"Bu, Ayra mau jemput Zavier dulu?" pamit Ayra kepada ibunya ketika mereka berada di butik milik Bu Rina (Ibunya Ayra)."Iya sana! Lebih kamu yang menunggu Zavier, daripada Zavier yang menunggumu. Sekarang banyak kasus penculikan kamu harus hati-hati, jangan sampai Zavier menjadi salah satu korbannya!" ujar Bu Rina mengingatkan putrinya."Iya Bu." Ayra meraih tangan ibunya lalu mencium punggung tangannya."Ayra, semoga kebahagiaan selalu menyertai keluarga kecilmu!" batin Bu Rina penuh harap, menatap kepergian Ayra yang semakin menjauh darinya.Ingatannya terlempar pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika Ayra dan Reyhan dinyatakan meninggal dunia karena rumahnya kebakaran. Namun dua tahun setelah kejadian tersebut, dirinya kembali dipertemukan dengan Ayra yang ternyata masih hidup. Karena ada seseorang yang memanipulasi kematian Ayra dan Reyhan waktu itu, Bu Rina berharap kejadian tersebut tidak akan menimpa Ayra maupun Reyhan kembali.Ayra berjalan menuju mobilnya, namun ketika
"Om!" Zavier mengarahkan sesendok es krim ke mulut Pak Revan. Pak Revan yang melihatnya segera membuka mulutnya membiarkan sesendok es krim masuk ke dalamnya."Manis 'kan, Om?" tanya Zavier dengan mata berbinar menatap ke arah Pak Revan."Manis." jawab Pak Revan sambil tersenyum ke arah Zavier.Mereka saling menyuapi es krim satu sama lain diiringi canda dan tawa terlihat begitu bahagia. Apa yang mereka lakukan tidak luput dari pandangan Ayra yang berada tidak jauh dari mereka. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya melihat kebersamaan mereka."Ibu!" Panggil Zavier yang tidak sengaja melihat Ayra berada tidak jauh darinya.Setelah mendengar Zavier memanggilnya, Ayra berjalan mendekat ke arah mereka. "Ibu ke sini nyusul Zavier, ya?" tebak Zavier dengan polosnya."Iya, ibu mau ke supermarket Zavier mau ikut nggak?" "Ikut, tapi Zavier makan es krim dulu." Zavier melanjutkan makan es krimnya."Ok.""Ay, duduk dulu!" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra, bahwa di sana tidak hanya dirinya dan
Ayra menjeda ucapannya membuat Reyhan merasa semakin penasaran. "Pak Revan kenapa, Ay?" tanya Reyhan menatap lekat Ayra menuntut jawaban darinya.Ayra hanya diam mendadak lidahnya terasa kelu, ada beberapa kata yang ingin diucapkan olehnya namun tersangkut di tenggorokan. Melihat Ayra hanya diam Reyhan merasa khawatir, entah kenapa perasaannya semakin tidak tenang takut sesuatu yang buruk telah terjadi pada istrinya. Dia mengulurkan tangannya merengkuh tub uh Ayra ke dalam pelukannya. Tangannya bergerak mengusap-usap punggungnya berharap bisa memberinya ketenangan.Ayra menempelkan kepalanya pada dada Reyhan mencari kenyamanan, sesekali memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian Ayra membuka mulutnya, melanjutkan ucapannya yang tadi sempat tertunda."Mas Arland." Dua kata tersebut akhirnya lolos dari mulut Ayra.Reyhan yang mendengarnya tampak terkejut, seketika melebarkan matanya. "Arland?" "Pak Revan dan Mas Arland sebenarnya ...." Lagi-lagi Ayra menjeda ucapannya."Kenapa dengan
