Share

Bab 2

Di tengah malam, kami bersembunyi di tembok belakang sekolah. Kami memanjat tembok bersama-sama dan memasuki sekolah.

Pada siang hari, sekolah ini dipenuhi dengan pemandangan yang indah, seperti pepohonan hijau rindang yang tersebar di sekelilingnya.

Namun, saat malam hari, sekolah tampak sangat sunyi dan menyeramkan.

Kami akhirnya memilih lantai empat, yang juga merupakan ruang kelas tempat kami belajar.

Kami duduk melingkar. Salah satu dari kami mengeluarkan piring dan selembar kertas putih, lalu meletakkannya di tengah. Di atas kertas tertulis dua pilihan, ya atau tidak.

Kemudian, kami semua menaruh jari kami di atas piring.

"Jelangkung, cepat datang!" Semua orang menggumamkan sesuatu.

"Jelangkung, izinkan aku mengajukan pertanyaan, apakah ada yang menyukaiku diam-diam?"

Patrick tiba-tiba mengajukan pertanyaan.

Piring di bawah jari mereka perlahan bergerak menuju ke arah tidak.

Patrick menghela napas.

"Apakah kamu adalah kakak kelas kami yang meninggal itu?" Nyali Hendy sangat besar dan langsung bertanya.

Tanganku yang memegang piring itu menjadi gugup. Telapak tanganku penuh dengan keringat.

Tiba-tiba, tangan yang memegang piring itu bergerak cepat di antara pilihan ya dan tidak. Tangan kami pun gemetar hebat.

Setelah beberapa saat, piring itu tiba-tiba pecah.

Semua tangan kami menjadi kosong.

"Retak ... piringnya retak," kata Yolanda dengan gemetar.

Kemudian, angin dingin berhembus dan membuat kami merinding.

Tiba-tiba, Yolanda, yang duduk di sebelahku, mengerang. Aku langsung menoleh ke arahnya.

Ada sepasang tangan yang sedang mencekik leher Yolanda.

Itu adalah tangan Tristan.

Senyuman ganas terlihat di wajah Tristan saat ini.

Kami buru-buru pergi menarik Tristan.

"Pergi mati sana! Pergi mati sana!"

Tristan terus mengulangi kata-kata ini di mulutnya.

Kami akhirnya bisa melepaskan tangan Tristan. Yolanda batuk tanpa henti, napasnya pun terengah-engah.

"Tristan hampir mencekikku sampai mati." Yolanda berbicara sambil terbatuk-batuk.

Sebelum kami sempat bereaksi, Tristan kembali menyerang kami lagi. Kami tidak punya pilihan selain mencari tali dan mengikatnya.

Tristan tertawa tanpa henti. Suara tawanya terdengar agak menyeramkan.

Malam ini begitu sepi.

Angin berhembus meniup tirai dan mengeluarkan suara tawa seperti rengekan.

Kami semua berkumpul di dalam kelas dan tidak berani bergerak.

"Di mana Patrick?"

Laura adalah orang pertama yang menyadari Patrick sepertinya hilang.

Kami melihat ke sekeliling bersama-sama dan memang tidak ada tanda-tanda keberadaan Patrick.

"Ahh ...." Terdengar suara teriakan histeris.

Hendy juga menghilang.

Jantungku berdebar kencang dan aku merasa tidak enak badan.

Keringat dingin bercucuran di keningku.

Tiba-tiba, ada sesuatu yang menggaruk bahuku.

Aku ketakutan setengah mati sampai-sampai aku nggak berani melihat ke belakang.

"Shel ... Shelly, bahumu. Ahh ...." Yolanda mulai berseru.

Aku menyipitkan mataku. Saat aku hendak melihatnya, aku merasakan sakit yang menusuk di bagian belakang leherku, lalu kepalaku tiba-tiba mulai terasa pusing.

Ketika kepalaku menyentuh lantai, aku mendengar seseorang berbicara di sebelahku.

"Bos, semuanya sudah selesai ...."

Kemudian, aku pingsan.

Saat aku sadar, sudah tidak ada orang di sampingku. Yolanda pun menghilang.

Aku tidak berani tinggal lebih lama lagi. Aku menyeret tubuhku yang kelelahan, berjalan keluar dari gedung pengajaran, lalu berlari kembali ke rumah.

Namun, ketika aku datang ke sekolah lagi, yang aku lihat adalah mayat Yolanda.

Jika kami tidak bermain jelangkung, Yolanda tidak akan ....

"Pasti Tristan yang membunuh Yolanda. Saat itu, dia telah dirasuki hantu. Dialah yang membunuh Yolanda."

Aku masih merasa sedih dan takut ketika memikirkan insiden ini.

Polisi di depanku memandangku dengan acuh tak acuh. Aku terisak dengan suara pelan.

"Sepertinya kamu nggak mengatakan yang sebenarnya. Ada terlalu banyak kejanggalan dalam ceritamu." Tatapan dingin menatapku. Tubuhku gemetaran saking takutnya.

"Dalam ceritamu, kenapa hanya Tristan yang kerasukan, tapi yang lain nggak?"

"Selain itu, laporan otopsi Yolanda menunjukkan kalau dia hamil. Apakah kamu tahu itu?"

Tiba-tiba, aku mengepalkan tanganku dengan erat dan menatap polisi yang duduk di hadapanku dengan tatapan marah.

"Yolanda dilecehkan oleh sekelompok berandalan itu, tahu nggak kamu? Kamu mah nggak tahu apa-apa!"

Aku berteriak dengan marah.

Polisi itu tampak ragu-ragu.

Aku menatap polisi itu dengan tatapan kosong dan bergumam.

Sebenarnya, malam itu, kami sama sekali tidak pergi ke sekolah untuk bermain jelangkung.

Setelah kami makan-makan di kios makanan, kami bersiap untuk pulang.

Bir yang kami beli saat itu sudah dihabiskan semua. Aku dan Laura minum lumayan banyak, sehingga kami berencana untuk pulang lebih awal. Kami tidak mengajak Yolanda karena kami mengira Tristan adalah pacarnya. Dia pasti akan menjaga Yolanda.

Siapa sangka, Patrick dan Hendy pun tetap tinggal di sana.

Sejak hari itu, Yolanda tidak pernah bersekolah lagi sampai aku kemudian mendengar tentang berita kematiannya.

Semenjak hari itu, aku terus merasa menyesal mengapa aku tidak membawa Yolanda kembali bersamaku. Akulah penyebab kematian Yolanda.

Polisi itu tidak berkata apa-apa. Dia hanya mengangkat kepalanya dan memberi isyarat agar aku melanjutkan perkataanku.

Aku mengatakan bahwa apa yang terjadi hari itu dapat dianggap sebagai mimpi buruk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status