Arland pergi ke kelab malam. Di sana dia menenggak beberapa botol minuman beralkohol, sesekali meracau tidak jelas kata-kata Ayra terus terngiang-ngiang di telinganya."Aku membencimu sangat membencimu!" Itulah kata-kata Ayra yang terus terngiang-ngiang di telinganya.Seorang wanita berpakaian minim berjalan menghampiri Arland."Bolehkan aku duduk di sini?" Wanita tersebut bertanya sambil tersenyum menggoda ke arah Arland yang sedang menenggak minuman beralkohol. Arland yang mendengarnya segera menoleh ke arahnya."Pergi! Aku tidak tertarik dengan tub uh palsu mu itu." Arland berkata dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun.Wanita tersebut terkejut merasa tersinggung mendengar ucapan Arland, mengusir serta menghina dirinya."Apa maksudmu?" tanya Wanita tersebut meninggikan nada bicaranya merasa tidak terima dengan penghinaan yang dilakukan oleh Arland terhadap dirinya.Arland tersulut emosi mendengarnya. "Apa kamu tuli sehingga tidak mendengar ucapanku?" bentak Arland dengan su
Ayra memukul-mukul punggung Arland sesekali menjambak rambutnya. Dia berharap Arland segera melepaskan tautan bibirnya. Cairan bening menetes dari ujung matanya membasahi kedua pipinya, rasanya sudah tidak sanggup lagi. Perutnya terus bergejolak seolah hendak mengeluarkan seluruh isinya, sedangkan kepalanya semakin terasa pusing.Arland melepaskan tautan bibirnya, Ayra yang menyadarinya segera mendorong Arland agar menjauh darinya. Arland yang sedang lengah akhirnya terdorong ke belakang, Ayra memanfaatkan kesempatan tersebut untuk turun dari ranjang dengan langkah cepat berjalan menuju ke wastafel. Di wastafel dia memuntahkan isi perutnya, wajahnya terlihat pucat tub_uhnya terasa lemas.Melihat Ayra muntah-muntah Arland tersadar. Dia segera menghampirinya, tidak peduli dengan kepalanya yang masih terasa pusing akibat minuman beralkohol"Sayang, kamu kenapa?" tanya Arland tampak khawatir melihat Ayra muntah-muntah, tangannya terulur memijat tengkuknya."Kamu masuk angin atau salah mak
"Kenapa Mas Arland ingin sekali punya anak?" batin Ayra heran."Bagaimana?" Pertanyaan Arland membuyarkan lamunan Ayra."Mas, mau anak laki-laki atau perempuan?" Arland mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Ayra."Kamu beneran mau memberikan mas seorang anak, hanya demi bisa mendapatkan hp?""Ya sudah kalau Mas nggak jadi menginginkan seorang anak, kesempatan tidak datang dua kali." Ayra memalingkan pandangannya ke arah lain."Mas tahu apa yang ada di pikiranmu, kamu mau mengadopsi anak dari panti asuhan. Ayra, ingat! Mas hanya menginginkan anak yang lahir dari rahimmu. Anak kita berdua bukan anak orang lain, apalagi anak yang diadopsi dari panti asuhan." Ayra tercengang mendengar ucapan Arland, dia tidak menyangka Arland bisa tahu jalan pikirannya."Kenapa Mas Arland bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan, jangan-jangan dia cenayang?" Batin Ayra heran."Mas sok tahu, padahal aku sedang tidak berpikir seperti itu loh." Ayra menoleh sekilas ke arah Arland."Masa?" Arland tersenyum
"Nggak apa-apa, nggak perlu merasa bersalah! Selama ini mas yang salah tidak bisa melindungi_mu. Apa Arland sering menyakitimu?" Reyhan teringat ketika Ayra diseret keluar dari ruang bawah tanah beberapa waktu yang lalu."Nggak, selama ini Mas Arland baik kepadaku."Ayra terpaksa berbohong tidak ingin Reyhan merasa khawatir dengannya. Reyhan merasa lega mendengar ucapan Ayra, namun di sisi lain dia merasa cemburu ada seorang pria yang memperlakukan istrinya dengan baik selain dirinya.Ayra merogoh sakunya mengambil beberapa kunci yang disimpan di dalamnya."Mas, maaf aku tidak tahu kalau selama ini Mas disekap di sini.""Ayra, itu kunci apa?" Reyhan merasa heran melihat Ayra mengeluarkan beberapa kunci dari dalam sakunya."Aku nggak tahu kunci apa saja, semoga salah satu darinya bisa digunakan untuk membuka gembok jeruji besi ini.""Ayra, apa kamu ingin mengeluarkan mas dari sini?""Iya, jika salah satu kuncinya bisa digunakan untuk membuka gemboknya."Ayra meraih gembok jeruji besi t