Pak Revan mengambil alih satu cup es kelapa muda dari tangan Ayra. "Pak!" bentak Ayra merasa kesal melihat Pak Revan mengambil alih satu cup es kelapa muda dari tangannya."Aku haus minta satu, jangan terlalu pelit jadi orang!" Pak Revan berkata dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun lalu menyeruput es kelapa muda yang ada di tangannya.Ayra semakin merasa kesal melihat Pak Revan dengan santainya menyeruput es kelapa muda miliknya. "Kalau haus seharusnya Anda membelinya sendiri, bukan malah merebut milik orang lain!" sindirnya.Pak Revan menyunggingkan senyum tipis mendengar sindiran yang diucapkan oleh Ayra. "Bilang aja kalau haus, ini minum!" Pak Revan menyodorkan cup es kelapa muda yang isinya hanya tinggal setengah ke arah Ayra.Ayra langsung mendelik melihat Pak Revan menyodorkan cup es kelapa muda yang isinya hanya tinggal setengah. "Buat Anda saja." tolak Ayra."Nggak perlu malu-malu, dulu kita juga pernah minum satu cup berdua." Pak Revan tersenyum penuh arti ke ara
Seorang anak laki-laki berusia lima tahun terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Perlahan membuka matanya, pandangannya kosong masih shock dengan kecelakaan yang baru saja dialami olehnya. Beruntung dia tidak mengalami luka serius, hanya beberapa luka ringan di kulitnya. Tidak lama kemudian terlihat seorang pria berjalan menghampirinya, senyuman mengembang di bibirnya. Ada perasaan lega di hatinya melihat Zavier telah sadar."Zavier!" panggil pria tersebut dengan lembut, yang tidak lain adalah Pak Revan.Zavier hanya melirik sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun.Pak Revan mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap rambut Zavier dengan lembut. "Zavier!"Zavier hanya diam tanpa merespon, membuat Pak Revan menghela nafas panjang.Hanya Zavier yang saat ini sudah sadar, Ayra kondisinya semakin memburuk kemungkinan kecil nyawanya bisa diselamatkan. Sedangkan Bu Rina dan Reyhan nyawanya tidak bisa diselamatkan."Ibu." Terdengar suara Zavier lirih, Pak Rev
Kondisi Zavier sudah semakin membaik, dia juga sudah mau berbicara seperti sebelum kecelakaan terjadi. Selama Zavier dirawat di rumah sakit, Pak Revan yang menjaganya. Pekerjaan di kantor dia serahkan kepada asistennya, jika ada hal penting barulah dia akan ke kantor.Hari ini Zavier sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Setelah membayar biaya administrasinya Pak Revan mengajak Zavier pulang, namun sebelum pulang mereka masuk ke dalam ruang rawat Ayra terlebih dahulu.Sampai detik ini Ayra belum juga sadar, entah sampai kapan dia akan berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. "Ibu!" panggil Zavier dengan mata berkaca-kaca menatap sendu wajah pucat Ayra."Kalau ibu nggak sadar-sadar Zavier sama siapa?" Suara Zavier terdengar begitu menyayat hati, air matanya menetes begitu saja dari sudut matanya.Melihat Zavier menangis, Pak Revan segera mendekat ke arahnya lalu merengkuh tub uhnya. Tangannya bergerak mengusap-usap punggungnya berharap bisa memberinya ketenangan."Ibumu pasti a
Mendengar suara pintu dibuka Ayra segera menoleh ke arah pintu, berharap Reyhan, Zavier atau Bu Rina yang datang. Setelah sadar Ayra belum melihat mereka bertiga sama sekali.DEGBetapa terkejutnya Ayra ketika melihat orang yang datang bukanlah suaminya, putranya ataupun ibunya melainkan seseorang yang tidak pernah dia harapkan kedatangannya."Pak Revan." gumamnya lirih dengan cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.Pak Revan berjalan mendekat ke arah Ayra. "Kamu sudah sadar?""Iya." jawab Ayra lirih tanpa sedikitpun menoleh ke arah Pak Revan.Pak Revan tampak kecewa melihat Ayra enggan menatap ke arahnya. Tanpa aba-aba dia menjatuhkan bobot tub uhnya di tepi ranjang dekat Ayra duduk. Ayra tersentak karenanya, refleks menoleh ke arahnya lalu beringsut sedikit menjauh.Pak Revan menatap lekat ke arah Ayra, membuat Ayra merasa tidak nyaman apalagi ketika pandangan mereka saling bertemu tanpa sengaja. Ayra sesekali menoleh ke arah pintu berharap Reyhan atau Bu Rina datang menjenguknya.
