Reyhan yang mendengar Ayra mengadu kesakitan segera menoleh ke arahnya dengan raut wajah tampak khawatir, lalu berjalan mendekat."Ayra, kamu kenapa?" tanyanya khawatir."Nggak tahu Mas, tiba-tiba perutku terasa sakit." jawab Ayra sesekali meringis kesakitan, membuat Reyhan semakin merasa khawatir."Apa mau periksa dulu ke dokter?""Nggak perlu Mas, cuma sakit perut doang.""Kamu yakin nggak mau periksa?" Ayra yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawabannya sambil menahan rasa sakit di perutnya."Ok, nanti kalau perutnya semakin terasa sakit bilang sama mas!""Iya Mas." jawab Ayra lirih.Mereka segera naik ke motor meninggalkan area pasar malam. Ketika motor yang mereka naiki mulai berjalan tanpa sengaja Ayra menoleh ke arah beberapa orang yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Dia terkejut ketika pandangannya tertuju pada sosok yang sangat dikenal olehnya."Kenapa ada di sini, bukankah dia telah ...." batinnya.***Ketika sedang membantu ibunya di butik melayani para pembeli, Ayra
"Jadi aku sedang hamil." gumam Ayra lirih reflek mengusap perutnya."Tapi bukan anak Mas Reyhan ...." gumamnya lagi air matanya langsung mengucur deras membasahi kedua pipinya. Dunianya seakan hancur mengetahui kenyataan pahit menimpa dirinya. Hamil anak dari pria yang dibenci olehnya.Orang yang sejak tadi menguping pembicaraan Bu Rina dan Reyhan adalah Ayra."Di saat aku ingin hidup bahagia bersama dengan Mas Reyhan, kenapa benih yang Mas Arland taburkan justru tumbuh dalam rahimku?"Ayra menutup mulutnya dengan telapak tangannya lalu berjalan masuk kembali ke dalam kamarnya. Dia langsung tengkurep di atas kasur, menyembunyikan isak tangisnya dengan batal.Sebelumnya Ayra memang sudah tidur tapi terbangun karena merasa haus, namun dia terkejut menyadari Reyhan tidak ada di sampingnya. Akhirnya Ayra memutuskan untuk ke dapur mengambil air minum sambil mencari keberadaan suaminya.Ketika hampir sampai di dapur Ayra samar-samar mendengar suara ibunya dari taman belakang rumahnya. Karen
Ketika proses persalinan Ayra berlangsung, Reyhan dengan setia menemaninya bahkan membiarkan Ayra mencakar-cakar tangannya. Sebenarnya dia merasa tidak tega melihat perjuangan Ayra dalam melahirkan seorang bayi. Sebelumnya Reyhan menyarankan Ayra agar melahirkan secara sesar, namun Ayra menolaknya dengan tegas kalau bisa melahirkan secara normal kenapa harus sesar.Ketika suara tangis bayi yang baru dilahirkan terdengar, semua orang yang ada di dalam ruang persalinan tersenyum begitu juga dengan Ayra dan Reyhan."Anak kita sudah lahir." Reyhan tersenyum bahagia lalu mendaratkan kecupan di kening Ayra."Terima kasih, Sayang."Ayra juga turut tersenyum mendengar ucapan suaminya. Dia berharap setelah ini bisa hidup bahagia bersama suami serta putranya, mengubur segala kenangan buruk di masa lalu."Pak, ini putranya." Seorang perawat menyerahkan seorang bayi yang baru saja dilahirkan kepada Reyhan."Terima kasih." Reyhan segera mengulurkan tangannya mengambil alih bayi yang diserahkan ole
"Ayra, mas mohon di ulang tahun Zavier yang ke lima lihatlah ke arahnya." Reyhan menatap penuh harap ke arah Ayra."Kenapa aku harus melakukannya?""Ayra, Zavier itu putramu." Reyhan kembali mengingatkan Ayra tentang status Zavier."Dia bukan putraku." jawab Ayra tegas.Reyhan menghembuskan napasnya dengan kasar, dia benar-benar kehabisan akal dalam membujuk Ayra. Ayra tetap teguh pada pendiriannya. Namun bayangan Zavier memohon kepadanya kembali terlintas di otaknya."Apa yang harus aku lakukan, sangat sulit membujuk Ayra. Tapi bagaimana dengan Zavier?" batin Reyhan bimbang."Ayra, mas mohon kali ini saja!" Reyhan kembali memohon kepada Ayra."Sudah berapa kali aku katakan Zavier bukan putraku, berhenti memintaku untuk peduli dengannya." Ayra meninggikan nada bicaranya, setelahnya dia langsung masuk ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintunya."Ayra!" Reyhan menatap ke arah pintu kamar mandi, dimana Ayra baru saja masuk.Seminggu telah berlalu Zavier menatap ke arah teman-temannya ya
