“Telepon si Sus, aja,” gumannya.Tanpa berpikir lama ia segera menelpon Pak Sus, sopir kantor kepercayaannya. Wisnu menggenggam ponselnya dengan wajah yang memerah. Dia menekan tombol panggilan dan menunggu sambungan. Setelah beberapa detik.“Halo, ya Pak Wisnu,” suara Pak Sus terdengar di seberang.“Pak Sus,” ucap Wisnu dengan suara yang penuh kekesalan, “Cepat jemput saya dengan mobil kantor! Mobil saya mati—““Innalillahi—“ seloroh Pak Sus lirih.“Heh, Bukan saya yang mati,” dengus Wisnu kesal.“Ma-maaf pak, saya tidak begitu kedengaran. Habis di sini berisik pak, ” Pak Sus segera minta maaf dan mengklarifikasi.“Oh ya jangan lupa bawa asistenmu si Paijo, untuk membantu mengurus mobil saya ini,” perintahnya.Suara Wisnu dipenuhi rasa panik dan amarah. Ia tak menyangka paginya akan dimulai dengan situasi yang kacau balau seperti ini."Baik, Pak Wisnu. Laksanakan," jawab Pak Sus dengan suara tenang, berusaha menenangkan Wisnu di tengah kekacauannya. "Saya segera meluncur ke sana. Moho
Sebuah panggilan dari Pak Sus, sopir kantornya, memecah keheningan."Halo, Pak Wisnu," suara panik Pak Sus terdengar di ujung telepon. "Saya melihat mobil Bapak mogok di pinggir jalan, dekat stasiun pengisisan bahan bakar, arah rumah anda. Tapi, Bapak dimana sekarang? Saya sudah keliling-keliling, tapi tidak ketemu."Wisnu mengerutkan keningnya. "Saya di Daycare seberang jalan, Pak Sus," jawabnya. "Ada sedikit urusan di sini. Tunggu sebentar ya.""Daycare?" Pak Sus mengulang dengan kebingungan. Ia bertanya-tanya dalam hati, mengapa bosnya yang belum memiliki anak itu berada di Daycare. Namun, sopir paruh baya itu tak berani bertanya lebih jauh. "Baik, Pak Wisnu. Saya tunggu di sana," jawabnya singkat.Setelah menutup telepon, Wisnu menoleh ke arah Fina yang berdiri di depan pintu Daycare. "Kebetulan nih, saya minta Pak Sus untuk menjemput," ujarnya dengan nada santai.Wisnu melirik jam tangannya. "Sudah jam 8.30. Fina, bagaimana kalau kamu bareng saya ke kantor?" ajaknya dengan ramah.
"Aku tidak mencintainya. Kenapa aku harus menikah dengan Winda?!” Dalam keheningan yang penuh tekanan, Wisnu melihat keluarga besarnya dengan tatapan penuh keputusasaan, mencari setitik cahaya harapan. Namun yang ia temui hanyalah bayangan keputusan yang sudah bulat. "Maafkan Ibu, Wisnu. Tapi ini sudah menjadi kesepakatan," desah Nyonya Dewi dengan suara yang rapuh, tetapi tegas. "Ini satu-satunya jalan terbaik bagi keluarga kita. Demi menyelesaikan hutang dengan keluarga Adiyaksa.” “Asal kau tahu, Wisnu. Mendiang Ayahmu telah menandatangani surat perjanjian dengan keluarga Adiyaksa, sebelum beliau meninggal dunia,” imbuh sang paman yang duduk ujung ruangan. “A-apa?! Mengapa kalian tega menjadikanku, jaminan hutang?” desis Wisnu penuh keputusasaan. "Sudahlah, Nak. Kau harus menerima kenyataan ini," ujar Nyonya Dewi dengan suara yang rendah, “Hanya ini jalan satu-satunya.” “Tapi aku sudah memiliki Fina. Kami saling mencintai, bahkan aku berencana melamarnya, Bu,” terang Wisnu.
“Siapa dia?" desak Winda, wajahnya memerah padam.Winda menatap tajam menuntut jawaban."Kenapa dia menangis? Apa yang kau lakukan padanya, Wisnu?"“Anu, anu itu—“ balas Wisnu terbata-bata, kebingungan. Kesulitan menemukan alasan yang tepat.“Dasar dosen brengsek!” Belum sempat Wisnu menjelaskan, Fina sudah memotong. “Kau akan menerima balasannya! Dasar Kodok Zuma!” makinya lantang.Suara Fina menggema di parkiran, membuat, beberapa staf dan mahasiswa yang kebetulan lewat menoleh ke arah mereka, sambil cekikikan.“Hentikan, Fina! Aku bukan kodok zuma!” bentak Wisnu geram, karena dipermalukan.“Kau akan mati dalam kehampaan, Wisnu!" sumpah serapah keluar dari mulut Fina, disertai derai air mata.Winda terkesiap melihat Fina, berani mengacungkan jari tengahnya, pada Wisnu. “Astaga…” lirihnya.Tanpa berkata apapun, Fina segera berlari ke mobilnya. Suara bantingan pintu mobil berdebam keras menggema di parkiran.Mobil mirip kepik merah itu kemudian, melaju kencang meninggalkan parkiran."
