Ashana mengerjap pelan ketika merasa silau dengan cahaya yang masuk ke matanya. Matanya terasa sakit ketika membuka mata, belum terbiasa dengan silaunya cahaya. Kembali memejamkan matanya lagi, setelah beberapa detik ia kembali membuka matanya dan mendapati plafon dengan desain modern berwarna krim.Berkedip lagi ketika merasakan pusing dan denyut nyeri yang terasa di tubuhnya, sebuah suara membuatnya menoleh. “Kamu sudah bangun?” Caraka dengan sabar duduk di sebelah ranjang Ashana, menunggu wanita itu hingga sepenuhnya sadar dari pingsannya.Wajah kesakitan itu berubah kaget ketika melihat Caraka ada di sampingnya. “Pak Caraka?...” ucapnya yang langsung ingin duduk tapi rasa sakit langsung menyebar di tubuhnya membuatnya meringis berhenti bergerak.Caraka langsung bangkit dari duduk nya dan mengulurkan tangan memegang lengan atas Ashana menahannya agar tak kembali bergerak, “Jangan bergerak, sebaiknya kamu kembali istirahat” ucap Caraka menuntun agar Ashana kembali merebahkan diri di
Caraka turun dari mobilnya setelah mengantarkan Ashana pulang kembali ke apartemen. Wanita itu memaksa untuk pulang tak ingin lagi menghabiskan malamnya di rumah sakit. Disanalah Caraka sadar di balik wajah teduh yang lebih sering polos itu ternyata wanita ini sangat keras kepala.Menghela napas, Caraka memasuki lift menuju penthouse miliknya. Ia sedikit merasa tak enak karena harus meninggalkan Ashana sendiri. Padahal wanita itu masih sakit dan terlebih penyebab wanita itu sakit adalah karena dirinya. Karena Caraka yang tak bisa menahan diri untuk terus memeluk Ashana sehingga lupa jika itu adalah pengalaman pertama untuknya.Ia merasa bersalah, mendongak menatap angka merah yang terus berganti hingga ke nomor lantai penthousenya. Ia tak bisa menemani Ashana malam ini karena ia harus bicara dengan Bellanca. Ia harus memberitahukan istrinya itu bahwa ia sudah tidur dengan Ashana agar permasalahan yang terus membuat mereka bertengkar tak ada lagi.Ia sudah merasa lelah jika harus terus
Caraka memegang kepalanya yang lagi-lagi terus berdenyut, ia bingung dengan sikap Bellanca yang seakan menjaga jarak darinya. Bahkan semalam pun begitu juga, istrinya itu kembali menolaknya.“Pak Caraka, apa anda baik-baik saja?” tanya asistennya yang sejak tadi memperhatikan dan merasa ada yang tidak beres dengan atasan nya itu.Caraka menggeleng singkat, “Saya tidak apa-apa” ucapnya kembali menurunkan tangannya dan berhenti di depan pintu lift. Menunggu pintu lift khusus direktur itu terbuka, sebelum itu matanya tanpa sengaja menangkap kehadiran Ashana dari ujung matanya.Wanita itu baru datang dan segera bergabung dengan karyawan lain, menunggu lift khusus karyawan tepat di samping Caraka.Matanya terus melirik, Ashana terlihat manis pagi ini dengan rok pensil kerjanya yang berwarna hitam dan blouse kerja simple berwarna cokelat. Rambutnya di ikat satu tinggi yang menampilkan leher putihnya. Pemandangan yang indah di lihat, apalagi wajahnya sudah kembali terawat tampak mulus dan c
Ashana terkejut melihat reaksi Caraka yang terlihat sangat berlebihan ketika lift berhenti mendadak. Ia bingung harus bagaimana, sejenak ia hanya menonton reaksi Caraka yang mendesis tak karuan. Pria itu tadinya langsung meluruh ke lantai, dengan kedua tangannya menutup erat kedua telinganya. Kewibawaan dan karakter dingin Caraka yang selalu di lihat Ashana seolah lenyap begitu saja berganti dengan karakter lemah yang sangat butuh pertolongan.Ada apa dengan Caraka?Kenapa reaksi Caraka bisa seperti ini?Di bawah suara berdering dan lampu merah yang masih menyala membuat desisan Caraka makin kasar terdengar oleh Ashana. Pria itu terus menggumamkan sesuatu yang tak jelas di dengar. Mendengar itu ia segera sadar, ada yang salah dengan reaksi ini. Sepintas Ashana seolah merasa deja vu.Ia pernah melihat reaksi yang sama ketika ibunya pertama kali mendengar Ayahnya meninggal. Ibunya menjerit dengan menutup telinga seakan tak ingin mendengar perkataan itu. Dan setelahnya tiap kali Ibunya
