Jantung Ayra seketika berhenti berdetak walau hanya beberapa detik, ketika pandangannya tertuju pada tato gambar naga di punggung Pak Revan, handuk di tangannya bahkan sampai jatuh ke lantai. Tato gambar naga tersebut mengingatkan dirinya pada sosok seseorang di masa lalunya yang telah memberinya luka."Nggak nggak mungkin." Ayra refleks, menggelengkan kepalanya pelan, salah satu tangannya terangkat menutupi mulutnya."Bukankah dia telah ....""Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra dari keterkejutannya, refleks menunduk merasa malu seperti seorang maling yang tertangkap basah."Apa yang baru saja aku lakukan, bisa-bisa Pak Revan mengira aku sedang mengintipnya?" batin Ayra meruntuki kebod0hannya.Perlahan Ayra berjongkok mengambil handuk yang tadi jatuh ke lantai."Maaf Pak, handuknya jatuh saya ganti sama yang lain."Di luar dugaan Ayra, Pak Revan dengan cepat mengambil alih handuk yang ada di tangannya. "Nggak perlu." Ayra membalikkan badannya hendak perg
Ayra mengisi piring suaminya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan suaminya duduk. "Silahkan makan, Mas.""Terima kasih Sayang, ambilkan juga untuk Pak Revan!"Ayra tampak terkejut mendengar perintah suaminya, namun dengan cepat dia merubah kembali ekspresi wajahnya. Dia meraih piring Pak Revan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan Pak Revan duduk."Silahkan makan, Pak." ucap Ayra menunduk.Apa yang dilakukan oleh Ayra tidak luput dari pandangan Pak Revan, yang sedang menatap fokus ke arahnya. Dia menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. "Terima kasih."Setelahnya Ayra mengisi piring Zavier dan piring untuk dirinya sendiri.Reyhan, Pak Revan serta Zavier makan dengan lahap berbeda dengan Ayra, makanan di piringnya hanya diaduk-aduk saja olehnya. Ayra menoleh ke arah suaminya, putranya dan yang terakhir adalah Pak Revan.DEGAyra tampak terkejut ketika menoleh ke arah Pak Revan, ternyata Pak Revan se
"Pagi, Pak." sapa Reyhan yang baru saja masuk ke ruang makan."Pagi juga."Reyhan segera duduk di kursi, tidak lama kemudian Ayra meletakkan sepotong sandwich serta segelas teh hangat di atas meja depan Reyhan duduk."Ini sarapannya, Mas.""Terima kasih, Sayang. Ayo sarapan bareng!" "Mas duluan saja, aku nanti sarapan bareng Zavier.""Ay, tolong masukin peralatan mandi mas yang ada di kamar mandi ke dalam koper!""Iya, Mas."Ayra keluar dari ruang makan menuju ke kamarnya. Dia bergegas mengambil peralatan mandi suaminya, kemudian memasukkannya ke dalam koper. Ayra juga mengecek kembali isi kopernya, memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal.Sekitar pukul lima pagi hari Reyhan dan Pak Revan bersiap-siap pergi ke bandara. Setelah menaruh kopernya ke dalam bagasi mobil, Reyhan berjalan menghampiri Ayra yang sedang berdiri di teras menatap ke arahnya."Sayang, mas pergi dulu ya?" Pamit Reyhan setelah berada di hadapan istrinya, sambil mengulurkan tangan ke arahnya.Ayra yang mel
Ayra tampak terkejut setelah mengetahui orang yang sedang meremas bahunya adalah Pak Revan."Pak, kenapa Anda ada di sini?" tanya Ayra spontan.Bukannya menjawab pertanyaan Ayra, Pak Revan justru balik bertanya. "Kenapa, nggak boleh?"Ayra memutar bola matanya malas mendengarnya, dia kembali mengaduk-aduk nasi gorengnya."Pak, tolong singkirkan tangan Anda dari bahu saya!"Ayra merasa risih dengan apa yang dilakukan oleh Pak Revan."Nasi goreng buatanmu kelihatannya sangat nikmat.""Pak Revan yang terhormat jaga sikap Anda, singkirkan tangan Anda dari bahu saya!" Ayra kembali berkata dengan tegas, berharap Pak Revan akan segera menyingkirkan tangannya dari bahunya."Aku yakin yang membuatnya pasti jauh lebih nik mat." bisik Pak Revan tepat di samping telinga Ayra.Tubuh Ayra seketika menegang mendengarnya, dia memegang sutil di tangannya dengan erat menahan emosi dalam dirinya. Ingin rasanya dia memukul kepala Pak Revan dengan sutil di tangannya, namun dia berusaha menahan diri."Pak,
