“Ya, Winda, ada apa?”
Wisnu tersadar dari lamunannya, memandang istrinya disampingnya yang begitu mendambakan kehangatan darinya.
"Bisakah kamu memelukku?" pinta Winda sekali lagi, suaranya memendam kesedihan.
Tanpa berkata apapun, Wisnu segera memeluk Winda dengan erat, demi melegakan hasrat istrinya. Namun pelukannya terasa hampa dan dingin, tanpa cinta.
Jari jemari Winda, menelusup dibalik kimono tidur Wisnu, membelai lembut tubuh atletisnya. Tapi dengan cepat pria itu menangkapnya, menghentikan gerakan jemari lentik itu.
"Maaf Winda, aku ngantuk sekali," Wisnu berbohong. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbaring berlawanan arah dengan Winda.
"Oh," jawab Winda singkat. Hatinya teriris, namun berusaha tegar.
Dingin menusuk tulang Winda, bukan hanya karena suhu ruangan, tapi juga karena sikap dingin Wisnu di malam pertama pernikahan mereka. ‘Kenapa dia begini?’ batinnya.
Malam yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini dipenuhi ketidakpastian.
‘Apa mungkin dia sedang tidak enak badan atau tidak mood?’ batin Winda, mencoba memberikan pengertian.
Winda ingin menanyakan keadaan pada suaminya secara langsung, tapi ia tidak berani. Melihat Wisnu sudah memejamkan mata di sampingnya. Padahal pria itu hanya pura-pura tidur demi menghindari 'kewajiban' di malam pertama.
Entah mengapa bayangan Fina masih menghantui pikiran Wisnu, membuatnya terombang-ambing antara rasa bersalah. ‘Maafkan aku,’ batin Wisnu resah.
Sementara Winda, yang tidak tahu apa-apa, terbaring di sisi Wisnu, merasakan kehampaan.
Malam itu, meskipun mereka berdua terbaring berdampingan, namun jiwanya terpisah jauh. Malam pertama berubah menjadi malam dingin yang sunyi.
***
Keesokan harinya. Wisnu baru saja selesai mandi, ia memandang dengan tatapan bersalah pada istrinya, di atas ranjang.
“Maafkan aku, atas semalam,” bisiknya lirih.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pintu keras menggema di kamar hotel. Wisnu segera membuka pintu, mendapati seorang pria tegap, berambut cepak, dengan kulit sawo matang.
“Siapa, ya?” tanya Wisnu penasaran.
"Selamat pagi, Tuan Wisnu," sapa pria itu dengan sopan. "Saya Emil, sekretaris pribadi sekaligus ajudan, Tuan Edi Adiyaksa.”
"Beliau, meminta saya untuk kemari," imbuhnya.
"Ada apa, Pak Emil?" tanya Wisnu.
"Tuan Adiyaksa, meminta saya untuk mengantar, anda dan Nyonya Winda ke bandara. Beliau, telah menyiapkan pesawat jet pribadi, untuk mengantar anda berdua, ke Paris, Perancis,” terang pria berambut cepak itu.
Wisnu termenung sejenak. "Baiklah, Pak Emil. Saya akan memberitahu istri saya, terlebih dahulu."
Emil mengangguk. "Baiklah, Tuan Wisnu. Saya akan menunggu Anda dan Nyonya di lobi hotel. Kita akan berangkat jam 11 siang. Saya mohon jangan telat," ucapnya dengan wajah datar.
Wisnu mengangguk sekali lagi, sebagai tanda mengerti. Lalu Emil pun meninggalkan kamar.
Kemudian, Wisnu segera masuk, menghampiri istrinya. Ia melihat Winda menerima telepon, dalam keadaan masih mengantuk.
"Apa? Hadiah bulan madu ke Paris?" pekik Winda tak percaya. "Papa nggak bohong kan?!" mendadak ekspresinya sumeringah.
"Makasih banget, Papa," Winda bersorak kegirangan, suaranya memenuhi ruangan. Senyumnya merekah, menghapus semua rasa kantuk yang tersisa.
Sementara Wisnu, hanya terdiam, melihat dengan tatapan datar. 'Dua minggu bulan madu di Paris?' batinnya kesal, 'Mertua sialan. Ada-ada saja!'
Winda mendekati suaminya. "Sayang! Kita harus segera bersiap!” ucapnya antusias. "Oh ya, Jangan lupa, packing baju-baju kita!” perintahnya.
