Seorang wanita berjalan menghampiri Ayra yang sedang duduk bersama dengan Kevin dan Lisa di depan ruang rawat Reyhan."Ayra!"Mendengar suara seseorang memanggil namanya Ayra segera mengedarkan pandangannya mencari sumber suara, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada seorang wanita paruh baya yang sedang berjalan ke arahnya."Ibu." gumam Ayra dengan mata berbinar ternyata wanita yang sedang berjalan ke arahnya merupakan ibunya.Sebelumnya Lisa sudah menelepon Ibunya Ayra, mengatakan kepada beliau bahwa Ayra masih hidup.Ayra segera beranjak dari duduknya berjalan mendekat ke arah ibunya lalu memeluknya dengan erat. Ibu dan anak saling melepas kerinduan setelah dua tahun tidak bertemu. Rasa haru dan bahagia bercampur aduk menjadi satu, tanpa sadar cairan bening menetes dari sudut mata mereka."Ayra, bagaimana keadaanmu Nak?" Bu Rina (ibunya Ayra) bertanya di sela-sela isak tangisnya, semakin erat memeluk putrinya."Ayra baik-baik saja Bu."Kevin dan Lisa saling melempar senyum satu
Reyhan sudah mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan, namun belum ada perusahaan yang memanggilnya untuk interview. Dia saat ini sedang berada di balkon kamarnya. Pandangannya menerawang jauh ke sana. Reyhan kira setelah bebas dari Arland bisa menjalani kehidupan yang bahagia bersama dengan Ayra.Kebahagiaan seolah hanya angan semata. Jangankan untuk membahagiakan Ayra, tempat tinggal dan makan saja masih menumpang dengan mertuanya. Tapi mau bagaimana lagi dirinya belum mendapatkan pekerjaan.Reyhan tersentak kaget ketika merasakan tepukan di bahunya. Seketika dia menoleh ke samping, ternyata Ayra yang baru saja menepuk bahunya."Bikin kaget saja." Reyhan mengusap-usap dadanya."Sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan? Aku perhatikan dari tadi Mas banyak melamun." tanya Ayra merasa heran melihat suaminya lebih banyak diam tidak seperti biasanya."Itu hanya perasaanmu saja kali." jawab Reyhan berusaha tersenyum ke arah istrinya."Kalau Mas ada masalah cerita sama aku, se
Reyhan yang mendengar Ayra mengadu kesakitan segera menoleh ke arahnya dengan raut wajah tampak khawatir, lalu berjalan mendekat."Ayra, kamu kenapa?" tanyanya khawatir."Nggak tahu Mas, tiba-tiba perutku terasa sakit." jawab Ayra sesekali meringis kesakitan, membuat Reyhan semakin merasa khawatir."Apa mau periksa dulu ke dokter?""Nggak perlu Mas, cuma sakit perut doang.""Kamu yakin nggak mau periksa?" Ayra yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawabannya sambil menahan rasa sakit di perutnya."Ok, nanti kalau perutnya semakin terasa sakit bilang sama mas!""Iya Mas." jawab Ayra lirih.Mereka segera naik ke motor meninggalkan area pasar malam. Ketika motor yang mereka naiki mulai berjalan tanpa sengaja Ayra menoleh ke arah beberapa orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Dia terkejut ketika pandangannya tertuju pada sosok yang sangat dikenal olehnya."Kenapa ada di sini, bukankah dia telah ...." batinnya.***Ketika sedang membantu ibunya di butik melayani para pembeli, Ayra
