“Ka-kamu ingin, se-sesuatu yang----" Wisnu tergagap, tidak dapat meneruskan perkataan, ia merasa gugup, mendengar permintaan istrinya.
Sebagai pria mengetahui, makna dibalik perkataan Winda itu. Lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
“Ooh, Roti Baguette, khas Perancis. Maksudmu, kan?” tebaknya asal.
Winda berdecak kesal. ‘Kenapa jadi roti sih?’ batinnya.
Wisnu langsung ngeloyor pergi, tanpa berani melihat istrinya lagi.
"Sayang!” panggil Winda, berjalan menghampiri, lalu menarik lengan suaminya, “Kamu ceroboh sekali!”
“Bawa ini.” Winda mengulurkan Black Card miliknya. ”Pake itu buat bayar kopinya. Passwordnya tanggal lahir aku.”
"Dan…Jangan lama-lama, ya,” bisik Winda di telinga Wisnu.
“I-iya.” Wisnu mengangguk canggung, buru-buru menerima kartu lalu keluar kamar.
Kemudian, Winda segera meraih kotak merah hadiah yang tergeletak di atas meja.
“Ini dari Lalisa. Apa ini isinya,ya?”
Winda membuka kotak itu. Terdapat sebuah botol kecil berukuran 30 ml berwarna perak dan secarik kertas kecil bertuliskan ‘Ramuan Cinta.’
“Hah, ramuan cinta?” Winda penasaran. Ia membaca dengan detail petunjuk penggunaan obat itu. “Lalisa, bestie sialan. Dia tahu saja, apa yang aku butuhkan,” Winda terkikik geli.
Lima belas menit kemudian, Wisnu muncul dengan aroma kopi panas yang menguar dari paper cup di tangannya.
“Sayang, akhirnya kamu kembali.” Winda menyambutnya dengan mesra.
Namun Wisnu tidak menghiraukan, berlalu begitu saja ke kamar mandi, meninggalkan Winda begitu saja.
“Awas aja kamu, sayang,” desis Winda kesal.
Diam-diam Winda, mengambil botol kecil berisi ramuan cinta. Kemudian, menuangkan empat tetes ramuan, ke dalam kopi milik Wisnu yang tergeletak di meja.
“Wisnu, Lihat saja malam ini kau akan bertekuk lutut padaku,” bisiknya.
Tidak lama kemudian, Wisnu mengambil kopinya tanpa curiga, lalu menegak habis kopi yang telah bercampur dengan ramuan cinta alias obat perangsang.
Sementara, Winda memperhatikannya dengan senyuman sinis. ‘Hm, coba lihat apa ramuan cinta itu benar-benar bekerja?’ batinnya.
Tiba-tiba Wisnu, merasakan sensasi aneh di tubuhnya. Ia mulai merasakan sensasi aneh yang menjalar aliran darah.Beberapa bulir keringat halus, mulai tampak di keningnya.
“Ah, panas banget sih, di sini!” keluh Wisnu, melepas kemeja luarnya dengan kasar.
“Kamu kenapa sayang?” tanya Winda pura-pura tidak tahu.
“Entah kenapa, seluruh tubuhku terasa panas. Ah—“ desah Wisnu.
“Oh, mungkin itu efek kopi Perancis yang kamu minum,” seloroh Winda asal.
“Aku nggak tahan, lagi!” guman Wisnu lirih. Lalu dengan cepat ia melepas semua pakainya, membuangnya ke lantai, begitu saja.
Winda tenganga melihat tubuh gagah Wisnu. “Oh my god!” pekiknya lirih.
Dengan senyuman nakal ia mendekat. Tubuh indahnya dibalut lingerie merah menyala membakar gairah. Tanpa aba-aba ia, langsung duduk diatas pangkuan Wisnu. tangannya mulai membelai tubuh atletis Wisnu.
"Hai, Tuan Suami yang terhormat," bisiknya menggoda. "Tampaknya, anda hanya bisa disembuhkan oleh sentuhanku?"
Wisnu menelan ludah, "A-apa maksudmu, Winda?" tanyanya cemas, dengan suara sedikit serak. Jantung Wisnu berdegup semakin kencang, tubuhnya menegang,
Ia tak mampu menolak godaan yang begitu manis di hadapannya. Dunia seakan berhenti berputar, seirama dengan alunan melodi gairah, yang mulai mengalun deras dalam darahnya.