Ayra tampak terkejut mendengar ucapan Pak Revan, atasan suaminya itu benar-benar menguji kesabarannya yang setipis tisu dibagi sepuluh. Dia menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan berusaha mengendalikan emosi dalam dirinya."Bagaimana?""Terima kasih atas tawarannya Pak, lebih baik saya tidak mengetahuinya." Ayra menutup kembali pintu kamarnya."Sabar sabar, menghadapi Pak Revan membutuhkan kesabaran ekstra." gumam Ayra mengusap-usap dadanya.Detik berikutnya terlihat Reyhan keluar dari kamar mandi, dia memicingkan matanya melihat apa yang dilakukan oleh Ayra. "Sayang, kamu kenapa?"Ayra tersentak kaget mendengar pertanyaan Reyhan, refleks menoleh ke arahnya. "Nggak apa-apa, Mas." jawabnya berusaha tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa."Kalau ada masalah cerita jangan dipendam sendiri, barangkali mas bisa membantumu mencari solusinya!""Aku nggak apa-apa, Mas nggak perlu khawatir." Ayra berusaha meyakinkan suaminya. "Nggak apa-apa kalau kamu belum m
"Ibu kenapa nggak mau ikut?" tanya Zavier heran mendongak menatap wajah ibunya."Nggak apa-apa, Zavier dan Om Revan saja yang ke mall." jawab Ayra mengusap rambut Zavier dengan lembut sambil tersenyum ke arahnya."Zavier ingin sama ibu juga." Zavier menunduk dengan raut wajah tampak sedih.Ayra yang melihatnya segera berjongkok di hadapan Zavier, kedua tangannya diletakkan di sisi kanan dan kirinya."Zavier, ibu sibuk mau membantu nenek di butik jadi nggak bisa ikut Zavier jalan-jalan. Zavier jalan-jalan sama Om Revan saja ya?" Ayra berusaha mencari alasan yang tepat agar Zavier tidak memaksanya ikut dengannya.Perlahan Zavier mengangkat pandangannya menatap ke arah ibunya. "Tapi Bu ....?""Lain kali kalau nggak sibuk ibu ajak Zavier jalan-jalan. Sekarang Zavier jalan-jalan sama Om Revan, jangan nakal!" Zavier menganggukan kepalanya dengan ragu. "Iya Bu."Ayra mendaratkan kecupan singkat di kening Zavier lalu berdiri dari jongkoknya. Dia membuka tasnya mengambil beberapa lembar uang
Setelah selesai makan Pak Revan mengajak Zavier ke toko pakaian. Zavier mengedarkan pandangannya mengamati beberapa pakaian yang digantung di sana. Hingga akhirnya pandangannya tertuju pada setelan pakaian anak laki-laki dengan model kekinian. Dia mengamatinya dalam waktu yang cukup lama.Karena merasa penasaran akhirnya Pak Revan mengikuti kemana arah pandang Zavier. "Sepertinya Zavier menginginkannya?" batinnya menerka."Zavier, kamu mau pakaian yang itu?" tanya Pak Revan menoleh ke arah Zavier."Nggak Om, harganya mahal." jawab Zavier berusaha tersenyum.Zavier pernah pergi ke toko pakaian bersama dengan ibunya. Dia ingin sekali membeli pakaian yang modelnya sama dengan pakaian yang baru saja dilihat olehnya. Namun ibunya mengatakan bahwa pakaian tersebut mahal harganya, sehingga meminta Zavier untuk memilih pakaian yang lainnya, kejadian tersebut tentu saja masih terekam jelas di ingatan Zavier."Kamu tenang saja, Om punya uang untuk membayarnya."Mendengar ucapan Pak Revan, Zavie
Suara dering hp menarik perhatian Ayra, dia segera meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja lalu mengangkat panggilan yang masuk ke hp-nya. "Hallo Mas, apa ada menelpon?" tanya Ayra heran tidak biasanya Reyhan menelpon di saat jam kerja, kecuali ada sesuatu yang mendesak."Dokumen buat meeting nanti siang ada yang tertinggal di rumah, apa kamu bisa mengantarkannya ke kantor? Mas banyak pekerjaan nggak sempat pulang untuk mengambilnya." jawab Reyhan menjelaskan alasan dirinya menelpon."Dokumen yang mana, Mas?""Dokumen yang ada di dalam map berwarna biru, ada di atas meja ruang kerja mas.""Ok, nanti aku antar ke kantor Mas.""Terima kasih, Sayang."Ayra memutuskan panggilannya, dia bergegas mencari dokumen yang dimaksud oleh suaminya. Setelah menemukannya, dia segera pergi ke kantor suaminya untuk mengantarkannya.Ayra menitipkan dokumennya ke resepsionis karena Reyhan tidak bisa menemuinya. Setelahnya dia berjalan keluar dari sana, namun baru beberapa langkah berjalan dia be
