Saat melihat mobil polisi, sekujur tubuhku gemetaran saking paniknya.Guru memperhatikan keanehan pada diriku, lalu dia bertanya kepadaku."Kamu lagi nggak enak badan?"Saat aku hendak menjawab, wali kelas muncul di pintu."Shelly Winata, sini keluar sebentar."Mendengar wali kelas memanggil namaku, aku berjalan keluar kelas dengan gemetar.Ada dua orang berseragam polisi berdiri di samping wali kelas.Begitu melihat polisi, jantungku makin berdebar kencang. Tubuhku gemetaran, telapak tanganku pun terus berkeringat dingin."Apakah benar kamu Shelly Winata? Apa hubunganmu dengan Yolanda Sander?" tanya salah satu petugas polisi."Teman ... kami adalah teman baik." Aku menundukkan kepalaku melihat ke lantai dan menjawab dengan suara rendah.Polisi itu tidak berkata apa-apa, tetapi aku bisa merasakan dia sedang menatapku.Pada akhirnya, mereka tidak mengajukan pertanyaan lagi dan memintaku untuk kembali ke kelas.Aku menghela napas lega.Telapak tanganku sudah basah. Aku terus mengusapkann
Di tengah malam, kami bersembunyi di tembok belakang sekolah. Kami memanjat tembok bersama-sama dan memasuki sekolah.Pada siang hari, sekolah ini dipenuhi dengan pemandangan yang indah, seperti pepohonan hijau rindang yang tersebar di sekelilingnya.Namun, saat malam hari, sekolah tampak sangat sunyi dan menyeramkan.Kami akhirnya memilih lantai empat, yang juga merupakan ruang kelas tempat kami belajar.Kami duduk melingkar. Salah satu dari kami mengeluarkan piring dan selembar kertas putih, lalu meletakkannya di tengah. Di atas kertas tertulis dua pilihan, ya atau tidak.Kemudian, kami semua menaruh jari kami di atas piring."Jelangkung, cepat datang!" Semua orang menggumamkan sesuatu."Jelangkung, izinkan aku mengajukan pertanyaan, apakah ada yang menyukaiku diam-diam?"Patrick tiba-tiba mengajukan pertanyaan.Piring di bawah jari mereka perlahan bergerak menuju ke arah tidak.Patrick menghela napas."Apakah kamu adalah kakak kelas kami yang meninggal itu?" Nyali Hendy sangat besar
Malam itu, aku dan Laura pulang naik taksi.Setelah turun dari taksi dan berjalan masuk ke kompleks, hembusan angin dingin membuat otakku yang linglung menjadi semakin sadar.Tiba-tiba, ada sebuah tangan di belakangku, lalu tiba-tiba menarikku. Aku terjatuh ke dalam pelukan orang di belakangku.Aku berusaha memberontak. Saat memberontak, aku melihat wajah orang yang kukenal.Ternyata dia adalah Tristan!Tristan menatapku dengan ekspresi mabuk di wajahnya.Tanpa basa-basi, Tristan mulai menciumku. Tangannya pun mulai meraba-raba seluruh tubuhku.Aku langsung menamparnya. Tristan seketika mundur beberapa langkah.Aku menatapnya dengan marah.Tristan menatapku sambil tersenyum, "Bukankah kamu dan Yolanda berteman baik? Kenapa kamu nggak pergi melihat bagaimana keadaannya sekarang?"Tiba-tiba, aku merasa panik."Apa yang kamu lakukan padanya? Di mana dia?" kataku dengan cemas.Tristan menatapku dengan penuh minat dan tidak menjawab pertanyaanku."Sudah berakhir." Tristan tiba-tiba berkata
Suara jangkrik di pepohonan terus terdengar. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin masih terngiang-ngiang di telingaku.Aku sedang berbaring di kursi untuk istirahat. Samar-samar aku mendengar suara bisik-bisik tidak jauh dari sana.Aku berdiri dan melihat ke samping di bawah naungan pohon.Seorang pria dan seorang wanita saling berpelukan."Tristan, kamu jangan-jangan beneran suka sama Yolanda?""Mana mungkin? Orang yang paling aku suka adalah kamu.""Bisaan aja nih kamu. Lalu, kapan kamu putus dengannya?" kata Laura dengan genit.Sebelum Laura selesai berbicara, Trisan sudah langsung mencium bibirnya.Melihat ini, emosiku langsung membludak.Aku berlari kembali ke asrama dan buru-buru memberi tahu Yolanda masalah ini dengan terus terang. Aku tidak bisa membiarkannya terluka sama sekali.Namun, Yolanda sama sekali tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Dia terus membela Tristan.Akhirnya, kami dari yang awalnya selalu membicarakan segala hal menjadi putus hubungan karena mas
"Shelly, kamulah yang jatuh cinta pada Tristan.""Namun, dia jatuh cinta pada Yolanda, sahabatmu.""Kamu marah dan nggak bisa terima. Hatimu dipenuhi kebencian.""Pada malam perayaan, kamu ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengajak Tristan berkencan sendirian dan menyatakan cinta kepadanya."Namun, siapa sangka, dia malah menolakmu.""Oleh karena itu, kamu berencana membunuhnya untuk melampiaskan amarahmu.""Kamu nggak mengerti mengapa dunia tampaknya sedang menentangmu. Suasana hatimu buruk sekali.""Pada saat yang sama, kamu pun nggak berniat melepaskan Yolanda, sahabat baikmu. Kamu sama sekali nggak pulang malam itu. Kamu terus membuntuti Yolanda dan menyuruh seseorang untuk melecehkannya.""Begitulah dirimu. Kamu iri pada semua orang yang dekat dengan Tristan."Emosiku akhirnya membludak. Aku berteriak, "Sudah cukup, jangan katakan lagi.""Jadi,, kenapa saat itu kamu nggak pergi?""Aku nggak pergi karena ....""Oke, kamu nggak perlu mengatakan apa-apa lagi."Aku mendongak, lal