"Kau milikku sekarang, Wisnu," bisik Winda di telinga Wisnu. "Tak ada jalan keluar untukmu. Selain tunduk padaku, sayang.”
Tanpa basa-basi, Winda mendaratkan bibirnya pada bibir Wisnu. Sentuhan bibirnya begitu lembut, penuh gairah, membangkitkan desiran panas dalam diri Wisnu Bramastya.
Sehingga, Wisnu pun tak kuasa menahan diri. Ia membalas ciuman Winda dengan penuh gairah, melumat bibirnya dengan penuh hasrat. Detik demi detik, gairah mereka kian memuncak.
Kamar mewah Hotel Le Meurice, menjadi saksi bisu penyatuan dua insan, yang dipaksakan ini.
Malam itu, tembok es yang dibangun oleh Wisnu telah runtuh. Tergantikan dengan desahan dan lenguhan dalam gairah membara.
Waktu terus berlalu, tanpa sadar pagi menyapa. Winda mencondongkan tubuhnya, membelai lembut pipi Wisnu dengan jemarinya.
"Kau benar-benar luar biasa, sayangku," bisik Winda. "Ternyata kau sangat perkasa,”
Mata Winda, berkilat penuh kepuasan saat menatap Wisnu, yang terbaring di sampingnya.
Sementara, Wisnu masih terlelap dengan rambut acak-acakan. Bukti bisu dari malam pertama mereka yang liar dan membara.
"Ah, Fina sedikit lagi...," gumam Wisnu lirih, tanpa sadar ia mengigau.
Winda tersentak kaget. "Hah? Fina?!" Ia langsung memukul dada Wisnu dengan bantal.
Wisnu terbangun dengan binggung. "Apa-apaan kamu? Kenapa memukulku?" Pukulan itu membuat kantuknya langsung hilang seketika.
"Berani sekali kau menyebut wanita lain!" bentak Winda, memukul dada suaminya dengan keras.
"Winda, hentikan. Sakit!" protes Wisnu.
"Siapa Fina!? Apa dia selingkuhanmu, hah?!" cecar Winda, hatinya diliputi rasa cemburu.
“Fi-Fina?” Wisnu kebingungan. Ia harus berpikir cepat untuk mengelak, jangan sampai Winda tahu, bahwa Fina adalah kekasihnya.
“O,oh. I-itu nama kucing peliharaan aku," elak Wisnu, gugup.
Winda memicingkan mata, "Sejak kapan, kau pelihara kucing?”
“Setahun lalu," kilah Wisnu, sedikit nyolot. “Nama panjangnya Fina Meong Wati,” imbuhnya asal bicara.
“Sudahlah! Aku mau mandi sekarang. Gerah!” elak Wisnu, langsung ngeloyor ke kamar mandi.
“Hah? Fina Meong Wati? Aneh sekali nama kucingnya?” Winda merasa janggal.
"Baiklah, aku coba mempercayai dia saat ini," desisnya. “Namun, jika si Wisnu berani selingkuh, kubunuh dia!”
Sementara Wisnu, di kamar mandi, merenungi segala perbuatannya. Entah mengapa, air mata mengalir dari pipinya. Kenangan indah serta rasa bersalah terhadap Fina, kekasihnya, mulai menggerogoti hatinya.
"Fina, maafkan aku. Atas semua yang telah terjadi," rintihnya lirih. Wisnu membiarkan air pancuran shower menyembunyikan air matanya.
“Aku tak bisa lupakanmu, Fina,” rintihnya.
Bulan madu yang seharusnya indah, berubah menjadi mimpi buruk bagi Wisnu. Sentuhan Winda terasa hampa, tak mampu mengobati luka di hatinya.
Wisnu terjebak dalam pernikahan tanpa cinta, dihantui rasa bersalah dan kerinduan pada Fina. Setiap hari bagaikan siksaan, tanpa harapan.
Di tengah keindahan Paris, hatinya membeku, terbelenggu dalam dilema cinta dan tanggung jawab.
Setelah, kembali dari bulan madu 2 minggu di Paris, Wisnu dihadapkan pada beban besar dari mertuanya. Tanggung jawab untuk memimpin, salah satu cabang perusahaan Adiyaksa Group di Bandung.
“Papa ini sudah tua, Wisnu. Dua tahun lagi, sudah saatnya pensiun,” ucap Edi Adiyaksa sambil menatap penuh harap pada menantunya. “Anak Papa cuma Winda dan menantu cuma kamu. Siapa lagi yang akan meneruskan bisnis ini. Jika bukan kalian.”
