"Arland, Mark ...," Dokter Alex menjeda ucapannya entah kenapa lidahnya mendadak terasa kelu.Mendengar ucapan dokter Alex, Arland segera menoleh ke arahnya sambil mengerutkan keningnya. "Ada apa dengan Mark?"Dokter Alex menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Arland. "Mark tidak bisa diselamatkan."DEGArland terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh dokter Alex, jantungnya berpacu tidak karuan. "Maksudnya apa?" Arland menatap ke arah dokter Alex, meminta penjelasan darinya."Mark telah meninggalkan kita." Dengan bibir bergetar dokter Alex menjelaskan."Nggak mungkin." Arland menggelengkan kepalanya pelan lalu mengusap wajahnya dengan kasar, seolah belum bisa menerima kenyataan bahwa Mark sudah meninggal dunia.Mark sudah dianggap sahabat oleh Arland sama halnya dengan Alex. Mark merupakan orang yang telah banyak membantu dirinya selama ini. Kesuksesan Arland menjadi seorang pengusaha, owner sekaligus CEO Emerald Gro
Arland mengecup singkat kening Ayra. "Sayang, mas pergi dulu." pamitnya sebelum keluar dari ruang rawat Ayra.Arland mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju ke gedung kosong. Tidak butuh waktu lama akhirnya dia sampai di sana. Dengan langkah cepat dia masuk ke dalam gedung kosong tersebut.Melihat kedatangan Arland, seorang pria segera menghampiri lalu menyapanya."Bos sudah datang." sapa pria tersebut yang tidak lain adalah Dani, orang ditugaskan oleh Arland untuk menyelidiki kecelakaan yang menimpa Ayra dan Mark."Mana orangnya?" Arland mengedarkan pandangannya."Ada di dalam Bos, ayo aku antar ke sana!"Arland dan Dani berjalan menuju ruangan yang dimaksud oleh Dani lalu masuk ke dalamnya."Bos, itu orangnya!" Dani menunjuk ke arah seseorang yang duduk dengan kaki dan tangannya diikat serta kepalanya ditutup.Arland berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Dani."Dani!""Ya Bos?""Buka penutup kepalanya aku ingin melihat wajahnya!" titah Arland tegas.Dani membuka penutup ke
"Bawa dia keluar dari sini!" titah Arland kepada anak buahnya menunjuk ke arah Reyhan.Ayra menatap nanar ke arah suaminya yang diseret oleh beberapa orang sesekali dipukul."Mas, Mas Reyhan! Lepaskan suamiku!" teriak Ayra sambil berusaha melepaskan diri dari Arland."Diam!" bentak Arland, Ayra terkejut seketika diam menutup mulutnya rapat-rapat dengan jantung berpacu tidak karuan perlahan menunduk. Dalam hati dia terus berdoa agar bisa lepas dari Arland.Arland mengangkat Ayra lalu menggendongnya di bahu layaknya karung beras. Ayra terkejut menyadari dirinya digendong oleh Arland di bahunya. Kepalanya berada di bawah sehingga membuatnya merasa pusing."Turunkan aku!" Ayra memukul-mukul punggung Arland, sambil berusaha menahan rasa pusing di kepalanya."Diam!" bentak Arland merasa geram karena Ayra kembali memberontak.Karena Arland tidak kunjung menurunkan dirinya, akhirnya Ayra menggigit punggung Arland dengan kuat. Arland terkejut menyadari punggungnya digigit oleh Ayra, refleks me