Suara jangkrik di pepohonan terus terdengar. Suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin masih terngiang-ngiang di telingaku.Aku sedang berbaring di kursi untuk istirahat. Samar-samar aku mendengar suara bisik-bisik tidak jauh dari sana.Aku berdiri dan melihat ke samping di bawah naungan pohon.Seorang pria dan seorang wanita saling berpelukan."Tristan, kamu jangan-jangan beneran suka sama Yolanda?""Mana mungkin? Orang yang paling aku suka adalah kamu.""Bisaan aja nih kamu. Lalu, kapan kamu putus dengannya?" kata Laura dengan genit.Sebelum Laura selesai berbicara, Trisan sudah langsung mencium bibirnya.Melihat ini, emosiku langsung membludak.Aku berlari kembali ke asrama dan buru-buru memberi tahu Yolanda masalah ini dengan terus terang. Aku tidak bisa membiarkannya terluka sama sekali.Namun, Yolanda sama sekali tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Dia terus membela Tristan.Akhirnya, kami dari yang awalnya selalu membicarakan segala hal menjadi putus hubungan karena mas
Malam itu, aku dan Laura pulang naik taksi.Setelah turun dari taksi dan berjalan masuk ke kompleks, hembusan angin dingin membuat otakku yang linglung menjadi semakin sadar.Tiba-tiba, ada sebuah tangan di belakangku, lalu tiba-tiba menarikku. Aku terjatuh ke dalam pelukan orang di belakangku.Aku berusaha memberontak. Saat memberontak, aku melihat wajah orang yang kukenal.Ternyata dia adalah Tristan!Tristan menatapku dengan ekspresi mabuk di wajahnya.Tanpa basa-basi, Tristan mulai menciumku. Tangannya pun mulai meraba-raba seluruh tubuhku.Aku langsung menamparnya. Tristan seketika mundur beberapa langkah.Aku menatapnya dengan marah.Tristan menatapku sambil tersenyum, "Bukankah kamu dan Yolanda berteman baik? Kenapa kamu nggak pergi melihat bagaimana keadaannya sekarang?"Tiba-tiba, aku merasa panik."Apa yang kamu lakukan padanya? Di mana dia?" kataku dengan cemas.Tristan menatapku dengan penuh minat dan tidak menjawab pertanyaanku."Sudah berakhir." Tristan tiba-tiba berkata
Di tengah malam, kami bersembunyi di tembok belakang sekolah. Kami memanjat tembok bersama-sama dan memasuki sekolah.Pada siang hari, sekolah ini dipenuhi dengan pemandangan yang indah, seperti pepohonan hijau rindang yang tersebar di sekelilingnya.Namun, saat malam hari, sekolah tampak sangat sunyi dan menyeramkan.Kami akhirnya memilih lantai empat, yang juga merupakan ruang kelas tempat kami belajar.Kami duduk melingkar. Salah satu dari kami mengeluarkan piring dan selembar kertas putih, lalu meletakkannya di tengah. Di atas kertas tertulis dua pilihan, ya atau tidak.Kemudian, kami semua menaruh jari kami di atas piring."Jelangkung, cepat datang!" Semua orang menggumamkan sesuatu."Jelangkung, izinkan aku mengajukan pertanyaan, apakah ada yang menyukaiku diam-diam?"Patrick tiba-tiba mengajukan pertanyaan.Piring di bawah jari mereka perlahan bergerak menuju ke arah tidak.Patrick menghela napas."Apakah kamu adalah kakak kelas kami yang meninggal itu?" Nyali Hendy sangat besar
Saat melihat mobil polisi, sekujur tubuhku gemetaran saking paniknya.Guru memperhatikan keanehan pada diriku, lalu dia bertanya kepadaku."Kamu lagi nggak enak badan?"Saat aku hendak menjawab, wali kelas muncul di pintu."Shelly Winata, sini keluar sebentar."Mendengar wali kelas memanggil namaku, aku berjalan keluar kelas dengan gemetar.Ada dua orang berseragam polisi berdiri di samping wali kelas.Begitu melihat polisi, jantungku makin berdebar kencang. Tubuhku gemetaran, telapak tanganku pun terus berkeringat dingin."Apakah benar kamu Shelly Winata? Apa hubunganmu dengan Yolanda Sander?" tanya salah satu petugas polisi."Teman ... kami adalah teman baik." Aku menundukkan kepalaku melihat ke lantai dan menjawab dengan suara rendah.Polisi itu tidak berkata apa-apa, tetapi aku bisa merasakan dia sedang menatapku.Pada akhirnya, mereka tidak mengajukan pertanyaan lagi dan memintaku untuk kembali ke kelas.Aku menghela napas lega.Telapak tanganku sudah basah. Aku terus mengusapkann