"Ayra, mas mohon di ulang tahun Zavier yang ke lima lihatlah ke arahnya." Reyhan menatap penuh harap ke arah Ayra."Kenapa aku harus melakukannya?""Ayra, Zavier itu putramu." Reyhan kembali mengingatkan Ayra tentang status Zavier."Dia bukan putraku." jawab Ayra tegas.Reyhan menghembuskan napasnya dengan kasar, dia benar-benar kehabisan akal dalam membujuk Ayra. Ayra tetap teguh pada pendiriannya. Namun bayangan Zavier memohon kepadanya kembali terlintas di otaknya."Apa yang harus aku lakukan, sangat sulit membujuk Ayra. Tapi bagaimana dengan Zavier?" batin Reyhan bimbang."Ayra, mas mohon kali ini saja!" Reyhan kembali memohon kepada Ayra."Sudah berapa kali aku katakan Zavier bukan putraku, berhenti memintaku untuk peduli dengannya." Ayra meninggikan nada bicaranya, setelahnya dia langsung masuk ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintunya."Ayra!" Reyhan menatap ke arah pintu kamar mandi, dimana Ayra baru saja masuk.Seminggu telah berlalu Zavier menatap ke arah teman-temannya ya
Ayra menuntun Zavier berjalan menuju pantai, sebelumnya dia dan Lisa sudah sepakat untuk bertemu di pantai. Senyumnya mengembang ketika melihat Lisa dan putrinya sedang duduk di kursi yang ada di tepi pantai."Lisa?"Mendengar suara Ayra memanggil namanya, Lisa segera menoleh ke arahnya. "Sini, Ra!"Ayra mempercepat langkah kakinya menuju ke arah Lisa. "Lis, maaf membuatmu menunggu lama.""Nggak kok, aku dan Tiara (putrinya Lisa dan Kevin) juga baru sampai. Ayo duduk!"Ayra menjatuhkan bobot tub uhnya di atas kursi, duduk berhadapan dengan Lisa."Ra, kamu kalau pakai hijab jadi kelihatan lebih muda, seperti baru berumur dua puluh tahun."Ayra mengerutkan keningnya mendengar ucapan Lisa. "Masa sih?""Jika kamu ke sini tidak bersama dengan putramu, aku yakin orang-orang akan mengira kalau kamu masih single.""Nggak mungkinlah, lagipula umurku sudah tiga puluh tahun dan sudah menikah. Sudah ada Zavier juga. Wanita yang sudah menikah dengan wanita yang belum menikah pasti terlihat berbeda
Jantung Ayra seketika berhenti berdetak walau hanya beberapa detik, ketika pandangannya tertuju pada tato gambar naga di punggung Pak Revan, handuk di tangannya bahkan sampai jatuh ke lantai. Tato gambar naga tersebut mengingatkan dirinya pada sosok seseorang di masa lalunya yang telah memberinya luka."Nggak nggak mungkin." Ayra refleks, menggelengkan kepalanya pelan, salah satu tangannya terangkat menutupi mulutnya."Bukankah dia telah ....""Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra dari keterkejutannya, refleks menunduk merasa malu seperti seorang maling yang tertangkap basah."Apa yang baru saja aku lakukan, bisa-bisa Pak Revan mengira aku sedang mengintipnya?" batin Ayra meruntuki kebod0hannya.Perlahan Ayra berjongkok mengambil handuk yang tadi jatuh ke lantai."Maaf Pak, handuknya jatuh saya ganti sama yang lain."Di luar dugaan Ayra, Pak Revan dengan cepat mengambil alih handuk yang ada di tangannya. "Nggak perlu." Ayra membalikkan badannya hendak perg
