Ayra tampak terkejut mendengar ucapan Arland, seketika menunduk dengan jantung berpacu tidak karuan. Berulang kali menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Mas Arland sepertinya sangat marah kepadaku?" batin Ayra asal menebak melihat Arland pergi begitu saja tanpa pamitan kepadanya. Ada rasa bersalah di hatinya, namun di sisi lain dia juga merasa lega karena Arland sudah pergi dari rumah.Setelah kepergian Arland, Ayra segera membereskan meja makan kemudian masuk ke dalam kamarnya. Seikat bunga mawar yang tergeletak di atas nakas menarik perhatiannya. Ayra segera mengambilnya lalu mengamatinya."Jadi hari ini merupakan anniversary pernikahanku dengan Mas Arland yang kedua. Pantas saja tadi malam Mas Arland sangat marah." gumam Ayra teringat dengan kemarahan Arland tadi malam, setelah membaca notice yang terselip di seikat bunga tersebut lalu meletakkan kembali di atas nakas.Ayra masuk ke dalam kamar mandi melepaskan s
Ayra hanya tersenyum kecut mendengarnya, setitik air matanya menetes di kedua pipinya teringat dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh Arland. Apa yang dilakukan oleh Arland tadi malam juga masih meninggalkan luka yang masih terasa sakit sampai detik ini.Arland mengerutkan keningnya merasa heran melihat Ayra meneteskan air matanya."Sayang, kenapa menangis!""A ... ku terharu Mas." jawab Ayra berbohong berusaha tersenyum ke arah Arland.Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland mendengar ucapan Ayra. Tangannya terulur meraih dagu Ayra, dengan gerakan cepat menyatukan bibirnya dengan bibir Ayra lalu memangut nya lembut.Ayra terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Arland, teringat kejadian tadi malam. Tangannya terulur berusaha mendorong dada Arland agar melepaskan tautan bibirnya."Sayang, jangan tinggalkan mas apapun yang terjadi. Mas sangat mencintaimu!" pinta Arland setelah melepaskan tautan bibirnya lalu mengecup kening Ayra dalam waktu yang cukup lama.Ayra hanya memutar bola
"Jangan-jangan Mas Arland sudah merencanakan semua ini, menjual ku kepada pemilik restoran agar bisa bersenang-senang dengan Riska. Benar-benar suami dzalim." monolog dalam hati memegang sendok dan garpu dengan kuat, menahan emosi dalam dirinya."Sayang, makan yang banyak! Melayani pemilik restoran juga butuh tenaga." Ayra semakin geram mendengar ucapan Arland."Kenapa Mas melakukan semua ini kepadaku? Jika Mas ingin menikah dengan Riska aku tidak akan menghalanginya, aku hanya minta satu hal kepada Mas yaitu menceraikan ku!" Ayra menegaskan dengan emosi menggebu-gebu dadanya naik turun, matanya berkaca-kaca bahkan setitik air matanya sudah ada yang menetes di kedua pipinya."Ayra, kita ke sini untuk makan bukan untuk marah-marah!" ujar Arland mengingatkan tanpa merasa bersalah sedikitpun."Tapi kenapa Mas melakukan semua ini kepadaku?" desak Ayra membiarkan buliran-buliran bening mengalir deras di kedua pipinya."Sayang, habiskan dulu makanannya! Menangis juga butuh tenaga." Ayra me
Beberapa orang yang melihatnya hanya berbisik-bisik setelah mendengar ucapan Riska. Sehingga mereka berpikir Ayra merupakan wanita mura han seperti yang dikatakan oleh Riska. Tentu saja tidak ada yang mau membantu Ayra, mereka justru ikut menghinanya.Mark yang baru datang seketika terkejut melihat Ayra duduk di atas lantai sambil menutupi kedua telinganya, air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Tidak jauh darinya terlihat Riska tertawa puas. Beberapa orang yang berada di sekitar mereka tampak berbisik-bisik menjelek-jelekkan Ayra."Nona Ayra!" Teriak Mark, semua orang terdiam setelah mendengarnya begitu juga dengan Riska."Mark, kenapa dia bisa ada di sini?" batin Riska terlihat khawatir."Bubar semuanya!" bentak Mark dengan suara lantang membuat semua yang ada di sana pergi. Kini menyisakan Ayra yang masih menangis serta Riska sambil menunduk."Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Nona Ayra?" tanya Mark menatap tajam ke arah Riska seolah sedang menghakiminya.Riska menarik naf