Wisnu hanya terdiam. Ia tak tertarik dengan bisnis keluarga Adiyaksa.
"Tapi saya--,” dalih Wisnu lirih.
"Kamu tidak usah khawatir, soal biaya,” potong Edi Adiyaksa tegas. ”Papa sudah atur semuanya. Jadi kamu tinggal menjalani saja.”“Dua tahun, sekolah bisnis di INSEAD Fontainebleau, Perancis. Papa rasa cukup membekali dirimu, untuk menjadi pemimpin perusahaan," terang Edi Adiyaksa.Wisnu menelan ludah. ‘Gila aja. Dua tahun? Kenapa harus ke Perancis lagi? Apakah, aku akan dijadikan tumbal olehnya?’ batinnya.Di dalam hati Wisnu berontak. Ia merasa hidupnya kini, dikendalikan oleh sang mertua, Edi Adiyaksa."Sudahlah, terima saja tawaran Papa, sayang!" sahut Winda.“Jarang-jarang, Papaku bermurah hati seperti ini.” Winda tersenyum penuh arti.Wisnu menelan ludah. Perkataan Winda, bagaikan pisau bermata dua, membangkitkan semangat, sekaligus menambah beban di hati Wisnu.Sementara, Edi Adiyaksa sang mantan jendral, terus menatap tajam. Seolah ingin membunuhnya.Wisnu merasa tertekan. "Baiklah, kalo begitu," ucapnya terpaksa.“Bagus!” jawab Edi Adiyaksa singkat.Dua minggu kemudian, Wisn
Kini Fina, berdiri dihadapannya, Wisnu malah salah tingkah.“Ba-bagaimana, bisa kau ada di sini?! Maksudku, kenapa kau di sini?”Pertanyaan itu, meluncur begitu saja. Wisnu berusaha sebisa mungkin, menahan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap lekat, mencerminkan kerinduan yang mendalam.“Saya bekerja di perusahaan ini, Pak,” balas Fina, sopan.“Benarkah?” Wisnu terbelalak. Ia tidak percaya bahwa kekasihnya, kini bekerja di bawah naungan perusahaannya."Benar. Saya baru saja diterima, sebagai staf di divisi keuangan, dua bulan lalu," jawab Fina sopan, mencoba menjelaskan situasinya dengan tertunduk. Ia sengaja menghindari kontak mata dengan Wisnu.“Oh begitu ya,” ucap Wisnu.Sejenak hening menyelimuti ruangan, rasa canggung yang menyelimuti mereka berdua. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Wisnu. Salah satunya, ingin menanyakan perihal ayah kandung Nunu, balita lucu yang merupakan anak Fina. Tapi rasa gengsi dan malu membungkamnya.Pertemuan tak terduga ini, seperti memutar k
"Fina, apa yang terjadi?!" tanya Wisnu tegas, berusaha memahami inti dari keributan yang telah menarik perhatian seluruh kantor."Maaf, Pak Wisnu," Fina terbata-bata, suaranya hampir tak terdengar. "Karena terburu-buru, saya… saya tidak sengaja menabrak ibu…""Apa?! Tidak sengaja?!" potong Winda, dengan nada tinggi. Suaranya melengking tinggi, menarik perhatian para pegawai yang baru keluar ruangan rapat. Mereka mulai berkerumun, menikmati tontonan drama gratis ini. Seolah tontonan sinetron.Dua orang satpam kantor, yang juga mendekat tidak berdaya, dengan tatapan tajam Winda yang sangat mengintimidasi. Seolah menyuruh agar tidak ikut campur. Tidak ada yang berani, melawan Winda Adiyaksa, sang pewaris perusahaan.Winda sudah terbakar amarah, sama sekali tidak peduli dengan sekitar. Ia terus saja, melontarkan kata-kata pedas yang menyudutkan Fina."Heh! Kamu punya mata, nggak?! Kamu menabrakku, sampai hampir jatuh! Masih berani bilang tidak sengaja?!" imbuh, Winda penuh amarah."Ma-m
