saja turun dari mobilnya dengan balutan jas hitam yang di desain khusus untuk CEO Daniswira itu. Perawakannya makin kharismatik dengan tampilan wajah datar dingin miliknya. Seiring kakinya melangkah tatapan karyawan terus mengikutinya. Entah hanya sedang mengagumi wajahnya atau mungkin sedang membahas kejadian di lift kemarin. Caraka justru terlihat tak peduli, ia terus melangkah lurus. Matanya bahkan tak berpindah dari arah depan. Mata hitam gelap miliknya tiba-tiba bergetar di satu titik, langkah nya tiba-tiba melambat. Ia menatap lekat pada Ashana yang berjalan tak jauh darinya, menikmati postur samping wanita itu. Matanya tak berkedip, padahal pakaian yang di kenakan Ashana tergolong sangat biasa. Tak ada mewahnya sedikitpun, bahkan pakaian itu sangat sopan, tak memperlihatkan kulitnya terlalu banyak. Tapi Caraka masih tak bisa mengalihkan pandangan. Terbiasa melihat wanita cantik dengan pakaian branded yang super pendek, tampilan Ashana ini justru lebih menarik
Caraka tak tau kenapa ia bisa tiba-tiba menjadi patung seperti tadi. Biasanya ia akan sangat mudah tanggap terhadap situasi, tp tadi ketika merasakan bibir kenyal Ashana, perasaan menggelitik memenuhi rongga nya. Seperti perasaan hangat mulai terisi ke tubuh nya, anehnya lagi ia tak merasa keberatan dan malah dengan sukacita menerima nya.Caraka tak tau pasti apa yang terjadi dengan dirinya. perubahan moodnya sangat cepat dari marah ketika melihat Ashana dan karyawan pria itu berdekatan hingga resah saat melihat wajah pucat Ashana.ia perlu mencari tau. Tapi yang pasti bukan saat ini, karena perasaan kering di tenggorokan nya perlu diisi. Caraka menarik tangan Ashana masuk ke dalam lift yang sama, Aden yang berusaha mengejar sejak tadi langsung terdiam tak berani masuk saat melihat tatapan melarang dari Caraka.ia memilih berdiri diam di depan lift menatap pintu lift yang mulai tertutup.Ashana yang melihat Aden di tinggalkan tentu merasa heran, ia menoleh pada Caraka, "Pak, asiste
Ruang kerja Caraka itu sangat luas, dengan salah satu dinding kaca membuat cahaya terang menyeruak masuk.Di tengah cahaya yang menunjukkan bahwa keadaan masih siang yang seharusnya waktu untuk beraktivitas mencari nafkah. Caraka justru memberikan kode akan memberi nafkah batin saat ini.Wajah pria itu tenggelam menghirup dalam di tengah lekukan dada Ashana. Walaupun terhalang kemeja wanita itu, Caraka tampak puas merasakan aroma manis dengan benda kenyal yang mengapit wajahnya.Seiring aroma tubuh Ashana yang makin menggoda, Caraka menyentakkan tubuh Ashana lebih tinggi di gendongan nya sehingga tangan nya tepat berada di pantat wanita itu. Merasakan itu Ashana menjadi was-was hilang pegangan seakan ia akan terjatuh, membuatnya melingkari leher Caraka erat, menimbulkan desisan pelan dari bibir pria itu yang di tekan ke dadanya.Lalu Caraka mendongak dengan tangan yang mulai bekerja, "Hah, masih mau memanggilku Pak setelah ini?" godanya yang membuat Ashana memalingkan wajah merahnya.
Ashana menatap malu pada pertanyaan Caraka. Wajahnya yang sudah merah makin merah dibuatnya. Kenapa Caraka malah tiba-tiba meminta izin untuk menciumnya? apa ia lupa, sejak tadi ia sudah berulang kali menciumnya?"Kenapa kamu meminta izin?" tanya Ashana dengan wajah tak sanggup menatap Caraka. Mendengar itu, Caraka tersentak sebentar dan kemudian berubah tersenyum manis merasa senang. Tangannya langsung berpindah bergerak ke pantat Ashana, menekannya ke bawah membuat Ashana mendesah kaget."Aah...""Benar, seharusnya aku bisa melakukan apa saja tanpa perlu meminta izin kan" ucapnya yang mulai menggerakkan pantat Ashana sesukanya.Menekannya kuat keatas dan bawah, membuat wajahnya meredup merasa nikmat. "Kalau begitu akan ku lakukan semua yang aku mau" bisiknya yang sudah mendekatkan wajah ke leher Ashana.Dan detik berikutnya kepala Ashana pusing dengan perasaan nikmat yang membakar tubuhnya. Gerakan tangan Caraka makin cepat menggerakkan pinggulnya, sedangkan mulutnya tak diam, mula
Suara desahan beradu dari mulut yang saling mengulum satu sama lain. Gerakan kasar pinggul itu menyentak kencang tubuh sang wanita. Di kamar yang luas dengan lampu remang itu membuat suasana makin syahdu di temani lilin putih yang terbakar perlahan di atas meja."Ah Yas..." desah Bellanca mengangkat pinggul nya menerima setiap dorongan yang di berikan Yasa. Napasnya memburu dengan desah nafsu makin tinggi.Yasa tak tinggal diam ia bergerak liar menghujam, merasakan akan mencapai puncaknya ia menekan tubuhnya lebih dalam. Bellanca terpekik nikmat dengan mendesahkan nama Yasa."Ahh Yas ini nikmat..." ucapnya yang terkulai dengan keringat membanjiri tubuh. Tak jauh berbeda dengan Yasa yang langsung terjatuh ke atas tubuh Bellanca. Meletakkan kepalanya di sudut leher wanita itu. Ini sudah pukul 3 pagi, entah sudah berapa lama mereka melakukannya. Tiba-tiba di tengah napas Bellanca yang terdengar pelan menikmati sisa kenikmatan itu, Yasa tersentak kaget seolah menyadari sesuatu.Ia lan
Ashana mengerjap perlahan, tubuhnya terasa lelah ketika ia bergerak. Tapi hangatnya selimut di tubuhnya membuatnya tak ingin beranjak.Ketika ingatan terakhir tentang perbuatannya dengan Caraka terlintas, ia segera terduduk. Saat itu selimut gelap itu meluruh dari badannya. Ah, dia telanjang, Ashana langsung menarik selimut itu kembali, menutupi badannya.Melihat sekitar, ia di ranjang, tunggu kenapa bisa ia ada disini?"Ini dimana?"Bekerja? lalu bagaimana dengan pekerjaannya. Ingin beranjak dari kasur empuk itu tapi matanya tak menemukan pakaian kerjanya. Kemana perginya pakaiannya?Dengan terpaksa Ashana segera membawa selimut itu untuk berdiri. Ia bergerak membuka gorden, agar lebih leluasa meneliti tempat ini.Bukannya mendapatkan cahaya, matanya melebar ketika melihat pemandangan luar yang berubah gelap dengan lampu gedung menyala, "Jam berapa ini?" lirihnya tak percaya."8 malam" suara dari arah belakang membuatnya berbalik dengan kaget.Tepat ketika itu, Caraka bersandar di p