Kemudian, Winda segera berlalu ke kamar mandi, meninggalkan suaminya yang masih melongo sendirian dengan batin yang kacau.
Wisnu menghela nafas panjang, “Hah, ada-ada saja?”
Terpaksa, ia bersiap packing baju sesuai perintah istrinya. Beruntung, barang bawaan mereka tidak banyak.
Setelah semuanya siap, Wisnu dan Winda segera menemui Emilio, yang menunggu di lobi hotel.
Perjalanan ke Paris pun dimulai.
Suasana di dalam pesawat terasa agak canggung. Keduanya duduk berdampingan, namun tidak ada sepatah kata pun yang terucap.
Wisnu terdiam seribu bahasa dengan kegelisahannya, ‘Bagaimana aku menghadapi Winda selama di Paris, nanti? Wanita ini cukup agresif. Dua minggu waktu yang cukup lama. Hadeeh,’ resah hatinya.
Sementara Winda, merasa sangat senang. Ia yakin bulan madu ini akan menjadi awal yang baru bagi pernikahan mereka. Ia berharap dapat lebih intim lagi dengan Wisnu saat di Paris nanti.
"Aku harap di Paris nanti, kita bisa lebih dekat dan saling mengenal lebih baik," ucap Winda, memecah keheningan.
Wisnu tersenyum tipis, "Semoga saja," balasnya singkat.
Agar tidak ditanyai macam-macam lagi oleh istrinya, Wisnu memilih untuk memejamkan mata, selama perjalanan.
Winda merasa kecewa, ‘Kenapa dia malah tidur lagi, sih?! Padahal, aku masih ingin mengobrol dengannya,’ batinnya kesal.
Demi mengobati kesepiannya, Winda memilih mendengarkan musik lewat headset yang terpasang di kursi kabin eksekutif.
Suasana di kabin pesawat sunyi. Hanya suara mesin pesawat yang memecah keheningan selama perjalanan.
Setelah melalui sekitar 14 jam penerbangan, dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (CGK) Jakarta ,Indonesia. Akhirnya mereka mendarat di Bandara Paris-Charles de Gaulle (CDG) pada jam 1 pagi (GMT+1) keesokan harinya.
Menggunakan mobil sedan mewah sewaan, Emilio mengantarkan mereka ke Hotel Le Meurice.
Sebuah hotel mewah terkenal di Paris, yang biasa digunakan untuk destinasi bulan madu. Setelah membantu pengurusan semuanya, Emilio kembali ke Indonesia.
"Selamat bersenang-senang Tuan dan Nyonya,"ucapnya sopan."Saya akan kembali ke Indonesia, sesuai perintah Tuan besar Adiyaksa."
Winda tersenyum. "Terima kasih, Emilio." Sementara Wisnu, hanya menganggukkan kepala ringan dengan ekspresi datar.
"Oh ya hampir terlupa. Nyonya Winda, ini ada titipan untuk Anda. Dari sahabat Anda, Nona Lalisa," Emilio pun mengeluarkan kotak kecil berwarna merah dari balik jasnya. "Katanya, ini hadiah spesial untuk Anda," imbuh Emilio.
"Terima kasih, Emil," balas Winda, menerima kotak tersebut. Emilio pun langsung pamit meninggalkan kedua pasangan pengantin baru tersebut.
Di dalam kamar mewah Hotel Le Meurice, kini tinggal mereka berdua. Suasana menjadi sedikit tegang.
Di balik tirai tipis kamar hotel mewah di Paris. Winda segera menanggalkan pakaiannya. Rambutnya yang tergerai indah, menyentuh lehernya yang halus. Dengan gerakan yang menggoda, ia mendekati Wisnu.
Wisnu menelan ludah, ‘Gawat. Ditagih jatah setoran, nih,’ batinnya cemas.
“Sayang,” bisik Winda dengan suara menggoda. “Kamu tahu, di Perancis, jam segini waktunya---“
“Cari kopi! Aku ngantuk!” potong Wisnu sambil mendadak berdiri dari tempat duduknya. Winda terhenyak mundur karena kaget.
“Apa kamu mau kopi juga, Winda?” tawar Wisnu. Dengan cepat, ia mencari-cari alasan untuk bisa segera, meninggalkan kamar.