Bersamaan dengan keadaan Caraka yang mulai tenang, pintu lift terbuka yang membuat semua pandangan karyawan dan teknisi yang ada di depan lift melongo kaget. Adegan di depan mereka sangat tak biasa untuk terjadi antara atasan dan bawahan. Tak ada yang berani bicara, mereka diam hingga Aden asisten Caraka segera masuk.Aden dengan sigap menarik lengan Caraka dari Ashana, memisahkan kedua orang itu, “Pak Caraka, kita harus pergi dari sini” ucap Aden segera membantu Caraka berdiri. Lemahnya tubuh Caraka mengharuskan Aden untuk menopangnya.Sedangkan Ashana yang masih di balut rasa cemas melihat keadaan itu, segera berdiri dan melangkah keluar ingin mengikuti. Tapi baru saja keluar beberapa langkah dari lift, Aden segera menoleh ke belakang menatap dirinya, seraya memberi kode dengan menggelengkan kepala.Langkah kaki Ashana segera berhenti saat itu juga, ia paham kode itu ia tak bisa mengikuti Caraka. Di tempat ini perbedaan mereka jelas ketara, untuk sesaat jantungnya kembali berdenyut
Caraka baru saja turun dari mobilnya dengan balutan jas hitam yang di desain khusus untuk CEO Daniswira itu. Perawakannya makin kharismatik dengan tampilan wajah datar dingin miliknya. Seiring kakinya melangkah tatapan karyawan terus mengikutinya. Entah hanya sedang mengagumi wajahnya atau mungkin sedang membahas kejadian di lift kemarin. Caraka justru terlihat tak peduli, ia terus melangkah lurus. Matanya bahkan tak berpindah dari arah depan. Mata hitam gelap miliknya tiba-tiba bergetar di satu titik, langkah nya tiba-tiba melambat. Ia menatap lekat pada Ashana yang berjalan tak jauh darinya, menikmati postur samping wanita itu. Matanya tak berkedip, padahal pakaian yang di kenakan Ashana tergolong sangat biasa. Tak ada mewahnya sedikitpun, bahkan pakaian itu sangat sopan, tak memperlihatkan kulitnya terlalu banyak. Tapi Caraka masih tak bisa mengalihkan pandangan. Terbiasa melihat wanita cantik dengan pakaian branded yang super pendek, tampilan Ashana ini justru lebih menarik
Caraka tak tau kenapa ia bisa tiba-tiba menjadi patung seperti tadi. Biasanya ia akan sangat mudah tanggap terhadap situasi, tp tadi ketika merasakan bibir kenyal Ashana, perasaan menggelitik memenuhi rongga nya. Seperti perasaan hangat mulai terisi ke tubuh nya, anehnya lagi ia tak merasa keberatan dan malah dengan sukacita menerima nya.Caraka tak tau pasti apa yang terjadi dengan dirinya. perubahan moodnya sangat cepat dari marah ketika melihat Ashana dan karyawan pria itu berdekatan hingga resah saat melihat wajah pucat Ashana.ia perlu mencari tau. Tapi yang pasti bukan saat ini, karena perasaan kering di tenggorokan nya perlu diisi. Caraka menarik tangan Ashana masuk ke dalam lift yang sama, Aden yang berusaha mengejar sejak tadi langsung terdiam tak berani masuk saat melihat tatapan melarang dari Caraka.ia memilih berdiri diam di depan lift menatap pintu lift yang mulai tertutup.Ashana yang melihat Aden di tinggalkan tentu merasa heran, ia menoleh pada Caraka, "Pak, asiste
Ruang kerja Caraka itu sangat luas, dengan salah satu dinding kaca membuat cahaya terang menyeruak masuk.Di tengah cahaya yang menunjukkan bahwa keadaan masih siang yang seharusnya waktu untuk beraktivitas mencari nafkah. Caraka justru memberikan kode akan memberi nafkah batin saat ini.Wajah pria itu tenggelam menghirup dalam di tengah lekukan dada Ashana. Walaupun terhalang kemeja wanita itu, Caraka tampak puas merasakan aroma manis dengan benda kenyal yang mengapit wajahnya.Seiring aroma tubuh Ashana yang makin menggoda, Caraka menyentakkan tubuh Ashana lebih tinggi di gendongan nya sehingga tangan nya tepat berada di pantat wanita itu. Merasakan itu Ashana menjadi was-was hilang pegangan seakan ia akan terjatuh, membuatnya melingkari leher Caraka erat, menimbulkan desisan pelan dari bibir pria itu yang di tekan ke dadanya.Lalu Caraka mendongak dengan tangan yang mulai bekerja, "Hah, masih mau memanggilku Pak setelah ini?" godanya yang membuat Ashana memalingkan wajah merahnya.