"Kenapa kau mendadak kasihan padanya, hah?”“Kau tidak kasihan padaku, sayang?”“Istrimu ini, yang hampir saja celaka, karena kecerobohannya! Kecerobohan pegawai bodoh itu!” omel Winda penuh amarah.Wisnu terdiam sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Perkataan sang istri sangat menusuk hatinya. "Bukan apa-apa, sayang," Wisnu berusaha tersenyum manis, meskipun hatinya terasa perih. "Tentu saja. Aku tidak--""Tidak?! Jadi kamu, tidak kasihan padaku?!" potong Winda dengan nada tinggi. Matanya melotot, siap meledakkan emosinya.Wisnu menghela napas panjang, merasakan tekanan. Tapi dia tahu harus tetap menyembunyikan hubungan dan perasaannya terhadap Fina. Jika tidak, Winda bisa membunuhnya.Dengan lembut, Wisnu membelai kepala Winda, “Kamu pasti sudah lelah sekali, hari ini, sayang. Kita pulang bersama saja, naik mobilku,” suaranya terdengar tenang. Namun di dalam hatinya, badai masih bergolak.“Apaan sih?!” elak Winda, sambil menampik tangan suaminya, dengan kasar.Wisnu mendengus ke
Jangan bilang kamu lupa?!” terka Winda.“Hah, iya? Astaga!” sambil menepuk jidat. "Maaf ya, sayang…lupa,” jawabnya polos dengan suara agak sengau, karena pilek.“Kamu ini gimana, sih!” keluh Winda sambil berkacak pinggang. “Mana Pak sopir kantor, sudah pulang duluan!”“Lagian, kenapa bisa basah kuyup begini, sih?!” tanya Winda kesal.Wisnu hanya terdiam, ia sibuk melap ingus di hidungnya dengan sapu tangan. Meskipun merasa kesal dengan omelan sarkas istrinya, tapi ia tidak mungkin bilang kejadian sebenarnya.“Han—chu!” Wisnu terus bersin, karena tidak tahan udara dingin dan air hujan.Winda hanya menghela napas. “Ya sudah, aku saja yang nyetir! Sini kuncinya!” tukasnya. Wisnu pun menyerahkan kunci mobilnya. Mereka berdua segera menuju ke parkiran. Beruntung gerimis sudah reda. Tapi bersin dan pilek Wisnu belum reda.“Kamu duduk belakang aja, ya!” perintah Winda. ”Jangan lupa tutup hidung kalau bersin! Biar nggak nular!”“Iya, Nyonya Besar,” balas Wisnu dengan suara sengau. ‘Sroot!’ Wi
Tidak lama kemudian, terdengar deru mobil Wisnu, memasuki garasi. Winda langsung menoleh ke arah jendela.“Nah, akhirnya pulang juga. Dasar kampret!”Tanpa menunggu lama, saat suaminya masuk ke dalam rumah, Winda langsung mengintrogasinya."Wisnu! Kenapa kamu pulang telat ?!" tanya Winda, dengan tatapan curiga. "Kamu, habis ngelayap ke mana, hah ?!“Ditelepon nggak, diangkat! Di WA nggak, dibales!” cerocos Winda."Enggak, sayang. Aku nggak ngelayap. Cuma ada, proyek yang harus diselesaikan di kantor,” jawab Wisnu dengan santai.“Ah, yang bener?!” tanya Winda dengan tatapan menyelidik."Bener sayang," balas Wisnu sambil melepas dasinya. "Daripada kamu marah-marah terus, mending pijitin aku, deh! Capek banget soalnya.""Ih, males!" protes Winda, dengan lengan terlipat dan wajah cemberut.“Ya, udah kalo gitu. Sini! Kamu mandi lagi, bareng aku aja,” ucap Wisnu dengan senyum nakal. Tanpa banyak bicara ia langsung, lalu menggendong istrinya ke kamar mandi di lantai dua.“Eui, a-apaan ini?!