Setelah mendengar kabar bahwa Ayra mengalami kecelakaan, Arland langsung pergi ke rumah sakit dimana Ayra dirawat. Dengan langkah cepat menaklukkan lorong rumah sakit hingga akhirnya sampai di depan ruang rawat Ayra.Dia membuka pintunya secara perlahan dengan perasaan campur aduk. Terlihat Ayra terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai alat medis yang menempel pada tub uhnya. Dengan langkah pelan Arland berjalan menghampirinya.Cukup lama Arland menatap wajah pucat Ayra dengan pikiran campur aduk tidak karuan. Dia mengulurkan tangannya mengusap rambut Ayra dengan lembut lalu mengecup keningnya."Sayang, bangun! Mas kangen."Arland berkata lirih dengan bibir bergetar bahkan setitik air matanya sampai menetes.Melihat keadaan Ayra seperti ini membuat dirinya seolah kehilangan semangat hidup. Dia meraup wajahnya dengan kasar kembali menatap wajah Ayra dengan pandangan kosong.Pintu dibuka dari luar terlihat Alex masuk ke dalam ruang rawat Ayra, dia tampak terkejut melih
"Arland, Mark ...," Dokter Alex menjeda ucapannya entah kenapa lidahnya mendadak terasa kelu.Mendengar ucapan dokter Alex, Arland segera menoleh ke arahnya sambil mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan Mark?"Dokter Alex menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Arland. "Mark tidak bisa diselamatkan."DEGArland terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh dokter Alex, jantungnya berpacu tidak karuan. "Maksudnya apa?" Arland menatap ke arah dokter Alex, meminta penjelasan darinya."Mark telah meninggalkan kita." Dengan bibir bergetar dokter Alex menjelaskan."Nggak mungkin." Arland menggelengkan kepalanya pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar, seolah belum bisa menerima kenyataan bahwa Mark sudah meninggal dunia.Mark sudah dianggap sahabat oleh Arland sama halnya dengan Alex. Mark merupakan orang yang telah banyak membantu dirinya selama ini. Kesuksesan Arland menjadi seorang pengusaha, owner sekaligus CEO Emerald Gro
Arland mengecup singkat kening Ayra. "Sayang, mas pergi dulu." pamitnya sebelum keluar dari ruang rawat Ayra.Arland mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke gedung kosong. Tidak butuh waktu lama akhirnya dia sampai di sana. Dengan langkah cepat dia masuk ke dalam gedung kosong tersebut.Melihat kedatangan Arland, seorang pria segera menghampiri lalu menyapanya."Bos sudah datang." sapa pria tersebut yang tidak lain adalah Dani, orang ditugaskan oleh Arland untuk menyelidiki kecelakaan yang menimpa Ayra dan Mark."Mana orangnya?" Arland mengedarkan pandangannya."Ada di dalam Bos, ayo aku antar ke sana!"Arland dan Dani berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh Dani lalu masuk ke dalamnya."Bos, itu orangnya!" Dani menunjuk ke arah seseorang yang duduk dengan kaki dan tangannya diikat serta kepalanya ditutup.Arland berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Dani."Dani!""Ya Bos?""Buka penutup kepalanya aku ingin melihat wajahnya!" titah Arland tegas.Dani membuka penutup ke
"Bawa dia keluar dari sini!" titah Arland kepada anak buahnya menunjuk ke arah Reyhan.Ayra menatap nanar ke arah suaminya yang diseret oleh beberapa orang sesekali dipukul."Mas, Mas Reyhan! Lepaskan suamiku!" teriak Ayra sambil berusaha melepaskan diri dari Arland."Diam!" bentak Arland, Ayra terkejut seketika diam menutup mulutnya rapat-rapat dengan jantung berpacu tidak karuan perlahan menunduk. Dalam hati dia terus berdoa agar bisa lepas dari Arland.Arland mengangkat Ayra lalu menggendongnya di bahu layaknya karung beras. Ayra terkejut menyadari dirinya digendong oleh Arland di bahunya. Kepalanya berada di bawah sehingga membuatnya merasa pusing."Turunkan aku!" Ayra memukul-mukul punggung Arland, sambil berusaha menahan rasa pusing di kepalanya."Diam!" bentak Arland merasa geram karena Ayra kembali memberontak.Karena Arland tidak kunjung menurunkan dirinya, akhirnya Ayra menggigit punggung Arland dengan kuat. Arland terkejut menyadari punggungnya digigit oleh Ayra, refleks me