“Tidak. Aku tidak suka kopi. Tetapi sesuatu yang panjang, besar, dan keras,” balas Winda sambil tersenyum nakal.
“A-apa?” Wisnu terkesiap.
“Ka-kamu ingin, se-sesuatu yang----" Wisnu tergagap, tidak dapat meneruskan perkataan, ia merasa gugup, mendengar permintaan istrinya.Sebagai pria mengetahui, makna dibalik perkataan Winda itu. Lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan.“Ooh, Roti Baguette, khas Perancis. Maksudmu, kan?” tebaknya asal.Winda berdecak kesal. ‘Kenapa jadi roti sih?’ batinnya.Wisnu langsung ngeloyor pergi, tanpa berani melihat istrinya lagi."Sayang!” panggil Winda, berjalan menghampiri, lalu menarik lengan suaminya, “Kamu ceroboh sekali!”“Bawa ini.” Winda mengulurkan Black Card miliknya. ”Pake itu buat bayar kopinya. Passwordnya tanggal lahir aku.”"Dan…Jangan lama-lama, ya,” bisik Winda di telinga Wisnu.“I-iya.” Wisnu mengangguk canggung, buru-buru menerima kartu lalu keluar kamar.Kemudian, Winda segera meraih kotak merah hadiah yang tergeletak di atas meja.“Ini dari Lalisa. Apa ini isinya,ya?”Winda membuka kotak itu. Terdapat sebuah botol kecil berukuran 30 ml berwarna perak dan secarik kertas
"Kamu tidak usah khawatir, soal biaya,” potong Edi Adiyaksa tegas. ”Papa sudah atur semuanya. Jadi kamu tinggal menjalani saja.”“Dua tahun, sekolah bisnis di INSEAD Fontainebleau, Perancis. Papa rasa cukup membekali dirimu, untuk menjadi pemimpin perusahaan," terang Edi Adiyaksa.Wisnu menelan ludah. ‘Gila aja. Dua tahun? Kenapa harus ke Perancis lagi? Apakah, aku akan dijadikan tumbal olehnya?’ batinnya.Di dalam hati Wisnu berontak. Ia merasa hidupnya kini, dikendalikan oleh sang mertua, Edi Adiyaksa."Sudahlah, terima saja tawaran Papa, sayang!" sahut Winda.“Jarang-jarang, Papaku bermurah hati seperti ini.” Winda tersenyum penuh arti.Wisnu menelan ludah. Perkataan Winda, bagaikan pisau bermata dua, membangkitkan semangat, sekaligus menambah beban di hati Wisnu.Sementara, Edi Adiyaksa sang mantan jendral, terus menatap tajam. Seolah ingin membunuhnya.Wisnu merasa tertekan. "Baiklah, kalo begitu," ucapnya terpaksa.“Bagus!” jawab Edi Adiyaksa singkat.Dua minggu kemudian, Wisn
Kini Fina, berdiri dihadapannya, Wisnu malah salah tingkah.“Ba-bagaimana, bisa kau ada di sini?! Maksudku, kenapa kau di sini?”Pertanyaan itu, meluncur begitu saja. Wisnu berusaha sebisa mungkin, menahan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap lekat, mencerminkan kerinduan yang mendalam.“Saya bekerja di perusahaan ini, Pak,” balas Fina, sopan.“Benarkah?” Wisnu terbelalak. Ia tidak percaya bahwa kekasihnya, kini bekerja di bawah naungan perusahaannya."Benar. Saya baru saja diterima, sebagai staf di divisi keuangan, dua bulan lalu," jawab Fina sopan, mencoba menjelaskan situasinya dengan tertunduk. Ia sengaja menghindari kontak mata dengan Wisnu.“Oh begitu ya,” ucap Wisnu.Sejenak hening menyelimuti ruangan, rasa canggung yang menyelimuti mereka berdua. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Wisnu. Salah satunya, ingin menanyakan perihal ayah kandung Nunu, balita lucu yang merupakan anak Fina. Tapi rasa gengsi dan malu membungkamnya.Pertemuan tak terduga ini, seperti memutar k