Keesokan harinya, Dave bergegas ke kontrakan Fina untuk mengembalikan ponsel yang tertinggal di rumahnya.“Fina pasti membutuhkan ini,” gumannya. Namun, ketika sampai di kontrakan Fina, rumah tampak sunyi dengan pagar terkunci. “Fina sudah ke kantor, Mas,” seru Mbak Sari, tetangga sebelah.“Oh, begitu ya Mbak,” balas Dave sambil celingukan. “Dimana Fina menitipkan Nunu?” “Cari Nunu? Dia ada di sini, Mas,” balas Mbak Sari, sambil menunjuk ke arah Nunu yang sedang asyik bermain mobil-mobilan sendirian, di pojokan warung."Nuu, sayang," Dave segera menghampiri balita lucu itu. Memeluk tubuh mungilnya dengan penuh kasih sayang. “Nunu, jangan nakal, ya. Nanti sore, Om jemput Nunu,” ucap Dave lembut.“Mbak Sari, titip Nunu, ya,” kata Dave kepada Mbak Sari, sambil memberikan dua lembar uang seratus ribuan, kepada penjual seblak itu."Iya beres, Mas Dokter," jawab Mbak Sari, dengan wajah sumringah. "Nunu pasti senang di sini. Banyak temannya nanti,” timpalnya sambil ngulek bumbu seblak.Set
Fina yang baru saja keluar, dari gedung pencakar langit, menoleh dan berhenti, saat mendengar suara Wisnu memanggilnya. Tatapan mereka bertemu, kecemasan terpancar jelas di wajah Fina."Ya. Ada apa Pak Wisnu?" Wisnu berjalan mendekat, mencari kata-kata yang tepat untuk memulai. Sementara itu, Dave sudah di dalam mobilnya, mulai celingukan mencari Fina yang tak kunjung muncul."Nuu, Mama Ina kemana, ya?" tanya Dave pada Nunu kecil."Itchuu, Mama," jawab Nunu sambil menunjuk ke arah Fina dan Wisnu.Dave mengerutkan keningnya. ‘Siapa pria berkaca mata, yang bersama Fina itu?’ batinnya. Lalu, dengan langkah cepat, ia membawa Nunu, keluar dari mobil untuk menghampiri.Ketegangan tak terucapkan mengisi udara, saat kedua pria itu bertemu. Dave merasa cemburu melihat Fina bersama pria lain, begitu pula dengan Wisnu yang tidak suka melihat kehadiran Dave.Fina merasa kikuk, di tengah aura berat dari kedua pria itu, mencoba mendinginkan suasana.“Oh Dokter Dave. Perkenalkan ini, Pak Wisnu ada
Matahari Bali menyambut tim dengan hangat saat rombongan perusahaan Wisnu tiba di Bandara Internasional Ngurah Rai. Suasana sibuk terasa di antara lima belas anggota tim, termasuk Wisnu, Fina, dan Pak Burhan, yang berbaris dengan koper-koper mereka. Wisnu, yang berjalan di depan dengan kacamata hitamnya, menoleh ke belakang memastikan semua orang siap.“Fina,” panggilnya dengan nada tegas. “Pastikan semuanya berjalan sesuai jadwal. Ini proyek besar, jangan sampai ada kesalahan.”“Siap, Pak,” jawab Fina sambil menyesuaikan tas selempangnya, meski di dalam hati ada tekanan yang tidak bisa ia abaikan. Tatapan tegas Wisnu selalu berhasil membuatnya merasa seperti seorang anak sekolah yang kena teguran.Wisnu menunjuk ke arah sebuah mobil Alphard putih yang parkir di depan. "Kamu ikut, dengan saya."Fina mencoba menolak dengan sopan. "Terima kasih, Pak Wisnu, tapi saya akan naik minibus dengan yang lain."Wisnu menatapnya tajam. “Saya tidak menerima penolakan, Fina. Cepat naik.”Akhirnya,
Wisnu melangkah maju, mendekatkan dirinya kepada Fina yang masih terpaku di tempat. “Aku tahu kau masih punya perasaan kepadaku, Fina,” ucap Wisnu dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. “Kau bisa mencoba melarikan diri, tapi kau tidak bisa membohongi hatimu sendiri.”Fina menelan ludah, tangannya mencengkeram kuat pinggiran meja untuk menahan diri. Ia menggeleng cepat. “Pak Wisnu, saya mohon… ini tidak benar. Semuanya sudah—“ “Kenapa Fina? kau hanya takut mengakuinya? Kau tidak perlu takut padaku. Aku hanya ingin—“Namun, sebelum kata-katanya selesai.BLAK! Pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar, menggelegar seperti guntur. Kipli, OB baru yang disuruh membeli minuman, muncul tanpa mengetuk. Wajahnya polos, bahkan tampak ceria, ia melangkah masuk ke dalam ruangan direktur sambil membawa tas kresek hitam di tangannya. “Pak Wisnu! Kratindieng-nya kagak ada! Toko sebelah juga kagak jual. Adanya cuma Pocari ama Sprite!” teriak Kipli dengan nada santai, tanpa sadar bahwa ia baru saja