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b
Baru beberapa jam menjadi suaminya, Pak Revan sudah marah dan pergi meninggalkannya hanya karena dirinya tidak bisa melayaninya. Ayra benar-benar tak habis pikir dengan pria yang baru saja menikahinya itu. Entah bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini.Merasa ingin buang air kecil, Ayra segera turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Saat melepas pakaian dalamnya, dia melihat ada bercak darah—tanda bahwa dirinya sedang datang bulan. Perkataan dokter Feni benar adanya. Sakit perut yang ia alami memang karena menstruasi.Ayra menepuk jidatnya. "Aduh, bagaimana ini?" batinnya panik. Ia lupa belum membeli pembalut.Sementara itu, di tempat lain, Pak Revan keluar dari dapur restoran setelah membuat larutan gula merah untuk Ayra. Ia berjalan kembali ke kamarnya. Namun, saat masuk, dia tidak menemukan Ayra."Ayra, ke mana, ya?" batinnya bertanya-tanya. Ia meletakkan segelas minuman di atas nakas lalu mengedarkan pandangan, mengamati seisi kamar."Jangan-jangan dia kabur?" pikirny
Dokter Feni mengerutkan kening setelah memeriksa Ayra."Kamu nggak hamil, jadi kenapa mau melakukan aborsi?" tanyanya heran.Ayra menatap dokter Feni dengan bingung."Maksudnya, Dok?"Bukannya langsung menjawab, dokter Feni justru bertanya balik."Kamu mengalami tanda-tanda kehamilan?"Ayra menggeleng pelan. "Tadi perutku terasa sakit...""Hanya karena sakit perut kamu berpikir sedang hamil?" Dokter Feni menatapnya dengan tatapan tak percaya.Ayra terdiam. Dia sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar hamil atau tidak. Pak Revan langsung menuduhnya hamil hanya karena dia mengeluh sakit perut, lalu menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Kalau dipikir-pikir, suaminya benar-benar aneh."Orang sakit perut belum tentu hamil. Kamu sakit perut karena akan datang bulan. Bukannya kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" jelas dokter Feni.Ayra akhirnya mengerti. Memang, sebelum atau saat datang bulan, dia sering mengalami sakit perut dan pusing."Jadi saya nggak hamil, Dok?" tanyanya
Keputusan yang Kejam Menyadari wajah Pak Revan begitu dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat di kulit, Ayra berusaha mundur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan, membuatnya tak bisa menghindar saat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Kamar hotel Sonata menjadi saksi atas kebersamaan mereka malam itu, hingga tiba-tiba Ayra mengerang pelan. Wajahnya menegang, tangannya refleks meremas perutnya yang terasa sakit. Pak Revan menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan kecurigaan. "Kamu hamil?" bentaknya, suaranya penuh emosi. Ayra menegang. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah tatapan pria itu—suaminya sendiri. Tanpa menjawab, Ayra perlahan merapikan pakaian yang sempat berantakan, lalu berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, Pak Revan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kita ke rum
Pak Revan mengajak Ayra masuk ke dalam kamar yang telah dipersiapkan untuk malam pertama pernikahannya. Ketika pintu dibuka Ayra langsung dibuat takjub melihat kamar yang sudah dirias sedemikian rupa. Kelopak-kelopak bunga mawar merah segar bertaburan di atas ranjang, harum semerbaknya menusuk indera penciuman mereka. "Kenapa berhenti?" tanya Pak Revan heran melihat Ayra menghentikan langkah kakinya di ambang pintu."Nggak apa-apa." jawab Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Yakin, kalau kamu tidak suka katakan saja! Kita bisa pindah ke kamar yang lain."Ayra tercengang mendengar penuturan Pak Revan. "Suka kok, siapa yang bilang nggak suka?" ujarnya setelah beberapa saat kemudian."Oh, kirain nggak suka. Kenapa kamu nggak mau masuk ke dalam?"Ayra akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar walaupun awalnya merasa ragu. Dia benar-benar merasa lelah ingin rasanya segera menjatuhkan tu buhnya di atas ranjangnya. Baru saja berdiri di dekat ranjang terdengar suara Pak Revan menyad