Ayra mengisi piring suaminya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan suaminya duduk. "Silahkan makan, Mas.""Terima kasih Sayang, ambilkan juga untuk Pak Revan!"Ayra tampak terkejut mendengar perintah suaminya, namun dengan cepat dia merubah kembali ekspresi wajahnya. Dia meraih piring Pak Revan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan Pak Revan duduk."Silahkan makan, Pak." ucap Ayra menunduk.Apa yang dilakukan oleh Ayra tidak luput dari pandangan Pak Revan, yang sedang menatap fokus ke arahnya. Dia menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. "Terima kasih."Setelahnya Ayra mengisi piring Zavier dan piring untuk dirinya sendiri.Reyhan, Pak Revan serta Zavier makan dengan lahap berbeda dengan Ayra, makanan di piringnya hanya diaduk-aduk saja olehnya. Ayra menoleh ke arah suaminya, putranya dan yang terakhir adalah Pak Revan.DEGAyra tampak terkejut ketika menoleh ke arah Pak Revan, ternyata Pak Revan se
"Pagi, Pak." sapa Reyhan yang baru saja masuk ke ruang makan."Pagi juga."Reyhan segera duduk di kursi, tidak lama kemudian Ayra meletakkan sepotong sandwich serta segelas teh hangat di atas meja depan Reyhan duduk."Ini sarapannya, Mas.""Terima kasih, Sayang. Ayo sarapan bareng!" "Mas duluan saja, aku nanti sarapan bareng Zavier.""Ay, tolong masukin peralatan mandi mas yang ada di kamar mandi ke dalam koper!""Iya, Mas."Ayra keluar dari ruang makan menuju ke kamarnya. Dia bergegas mengambil peralatan mandi suaminya, kemudian memasukkannya ke dalam koper. Ayra juga mengecek kembali isi kopernya, memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal.Sekitar pukul lima pagi hari Reyhan dan Pak Revan bersiap-siap pergi ke bandara. Setelah menaruh kopernya ke dalam bagasi mobil, Reyhan berjalan menghampiri Ayra yang sedang berdiri di teras menatap ke arahnya."Sayang, mas pergi dulu ya?" Pamit Reyhan setelah berada di hadapan istrinya, sambil mengulurkan tangan ke arahnya.Ayra yang mel
Ayra tampak terkejut setelah mengetahui orang yang sedang meremas bahunya adalah Pak Revan."Pak, kenapa Anda ada di sini?" tanya Ayra spontan.Bukannya menjawab pertanyaan Ayra, Pak Revan justru balik bertanya. "Kenapa, nggak boleh?"Ayra memutar bola matanya malas mendengarnya, dia kembali mengaduk-aduk nasi gorengnya."Pak, tolong singkirkan tangan Anda dari bahu saya!"Ayra merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh Pak Revan."Nasi goreng buatanmu kelihatannya sangat nikmat.""Pak Revan yang terhormat jaga sikap Anda, singkirkan tangan Anda dari bahu saya!" Ayra kembali berkata dengan tegas, berharap Pak Revan akan segera menyingkirkan tangannya dari bahunya."Aku yakin yang membuatnya pasti jauh lebih nik mat." bisik Pak Revan tepat di samping telinga Ayra.Tubuh Ayra seketika menegang mendengarnya, dia memegang sutil di tangannya dengan erat menahan emosi dalam dirinya. Ingin rasanya dia memukul kepala Pak Revan dengan sutil di tangannya, namun dia berusaha menahan diri."Pak,
Ayra tampak terkejut mendengar ucapan Pak Revan, atasan suaminya itu benar-benar menguji kesabarannya yang setipis tisu dibagi sepuluh. Dia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan berusaha mengendalikan emosi dalam dirinya."Bagaimana?""Terima kasih atas tawarannya Pak, lebih baik saya tidak mengetahuinya." Ayra menutup kembali pintu kamarnya."Sabar sabar, menghadapi Pak Revan membutuhkan kesabaran ekstra." gumam Ayra mengusap-usap dadanya.Detik berikutnya terlihat Reyhan keluar dari kamar mandi, dia memicingkan matanya melihat apa yang dilakukan oleh Ayra. "Sayang, kamu kenapa?"Ayra tersentak kaget mendengar pertanyaan Reyhan, refleks menoleh ke arahnya. "Nggak apa-apa, Mas." jawabnya berusaha tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa."Kalau ada masalah cerita jangan dipendam sendiri, barangkali mas bisa membantumu mencari solusinya!""Aku nggak apa-apa, Mas nggak perlu khawatir." Ayra berusaha meyakinkan suaminya. "Nggak apa-apa kalau kamu belum m