"Fina, apa yang terjadi?!" tanya Wisnu tegas, berusaha memahami inti dari keributan yang telah menarik perhatian seluruh kantor."Maaf, Pak Wisnu," Fina terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. "Karena terburu-buru, saya… saya tidak sengaja menabrak ibu…""Apa?! Tidak sengaja?!" potong Winda, dengan nada tinggi. Suaranya melengking tinggi, menarik perhatian para pegawai yang baru keluar ruangan rapat. Mereka mulai berkerumun, menikmati tontonan drama gratis ini. Seolah tontonan sinetron.Dua orang satpam kantor, yang juga mendekat tidak berdaya, dengan tatapan tajam Winda yang sangat mengintimidasi. Seolah menyuruh agar tidak ikut campur. Tidak ada yang berani, melawan Winda Adiyaksa, sang pewaris perusahaan.Winda sudah terbakar amarah, sama sekali tidak peduli dengan sekitar. Ia terus saja, melontarkan kata-kata pedas yang menyudutkan Fina."Heh! Kamu punya mata, nggak?! Kamu menabrakku, sampai hampir jatuh! Masih berani bilang tidak sengaja?!" imbuh, Winda penuh amarah."Ma-m
"Kenapa kau mendadak kasihan padanya, hah?”“Kau tidak kasihan padaku, sayang?”“Istrimu ini, yang hampir saja celaka, karena kecerobohannya! Kecerobohan pegawai bodoh itu!” omel Winda penuh amarah.Wisnu terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Perkataan sang istri sangat menusuk hatinya. "Bukan apa-apa, sayang," Wisnu berusaha tersenyum manis, meskipun hatinya terasa perih. "Tentu saja. Aku tidak--""Tidak?! Jadi kamu, tidak kasihan padaku?!" potong Winda dengan nada tinggi. Matanya melotot, siap meledakkan emosinya.Wisnu menghela napas panjang, merasakan tekanan. Tapi dia tahu harus tetap menyembunyikan hubungan dan perasaannya terhadap Fina. Jika tidak, Winda bisa membunuhnya.Dengan lembut, Wisnu membelai kepala Winda, “Kamu pasti sudah lelah sekali, hari ini, sayang. Kita pulang bersama saja, naik mobilku,” suaranya terdengar tenang. Namun di dalam hatinya, badai masih bergolak.“Apaan sih?!” elak Winda, sambil menampik tangan suaminya, dengan kasar.Wisnu mendengus ke
Jangan bilang kamu lupa?!” terka Winda.“Hah, iya? Astaga!” sambil menepuk jidat. "Maaf ya, sayang…lupa,” jawabnya polos dengan suara agak sengau, karena pilek.“Kamu ini gimana, sih!” keluh Winda sambil berkacak pinggang. “Mana Pak sopir kantor, sudah pulang duluan!”“Lagian, kenapa bisa basah kuyup begini, sih?!” tanya Winda kesal.Wisnu hanya terdiam, ia sibuk melap ingus di hidungnya dengan sapu tangan. Meskipun merasa kesal dengan omelan sarkas istrinya, tapi ia tidak mungkin bilang kejadian sebenarnya.“Han—chu!” Wisnu terus bersin, karena tidak tahan udara dingin dan air hujan.Winda hanya menghela napas. “Ya sudah, aku saja yang nyetir! Sini kuncinya!” tukasnya. Wisnu pun menyerahkan kunci mobilnya. Mereka berdua segera menuju ke parkiran. Beruntung gerimis sudah reda. Tapi bersin dan pilek Wisnu belum reda.“Kamu duduk belakang aja, ya!” perintah Winda. ”Jangan lupa tutup hidung kalau bersin! Biar nggak nular!”“Iya, Nyonya Besar,” balas Wisnu dengan suara sengau. ‘Sroot!’ Wi
Tidak lama kemudian, terdengar deru mobil Wisnu, memasuki garasi. Winda langsung menoleh ke arah jendela.“Nah, akhirnya pulang juga. Dasar kampret!”Tanpa menunggu lama, saat suaminya masuk ke dalam rumah, Winda langsung mengintrogasinya."Wisnu! Kenapa kamu pulang telat ?!" tanya Winda, dengan tatapan curiga. "Kamu, habis ngelayap ke mana, hah ?!“Ditelepon nggak, diangkat! Di WA nggak, dibales!” cerocos Winda."Enggak, sayang. Aku nggak ngelayap. Cuma ada, proyek yang harus diselesaikan di kantor,” jawab Wisnu dengan santai.“Ah, yang bener?!” tanya Winda dengan tatapan menyelidik."Bener sayang," balas Wisnu sambil melepas dasinya. "Daripada kamu marah-marah terus, mending pijitin aku, deh! Capek banget soalnya.""Ih, males!" protes Winda, dengan lengan terlipat dan wajah cemberut.“Ya, udah kalo gitu. Sini! Kamu mandi lagi, bareng aku aja,” ucap Wisnu dengan senyum nakal. Tanpa banyak bicara ia langsung, lalu menggendong istrinya ke kamar mandi di lantai dua.“Eui, a-apaan ini?!
