Arland mengecup singkat kening Ayra. "Sayang, mas pergi dulu." pamitnya sebelum keluar dari ruang rawat Ayra.Arland mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke gedung kosong. Tidak butuh waktu lama akhirnya dia sampai di sana. Dengan langkah cepat dia masuk ke dalam gedung kosong tersebut.Melihat kedatangan Arland, seorang pria segera menghampiri lalu menyapanya."Bos sudah datang." sapa pria tersebut yang tidak lain adalah Dani, orang ditugaskan oleh Arland untuk menyelidiki kecelakaan yang menimpa Ayra dan Mark."Mana orangnya?" Arland mengedarkan pandangannya."Ada di dalam Bos, ayo aku antar ke sana!"Arland dan Dani berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh Dani lalu masuk ke dalamnya."Bos, itu orangnya!" Dani menunjuk ke arah seseorang yang duduk dengan kaki dan tangannya diikat serta kepalanya ditutup.Arland berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Dani."Dani!""Ya Bos?""Buka penutup kepalanya aku ingin melihat wajahnya!" titah Arland tegas.Dani membuka penutup ke
"Bawa dia keluar dari sini!" titah Arland kepada anak buahnya menunjuk ke arah Reyhan.Ayra menatap nanar ke arah suaminya yang diseret oleh beberapa orang sesekali dipukul."Mas, Mas Reyhan! Lepaskan suamiku!" teriak Ayra sambil berusaha melepaskan diri dari Arland."Diam!" bentak Arland, Ayra terkejut seketika diam menutup mulutnya rapat-rapat dengan jantung berpacu tidak karuan perlahan menunduk. Dalam hati dia terus berdoa agar bisa lepas dari Arland.Arland mengangkat Ayra lalu menggendongnya di bahu layaknya karung beras. Ayra terkejut menyadari dirinya digendong oleh Arland di bahunya. Kepalanya berada di bawah sehingga membuatnya merasa pusing."Turunkan aku!" Ayra memukul-mukul punggung Arland, sambil berusaha menahan rasa pusing di kepalanya."Diam!" bentak Arland merasa geram karena Ayra kembali memberontak.Karena Arland tidak kunjung menurunkan dirinya, akhirnya Ayra menggigit punggung Arland dengan kuat. Arland terkejut menyadari punggungnya digigit oleh Ayra, refleks me
Dokter Alex bersama dengan Rani (perawat yang bersamanya) membuka pintu ruang rawat Ayra, mereka terkejut melihat Arland sedang mencengkram leher Ayra dengan erat. "Arland lepaskan! Kamu bisa menyakiti Ayra kalau seperti itu." teriak dokter Alex dengan lantang berjalan mendekat ke arah Arland dan Ayra. Arland tersentak kaget mendengar teriakkan dokter Alex refleks melepaskan tangannya dari leher Ayra lalu beranjak dari duduknya. Melihat Arland sudah beranjak dari duduknya Rani berjalan menghampiri Ayra untuk menenangkannya. "Kamu nggak perlu merasa takut ada kami di sini!" Rani merengkuh tub_uh Ayra ke dalam pelukannya, tangannya bergerak mengusap-usap punggungnya berharap bisa menenangkan Ayra yang sedang ketakutan. Ayra hanya diam tanpa merespon, dia masih merasa shock dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar dari sini!" titah dokter Alex tegas menatap tajam ke arah Arland. Arland terkejut mendengarnya seketika menoleh ke arah dokter Alex. Dia tidak percaya dokter Alex ak