Ayra membuka matanya secara perlahan, ketika berusaha untuk duduk seluruh tub_uhnya terasa sangat sakit."Kenapa seluruh tub uhku terasa sangat sakit?" gumam Ayra sesekali meringis kesakitan.Bayangan ketika Arland menyentuhnya dengan kasar kembali terlintas di otaknya. Dengan hati-hati Ayra berusaha untuk duduk, menyandarkan punggungnya pada headboard di belakangnya."Sayang, kamu sudah bangun?" Ayra tersentak kaget mendengar suara Arland. Dia takut jika Arland akan menyentuhnya lagi dengan kasar seperti beberapa waktu yang lalu.Ayra hanya diam sambil menunduk meremas selimutnya dengan kuat, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Arland yang sedang berjalan menghampirinya.Jantungnya berpacu tidak karuan menyadari Arland menjatuhkan bobot tub uhnya di sampingnya. Namun sedikitpun Ayra tidak menoleh ke arahnya."Sayang, kamu kenapa?" tanya Arland merasa heran melihat tingkah Ayra.Tanpa menjawab pertanyaan Arland, Ayra turun dari ranjang dengan hati-hati sesekali meringis kesakitan. Semua
"Bukankah Mas memintaku untuk tidak banyak tingkah, aku hanya berusaha menjadi istri seperti yang Mas inginkan." jawab Ayra sambil menunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Arland yang ditunjukkan ke arahnya.Arland menghembuskan nafas kasar, mengulurkan tangannya meraih dagu Ayra agar menatap ke arahnya. "Suamimu ada di depanmu, bukan di bawahmu!"Pandangan mereka saling bertemu selama beberapa saat. Hingga akhirnya Ayra mengingatkan Arland tentang sup jagungnya."Mas, sup jagungnya nanti dingin." Arland mengerutkan keningnya mendengar ucapan Ayra, emosi dalam dirinya perlahan mereda."Kamu lapar, makan sana!" Arland melepaskan tangannya dari dagu Ayra. Membiarkan Ayra berjalan ke arah sofa, dia mengikutinya dari belakang.Ayra menjatuhkan bobot tub uhnya di atas sofa, diikuti oleh Arland setelahnya."Mas, ini sup jagungnya." Ayra menyerahkan semangkuk sup jagung kepada Arland."Kamu nggak suka?""Bukankah sup jagung ini untuk Mas?" Ayra bertanya dengan hati-hati."Untukmu." jawab
"Mbak, apa lihat istriku? Wanita yang tadi duduk di sini." tanya Arland kepada pelayan restoran yang kebetulan lewat di dekatnya."Nggak Pak.""Ayra, dimana kamu?" batin Arland mengacak rambutnya frustasi.Arland akhirnya teringat ketika Ayra berpamitan mau pergi ke toilet. "Apa Ayra pergi ke toilet, tapi kenapa belum juga Kembali?"Akhirnya Arland memutuskan untuk mencari Ayra ke toilet, dia merasa khawatir sesuatu buruk terjadi pada istrinya. Karena sampai detik ini istrinya belum juga kembali. Setelah sampai di depan toilet wanita, dia segera bertanya kepada seseorang yang bertugas sebagai penjaga toilet."Mbak, apakah istriku masih berada di dalam toilet?" tanya Arland kepada penjaga toilet."Sebentar, saya cek dulu."Beberapa saat kemudian penjaga toilet sudah selesai melakukan pengecekan, dia kembali menghampiri Arland. "Setelah saya cek, semua toilet sudah kosong. Sepertinya istri Bapak sudah keluar."DEGArland terkejut mendengar ucapan penjaga toilet."Jadi Ayra sudah keluar
Ayra melepaskan diri dari pelukan Lisa, lalu menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipinya. Dia memperbaiki posisi duduknya."Kak, boleh aku minta tolong nggak?" tanya Ayra menoleh ke arah Kevin yang duduk di kursi pengemudi."Minta tolong apa? Katakan!" ujar Kevin tegas fokus mengemudi tanpa menoleh ke arah Ayra."Minta tolong untuk menyelamatkan Mas Reyhan, selama ini Mas Arland menyekapnya di ruang bawah tanah." Kevin tampak terkejut mendengar ucapan Ayra. Sedangkan Lisa tidak begitu terkejut karena Ayra sudah menceritakan kepadanya terlebih dahulu."Jadi selama ini Reyhan masih hidup?""Iya Kak, Mas Arland menyekapnya di ruang bawah tanah yang ada gudang rumahnya.""Berikan alamat rumah Arland, aku akan mengurusnya."Ayra memberitahu Kevin alamat rumah Arland.Flashback end"Sejak kapan kamu pindah ke sini?" Ayra mendaratkan bokongnya di atas sofa."Sekitar lima bulan yang lalu karena Mas Kevin pindah tugas ke kota ini." Ayra manggut-manggut mendengarnya.***Arlan
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b