Keesokan harinya, Dave bergegas ke kontrakan Fina untuk mengembalikan ponsel yang tertinggal di rumahnya.“Fina pasti membutuhkan ini,” gumannya. Namun, ketika sampai di kontrakan Fina, rumah tampak sunyi dengan pagar terkunci. “Fina sudah ke kantor, Mas,” seru Mbak Sari, tetangga sebelah.“Oh, begitu ya Mbak,” balas Dave sambil celingukan. “Dimana Fina menitipkan Nunu?” “Cari Nunu? Dia ada di sini, Mas,” balas Mbak Sari, sambil menunjuk ke arah Nunu yang sedang asyik bermain mobil-mobilan sendirian, di pojokan warung."Nuu, sayang," Dave segera menghampiri balita lucu itu. Memeluk tubuh mungilnya dengan penuh kasih sayang. “Nunu, jangan nakal, ya. Nanti sore, Om jemput Nunu,” ucap Dave lembut.“Mbak Sari, titip Nunu, ya,” kata Dave kepada Mbak Sari, sambil memberikan dua lembar uang seratus ribuan, kepada penjual seblak itu."Iya beres, Mas Dokter," jawab Mbak Sari, dengan wajah sumringah. "Nunu pasti senang di sini. Banyak temannya nanti,” timpalnya sambil ngulek bumbu seblak.Set
"Kenapa kamu diam?" Wisnu berbisik pelan, suaranya berat dan menggoda. "Apa aku membuatmu tidak nyaman?"Fina menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. "S-saya hanya---“ Jarak di antara mereka begitu tipis, membuatnya kesulitan mengatur napas, dadanya naik-turun mencoba menguasai dirinya sendiri, namun sekujur tubuhnya terasa lemah di bawah tatapan Wisnu yang begitu intens.“Tolong...,” suaranya nyaris tak terdengar, bergetar di antara keraguan dan rasa yang tak bisa ia pahami. “Ini tidak benar.” Udara di antara mereka terasa berat. Setiap tarikan napas, membawa mereka semakin dekat.Wisnu tertawa kecil, suara rendahnya bergaung di ruang kantor yang kini terasa terlalu sempit dan intim.Kamu tahu, Fina," katanya sambil mempersempit jarak. Napas hangatnya menyapu lembut di leher Fina, membuat kulitnya merinding. "Ada sesuatu yang aku ingin katakan padamu..." Wisnu berbisik, suaranya pelan, nyaris tak terdengar."P-pak Wisnu... ini... tidak seharusnya." Fina men
Saat melihat Fina meninggalkan ruangan divisi marketing, para seniornya menyeletuk sinis, "Lihatlah, si sok tau itu!"“Coba lihat, dia. Pasti mau cari perhatian lagi ke Pak Wisnu."Hati Fina semakin merasa perih mendengar celetukan itu, tapi ia berusaha untuk tidak mempedulikannya. Fina terus mempercepat langkahnya ke ruangan direktur.Fina tiba di ruangan Wisnu dengan napas tersengal-sengal, membawa sejumlah besar dokumen tercetak yang diminta. Dia merasa seperti dipermainkan oleh keadaan, tergesa-gesa karena panggilan tak terduga itu.Wisnu duduk di balik meja, wajahnya tegang namun tak terbaca ekspresinya dengan jelas.“Fina, cepat duduk. Aku butuh dokumen untuk event ini segera."Fina menyerahkan dokumen dengan hati-hati. "Ini dokumen yang diminta, Pak Wisnu."Wisnu, periksa dengan cepat tumpukan dokumen itu. Dahinya berkerut. “Kenapa data para sponsor dan finansialisasi belum selesai?”“Kamu ini apa-apaan, sih! Padahal event sudah semakin dekat! Dan data harus segera aku laporka