Ayra membuka matanya secara perlahan lalu mengedarkan pandangannya mengamati sekelilingnya."Dimana aku, seperti ini bukan di rumah sakit?" batin Ayra merasa heran.DEGDia terkejut menyadari tangan seseorang melingkar di perutnya. Detik berikutnya Ayra menoleh ke samping karena merasa penasaran dengan pemilik tangan yang melingkar di perutnya. Dia semakin terkejut setelah mengetahui pemilik tangan yang melingkar di perutnya adalah Arland."Mas Arland." gumamnya lirih dengan bibir bergetar jantungnya berpacu tidak karuan.Padahal selama satu minggu ini Ayra merasa lega karena Arland tidak mengunjunginya. Tapi sekarang dirinya justru berada di pelukan Arland. Bagaimana dia bisa merasa tenang, seseorang yang ingin sekali dihindari olehnya tapi sekarang sedang memeluknya dengan erat.Arland membawa Ayra pulang dalam keadaan tidur, sehingga Ayra tidak menyadarinya.Ayra berusaha melepaskan tangan Arland dari perutnya. Namun bukannya terlepas, Arland justru semakin erat memeluknya. Ayra te
Arland pergi ke kelab malam. Di sana dia menenggak beberapa botol minuman beralkohol, sesekali meracau tidak jelas kata-kata Ayra terus terngiang-ngiang di telinganya."Aku membencimu sangat membencimu!" Itulah kata-kata Ayra yang terus terngiang-ngiang di telinganya.Seorang wanita berpakaian minim berjalan menghampiri Arland."Bolehkan aku duduk di sini?" Wanita tersebut bertanya sambil tersenyum menggoda ke arah Arland yang sedang menenggak minuman beralkohol. Arland yang mendengarnya segera menoleh ke arahnya."Pergi! Aku tidak tertarik dengan tub uh palsu mu itu." Arland berkata dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun.Wanita tersebut terkejut merasa tersinggung mendengar ucapan Arland, mengusir serta menghina dirinya."Apa maksudmu?" tanya Wanita tersebut meninggikan nada bicaranya merasa tidak terima dengan penghinaan yang dilakukan oleh Arland terhadap dirinya.Arland tersulut emosi mendengarnya. "Apa kamu tuli sehingga tidak mendengar ucapanku?" bentak Arland dengan su
Ayra memukul-mukul punggung Arland sesekali menjambak rambutnya. Dia berharap Arland segera melepaskan tautan bibirnya. Cairan bening menetes dari ujung matanya membasahi kedua pipinya, rasanya sudah tidak sanggup lagi. Perutnya terus bergejolak seolah hendak mengeluarkan seluruh isinya, sedangkan kepalanya semakin terasa pusing.Arland melepaskan tautan bibirnya, Ayra yang menyadarinya segera mendorong Arland agar menjauh darinya. Arland yang sedang lengah akhirnya terdorong ke belakang, Ayra memanfaatkan kesempatan tersebut untuk turun dari ranjang dengan langkah cepat berjalan menuju ke wastafel. Di wastafel dia memuntahkan isi perutnya, wajahnya terlihat pucat tub_uhnya terasa lemas.Melihat Ayra muntah-muntah Arland tersadar. Dia segera menghampirinya, tidak peduli dengan kepalanya yang masih terasa pusing akibat minuman beralkohol"Sayang, kamu kenapa?" tanya Arland tampak khawatir melihat Ayra muntah-muntah, tangannya terulur memijat tengkuknya."Kamu masuk angin atau salah mak
"Kenapa Mas Arland ingin sekali punya anak?" batin Ayra heran."Bagaimana?" Pertanyaan Arland membuyarkan lamunan Ayra."Mas, mau anak laki-laki atau perempuan?" Arland mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Ayra."Kamu beneran mau memberikan mas seorang anak, hanya demi bisa mendapatkan hp?""Ya sudah kalau Mas nggak jadi menginginkan seorang anak, kesempatan tidak datang dua kali." Ayra memalingkan pandangannya ke arah lain."Mas tahu apa yang ada di pikiranmu, kamu mau mengadopsi anak dari panti asuhan. Ayra, ingat! Mas hanya menginginkan anak yang lahir dari rahimmu. Anak kita berdua bukan anak orang lain, apalagi anak yang diadopsi dari panti asuhan." Ayra tercengang mendengar ucapan Arland, dia tidak menyangka Arland bisa tahu jalan pikirannya."Kenapa Mas Arland bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan, jangan-jangan dia cenayang?" Batin Ayra heran."Mas sok tahu, padahal aku sedang tidak berpikir seperti itu loh." Ayra menoleh sekilas ke arah Arland."Masa?" Arland tersenyum