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b
Baru beberapa jam menjadi suaminya, Pak Revan sudah marah dan pergi meninggalkannya hanya karena dirinya tidak bisa melayaninya. Ayra benar-benar tak habis pikir dengan pria yang baru saja menikahinya itu. Entah bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini.Merasa ingin buang air kecil, Ayra segera turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Saat melepas pakaian dalamnya, dia melihat ada bercak darah—tanda bahwa dirinya sedang datang bulan. Perkataan dokter Feni benar adanya. Sakit perut yang ia alami memang karena menstruasi.Ayra menepuk jidatnya. "Aduh, bagaimana ini?" batinnya panik. Ia lupa belum membeli pembalut.Sementara itu, di tempat lain, Pak Revan keluar dari dapur restoran setelah membuat larutan gula merah untuk Ayra. Ia berjalan kembali ke kamarnya. Namun, saat masuk, dia tidak menemukan Ayra."Ayra, ke mana, ya?" batinnya bertanya-tanya. Ia meletakkan segelas minuman di atas nakas lalu mengedarkan pandangan, mengamati seisi kamar."Jangan-jangan dia kabur?" pikirny
Dokter Feni mengerutkan kening setelah memeriksa Ayra."Kamu nggak hamil, jadi kenapa mau melakukan aborsi?" tanyanya heran.Ayra menatap dokter Feni dengan bingung."Maksudnya, Dok?"Bukannya langsung menjawab, dokter Feni justru bertanya balik."Kamu mengalami tanda-tanda kehamilan?"Ayra menggeleng pelan. "Tadi perutku terasa sakit...""Hanya karena sakit perut kamu berpikir sedang hamil?" Dokter Feni menatapnya dengan tatapan tak percaya.Ayra terdiam. Dia sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar hamil atau tidak. Pak Revan langsung menuduhnya hamil hanya karena dia mengeluh sakit perut, lalu menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Kalau dipikir-pikir, suaminya benar-benar aneh."Orang sakit perut belum tentu hamil. Kamu sakit perut karena akan datang bulan. Bukannya kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" jelas dokter Feni.Ayra akhirnya mengerti. Memang, sebelum atau saat datang bulan, dia sering mengalami sakit perut dan pusing."Jadi saya nggak hamil, Dok?" tanyanya
Keputusan yang Kejam Menyadari wajah Pak Revan begitu dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat di kulit, Ayra berusaha mundur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan, membuatnya tak bisa menghindar saat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Kamar hotel Sonata menjadi saksi atas kebersamaan mereka malam itu, hingga tiba-tiba Ayra mengerang pelan. Wajahnya menegang, tangannya refleks meremas perutnya yang terasa sakit. Pak Revan menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan kecurigaan. "Kamu hamil?" bentaknya, suaranya penuh emosi. Ayra menegang. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah tatapan pria itu—suaminya sendiri. Tanpa menjawab, Ayra perlahan merapikan pakaian yang sempat berantakan, lalu berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, Pak Revan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kita ke rum
Pak Revan mengajak Ayra masuk ke dalam kamar yang telah dipersiapkan untuk malam pertama pernikahannya. Ketika pintu dibuka Ayra langsung dibuat takjub melihat kamar yang sudah dirias sedemikian rupa. Kelopak-kelopak bunga mawar merah segar bertaburan di atas ranjang, harum semerbaknya menusuk indera penciuman mereka. "Kenapa berhenti?" tanya Pak Revan heran melihat Ayra menghentikan langkah kakinya di ambang pintu."Nggak apa-apa." jawab Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Yakin, kalau kamu tidak suka katakan saja! Kita bisa pindah ke kamar yang lain."Ayra tercengang mendengar penuturan Pak Revan. "Suka kok, siapa yang bilang nggak suka?" ujarnya setelah beberapa saat kemudian."Oh, kirain nggak suka. Kenapa kamu nggak mau masuk ke dalam?"Ayra akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar walaupun awalnya merasa ragu. Dia benar-benar merasa lelah ingin rasanya segera menjatuhkan tu buhnya di atas ranjangnya. Baru saja berdiri di dekat ranjang terdengar suara Pak Revan menyad