"Kenapa kamu diam?" Wisnu berbisik pelan, suaranya berat dan menggoda. "Apa aku membuatmu tidak nyaman?"Fina menggigit bibir bawahnya, berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. "S-saya hanya---“ Jarak di antara mereka begitu tipis, membuatnya kesulitan mengatur napas, dadanya naik-turun mencoba menguasai dirinya sendiri, namun sekujur tubuhnya terasa lemah di bawah tatapan Wisnu yang begitu intens.“Tolong...,” suaranya nyaris tak terdengar, bergetar di antara keraguan dan rasa yang tak bisa ia pahami. “Ini tidak benar.” Udara di antara mereka terasa berat. Setiap tarikan napas, membawa mereka semakin dekat.Wisnu tertawa kecil, suara rendahnya bergaung di ruang kantor yang kini terasa terlalu sempit dan intim.Kamu tahu, Fina," katanya sambil mempersempit jarak. Napas hangatnya menyapu lembut di leher Fina, membuat kulitnya merinding. "Ada sesuatu yang aku ingin katakan padamu..." Wisnu berbisik, suaranya pelan, nyaris tak terdengar."P-pak Wisnu... ini... tidak seharusnya." Fina men
Saat melihat Fina meninggalkan ruangan divisi marketing, para seniornya menyeletuk sinis, "Lihatlah, si sok tau itu!"“Coba lihat, dia. Pasti mau cari perhatian lagi ke Pak Wisnu."Hati Fina semakin merasa perih mendengar celetukan itu, tapi ia berusaha untuk tidak mempedulikannya. Fina terus mempercepat langkahnya ke ruangan direktur.Fina tiba di ruangan Wisnu dengan napas tersengal-sengal, membawa sejumlah besar dokumen tercetak yang diminta. Dia merasa seperti dipermainkan oleh keadaan, tergesa-gesa karena panggilan tak terduga itu.Wisnu duduk di balik meja, wajahnya tegang namun tak terbaca ekspresinya dengan jelas.“Fina, cepat duduk. Aku butuh dokumen untuk event ini segera."Fina menyerahkan dokumen dengan hati-hati. "Ini dokumen yang diminta, Pak Wisnu."Wisnu, periksa dengan cepat tumpukan dokumen itu. Dahinya berkerut. “Kenapa data para sponsor dan finansialisasi belum selesai?”“Kamu ini apa-apaan, sih! Padahal event sudah semakin dekat! Dan data harus segera aku laporka
‘Akan aku buat kalian menyesal telah menghinaku, para senior!’ Tekad Fina.Udara di divisi marketing terasa panas dan penuh tekanan. Fina mengepalkan tangannya erat, di bawah meja. Kata-kata hinaan para seniornya masih terngiang di telinganya."Tidak bisa dibiarkan," bisiknya. Api mulai bergelora di hatinya. Dalam diam, Fina tidak terima diperlakukan seperti ini."Aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injak harga diriku lagi," bisiknya pelan. Ia siap menghadapi apa pun yang datang.Di saat yang sama, Wisnu, sang CEO, merasakan keanehan di kantornya. Saat kembali ke ruangannya, ia melihat kehadiran petugas kebersihan dan AC yang tidak biasa berkeliaran. Wisnu mengamati, para petugas itu mengenakan pakaian jumpsuit hitam, topi pet hitam, dan handy talky terselip di pinggang. Ada sekitar enam sampai tujuh orang, dengan badan tegap dan terlalu kekar untuk ukuran seorang kuli servis AC.Wisnu mengerutkan kening. Feelingnya yang tajam mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. "Ada ap