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu bikin apa?" Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." Jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi lihat resep di tik_tok, lalu memutuskan untuk mencoba membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke kamar mandi seketika menghent
Dua orang pramusaji menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja depan Ayra dan Pak Revan duduk."Mari makan!" Pak Revan mulai menikmati makanannya.Ayra sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat Zavier datang. Makanan di depannya dibiarkan begitu saja, dia akan memakannya setelah putranya datang agar bisa makan bersama begitulah pikirnya.Pak Revan merasa heran melihat makanan di depan Ayra masih utuh belum disentuh sama sekali. "Ay, kenapa nggak makan? Kamu nggak suka, atau mau pesan yang lain?" tanyanya."Ini saja sudah cukup, Kak." jawab Ayra, namun pandangannya tertuju ke arah pintu."Apa mau disuapi?" tawar Pak Revan tersenyum misterius ke arah Ayra."Nggak, Kak." Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Makan sekarang!" titah Pak Revan tegas.Ayra akhirnya menyantap makanannya sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Menit demi menit telah berlalu, namun Zavier belum juga datang."Kenapa Zavier nggak datang-datang, apa Pak Revan membohongiku?" batin Ayra menoleh sekilas k
Semalam Ayra tidak jadi pulang, akhirnya dia memutuskan untuk pulang di pagi harinya. Beruntung hpnya tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan dompetnya. Sedangkan tasnya sudah dibuang ke tong sampah oleh Pak Revan, kemudian Pak Revan memberikan tas baru untuknya.Diamatinya tas yang kini ada di tangannya, tas pemberian dari Pak Revan beberapa waktu yang lalu menggantikan tasnya yang telah dibuang ke tong sampah."Bagus." gumamnya lirih."Bu!" panggil Zavier, seketika Ayra menoleh ke arahnya. "Zavier sudah bangun?" tanya Ayra dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Zavier justru balik bertanya. "Ibu mau kemana?" tanya Zavier heran melihat ibunya sudah bersiap-siap seperti hendak pergi."Pulang."Zavier mengerucutkan bibirnya mendengarnya. "Bu, kita tinggal di sini saja ya, please! Zavier betah tinggal di sini ada kolam renangnya, om ganteng juga baik sama Zavier." Zavier menatap penuh harap ke arah ibunya."Iya Zavier tetap tinggal di sini, ibu yan
Di samping gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama Reyhan, Ayra berjongkok lalu meletakkan seikat bunga di atas makam. "Mas." panggilannya lirih menatap sendu makam Reyhan, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya.Waktu berlalu begitu cepat rasanya baru kemarin Reyhan datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya, namun sekarang jasadnya telah terkubur di dalam tanah. "Mas, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian, kenapa nggak mengajakku?" Suara Ayra terdengar begitu memilukan."Bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini selanjutnya tanpamu, Mas?" lanjutnya.Dia merasa hampa separuh jiwanya seolah telah menghilang. Buliran-buliran yang membasahi kedua pipinya dibiarkan begitu saja.Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, namun entah kenapa rasanya begitu berat mengikhlaskan seseorang yang selama ini selalu ada di saat suka maupun duka. Meminjamkan bahunya dengan ikhlas di saat diri ini merasa lelah, mendengarkan setiap keluh kesah tentang rumitnya kehid