Ayra menuntun Zavier berjalan menuju pantai, sebelumnya dia dan Lisa sudah sepakat untuk bertemu di pantai. Senyumnya mengembang ketika melihat Lisa dan putrinya sedang duduk di kursi yang ada di tepi pantai."Lisa?"Mendengar suara Ayra memanggil namanya, Lisa segera menoleh ke arahnya. "Sini, Ra!"Ayra mempercepat langkah kakinya menuju ke arah Lisa. "Lis, maaf membuatmu menunggu lama.""Nggak kok, aku dan Tiara (putrinya Lisa dan Kevin) juga baru sampai. Ayo duduk!"Ayra menjatuhkan bobot tub uhnya di atas kursi, duduk berhadapan dengan Lisa."Ra, kamu kalau pakai hijab jadi kelihatan lebih muda, seperti baru berumur dua puluh tahun."Ayra mengerutkan keningnya mendengar ucapan Lisa. "Masa sih?""Jika kamu ke sini tidak bersama dengan putramu, aku yakin orang-orang akan mengira kalau kamu masih single.""Nggak mungkinlah, lagipula umurku sudah tiga puluh tahun dan sudah menikah. Sudah ada Zavier juga. Wanita yang sudah menikah dengan wanita yang belum menikah pasti terlihat berbeda
Jantung Ayra seketika berhenti berdetak walau hanya beberapa detik, ketika pandangannya tertuju pada tato gambar naga di punggung Pak Revan, handuk di tangannya bahkan sampai jatuh ke lantai. Tato gambar naga tersebut mengingatkan dirinya pada sosok seseorang di masa lalunya yang telah memberinya luka."Nggak nggak mungkin." Ayra refleks, menggelengkan kepalanya pelan, salah satu tangannya terangkat menutupi mulutnya."Bukankah dia telah ....""Apa yang sedang kamu lakukan?" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra dari keterkejutannya, refleks menunduk merasa malu seperti seorang maling yang tertangkap basah."Apa yang baru saja aku lakukan, bisa-bisa Pak Revan mengira aku sedang mengintipnya?" batin Ayra meruntuki kebod0hannya.Perlahan Ayra berjongkok mengambil handuk yang tadi jatuh ke lantai."Maaf Pak, handuknya jatuh saya ganti sama yang lain."Di luar dugaan Ayra, Pak Revan dengan cepat mengambil alih handuk yang ada di tangannya. "Nggak perlu." Ayra membalikkan badannya hendak perg
Ayra mengisi piring suaminya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan suaminya duduk. "Silahkan makan, Mas.""Terima kasih Sayang, ambilkan juga untuk Pak Revan!"Ayra tampak terkejut mendengar perintah suaminya, namun dengan cepat dia merubah kembali ekspresi wajahnya. Dia meraih piring Pak Revan mengisinya dengan nasi serta lauk pauk, kemudian meletakkan kembali di atas meja depan Pak Revan duduk."Silahkan makan, Pak." ucap Ayra menunduk.Apa yang dilakukan oleh Ayra tidak luput dari pandangan Pak Revan, yang sedang menatap fokus ke arahnya. Dia menarik sedikit sudut bibirnya ke atas. "Terima kasih."Setelahnya Ayra mengisi piring Zavier dan piring untuk dirinya sendiri.Reyhan, Pak Revan serta Zavier makan dengan lahap berbeda dengan Ayra, makanan di piringnya hanya diaduk-aduk saja olehnya. Ayra menoleh ke arah suaminya, putranya dan yang terakhir adalah Pak Revan.DEGAyra tampak terkejut ketika menoleh ke arah Pak Revan, ternyata Pak Revan se
"Pagi, Pak." sapa Reyhan yang baru saja masuk ke ruang makan."Pagi juga."Reyhan segera duduk di kursi, tidak lama kemudian Ayra meletakkan sepotong sandwich serta segelas teh hangat di atas meja depan Reyhan duduk."Ini sarapannya, Mas.""Terima kasih, Sayang. Ayo sarapan bareng!" "Mas duluan saja, aku nanti sarapan bareng Zavier.""Ay, tolong masukin peralatan mandi mas yang ada di kamar mandi ke dalam koper!""Iya, Mas."Ayra keluar dari ruang makan menuju ke kamarnya. Dia bergegas mengambil peralatan mandi suaminya, kemudian memasukkannya ke dalam koper. Ayra juga mengecek kembali isi kopernya, memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal.Sekitar pukul lima pagi hari Reyhan dan Pak Revan bersiap-siap pergi ke bandara. Setelah menaruh kopernya ke dalam bagasi mobil, Reyhan berjalan menghampiri Ayra yang sedang berdiri di teras menatap ke arahnya."Sayang, mas pergi dulu ya?" Pamit Reyhan setelah berada di hadapan istrinya, sambil mengulurkan tangan ke arahnya.Ayra yang mel