"Nggak apa-apa, nggak perlu merasa bersalah! Selama ini mas yang salah tidak bisa melindungi_mu. Apa Arland sering menyakitimu?" Reyhan teringat ketika Ayra diseret keluar dari ruang bawah tanah beberapa waktu yang lalu."Nggak, selama ini Mas Arland baik kepadaku."Ayra terpaksa berbohong tidak ingin Reyhan merasa khawatir dengannya. Reyhan merasa lega mendengar ucapan Ayra, namun di sisi lain dia merasa cemburu ada seorang pria yang memperlakukan istrinya dengan baik selain dirinya.Ayra merogoh sakunya mengambil beberapa kunci yang disimpan di dalamnya."Mas, maaf aku tidak tahu kalau selama ini Mas disekap di sini.""Ayra, itu kunci apa?" Reyhan merasa heran melihat Ayra mengeluarkan beberapa kunci dari dalam sakunya."Aku nggak tahu kunci apa saja, semoga salah satu darinya bisa digunakan untuk membuka gembok jeruji besi ini.""Ayra, apa kamu ingin mengeluarkan mas dari sini?""Iya, jika salah satu kuncinya bisa digunakan untuk membuka gemboknya."Ayra meraih gembok jeruji besi t
Mendengar suara pintu dibuka Ayra segera menoleh ke arah pintu, berharap Reyhan, Zavier atau Bu Rina yang datang. Setelah sadar Ayra belum melihat mereka bertiga sama sekali.DEGBetapa terkejutnya Ayra ketika melihat orang yang datang bukanlah suaminya, putranya ataupun ibunya melainkan seseorang yang tidak pernah dia harapkan kedatangannya."Pak Revan." gumamnya lirih dengan cepat memalingkan wajahnya ke arah lain.Pak Revan berjalan mendekat ke arah Ayra. "Kamu sudah sadar?""Iya." jawab Ayra lirih tanpa sedikitpun menoleh ke arah Pak Revan.Pak Revan tampak kecewa melihat Ayra enggan menatap ke arahnya. Tanpa aba-aba dia menjatuhkan bobot tub uhnya di tepi ranjang dekat Ayra duduk. Ayra tersentak karenanya, refleks menoleh ke arahnya lalu beringsut sedikit menjauh.Pak Revan menatap lekat ke arah Ayra, membuat Ayra merasa tidak nyaman apalagi ketika pandangan mereka saling bertemu tanpa sengaja. Ayra sesekali menoleh ke arah pintu berharap Reyhan atau Bu Rina datang menjenguknya.
Kondisi Zavier sudah semakin membaik, dia juga sudah mau berbicara seperti sebelum kecelakaan terjadi. Selama Zavier dirawat di rumah sakit, Pak Revan yang menjaganya. Pekerjaan di kantor dia serahkan kepada asistennya, jika ada hal penting barulah dia akan ke kantor.Hari ini Zavier sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Setelah membayar biaya administrasinya Pak Revan mengajak Zavier pulang, namun sebelum pulang mereka masuk ke dalam ruang rawat Ayra terlebih dahulu.Sampai detik ini Ayra belum juga sadar, entah sampai kapan dia akan berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. "Ibu!" panggil Zavier dengan mata berkaca-kaca menatap sendu wajah pucat Ayra."Kalau ibu nggak sadar-sadar Zavier sama siapa?" Suara Zavier terdengar begitu menyayat hati, air matanya menetes begitu saja dari sudut matanya.Melihat Zavier menangis, Pak Revan segera mendekat ke arahnya lalu merengkuh tub uhnya. Tangannya bergerak mengusap-usap punggungnya berharap bisa memberinya ketenangan."Ibumu pasti a