‘Akan aku buat kalian menyesal telah menghinaku, para senior!’ Tekad Fina.Udara di divisi marketing terasa panas dan penuh tekanan. Fina mengepalkan tangannya erat, di bawah meja. Kata-kata hinaan para seniornya masih terngiang di telinganya."Tidak bisa dibiarkan," bisiknya. Api mulai bergelora di hatinya. Dalam diam, Fina tidak terima diperlakukan seperti ini."Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak harga diriku lagi," bisiknya pelan. Ia siap menghadapi apa pun yang datang.Di saat yang sama, Wisnu, sang CEO, merasakan keanehan di kantornya. Saat kembali ke ruangannya, ia melihat kehadiran petugas kebersihan dan AC yang tidak biasa berkeliaran. Wisnu mengamati, para petugas itu mengenakan pakaian jumpsuit hitam, topi pet hitam, dan handy talky terselip di pinggang. Ada sekitar enam sampai tujuh orang, dengan badan tegap dan terlalu kekar untuk ukuran seorang kuli servis AC.Wisnu mengerutkan kening. Feelingnya yang tajam mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. "Ada ap
Winda menemukan foto lama Wisnu yang tampak mesra dengan seorang wanita muda di dalam laci meja kerja suaminya. Wajahnya memerah, hatinya dipenuhi kecurigaan, cemburu, amarah, dan tanda tanya. "Siapa wanita ini?" gumamnya dengan suara bergetar, matanya menatap tajam pada foto itu seolah-olah berharap mendapatkan jawaban.“Sialan, Wisnu! Sebenarnya kau pria seperti apa?” geramnya.Gejolak emosi mulai merambat mengusai hati Winda Adiyaksa. “Aku tidak bisa membiarkan hal ini---“Dering telepon genggam nyaring berbunyi, “Sh*t!” umpat Winda. Ia pun segera mengangkat panggilan yang ternyata dari Bu Rudi Budiman, salah satu kelompok sosialitanya.“Pagi Jeng Winda, kenapa belum sampai di Hotel? Kami sudah menunggu anda, Jeng” ucapnya dari seberang telepon.“Oh maaf, saya agak telat datang. Karena ada sedikit urusan. Tapi tenang saja Jeng Rudi, saya akan segera OTW ke sana,” balas Winda ramah.“Baiklah, Jeng Winda. Kami tunggu kedatangannya, ya…. Karena kalo tidak ada Jeng Winda, rasanya kuran
Sebuah panggilan dari Pak Sus, sopir kantornya, memecah keheningan."Halo, Pak Wisnu," suara panik Pak Sus terdengar di ujung telepon. "Saya melihat mobil Bapak mogok di pinggir jalan, dekat stasiun pengisisan bahan bakar, arah rumah anda. Tapi, Bapak dimana sekarang? Saya sudah keliling-keliling, tapi tidak ketemu."Wisnu mengerutkan keningnya. "Saya di Daycare seberang jalan, Pak Sus," jawabnya. "Ada sedikit urusan di sini. Tunggu sebentar ya.""Daycare?" Pak Sus mengulang dengan kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa bosnya yang belum memiliki anak itu berada di Daycare. Namun, sopir paruh baya itu tak berani bertanya lebih jauh. "Baik, Pak Wisnu. Saya tunggu di sana," jawabnya singkat.Setelah menutup telepon, Wisnu menoleh ke arah Fina yang berdiri di depan pintu Daycare. "Kebetulan nih, saya minta Pak Sus untuk menjemput," ujarnya dengan nada santai.Wisnu melirik jam tangannya. "Sudah jam 8.30. Fina, bagaimana kalau kamu bareng saya ke kantor?" ajaknya dengan ramah.