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b
Baru beberapa jam menjadi suaminya, Pak Revan sudah marah dan pergi meninggalkannya hanya karena dirinya tidak bisa melayaninya. Ayra benar-benar tak habis pikir dengan pria yang baru saja menikahinya itu. Entah bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini.Merasa ingin buang air kecil, Ayra segera turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Saat melepas pakaian dalamnya, dia melihat ada bercak darah—tanda bahwa dirinya sedang datang bulan. Perkataan dokter Feni benar adanya. Sakit perut yang ia alami memang karena menstruasi.Ayra menepuk jidatnya. "Aduh, bagaimana ini?" batinnya panik. Ia lupa belum membeli pembalut.Sementara itu, di tempat lain, Pak Revan keluar dari dapur restoran setelah membuat larutan gula merah untuk Ayra. Ia berjalan kembali ke kamarnya. Namun, saat masuk, dia tidak menemukan Ayra."Ayra, ke mana, ya?" batinnya bertanya-tanya. Ia meletakkan segelas minuman di atas nakas lalu mengedarkan pandangan, mengamati seisi kamar."Jangan-jangan dia kabur?" pikirny
Dokter Feni mengerutkan kening setelah memeriksa Ayra."Kamu nggak hamil, jadi kenapa mau melakukan aborsi?" tanyanya heran.Ayra menatap dokter Feni dengan bingung."Maksudnya, Dok?"Bukannya langsung menjawab, dokter Feni justru bertanya balik."Kamu mengalami tanda-tanda kehamilan?"Ayra menggeleng pelan. "Tadi perutku terasa sakit...""Hanya karena sakit perut kamu berpikir sedang hamil?" Dokter Feni menatapnya dengan tatapan tak percaya.Ayra terdiam. Dia sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar hamil atau tidak. Pak Revan langsung menuduhnya hamil hanya karena dia mengeluh sakit perut, lalu menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Kalau dipikir-pikir, suaminya benar-benar aneh."Orang sakit perut belum tentu hamil. Kamu sakit perut karena akan datang bulan. Bukannya kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" jelas dokter Feni.Ayra akhirnya mengerti. Memang, sebelum atau saat datang bulan, dia sering mengalami sakit perut dan pusing."Jadi saya nggak hamil, Dok?" tanyanya
Keputusan yang Kejam Menyadari wajah Pak Revan begitu dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat di kulit, Ayra berusaha mundur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan, membuatnya tak bisa menghindar saat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Kamar hotel Sonata menjadi saksi atas kebersamaan mereka malam itu, hingga tiba-tiba Ayra mengerang pelan. Wajahnya menegang, tangannya refleks meremas perutnya yang terasa sakit. Pak Revan menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan kecurigaan. "Kamu hamil?" bentaknya, suaranya penuh emosi. Ayra menegang. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah tatapan pria itu—suaminya sendiri. Tanpa menjawab, Ayra perlahan merapikan pakaian yang sempat berantakan, lalu berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, Pak Revan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kita ke rum
Pak Revan mengajak Ayra masuk ke dalam kamar yang telah dipersiapkan untuk malam pertama pernikahannya. Ketika pintu dibuka Ayra langsung dibuat takjub melihat kamar yang sudah dirias sedemikian rupa. Kelopak-kelopak bunga mawar merah segar bertaburan di atas ranjang, harum semerbaknya menusuk indera penciuman mereka. "Kenapa berhenti?" tanya Pak Revan heran melihat Ayra menghentikan langkah kakinya di ambang pintu."Nggak apa-apa." jawab Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Yakin, kalau kamu tidak suka katakan saja! Kita bisa pindah ke kamar yang lain."Ayra tercengang mendengar penuturan Pak Revan. "Suka kok, siapa yang bilang nggak suka?" ujarnya setelah beberapa saat kemudian."Oh, kirain nggak suka. Kenapa kamu nggak mau masuk ke dalam?"Ayra akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar walaupun awalnya merasa ragu. Dia benar-benar merasa lelah ingin rasanya segera menjatuhkan tu buhnya di atas ranjangnya. Baru saja berdiri di dekat ranjang terdengar suara Pak Revan menyad
