Arland membalikkan badannya meninggalkan Riska begitu saja dengan dada naik turun menahan emosi. Riska mengepalkan kedua tangannya menatap Arland yang berjalan semakin menjauh darinya.Dia menjatuhkan bobot tub uhnya di atas kursi pandangannya kosong, tidak pernah menyangka semua akan berakhir seperti ini. Rencananya gagal total, Riska kira dengan cara seperti ini bisa membuat Arland dan Ayra bercerai. Sehingga dirinya bisa secepatnya menikah dengan Arland. Namun yang terjadi di luar ekspektasinya, Arland justru memutuskan hubungan dengannya begitu saja."Kata-kata cinta yang diucapkan oleh Mas Arland ternyata hanya bualan semata, tapi dengan bodohnya aku mempercayainya." gumam Riska setitik air matanya menetes di kedua pipinya dibiarkan begitu saja.***Ayra mengendarai mobilnya secara ugal-ugalan tanpa arah dan tujuan yang jelas pikirannya masih kacau, buliran-buliran bening yang sejak tadi mengembun di pelupuk matanya kini mengalir ke di kedua pipinya. Dia tidak pernah menyangka su
"Sudah tahu sedang marah, masih saja nanya?" batin Ayra heran."Ayra, beri mas kesempatan sekali lagi! Jika perlu kita buat perjanjian?" Arland berharap Ayra mau memaafkan kesalahan dirinya."Buat perjanjian bagaimana maksudnya?" Ayra menoleh ke arah Arland meminta penjelasan darinya.Arland menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan."Perjanjian tentang pernikahan kita, salah satu poinnya yaitu jika mas mengkhianatimu lagi maka jatuh talak mas kepadamu saat itu juga. Selain itu semua harta kekayaan mas dialihkan atas namamu." Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra lalu menatap ke arah Arland memastikan bahwa dirinya tidak salah dengar."Benarkah?""Tentu saja." Jawab berusaha meyakinkan Ayra."Bermesraan dengan wanita di kelab juga termasuk pengkhianatan." Arland terkejut mendengar ucapan Ayra namun dengan cepat merubah kembali ekspresi wajahnya."Kalau begitu setiap kali mas pergi ke kelab kamu harus ikut!" Arland berkata dengan tegas."Lebih baik nggak us
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu sedang bikin apa?" tanya Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi tidak lihat resep bolu panggang di tok tok, jadi pengin mencoba untuk membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke
Arland dan Ayra baru saja selesai sarapan. "Sayang, nanti ada rapat sepertinya mas pulangnya malam. Kamu tidur dulu saja nggak perlu menunggu Mas pulang!" Arland beranjak dari duduknya berjalan mendekat ke arah Ayra. "Iya Mas." Ayra meraih tangan Arland lalu mencium punggung tangannya. Detik berikutnya Arland mendaratkan kecupan singkat di keningnya. "Pulang malam, apakah ini kesempatan untukku pergi ke ruang bawah tanah?" batin Ayra teringat dengan ucapan Mark. "Sayang, kenapa malah melamun?" Arland mengerutkan keningnya merasa heran melihat Ayra seperti sedang memikirkan sesuatu. Suara Arland menyadarkan Ayra dari lamunannya, seketika menoleh ke arahnya. "Nggak apa-apa, aku pasti akan merasa kesepian karena mas pulangnya malam." Ayra berkata dengan raut wajah tampak sedih, berusaha meyakinkan Arland. "Mas janji setelah rapat selesai akan langsung pulang." Ayra mengantarkan Arland sampai ke depan pintu. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan ke arah Arland yang baru saja mas
Kakinya terasa lemas perlahan tub uh Riska merosot terduduk di samping papahnya yang baru saja menghembuskan nafas terakhirnya."Pah, bangun Pah!" raung Riska sambil menggoyang-goyang tub uh papahnya. Namun pak Ardi hanya diam dengan mata telah terpejam sempurna."Jangan tinggalkan Riska, Riska janji tidak akan mengulanginya lagi! Papah, ayo bangun!" Riska meraung-raung berharap Papahnya akan terbangun dari tidur panjangnya. Namun Pak Ardi hanya diam dengan mata terpejam sempurna. Sekeras apapun Riska berteriak sama sekali tidak bisa membangunkan Pak Ardi dari tidur panjangnya. Semua sudah terlambat kini tinggallah penyesalan.***Seolah semesta mendukung rencana Ayra, Bi Asih berpamitan pulang karena anaknya sedang dirawat di rumah sakit."Non, Bibi izin pulang dulu. Anak bibi sedang dirawat di rumah sakit." pamit Bi Asih kepada Ayra setelah mendapat telepon bahwa anaknya sedang dirawat di rumah sakit."Iya Bi, semoga anak Bibi cepat sembuh! Ini ada sedikit uang untuk membeli buah bu