“Telepon si Sus, aja,” gumannya.Tanpa berpikir lama ia segera menelpon Pak Sus, sopir kantor kepercayaannya. Wisnu menggenggam ponselnya dengan wajah yang memerah. Dia menekan tombol panggilan dan menunggu sambungan. Setelah beberapa detik.“Halo, ya Pak Wisnu,” suara Pak Sus terdengar di seberang.“Pak Sus,” ucap Wisnu dengan suara yang penuh kekesalan, “Cepat jemput saya dengan mobil kantor! Mobil saya mati—““Innalillahi—“ seloroh Pak Sus lirih.“Heh, Bukan saya yang mati,” dengus Wisnu kesal.“Ma-maaf pak, saya tidak begitu kedengaran. Habis di sini berisik pak, ” Pak Sus segera minta maaf dan mengklarifikasi.“Oh ya jangan lupa bawa asistenmu si Paijo, untuk membantu mengurus mobil saya ini,” perintahnya.Suara Wisnu dipenuhi rasa panik dan amarah. Ia tak menyangka paginya akan dimulai dengan situasi yang kacau balau seperti ini."Baik, Pak Wisnu. Laksanakan," jawab Pak Sus dengan suara tenang, berusaha menenangkan Wisnu di tengah kekacauannya. "Saya segera meluncur ke sana. Moho
Keesokan harinya, Winda masih menyimpan rasa curiga, namun berusaha bersikap baik kepada suaminya setelah pertengkaran semalam.“Apa aku, perlu membangunkannya di ruang kerja, ya?” guman Winda.“Tapi ini sudah jam segini dia belum, bangun juga? Apa dia nggak ke kantor hari ini?”“Bangunkan? Tidak?” pikirnya bimbang.Tidak lama kemudian, Wisnu keluar dari ruangan kerja dengan muka kusut dan rambut acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam.“Hadeh! Udah jam 8 aja ini!”“Gawat, kesiangan aku!” serunya. Wisnu pun segera berlari masuk kamar mandi.Setelah selesai mandi, dengan masih bertelanjang dada dan handuk yang melilit pinggang Wisnu menghampiri istrinya yang sedang memulas make up di meja riasnya.“Aduh, Winda! Kenapa nggak bangunin aku?! Ini aku kesiangan, loh! Nanti kalo, kena macet di jalan gimana?!” omelnya sambil melap rambutnya yang basah.Winda yang kaget melihat suaminya bangun kesiangan dan malah disalahkan, langsung mendekat. “Kenapa kamu nyalahin a
Wisnu menatap Fina dengan hangat."Fina, Ini sudah larut malam. Aku tahu kamu lelah. Bagaimana kalau kita pulang bersama?" bisiknya lembut.“Ta-tapi saya, anu, Pak--- “ balas Fina tergagap. Ia merasakan godaan yang kuat, namun ia sadar bahwa ia tidak boleh terperdaya.Wisnu tersenyum. “Tidak baik bagi wanita, jika pulang sendirian larut malam begini,“ rayunya."Terimakasih, tapi saya rasa----“ ucap Fina gugup. Ia terdiam, merasakan perasaannya diaduk-aduk. Kenangan masa lalu kembali membayang, saat mereka masih bersama dan saling mencintai.Tiba-tiba ponsel Wisnu berdering nyaring, memecah kesunyian di antara mereka. Wisnu tampak kesal karena momen yang hampir sempurna untuknya terganggu.“Aish! Sialan!” Wisnu mengumpat lirih.Wajahnya berubah kesal, saat melihat nama Winda sang istri, terpampang di layar ponselnya. "Hadeh dia lagi," desahnya dengan nada kesal bercampur enggan.“Ck! Mau apa lagi Nenek lampir ini?!” umpatnya dengan ketus.Fina terkejut mendengar Wisnu mengumpat, tetapi
“Arrgh! Ndak Mou! Anying!”“Puyaang!” teriak Nunu dengan suara cadelnya, kakinya menendang-nendang tanah, sebagai bentuk protes.“Puyaang! Mamaa!“ Nunu mulai histeris, berguling-guling di halaman Daycare.Ibu-ibu yang menjemput anak-anak mereka, hanya bisa menggelengkan kepala, melihat tingkah laku Nunu yang tak terkendali.“Nuu, tenang dong, jangan bikin malu. Kita baru saja sampai!” lirih Dave, merasa putus asa tidak tahu harus berbuat apa lagi.Untungnya, Bu Deriah, sang kepala Daycare yang ramah dan telaten, segera datang untuk membantu. Dengan senyum hangat dan suara yang menenangkan, Bu Deriah mendekati Nunu sambil membawa sebuah lollipop berwarna merah cerah."Anak manis, jangan menangis," sapanya lembut. "Lihat apa yang Ibu punya?" hiburnya.Nunu terdiam sejenak, menatap lollipop itu dengan mata yang berbinar. Rasa ingin tahunnya mengalahkan rasa sedihnya. Dia pun mengulurkan tangan kecilnya dan mengambil lollipop itu dengan senang hati. Seketika, senyum manis menghiasi wajahn