“Ya, Winda, ada apa?”Wisnu tersadar dari lamunannya, memandang istrinya disampingnya yang begitu mendambakan kehangatan darinya."Bisakah kamu memelukku?" pinta Winda sekali lagi, suaranya memendam kesedihan.Tanpa berkata apapun, Wisnu segera memeluk Winda dengan erat, demi melegakan hasrat istrinya. Namun pelukannya terasa hampa dan dingin, tanpa cinta.Jari jemari Winda, menelusup dibalik kimono tidur Wisnu, membelai lembut tubuh atletisnya. Tapi dengan cepat pria itu menangkapnya, menghentikan gerakan jemari lentik itu."Maaf Winda, aku ngantuk sekali," Wisnu berbohong. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbaring berlawanan arah dengan Winda."Oh," jawab Winda singkat. Hatinya teriris, namun berusaha tegar.Dingin menusuk tulang Winda, bukan hanya karena suhu ruangan, tapi juga karena sikap dingin Wisnu di malam pertama pernikahan mereka. ‘Kenapa dia begini?’ batinnya. Malam yang seharusnya penuh kebahagiaan, kini dipenuhi ketidakpastian.‘Apa mungkin dia sedang tidak enak ba
“Ka-kamu ingin, se-sesuatu yang----" Wisnu tergagap, tidak dapat meneruskan perkataan, ia merasa gugup, mendengar permintaan istrinya.Sebagai pria mengetahui, makna dibalik perkataan Winda itu. Lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan.“Ooh, Roti Baguette, khas Perancis. Maksudmu, kan?” tebaknya asal.Winda berdecak kesal. ‘Kenapa jadi roti sih?’ batinnya.Wisnu langsung ngeloyor pergi, tanpa berani melihat istrinya lagi."Sayang!” panggil Winda, berjalan menghampiri, lalu menarik lengan suaminya, “Kamu ceroboh sekali!”“Bawa ini.” Winda mengulurkan Black Card miliknya. ”Pake itu buat bayar kopinya. Passwordnya tanggal lahir aku.”"Dan…Jangan lama-lama, ya,” bisik Winda di telinga Wisnu.“I-iya.” Wisnu mengangguk canggung, buru-buru menerima kartu lalu keluar kamar.Kemudian, Winda segera meraih kotak merah hadiah yang tergeletak di atas meja.“Ini dari Lalisa. Apa ini isinya,ya?”Winda membuka kotak itu. Terdapat sebuah botol kecil berukuran 30 ml berwarna perak dan secarik kertas
"Kamu tidak usah khawatir, soal biaya,” potong Edi Adiyaksa tegas. ”Papa sudah atur semuanya. Jadi kamu tinggal menjalani saja.”“Dua tahun, sekolah bisnis di INSEAD Fontainebleau, Perancis. Papa rasa cukup membekali dirimu, untuk menjadi pemimpin perusahaan," terang Edi Adiyaksa.Wisnu menelan ludah. ‘Gila aja. Dua tahun? Kenapa harus ke Perancis lagi? Apakah, aku akan dijadikan tumbal olehnya?’ batinnya.Di dalam hati Wisnu berontak. Ia merasa hidupnya kini, dikendalikan oleh sang mertua, Edi Adiyaksa."Sudahlah, terima saja tawaran Papa, sayang!" sahut Winda.“Jarang-jarang, Papaku bermurah hati seperti ini.” Winda tersenyum penuh arti.Wisnu menelan ludah. Perkataan Winda, bagaikan pisau bermata dua, membangkitkan semangat, sekaligus menambah beban di hati Wisnu.Sementara, Edi Adiyaksa sang mantan jendral, terus menatap tajam. Seolah ingin membunuhnya.Wisnu merasa tertekan. "Baiklah, kalo begitu," ucapnya terpaksa.“Bagus!” jawab Edi Adiyaksa singkat.Dua minggu kemudian, Wisn
Kini Fina, berdiri dihadapannya, Wisnu malah salah tingkah.“Ba-bagaimana, bisa kau ada di sini?! Maksudku, kenapa kau di sini?”Pertanyaan itu, meluncur begitu saja. Wisnu berusaha sebisa mungkin, menahan gejolak di dalam dirinya. Matanya menatap lekat, mencerminkan kerinduan yang mendalam.“Saya bekerja di perusahaan ini, Pak,” balas Fina, sopan.“Benarkah?” Wisnu terbelalak. Ia tidak percaya bahwa kekasihnya, kini bekerja di bawah naungan perusahaannya."Benar. Saya baru saja diterima, sebagai staf di divisi keuangan, dua bulan lalu," jawab Fina sopan, mencoba menjelaskan situasinya dengan tertunduk. Ia sengaja menghindari kontak mata dengan Wisnu.“Oh begitu ya,” ucap Wisnu.Sejenak hening menyelimuti ruangan, rasa canggung yang menyelimuti mereka berdua. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Wisnu. Salah satunya, ingin menanyakan perihal ayah kandung Nunu, balita lucu yang merupakan anak Fina. Tapi rasa gengsi dan malu membungkamnya.Pertemuan tak terduga ini, seperti memutar k