"Jadi aku sedang hamil." gumam Ayra lirih reflek mengusap perutnya."Tapi bukan anak Mas Reyhan ...." gumamnya lagi air matanya langsung mengucur deras membasahi kedua pipinya. Dunianya seakan hancur mengetahui kenyataan pahit menimpa dirinya. Hamil anak dari pria yang dibenci olehnya.Orang yang sejak tadi menguping pembicaraan Bu Rina dan Reyhan adalah Ayra."Di saat aku ingin hidup bahagia bersama dengan Mas Reyhan, kenapa benih yang Mas Arland taburkan justru tumbuh dalam rahimku?"Ayra menutup mulutnya dengan telapak tangannya lalu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia langsung tengkurep di atas kasur, menyembunyikan isak tangisnya dengan batal.Sebelumnya Ayra memang sudah tidur tapi terbangun karena merasa haus, namun dia terkejut menyadari Reyhan tidak ada di sampingnya. Akhirnya Ayra memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum sambil mencari keberadaan suaminya.Ketika hampir sampai di dapur Ayra samar-samar mendengar suara ibunya dari taman belakang rumahnya. Karen
Ketika proses persalinan Ayra berlangsung, Reyhan dengan setia menemaninya bahkan membiarkan Ayra mencakar-cakar tangannya. Sebenarnya dia merasa tidak tega melihat perjuangan Ayra dalam melahirkan seorang bayi. Sebelumnya Reyhan menyarankan Ayra agar melahirkan secara sesar, namun Ayra menolaknya dengan tegas kalau bisa melahirkan secara normal kenapa harus sesar.Ketika suara tangis bayi yang baru dilahirkan terdengar, semua orang yang ada di dalam ruang persalinan tersenyum begitu juga dengan Ayra dan Reyhan."Anak kita sudah lahir." Reyhan tersenyum bahagia lalu mendaratkan kecupan di kening Ayra."Terima kasih, Sayang."Ayra juga turut tersenyum mendengar ucapan suaminya. Dia berharap setelah ini bisa hidup bahagia bersama suami serta putranya, mengubur segala kenangan buruk di masa lalu."Pak, ini putranya." Seorang perawat menyerahkan seorang bayi yang baru saja dilahirkan kepada Reyhan."Terima kasih." Reyhan segera mengulurkan tangannya mengambil alih bayi yang diserahkan ole
"Ayra, mas mohon di ulang tahun Zavier yang ke lima lihatlah ke arahnya." Reyhan menatap penuh harap ke arah Ayra."Kenapa aku harus melakukannya?""Ayra, Zavier itu putramu." Reyhan kembali mengingatkan Ayra tentang status Zavier."Dia bukan putraku." jawab Ayra tegas.Reyhan menghembuskan napasnya dengan kasar, dia benar-benar kehabisan akal dalam membujuk Ayra. Ayra tetap teguh pada pendiriannya. Namun bayangan Zavier memohon kepadanya kembali terlintas di otaknya."Apa yang harus aku lakukan, sangat sulit membujuk Ayra. Tapi bagaimana dengan Zavier?" batin Reyhan bimbang."Ayra, mas mohon kali ini saja!" Reyhan kembali memohon kepada Ayra."Sudah berapa kali aku katakan Zavier bukan putraku, berhenti memintaku untuk peduli dengannya." Ayra meninggikan nada bicaranya, setelahnya dia langsung masuk ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintunya."Ayra!" Reyhan menatap ke arah pintu kamar mandi, dimana Ayra baru saja masuk.Seminggu telah berlalu Zavier menatap ke arah teman-temannya ya
Ayra menuntun Zavier berjalan menuju pantai, sebelumnya dia dan Lisa sudah sepakat untuk bertemu di pantai. Senyumnya mengembang ketika melihat Lisa dan putrinya sedang duduk di kursi yang ada di tepi pantai."Lisa?"Mendengar suara Ayra memanggil namanya, Lisa segera menoleh ke arahnya. "Sini, Ra!"Ayra mempercepat langkah kakinya menuju ke arah Lisa. "Lis, maaf membuatmu menunggu lama.""Nggak kok, aku dan Tiara (putrinya Lisa dan Kevin) juga baru sampai. Ayo duduk!"Ayra menjatuhkan bobot tub uhnya di atas kursi, duduk berhadapan dengan Lisa."Ra, kamu kalau pakai hijab jadi kelihatan lebih muda, seperti baru berumur dua puluh tahun."Ayra mengerutkan keningnya mendengar ucapan Lisa. "Masa sih?""Jika kamu ke sini tidak bersama dengan putramu, aku yakin orang-orang akan mengira kalau kamu masih single.""Nggak mungkinlah, lagipula umurku sudah tiga puluh tahun dan sudah menikah. Sudah ada Zavier juga. Wanita yang sudah menikah dengan wanita yang belum menikah pasti terlihat berbeda