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu bikin apa?" Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." Jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi lihat resep di tik_tok, lalu memutuskan untuk mencoba membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke kamar mandi seketika menghent
Dua orang pramusaji menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja depan Ayra dan Pak Revan duduk."Mari makan!" Pak Revan mulai menikmati makanannya.Ayra sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat Zavier datang. Makanan di depannya dibiarkan begitu saja, dia akan memakannya setelah putranya datang agar bisa makan bersama begitulah pikirnya.Pak Revan merasa heran melihat makanan di depan Ayra masih utuh belum disentuh sama sekali. "Ay, kenapa nggak makan? Kamu nggak suka, atau mau pesan yang lain?" tanyanya."Ini saja sudah cukup, Kak." jawab Ayra, namun pandangannya tertuju ke arah pintu."Apa mau disuapi?" tawar Pak Revan tersenyum misterius ke arah Ayra."Nggak, Kak." Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Makan sekarang!" titah Pak Revan tegas.Ayra akhirnya menyantap makanannya sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Menit demi menit telah berlalu, namun Zavier belum juga datang."Kenapa Zavier nggak datang-datang, apa Pak Revan membohongiku?" batin Ayra menoleh sekilas k
Semalam Ayra tidak jadi pulang, akhirnya dia memutuskan untuk pulang di pagi harinya. Beruntung hpnya tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan dompetnya. Sedangkan tasnya sudah dibuang ke tong sampah oleh Pak Revan, kemudian Pak Revan memberikan tas baru untuknya.Diamatinya tas yang kini ada di tangannya, tas pemberian dari Pak Revan beberapa waktu yang lalu menggantikan tasnya yang telah dibuang ke tong sampah."Bagus." gumamnya lirih."Bu!" panggil Zavier, seketika Ayra menoleh ke arahnya. "Zavier sudah bangun?" tanya Ayra dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Zavier justru balik bertanya. "Ibu mau kemana?" tanya Zavier heran melihat ibunya sudah bersiap-siap seperti hendak pergi."Pulang."Zavier mengerucutkan bibirnya mendengarnya. "Bu, kita tinggal di sini saja ya, please! Zavier betah tinggal di sini ada kolam renangnya, om ganteng juga baik sama Zavier." Zavier menatap penuh harap ke arah ibunya."Iya Zavier tetap tinggal di sini, ibu yan
Di samping gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama Reyhan, Ayra berjongkok lalu meletakkan seikat bunga di atas makam. "Mas." panggilannya lirih menatap sendu makam Reyhan, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya.Waktu berlalu begitu cepat rasanya baru kemarin Reyhan datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya, namun sekarang jasadnya telah terkubur di dalam tanah. "Mas, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian, kenapa nggak mengajakku?" Suara Ayra terdengar begitu memilukan."Bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini selanjutnya tanpamu, Mas?" lanjutnya.Dia merasa hampa separuh jiwanya seolah telah menghilang. Buliran-buliran yang membasahi kedua pipinya dibiarkan begitu saja.Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, namun entah kenapa rasanya begitu berat mengikhlaskan seseorang yang selama ini selalu ada di saat suka maupun duka. Meminjamkan bahunya dengan ikhlas di saat diri ini merasa lelah, mendengarkan setiap keluh kesah tentang rumitnya kehid