Seorang anak laki-laki berusia lima tahun terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Perlahan membuka matanya, pandangannya kosong masih shock dengan kecelakaan yang baru saja dialami olehnya. Beruntung dia tidak mengalami luka serius, hanya beberapa luka ringan di kulitnya. Tidak lama kemudian terlihat seorang pria berjalan menghampirinya, senyuman mengembang di bibirnya. Ada perasaan lega di hatinya melihat Zavier telah sadar."Zavier!" panggil pria tersebut dengan lembut, yang tidak lain adalah Pak Revan.Zavier hanya melirik sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun.Pak Revan mendaratkan bokongnya di tepi ranjang, tangannya terulur mengusap rambut Zavier dengan lembut. "Zavier!"Zavier hanya diam tanpa merespon, membuat Pak Revan menghela nafas panjang.Hanya Zavier yang saat ini sudah sadar, Ayra kondisinya semakin memburuk kemungkinan kecil nyawanya bisa diselamatkan. Sedangkan Bu Rina dan Reyhan nyawanya tidak bisa diselamatkan."Ibu." Terdengar suara Zavier lirih, Pak Rev
Pak Revan mengambil alih satu cup es kelapa muda dari tangan Ayra. "Pak!" bentak Ayra merasa kesal melihat Pak Revan mengambil alih satu cup es kelapa muda dari tangannya."Aku haus minta satu, jangan terlalu pelit jadi orang!" Pak Revan berkata dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun lalu menyeruput es kelapa muda yang ada di tangannya.Ayra semakin merasa kesal melihat Pak Revan dengan santainya menyeruput es kelapa muda miliknya. "Kalau haus seharusnya Anda membelinya sendiri, bukan malah merebut milik orang lain!" sindirnya.Pak Revan menyunggingkan senyum tipis mendengar sindiran yang diucapkan oleh Ayra. "Bilang aja kalau haus, ini minum!" Pak Revan menyodorkan cup es kelapa muda yang isinya hanya tinggal setengah ke arah Ayra.Ayra langsung mendelik melihat Pak Revan menyodorkan cup es kelapa muda yang isinya hanya tinggal setengah. "Buat Anda saja." tolak Ayra."Nggak perlu malu-malu, dulu kita juga pernah minum satu cup berdua." Pak Revan tersenyum penuh arti ke ara
Ayra menjeda ucapannya membuat Reyhan merasa semakin penasaran. "Pak Revan kenapa, Ay?" tanya Reyhan menatap lekat Ayra menuntut jawaban darinya.Ayra hanya diam mendadak lidahnya terasa kelu, ada beberapa kata yang ingin diucapkan olehnya namun tersangkut di tenggorokan. Melihat Ayra hanya diam Reyhan merasa khawatir, entah kenapa perasaannya semakin tidak tenang takut sesuatu yang buruk telah terjadi pada istrinya. Dia mengulurkan tangannya merengkuh tub uh Ayra ke dalam pelukannya. Tangannya bergerak mengusap-usap punggungnya berharap bisa memberinya ketenangan.Ayra menempelkan kepalanya pada dada Reyhan mencari kenyamanan, sesekali memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian Ayra membuka mulutnya, melanjutkan ucapannya yang tadi sempat tertunda."Mas Arland." Dua kata tersebut akhirnya lolos dari mulut Ayra.Reyhan yang mendengarnya tampak terkejut, seketika melebarkan matanya. "Arland?" "Pak Revan dan Mas Arland sebenarnya ...." Lagi-lagi Ayra menjeda ucapannya."Kenapa dengan
"Om!" Zavier mengarahkan sesendok es krim ke mulut Pak Revan. Pak Revan yang melihatnya segera membuka mulutnya membiarkan sesendok es krim masuk ke dalamnya."Manis 'kan, Om?" tanya Zavier dengan mata berbinar menatap ke arah Pak Revan."Manis." jawab Pak Revan sambil tersenyum ke arah Zavier.Mereka saling menyuapi es krim satu sama lain diiringi canda dan tawa terlihat begitu bahagia. Apa yang mereka lakukan tidak luput dari pandangan Ayra yang berada tidak jauh dari mereka. Seulas senyum tipis terbit di bibirnya melihat kebersamaan mereka."Ibu!" Panggil Zavier yang tidak sengaja melihat Ayra berada tidak jauh darinya.Setelah mendengar Zavier memanggilnya, Ayra berjalan mendekat ke arah mereka. "Ibu ke sini nyusul Zavier, ya?" tebak Zavier dengan polosnya."Iya, ibu mau ke supermarket Zavier mau ikut nggak?" "Ikut, tapi Zavier makan es krim dulu." Zavier melanjutkan makan es krimnya."Ok.""Ay, duduk dulu!" Suara Pak Revan menyadarkan Ayra, bahwa di sana tidak hanya dirinya dan