Ayra tampak terkejut mendengarnya seolah dunianya berhenti saat itu juga, tub uhnya terasa lemas pikirannya kacau. Dia tidak pernah menyangka suaminya pergi meninggalkannya, tanpa bisa dicegah olehnya."Nggak nggak mungkin!" Teriak Ayra menyangkalnya, buliran-buliran bening mengalir deras membasahi kedua pipinya.Beberapa saat kemudian Ayra menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipinya lalu menoleh ke arah Pak Revan."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap suamiku?" tanya Ayra menatap penuh kebencian ke arah Pak Revan dadanya naik turun, tidak ada lagi sopan santun amarah telah menguasai dirinya. Dia yakin Pak Revan merupakan dalang dari kematian suaminya.Pak Revan menanggapi pertanyaan Ayra dengan santainya. "Aku tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu menyalakanku?" Ayra semakin geram mendengar ucapan Pak Revan. "Breng sek, berani berbuat tapi tidak mau mengakuinya." umpatnya penuh kekesalan.Dia mengambil bantal lalu melemparkannya ke arah Pak Revan. "Seharusnya yang m
Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be
KEPERGIAN"Ay, sudah selesai berkemas?" tanya Pak Revan dengan nada jenuh. Ia mondar-mandir di ruang tamu, tampak gelisah menunggu."Belum, Mas," jawab Ayra tanpa menoleh, masih sibuk memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper.Pak Revan mendengus kesal. "Lama banget! Nggak usah bawa pakaian segala, Mas sudah siapkan semuanya buat kamu di rumah!""Aku cuma bawa beberapa potong saja, Mas. Pakaian ini nyaman dipakai," sahut Ayra, tetap melipat pakaian dengan tenang."Terserah," balas Pak Revan ketus."Kalau Mas capek menunggu, pulang dulu saja. Aku bisa menyusul naik mobil sendiri," ujar Ayra ringan.Pak Revan langsung terkesiap. Ia segera masuk ke kamar, menghampiri Ayra dengan sorot mata tajam."Kamu mau kabur?" tanyanya, mendekat dengan langkah lebar.Ayra terkejut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba. Ia refleks menoleh dan menatap wajah Pak Revan. Dari sorot matanya, jelas terlihat kemarahan yang tertahan."Apa ada yang salah dengan ucapanku?" batin Ayra heran."Ka
Pak Revan dan Ayra memasuki lift, diikuti beberapa orang di belakang mereka. Salah satunya adalah Riska.Riska terhenyak ketika matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Ayra. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Ayra di tempat ini. Seketika, ia ingin berbalik dan keluar, tapi pintu lift sudah tertutup.Tidak ada pilihan lain, Riska tetap di dalam. Ia menunduk, jari-jarinya saling meremas, dadanya terasa sesak. Semua dosa masa lalu yang pernah ia lakukan kepada Ayra seakan menghantam kesadarannya sekaligus. Ada dorongan untuk meminta maaf, tapi keberanian tak jua terkumpul. Bahkan menatap Ayra saja ia tak sanggup.Tiba-tiba, suara lembut namun tegas menyapanya."Kamu Riska, kan? Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu."Riska tersentak. Suara itu... suara Ayra. Perlahan, ia menoleh sekilas, kemudian buru-buru menunduk lagi."I-Iya... aku baik," jawabnya, suaranya bergetar.Jantungnya berdegup semakin kencang. Tuhan, semoga lift ini segera berhenti...Rasa bersalah memang ta
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b