Winda menemukan foto lama Wisnu yang tampak mesra dengan seorang wanita muda di dalam laci meja kerja suaminya. Wajahnya memerah, hatinya dipenuhi kecurigaan, cemburu, amarah, dan tanda tanya. "Siapa wanita ini?" gumamnya dengan suara bergetar, matanya menatap tajam pada foto itu seolah-olah berharap mendapatkan jawaban.“Sialan, Wisnu! Sebenarnya kau pria seperti apa?” geramnya.Gejolak emosi mulai merambat mengusai hati Winda Adiyaksa. “Aku tidak bisa membiarkan hal ini---“Dering telepon genggam nyaring berbunyi, “Sh*t!” umpat Winda. Ia pun segera mengangkat panggilan yang ternyata dari Bu Rudi Budiman, salah satu kelompok sosialitanya.“Pagi Jeng Winda, kenapa belum sampai di Hotel? Kami sudah menunggu anda, Jeng” ucapnya dari seberang telepon.“Oh maaf, saya agak telat datang. Karena ada sedikit urusan. Tapi tenang saja Jeng Rudi, saya akan segera OTW ke sana,” balas Winda ramah.“Baiklah, Jeng Winda. Kami tunggu kedatangannya, ya…. Karena kalo tidak ada Jeng Winda, rasanya kuran
Sebuah panggilan dari Pak Sus, sopir kantornya, memecah keheningan."Halo, Pak Wisnu," suara panik Pak Sus terdengar di ujung telepon. "Saya melihat mobil Bapak mogok di pinggir jalan, dekat stasiun pengisisan bahan bakar, arah rumah anda. Tapi, Bapak dimana sekarang? Saya sudah keliling-keliling, tapi tidak ketemu."Wisnu mengerutkan keningnya. "Saya di Daycare seberang jalan, Pak Sus," jawabnya. "Ada sedikit urusan di sini. Tunggu sebentar ya.""Daycare?" Pak Sus mengulang dengan kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa bosnya yang belum memiliki anak itu berada di Daycare. Namun, sopir paruh baya itu tak berani bertanya lebih jauh. "Baik, Pak Wisnu. Saya tunggu di sana," jawabnya singkat.Setelah menutup telepon, Wisnu menoleh ke arah Fina yang berdiri di depan pintu Daycare. "Kebetulan nih, saya minta Pak Sus untuk menjemput," ujarnya dengan nada santai.Wisnu melirik jam tangannya. "Sudah jam 8.30. Fina, bagaimana kalau kamu bareng saya ke kantor?" ajaknya dengan ramah.
“Telepon si Sus, aja,” gumannya.Tanpa berpikir lama ia segera menelpon Pak Sus, sopir kantor kepercayaannya. Wisnu menggenggam ponselnya dengan wajah yang memerah. Dia menekan tombol panggilan dan menunggu sambungan. Setelah beberapa detik.“Halo, ya Pak Wisnu,” suara Pak Sus terdengar di seberang.“Pak Sus,” ucap Wisnu dengan suara yang penuh kekesalan, “Cepat jemput saya dengan mobil kantor! Mobil saya mati—““Innalillahi—“ seloroh Pak Sus lirih.“Heh, Bukan saya yang mati,” dengus Wisnu kesal.“Ma-maaf pak, saya tidak begitu kedengaran. Habis di sini berisik pak, ” Pak Sus segera minta maaf dan mengklarifikasi.“Oh ya jangan lupa bawa asistenmu si Paijo, untuk membantu mengurus mobil saya ini,” perintahnya.Suara Wisnu dipenuhi rasa panik dan amarah. Ia tak menyangka paginya akan dimulai dengan situasi yang kacau balau seperti ini."Baik, Pak Wisnu. Laksanakan," jawab Pak Sus dengan suara tenang, berusaha menenangkan Wisnu di tengah kekacauannya. "Saya segera meluncur ke sana. Moho
Keesokan harinya, Winda masih menyimpan rasa curiga, namun berusaha bersikap baik kepada suaminya setelah pertengkaran semalam.“Apa aku, perlu membangunkannya di ruang kerja, ya?” guman Winda.“Tapi ini sudah jam segini dia belum, bangun juga? Apa dia nggak ke kantor hari ini?”“Bangunkan? Tidak?” pikirnya bimbang.Tidak lama kemudian, Wisnu keluar dari ruangan kerja dengan muka kusut dan rambut acak-acakan. Ia masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam.“Hadeh! Udah jam 8 aja ini!”“Gawat, kesiangan aku!” serunya. Wisnu pun segera berlari masuk kamar mandi.Setelah selesai mandi, dengan masih bertelanjang dada dan handuk yang melilit pinggang Wisnu menghampiri istrinya yang sedang memulas make up di meja riasnya.“Aduh, Winda! Kenapa nggak bangunin aku?! Ini aku kesiangan, loh! Nanti kalo, kena macet di jalan gimana?!” omelnya sambil melap rambutnya yang basah.Winda yang kaget melihat suaminya bangun kesiangan dan malah disalahkan, langsung mendekat. “Kenapa kamu nyalahin a