Baru beberapa jam menjadi suaminya, Pak Revan sudah marah dan pergi meninggalkannya hanya karena dirinya tidak bisa melayaninya. Ayra benar-benar tak habis pikir dengan pria yang baru saja menikahinya itu. Entah bagaimana kehidupan rumah tangganya setelah ini.Merasa ingin buang air kecil, Ayra segera turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi. Saat melepas pakaian dalamnya, dia melihat ada bercak darah—tanda bahwa dirinya sedang datang bulan. Perkataan dokter Feni benar adanya. Sakit perut yang ia alami memang karena menstruasi.Ayra menepuk jidatnya. "Aduh, bagaimana ini?" batinnya panik. Ia lupa belum membeli pembalut.Sementara itu, di tempat lain, Pak Revan keluar dari dapur restoran setelah membuat larutan gula merah untuk Ayra. Ia berjalan kembali ke kamarnya. Namun, saat masuk, dia tidak menemukan Ayra."Ayra, ke mana, ya?" batinnya bertanya-tanya. Ia meletakkan segelas minuman di atas nakas lalu mengedarkan pandangan, mengamati seisi kamar."Jangan-jangan dia kabur?" pikirny
Dokter Feni mengerutkan kening setelah memeriksa Ayra."Kamu nggak hamil, jadi kenapa mau melakukan aborsi?" tanyanya heran.Ayra menatap dokter Feni dengan bingung."Maksudnya, Dok?"Bukannya langsung menjawab, dokter Feni justru bertanya balik."Kamu mengalami tanda-tanda kehamilan?"Ayra menggeleng pelan. "Tadi perutku terasa sakit...""Hanya karena sakit perut kamu berpikir sedang hamil?" Dokter Feni menatapnya dengan tatapan tak percaya.Ayra terdiam. Dia sendiri tidak tahu apakah dia benar-benar hamil atau tidak. Pak Revan langsung menuduhnya hamil hanya karena dia mengeluh sakit perut, lalu menyeretnya ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Kalau dipikir-pikir, suaminya benar-benar aneh."Orang sakit perut belum tentu hamil. Kamu sakit perut karena akan datang bulan. Bukannya kamu pernah mengalami ini sebelumnya?" jelas dokter Feni.Ayra akhirnya mengerti. Memang, sebelum atau saat datang bulan, dia sering mengalami sakit perut dan pusing."Jadi saya nggak hamil, Dok?" tanyanya
Keputusan yang Kejam Menyadari wajah Pak Revan begitu dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat di kulit, Ayra berusaha mundur. Namun, tangannya lebih dulu ditahan, membuatnya tak bisa menghindar saat bibir mereka bertemu dalam ciuman yang dalam. Kamar hotel Sonata menjadi saksi atas kebersamaan mereka malam itu, hingga tiba-tiba Ayra mengerang pelan. Wajahnya menegang, tangannya refleks meremas perutnya yang terasa sakit. Pak Revan menghentikan gerakannya. Matanya menatap tajam, bukan dengan kekhawatiran, melainkan dengan kecurigaan. "Kamu hamil?" bentaknya, suaranya penuh emosi. Ayra menegang. Jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat. Sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih menyakitkan lagi adalah tatapan pria itu—suaminya sendiri. Tanpa menjawab, Ayra perlahan merapikan pakaian yang sempat berantakan, lalu berusaha turun dari ranjang dengan hati-hati. Namun, baru saja kakinya menyentuh lantai, Pak Revan langsung menarik pergelangan tangannya. "Kita ke rum
Pak Revan mengajak Ayra masuk ke dalam kamar yang telah dipersiapkan untuk malam pertama pernikahannya. Ketika pintu dibuka Ayra langsung dibuat takjub melihat kamar yang sudah dirias sedemikian rupa. Kelopak-kelopak bunga mawar merah segar bertaburan di atas ranjang, harum semerbaknya menusuk indera penciuman mereka. "Kenapa berhenti?" tanya Pak Revan heran melihat Ayra menghentikan langkah kakinya di ambang pintu."Nggak apa-apa." jawab Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Yakin, kalau kamu tidak suka katakan saja! Kita bisa pindah ke kamar yang lain."Ayra tercengang mendengar penuturan Pak Revan. "Suka kok, siapa yang bilang nggak suka?" ujarnya setelah beberapa saat kemudian."Oh, kirain nggak suka. Kenapa kamu nggak mau masuk ke dalam?"Ayra akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar walaupun awalnya merasa ragu. Dia benar-benar merasa lelah ingin rasanya segera menjatuhkan tu buhnya di atas ranjangnya. Baru saja berdiri di dekat ranjang terdengar suara Pak Revan menyad
Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihat Ayra sedang berada di dapur, dia segera menghampirinya. Setelah tepat berada di belakang Ayra, Arland segera memeluknya lalu mengecup singkat kedua pipinya.DEGAyra tersentak kaget dipeluk oleh seseorang dari belakang, namun perlahan dia menyadari kalau yang sedang memeluknya adalah Arland."Mas, sudah pulang?""Iya, ini baru sampai. Kamu bikin apa?" Arland mengintip ke dalam adonan yang sedang diaduk-aduk menggunakan mixer oleh Ayra."Bolu panggang." Jawab Ayra menuangkan adonan yang sudah selesai diaduk ke dalam loyang."Tumben bikin bolu panggang, mau ada acara apa?" Arland merasa heran melihat Ayra membuat bolu panggang."Tadi lihat resep di tik_tok, lalu memutuskan untuk mencoba membuatnya."Setelah memasukan loyang berisi adonan bolu ke dalam oven, Ayra membalikkan badannya menatap ke arah Arland."Mas, mau mandi atau makan dulu?""Mandi.""Sebentar aku siapkan airnya dulu!" Ayra berjalan menuju ke kamar mandi seketika menghent
Dua orang pramusaji menghidangkan berbagai macam makanan di atas meja depan Ayra dan Pak Revan duduk."Mari makan!" Pak Revan mulai menikmati makanannya.Ayra sesekali menoleh ke arah pintu, berharap melihat Zavier datang. Makanan di depannya dibiarkan begitu saja, dia akan memakannya setelah putranya datang agar bisa makan bersama begitulah pikirnya.Pak Revan merasa heran melihat makanan di depan Ayra masih utuh belum disentuh sama sekali. "Ay, kenapa nggak makan? Kamu nggak suka, atau mau pesan yang lain?" tanyanya."Ini saja sudah cukup, Kak." jawab Ayra, namun pandangannya tertuju ke arah pintu."Apa mau disuapi?" tawar Pak Revan tersenyum misterius ke arah Ayra."Nggak, Kak." Ayra menggelengkan kepalanya pelan."Makan sekarang!" titah Pak Revan tegas.Ayra akhirnya menyantap makanannya sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Menit demi menit telah berlalu, namun Zavier belum juga datang."Kenapa Zavier nggak datang-datang, apa Pak Revan membohongiku?" batin Ayra menoleh sekilas k
Semalam Ayra tidak jadi pulang, akhirnya dia memutuskan untuk pulang di pagi harinya. Beruntung hpnya tidak kenapa-kenapa begitu juga dengan dompetnya. Sedangkan tasnya sudah dibuang ke tong sampah oleh Pak Revan, kemudian Pak Revan memberikan tas baru untuknya.Diamatinya tas yang kini ada di tangannya, tas pemberian dari Pak Revan beberapa waktu yang lalu menggantikan tasnya yang telah dibuang ke tong sampah."Bagus." gumamnya lirih."Bu!" panggil Zavier, seketika Ayra menoleh ke arahnya. "Zavier sudah bangun?" tanya Ayra dengan seulas senyum terbit di bibirnya.Bukannya menjawab pertanyaan ibunya, Zavier justru balik bertanya. "Ibu mau kemana?" tanya Zavier heran melihat ibunya sudah bersiap-siap seperti hendak pergi."Pulang."Zavier mengerucutkan bibirnya mendengarnya. "Bu, kita tinggal di sini saja ya, please! Zavier betah tinggal di sini ada kolam renangnya, om ganteng juga baik sama Zavier." Zavier menatap penuh harap ke arah ibunya."Iya Zavier tetap tinggal di sini, ibu yan
Di samping gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama Reyhan, Ayra berjongkok lalu meletakkan seikat bunga di atas makam. "Mas." panggilannya lirih menatap sendu makam Reyhan, buliran-buliran bening menetes begitu saja dari sudut matanya.Waktu berlalu begitu cepat rasanya baru kemarin Reyhan datang ke rumah orang tuanya untuk melamarnya, namun sekarang jasadnya telah terkubur di dalam tanah. "Mas, kenapa kamu meninggalkan aku sendirian, kenapa nggak mengajakku?" Suara Ayra terdengar begitu memilukan."Bagaimana aku akan menjalani kehidupan ini selanjutnya tanpamu, Mas?" lanjutnya.Dia merasa hampa separuh jiwanya seolah telah menghilang. Buliran-buliran yang membasahi kedua pipinya dibiarkan begitu saja.Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, namun entah kenapa rasanya begitu berat mengikhlaskan seseorang yang selama ini selalu ada di saat suka maupun duka. Meminjamkan bahunya dengan ikhlas di saat diri ini merasa lelah, mendengarkan setiap keluh kesah tentang rumitnya kehid