"Ibu kenapa nggak mau ikut?" tanya Zavier heran mendongak menatap wajah ibunya."Nggak apa-apa, Zavier dan Om Revan saja yang ke mall." jawab Ayra mengusap rambut Zavier dengan lembut sambil tersenyum ke arahnya."Zavier ingin sama ibu juga." Zavier menunduk dengan raut wajah tampak sedih.Ayra yang melihatnya segera berjongkok di hadapan Zavier, kedua tangannya diletakkan di sisi kanan dan kirinya."Zavier, ibu sibuk mau membantu nenek di butik jadi nggak bisa ikut Zavier jalan-jalan. Zavier jalan-jalan sama Om Revan saja ya?" Ayra berusaha mencari alasan yang tepat agar Zavier tidak memaksanya ikut dengannya.Perlahan Zavier mengangkat pandangannya menatap ke arah ibunya. "Tapi Bu ....?""Lain kali kalau nggak sibuk ibu ajak Zavier jalan-jalan. Sekarang Zavier jalan-jalan sama Om Revan, jangan nakal!" Zavier menganggukan kepalanya dengan ragu. "Iya Bu."Ayra mendaratkan kecupan singkat di kening Zavier lalu berdiri dari jongkoknya. Dia membuka tasnya mengambil beberapa lembar uang
Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be
KEPERGIAN"Ay, sudah selesai berkemas?" tanya Pak Revan dengan nada jenuh. Ia mondar-mandir di ruang tamu, tampak gelisah menunggu."Belum, Mas," jawab Ayra tanpa menoleh, masih sibuk memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper.Pak Revan mendengus kesal. "Lama banget! Nggak usah bawa pakaian segala, Mas sudah siapkan semuanya buat kamu di rumah!""Aku cuma bawa beberapa potong saja, Mas. Pakaian ini nyaman dipakai," sahut Ayra, tetap melipat pakaian dengan tenang."Terserah," balas Pak Revan ketus."Kalau Mas capek menunggu, pulang dulu saja. Aku bisa menyusul naik mobil sendiri," ujar Ayra ringan.Pak Revan langsung terkesiap. Ia segera masuk ke kamar, menghampiri Ayra dengan sorot mata tajam."Kamu mau kabur?" tanyanya, mendekat dengan langkah lebar.Ayra terkejut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba. Ia refleks menoleh dan menatap wajah Pak Revan. Dari sorot matanya, jelas terlihat kemarahan yang tertahan."Apa ada yang salah dengan ucapanku?" batin Ayra heran."Ka
Pak Revan dan Ayra memasuki lift, diikuti beberapa orang di belakang mereka. Salah satunya adalah Riska.Riska terhenyak ketika matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Ayra. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Ayra di tempat ini. Seketika, ia ingin berbalik dan keluar, tapi pintu lift sudah tertutup.Tidak ada pilihan lain, Riska tetap di dalam. Ia menunduk, jari-jarinya saling meremas, dadanya terasa sesak. Semua dosa masa lalu yang pernah ia lakukan kepada Ayra seakan menghantam kesadarannya sekaligus. Ada dorongan untuk meminta maaf, tapi keberanian tak jua terkumpul. Bahkan menatap Ayra saja ia tak sanggup.Tiba-tiba, suara lembut namun tegas menyapanya."Kamu Riska, kan? Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu."Riska tersentak. Suara itu... suara Ayra. Perlahan, ia menoleh sekilas, kemudian buru-buru menunduk lagi."I-Iya... aku baik," jawabnya, suaranya bergetar.Jantungnya berdegup semakin kencang. Tuhan, semoga lift ini segera berhenti...Rasa bersalah memang ta
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b