"Kenapa aku nggak kepikiran untuk mengecek cctv?" batin Arland setelah memutuskan sambungan teleponnya.Arland mulai mengecek cctv melalui hp-nya. Dia melihat ketika Bi Asih berpamitan pulang kepada Ayra."Jadi Bi Asih sedang pulang? Ayra sama sekali nggak bilang kepadaku." gumam Arland tanpa mengalihkan pandangannya dari layar hp-nya.DEGArland terkejut mengetahui cctv di belakang rumah serta di depan gudang mati."Apa yang sebenarnya terjadi?" batin Arland merasa heran.Hingga akhirnya pandangan Arland menangkap sosok Ayra keluar melalui pintu belakang, setelah itu dia tidak melihatnya lagi."Jadi Ayra pergi ke ...." Arland beranjak dari duduknya dengan langkah cepat berjalan menuju gudang."Benar dugaanku Ayra pasti berada di ruang bawah tanah." batin Arland setelah melihat pintu menuju ruang bawah tanah terbuka.Mendengar suara kaki melangkah semakin mendekat ke arahnya, Arland menoleh ke belakang. Terlihat Mark berjalan dengan cepat ke arahnya."Mark, sepertinya Ayra berada di r
Pandangannya fokus pada leher Ayra yang dipenuhi dengan tanda kissmark hasil karyanya. Dia kembali mengukir senyum tipis di bibirnya, ada perasaan bangga dalam dirinya.Arland melingkarkan kalung berlian the hope diamond ke leher Ayra."Ayra, kamu nggak akan meninggalkan mas, 'kan?" Arland bertanya menatap sendu wajah Ayra sambil menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinganya. Ayra yang sudah tertidur tentu saja tidak mendengarnya.Arland ikut merebahkan tub uhnya di samping Ayra, meletakkan salah satu tangannya di bawah leher Ayra sedangkan tangan yang lainnya menarik pinggang Ayra agar merapat dengannya. Dia memeluk Ayra dengan erat.Pagi hari Ayra bangun dari tidurnya, menahan rasa sakit di sekujur tu buhnya. Dia merasa lega ketika menoleh ke samping, tidak ada Arland di sampingnya. Apa yang dilakukan oleh Arland tadi malam masih terekam jelas di otaknya. Bukan hanya fisiknya yang terluka, batinnya juga ikut terluka.Dengan hati-hati Ayra turun dari ranjang sesekali merin
Ayra tampak terkejut mendengar ucapan Arland, seketika menunduk dengan jantung berpacu tidak karuan. Berulang kali menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Mas Arland sepertinya sangat marah kepadaku?" batin Ayra asal menebak melihat Arland pergi begitu saja tanpa pamitan kepadanya. Ada rasa bersalah di hatinya, namun di sisi lain dia juga merasa lega karena Arland sudah pergi dari rumah.Setelah kepergian Arland, Ayra segera membereskan meja makan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Seikat bunga mawar yang tergeletak di atas nakas menarik perhatiannya. Ayra segera mengambilnya lalu mengamatinya."Jadi hari ini merupakan anniversary pernikahanku dengan Mas Arland yang kedua. Pantas saja tadi malam Mas Arland sangat marah." gumam Ayra teringat dengan kemarahan Arland tadi malam, setelah membaca notice yang terselip di seikat bunga tersebut lalu meletakkan kembali di atas nakas.Ayra masuk ke dalam kamar mandi melepaskan s
Baru beberapa jam menjadi suaminya, Pak Revan sudah marah dan pergi meninggalkannya hanya karena dirinya tidak bisa melayaninya. Ayra benar-benar tak habis pikir dengan pria yang baru saja menikahinya itu. Entah bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini.Merasa ingin buang air kecil, Ayra segera turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Saat melepas pakaian dalamnya, dia melihat ada bercak darah—tanda bahwa dirinya sedang datang bulan. Perkataan dokter Feni benar adanya. Sakit perut yang ia alami memang karena menstruasi.Ayra menepuk jidatnya. "Aduh, bagaimana ini?" batinnya panik. Ia lupa belum membeli pembalut.Sementara itu, di tempat lain, Pak Revan keluar dari dapur restoran setelah membuat larutan gula merah untuk Ayra. Ia berjalan kembali ke kamarnya. Namun, saat masuk, dia tidak menemukan Ayra."Ayra, ke mana, ya?" batinnya bertanya-tanya. Ia meletakkan segelas minuman di atas nakas lalu mengedarkan pandangan, mengamati seisi kamar."Jangan-jangan dia kabur?" pikirny