Dokter Alex bersama dengan Rani (perawat yang bersamanya) membuka pintu ruang rawat Ayra, mereka terkejut melihat Arland sedang mencengkram leher Ayra dengan erat. "Arland lepaskan! Kamu bisa menyakiti Ayra kalau seperti itu." teriak dokter Alex dengan lantang berjalan mendekat ke arah Arland dan Ayra. Arland tersentak kaget mendengar teriakkan dokter Alex refleks melepaskan tangannya dari leher Ayra lalu beranjak dari duduknya. Melihat Arland sudah beranjak dari duduknya Rani berjalan menghampiri Ayra untuk menenangkannya. "Kamu nggak perlu merasa takut ada kami di sini!" Rani merengkuh tub_uh Ayra ke dalam pelukannya, tangannya bergerak mengusap-usap punggungnya berharap bisa menenangkan Ayra yang sedang ketakutan. Ayra hanya diam tanpa merespon, dia masih merasa shock dengan apa yang baru saja terjadi. "Keluar dari sini!" titah dokter Alex tegas menatap tajam ke arah Arland. Arland terkejut mendengarnya seketika menoleh ke arah dokter Alex. Dia tidak percaya dokter Alex ak
Ayra membuka matanya secara perlahan lalu mengedarkan pandangannya mengamati sekelilingnya."Dimana aku, seperti ini bukan di rumah sakit?" batin Ayra merasa heran.DEGDia terkejut menyadari tangan seseorang melingkar di perutnya. Detik berikutnya Ayra menoleh ke samping karena merasa penasaran dengan pemilik tangan yang melingkar di perutnya. Dia semakin terkejut setelah mengetahui pemilik tangan yang melingkar di perutnya adalah Arland."Mas Arland." gumamnya lirih dengan bibir bergetar jantungnya berpacu tidak karuan.Padahal selama satu minggu ini Ayra merasa lega karena Arland tidak mengunjunginya. Tapi sekarang dirinya justru berada di pelukan Arland. Bagaimana dia bisa merasa tenang, seseorang yang ingin sekali dihindari olehnya tapi sekarang sedang memeluknya dengan erat.Arland membawa Ayra pulang dalam keadaan tidur, sehingga Ayra tidak menyadarinya.Ayra berusaha melepaskan tangan Arland dari perutnya. Namun bukannya terlepas, Arland justru semakin erat memeluknya. Ayra te
Arland pergi ke kelab malam. Di sana dia menenggak beberapa botol minuman beralkohol, sesekali meracau tidak jelas kata-kata Ayra terus terngiang-ngiang di telinganya."Aku membencimu sangat membencimu!" Itulah kata-kata Ayra yang terus terngiang-ngiang di telinganya.Seorang wanita berpakaian minim berjalan menghampiri Arland."Bolehkan aku duduk di sini?" Wanita tersebut bertanya sambil tersenyum menggoda ke arah Arland yang sedang menenggak minuman beralkohol. Arland yang mendengarnya segera menoleh ke arahnya."Pergi! Aku tidak tertarik dengan tub uh palsu mu itu." Arland berkata dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun.Wanita tersebut terkejut merasa tersinggung mendengar ucapan Arland, mengusir serta menghina dirinya."Apa maksudmu?" tanya Wanita tersebut meninggikan nada bicaranya merasa tidak terima dengan penghinaan yang dilakukan oleh Arland terhadap dirinya.Arland tersulut emosi mendengarnya. "Apa kamu tuli sehingga tidak mendengar ucapanku?" bentak Arland dengan su
Ayra memukul-mukul punggung Arland sesekali menjambak rambutnya. Dia berharap Arland segera melepaskan tautan bibirnya. Cairan bening menetes dari ujung matanya membasahi kedua pipinya, rasanya sudah tidak sanggup lagi. Perutnya terus bergejolak seolah hendak mengeluarkan seluruh isinya, sedangkan kepalanya semakin terasa pusing.Arland melepaskan tautan bibirnya, Ayra yang menyadarinya segera mendorong Arland agar menjauh darinya. Arland yang sedang lengah akhirnya terdorong ke belakang, Ayra memanfaatkan kesempatan tersebut untuk turun dari ranjang dengan langkah cepat berjalan menuju ke wastafel. Di wastafel dia memuntahkan isi perutnya, wajahnya terlihat pucat tub_uhnya terasa lemas.Melihat Ayra muntah-muntah Arland tersadar. Dia segera menghampirinya, tidak peduli dengan kepalanya yang masih terasa pusing akibat minuman beralkohol"Sayang, kamu kenapa?" tanya Arland tampak khawatir melihat Ayra muntah-muntah, tangannya terulur memijat tengkuknya."Kamu masuk angin atau salah mak