Jantung Ayra seketika berhenti berdetak walau hanya beberapa detik, ketika pandangannya tertuju pada tato gambar naga di punggung Pak Revan, handuk di tangannya bahkan sampai jatuh ke lantai. Tato gambar naga tersebut mengingatkan dirinya pada sosok seseorang di masa lalunya yang telah memberinya luka."Nggak nggak mungkin." Ayra refleks, menggelengkan kepalanya pelan, salah satu tangannya terangkat menutupi mulutnya."Bukankah dia telah ....""Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra dari keterkejutannya, refleks menunduk merasa malu seperti seorang maling yang tertangkap basah."Apa yang baru saja aku lakukan, bisa-bisa Pak Revan mengira aku sedang mengintipnya?" batin Ayra meruntuki kebod0hannya.Perlahan Ayra berjongkok mengambil handuk yang tadi jatuh ke lantai."Maaf Pak, handuknya jatuh saya ganti sama yang lain."Di luar dugaan Ayra, Pak Revan dengan cepat mengambil alih handuk yang ada di tangannya. "Nggak perlu." Ayra membalikkan badannya hendak perg
Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be
KEPERGIAN"Ay, sudah selesai berkemas?" tanya Pak Revan dengan nada jenuh. Ia mondar-mandir di ruang tamu, tampak gelisah menunggu."Belum, Mas," jawab Ayra tanpa menoleh, masih sibuk memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper.Pak Revan mendengus kesal. "Lama banget! Nggak usah bawa pakaian segala, Mas sudah siapkan semuanya buat kamu di rumah!""Aku cuma bawa beberapa potong saja, Mas. Pakaian ini nyaman dipakai," sahut Ayra, tetap melipat pakaian dengan tenang."Terserah," balas Pak Revan ketus."Kalau Mas capek menunggu, pulang dulu saja. Aku bisa menyusul naik mobil sendiri," ujar Ayra ringan.Pak Revan langsung terkesiap. Ia segera masuk ke kamar, menghampiri Ayra dengan sorot mata tajam."Kamu mau kabur?" tanyanya, mendekat dengan langkah lebar.Ayra terkejut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba. Ia refleks menoleh dan menatap wajah Pak Revan. Dari sorot matanya, jelas terlihat kemarahan yang tertahan."Apa ada yang salah dengan ucapanku?" batin Ayra heran."Ka
Pak Revan dan Ayra memasuki lift, diikuti beberapa orang di belakang mereka. Salah satunya adalah Riska.Riska terhenyak ketika matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Ayra. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Ayra di tempat ini. Seketika, ia ingin berbalik dan keluar, tapi pintu lift sudah tertutup.Tidak ada pilihan lain, Riska tetap di dalam. Ia menunduk, jari-jarinya saling meremas, dadanya terasa sesak. Semua dosa masa lalu yang pernah ia lakukan kepada Ayra seakan menghantam kesadarannya sekaligus. Ada dorongan untuk meminta maaf, tapi keberanian tak jua terkumpul. Bahkan menatap Ayra saja ia tak sanggup.Tiba-tiba, suara lembut namun tegas menyapanya."Kamu Riska, kan? Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu."Riska tersentak. Suara itu... suara Ayra. Perlahan, ia menoleh sekilas, kemudian buru-buru menunduk lagi."I-Iya... aku baik," jawabnya, suaranya bergetar.Jantungnya berdegup semakin kencang. Tuhan, semoga lift ini segera berhenti...Rasa bersalah memang ta
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b