Dokter Feni mengerutkan kening setelah memeriksa Ayra."Kamu nggak hamil, jadi kenapa mau melakukan aborsi?" tanyanya heran.Ayra menatap dokter Feni dengan bingung."Maksudnya, Dok?"Bukannya langsung menjawab, dokter Feni justru bertanya balik."Kamu mengalami tanda-tanda kehamilan?"Ayra menggeleng pelan. "Tadi perutku terasa sakit...""Hanya karena sakit perut kamu berpikir sedang hamil?" Dokter Feni menatapnya dengan tatapan tak percaya.Ayra terdiam. Dia sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar hamil atau tidak. Pak Revan langsung menuduhnya hamil hanya karena dia mengeluh sakit perut, lalu menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Kalau dipikir-pikir, suaminya benar-benar aneh."Orang sakit perut belum tentu hamil. Kamu sakit perut karena akan datang bulan. Bukannya kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" jelas dokter Feni.Ayra akhirnya mengerti. Memang, sebelum atau saat datang bulan, dia sering mengalami sakit perut dan pusing."Jadi saya nggak hamil, Dok?" tanyanya
Keputusan yang Kejam Menyadari wajah Pak Revan begitu dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat di kulit, Ayra berusaha mundur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan, membuatnya tak bisa menghindar saat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Kamar hotel Sonata menjadi saksi atas kebersamaan mereka malam itu, hingga tiba-tiba Ayra mengerang pelan. Wajahnya menegang, tangannya refleks meremas perutnya yang terasa sakit. Pak Revan menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan kecurigaan. "Kamu hamil?" bentaknya, suaranya penuh emosi. Ayra menegang. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah tatapan pria itu—suaminya sendiri. Tanpa menjawab, Ayra perlahan merapikan pakaian yang sempat berantakan, lalu berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, Pak Revan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kita ke rum
Pak Revan mengajak Ayra masuk ke dalam kamar yang telah dipersiapkan untuk malam pertama pernikahannya. Ketika pintu dibuka Ayra langsung dibuat takjub melihat kamar yang sudah dirias sedemikian rupa. Kelopak-kelopak bunga mawar merah segar bertaburan di atas ranjang, harum semerbaknya menusuk indera penciuman mereka. "Kenapa berhenti?" tanya Pak Revan heran melihat Ayra menghentikan langkah kakinya di ambang pintu."Nggak apa-apa." jawab Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Yakin, kalau kamu tidak suka katakan saja! Kita bisa pindah ke kamar yang lain."Ayra tercengang mendengar penuturan Pak Revan. "Suka kok, siapa yang bilang nggak suka?" ujarnya setelah beberapa saat kemudian."Oh, kirain nggak suka. Kenapa kamu nggak mau masuk ke dalam?"Ayra akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar walaupun awalnya merasa ragu. Dia benar-benar merasa lelah ingin rasanya segera menjatuhkan tu buhnya di atas ranjangnya. Baru saja berdiri di dekat ranjang terdengar suara Pak Revan menyad
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu bikin apa?" Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." Jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi lihat resep di tik_tok, lalu memutuskan untuk mencoba membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke kamar mandi seketika menghent