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu bikin apa?" Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." Jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi lihat resep di tik_tok, lalu memutuskan untuk mencoba membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke kamar mandi seketika menghent
Dua orang pramusaji menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja depan Ayra dan Pak Revan duduk."Mari makan!" Pak Revan mulai menikmati makanannya.Ayra sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat Zavier datang. Makanan di depannya dibiarkan begitu saja, dia akan memakannya setelah putranya datang agar bisa makan bersama begitulah pikirnya.Pak Revan merasa heran melihat makanan di depan Ayra masih utuh belum disentuh sama sekali. "Ay, kenapa nggak makan? Kamu nggak suka, atau mau pesan yang lain?" tanyanya."Ini saja sudah cukup, Kak." jawab Ayra, namun pandangannya tertuju ke arah pintu."Apa mau disuapi?" tawar Pak Revan tersenyum misterius ke arah Ayra."Nggak, Kak." Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Makan sekarang!" titah Pak Revan tegas.Ayra akhirnya menyantap makanannya sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Menit demi menit telah berlalu, namun Zavier belum juga datang."Kenapa Zavier nggak datang-datang, apa Pak Revan membohongiku?" batin Ayra menoleh sekilas k
Semalam Ayra tidak jadi pulang, akhirnya dia memutuskan untuk pulang di pagi harinya. Beruntung hpnya tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan dompetnya. Sedangkan tasnya sudah dibuang ke tong sampah oleh Pak Revan, kemudian Pak Revan memberikan tas baru untuknya.Diamatinya tas yang kini ada di tangannya, tas pemberian dari Pak Revan beberapa waktu yang lalu menggantikan tasnya yang telah dibuang ke tong sampah."Bagus." gumamnya lirih."Bu!" panggil Zavier, seketika Ayra menoleh ke arahnya. "Zavier sudah bangun?" tanya Ayra dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Zavier justru balik bertanya. "Ibu mau kemana?" tanya Zavier heran melihat ibunya sudah bersiap-siap seperti hendak pergi."Pulang."Zavier mengerucutkan bibirnya mendengarnya. "Bu, kita tinggal di sini saja ya, please! Zavier betah tinggal di sini ada kolam renangnya, om ganteng juga baik sama Zavier." Zavier menatap penuh harap ke arah ibunya."Iya Zavier tetap tinggal di sini, ibu yan
Di samping gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama Reyhan, Ayra berjongkok lalu meletakkan seikat bunga di atas makam. "Mas." panggilannya lirih menatap sendu makam Reyhan, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya.Waktu berlalu begitu cepat rasanya baru kemarin Reyhan datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya, namun sekarang jasadnya telah terkubur di dalam tanah. "Mas, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian, kenapa nggak mengajakku?" Suara Ayra terdengar begitu memilukan."Bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini selanjutnya tanpamu, Mas?" lanjutnya.Dia merasa hampa separuh jiwanya seolah telah menghilang. Buliran-buliran yang membasahi kedua pipinya dibiarkan begitu saja.Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, namun entah kenapa rasanya begitu berat mengikhlaskan seseorang yang selama ini selalu ada di saat suka maupun duka. Meminjamkan bahunya dengan ikhlas di saat diri ini merasa lelah, mendengarkan setiap keluh kesah tentang rumitnya kehid