"Bu, Ayra mau jemput Zavier dulu?" pamit Ayra kepada ibunya ketika mereka berada di butik milik Bu Rina (Ibunya Ayra)."Iya sana! Lebih kamu yang menunggu Zavier, daripada Zavier yang menunggumu. Sekarang banyak kasus penculikan kamu harus hati-hati, jangan sampai Zavier menjadi salah satu korbannya!" ujar Bu Rina mengingatkan putrinya."Iya Bu." Ayra meraih tangan ibunya lalu mencium punggung tangannya."Ayra, semoga kebahagiaan selalu menyertai keluarga kecilmu!" batin Bu Rina penuh harap, menatap kepergian Ayra yang semakin menjauh darinya.Ingatannya terlempar pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Ketika Ayra dan Reyhan dinyatakan meninggal dunia karena rumahnya kebakaran. Namun dua tahun setelah kejadian tersebut, dirinya kembali dipertemukan dengan Ayra yang ternyata masih hidup. Karena ada seseorang yang memanipulasi kematian Ayra dan Reyhan waktu itu, Bu Rina berharap kejadian tersebut tidak akan menimpa Ayra maupun Reyhan kembali.Ayra berjalan menuju mobilnya, namun ketika
Suara dering hp menarik perhatian Ayra, dia segera meraih benda pipih yang tergeletak di atas meja lalu mengangkat panggilan yang masuk ke hp-nya. "Hallo Mas, apa ada menelpon?" tanya Ayra heran tidak biasanya Reyhan menelpon di saat jam kerja, kecuali ada sesuatu yang mendesak."Dokumen buat meeting nanti siang ada yang tertinggal di rumah, apa kamu bisa mengantarkannya ke kantor? Mas banyak pekerjaan nggak sempat pulang untuk mengambilnya." jawab Reyhan menjelaskan alasan dirinya menelpon."Dokumen yang mana, Mas?""Dokumen yang ada di dalam map berwarna biru, ada di atas meja ruang kerja mas.""Ok, nanti aku antar ke kantor Mas.""Terima kasih, Sayang."Ayra memutuskan panggilannya, dia bergegas mencari dokumen yang dimaksud oleh suaminya. Setelah menemukannya, dia segera pergi ke kantor suaminya untuk mengantarkannya.Ayra menitipkan dokumennya ke resepsionis karena Reyhan tidak bisa menemuinya. Setelahnya dia berjalan keluar dari sana, namun baru beberapa langkah berjalan dia be
Setelah selesai makan Pak Revan mengajak Zavier ke toko pakaian. Zavier mengedarkan pandangannya mengamati beberapa pakaian yang digantung di sana. Hingga akhirnya pandangannya tertuju pada setelan pakaian anak laki-laki dengan model kekinian. Dia mengamatinya dalam waktu yang cukup lama.Karena merasa penasaran akhirnya Pak Revan mengikuti kemana arah pandang Zavier. "Sepertinya Zavier menginginkannya?" batinnya menerka."Zavier, kamu mau pakaian yang itu?" tanya Pak Revan menoleh ke arah Zavier."Nggak Om, harganya mahal." jawab Zavier berusaha tersenyum.Zavier pernah pergi ke toko pakaian bersama dengan ibunya. Dia ingin sekali membeli pakaian yang modelnya sama dengan pakaian yang baru saja dilihat olehnya. Namun ibunya mengatakan bahwa pakaian tersebut mahal harganya, sehingga meminta Zavier untuk memilih pakaian yang lainnya, kejadian tersebut tentu saja masih terekam jelas di ingatan Zavier."Kamu tenang saja, Om punya uang untuk membayarnya."Mendengar ucapan Pak Revan, Zavie