Dua orang pramusaji menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja depan Ayra dan Pak Revan duduk."Mari makan!" Pak Revan mulai menikmati makanannya.Ayra sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat Zavier datang. Makanan di depannya dibiarkan begitu saja, dia akan memakannya setelah putranya datang agar bisa makan bersama begitulah pikirnya.Pak Revan merasa heran melihat makanan di depan Ayra masih utuh belum disentuh sama sekali. "Ay, kenapa nggak makan? Kamu nggak suka, atau mau pesan yang lain?" tanyanya."Ini saja sudah cukup, Kak." jawab Ayra, namun pandangannya tertuju ke arah pintu."Apa mau disuapi?" tawar Pak Revan tersenyum misterius ke arah Ayra."Nggak, Kak." Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Makan sekarang!" titah Pak Revan tegas.Ayra akhirnya menyantap makanannya sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Menit demi menit telah berlalu, namun Zavier belum juga datang."Kenapa Zavier nggak datang-datang, apa Pak Revan membohongiku?" batin Ayra menoleh sekilas k
Semalam Ayra tidak jadi pulang, akhirnya dia memutuskan untuk pulang di pagi harinya. Beruntung hpnya tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan dompetnya. Sedangkan tasnya sudah dibuang ke tong sampah oleh Pak Revan, kemudian Pak Revan memberikan tas baru untuknya.Diamatinya tas yang kini ada di tangannya, tas pemberian dari Pak Revan beberapa waktu yang lalu menggantikan tasnya yang telah dibuang ke tong sampah."Bagus." gumamnya lirih."Bu!" panggil Zavier, seketika Ayra menoleh ke arahnya. "Zavier sudah bangun?" tanya Ayra dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Zavier justru balik bertanya. "Ibu mau kemana?" tanya Zavier heran melihat ibunya sudah bersiap-siap seperti hendak pergi."Pulang."Zavier mengerucutkan bibirnya mendengarnya. "Bu, kita tinggal di sini saja ya, please! Zavier betah tinggal di sini ada kolam renangnya, om ganteng juga baik sama Zavier." Zavier menatap penuh harap ke arah ibunya."Iya Zavier tetap tinggal di sini, ibu yan
Di samping gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama Reyhan, Ayra berjongkok lalu meletakkan seikat bunga di atas makam. "Mas." panggilannya lirih menatap sendu makam Reyhan, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya.Waktu berlalu begitu cepat rasanya baru kemarin Reyhan datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya, namun sekarang jasadnya telah terkubur di dalam tanah. "Mas, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian, kenapa nggak mengajakku?" Suara Ayra terdengar begitu memilukan."Bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini selanjutnya tanpamu, Mas?" lanjutnya.Dia merasa hampa separuh jiwanya seolah telah menghilang. Buliran-buliran yang membasahi kedua pipinya dibiarkan begitu saja.Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, namun entah kenapa rasanya begitu berat mengikhlaskan seseorang yang selama ini selalu ada di saat suka maupun duka. Meminjamkan bahunya dengan ikhlas di saat diri ini merasa lelah, mendengarkan setiap keluh kesah tentang rumitnya kehid
Ayra tampak terkejut mendengarnya seolah dunianya berhenti saat itu juga, tub uhnya terasa lemas pikirannya kacau. Dia tidak pernah menyangka suaminya pergi meninggalkannya, tanpa bisa dicegah olehnya."Nggak nggak mungkin!" Teriak Ayra menyangkalnya, buliran-buliran bening mengalir deras membasahi kedua pipinya.Beberapa saat kemudian Ayra menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipinya lalu menoleh ke arah Pak Revan."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap suamiku?" tanya Ayra menatap penuh kebencian ke arah Pak Revan dadanya naik turun, tidak ada lagi sopan santun amarah telah menguasai dirinya. Dia yakin Pak Revan merupakan dalang dari kematian suaminya.Pak Revan menanggapi pertanyaan Ayra dengan santainya. "Aku tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu menyalakanku?" Ayra semakin geram mendengar ucapan Pak Revan. "Breng sek, berani berbuat tapi tidak mau mengakuinya." umpatnya penuh kekesalan.Dia mengambil bantal lalu melemparkannya ke arah Pak Revan. "Seharusnya yang m