"Kenapa Mas Arland ingin sekali punya anak?" batin Ayra heran."Bagaimana?" Pertanyaan Arland membuyarkan lamunan Ayra."Mas, mau anak laki-laki atau perempuan?" Arland mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Ayra."Kamu beneran mau memberikan mas seorang anak, hanya demi bisa mendapatkan hp?""Ya sudah kalau Mas nggak jadi menginginkan seorang anak, kesempatan tidak datang dua kali." Ayra memalingkan pandangannya ke arah lain."Mas tahu apa yang ada di pikiranmu, kamu mau mengadopsi anak dari panti asuhan. Ayra, ingat! Mas hanya menginginkan anak yang lahir dari rahimmu. Anak kita berdua bukan anak orang lain, apalagi anak yang diadopsi dari panti asuhan." Ayra tercengang mendengar ucapan Arland, dia tidak menyangka Arland bisa tahu jalan pikirannya."Kenapa Mas Arland bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan, jangan-jangan dia cenayang?" Batin Ayra heran."Mas sok tahu, padahal aku sedang tidak berpikir seperti itu loh." Ayra menoleh sekilas ke arah Arland."Masa?" Arland tersenyum
Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be
KEPERGIAN"Ay, sudah selesai berkemas?" tanya Pak Revan dengan nada jenuh. Ia mondar-mandir di ruang tamu, tampak gelisah menunggu."Belum, Mas," jawab Ayra tanpa menoleh, masih sibuk memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam koper.Pak Revan mendengus kesal. "Lama banget! Nggak usah bawa pakaian segala, Mas sudah siapkan semuanya buat kamu di rumah!""Aku cuma bawa beberapa potong saja, Mas. Pakaian ini nyaman dipakai," sahut Ayra, tetap melipat pakaian dengan tenang."Terserah," balas Pak Revan ketus."Kalau Mas capek menunggu, pulang dulu saja. Aku bisa menyusul naik mobil sendiri," ujar Ayra ringan.Pak Revan langsung terkesiap. Ia segera masuk ke kamar, menghampiri Ayra dengan sorot mata tajam."Kamu mau kabur?" tanyanya, mendekat dengan langkah lebar.Ayra terkejut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba. Ia refleks menoleh dan menatap wajah Pak Revan. Dari sorot matanya, jelas terlihat kemarahan yang tertahan."Apa ada yang salah dengan ucapanku?" batin Ayra heran."Ka
Pak Revan dan Ayra memasuki lift, diikuti beberapa orang di belakang mereka. Salah satunya adalah Riska.Riska terhenyak ketika matanya tanpa sengaja bertemu dengan tatapan Ayra. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Ayra di tempat ini. Seketika, ia ingin berbalik dan keluar, tapi pintu lift sudah tertutup.Tidak ada pilihan lain, Riska tetap di dalam. Ia menunduk, jari-jarinya saling meremas, dadanya terasa sesak. Semua dosa masa lalu yang pernah ia lakukan kepada Ayra seakan menghantam kesadarannya sekaligus. Ada dorongan untuk meminta maaf, tapi keberanian tak jua terkumpul. Bahkan menatap Ayra saja ia tak sanggup.Tiba-tiba, suara lembut namun tegas menyapanya."Kamu Riska, kan? Apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu."Riska tersentak. Suara itu... suara Ayra. Perlahan, ia menoleh sekilas, kemudian buru-buru menunduk lagi."I-Iya... aku baik," jawabnya, suaranya bergetar.Jantungnya berdegup semakin kencang. Tuhan, semoga lift ini segera berhenti...Rasa bersalah memang ta
Pagi itu, Pak Revan mengajak Ayra ke restoran untuk sarapan bersama Zavier, yang sudah menunggu mereka di sana."Ibu...!" seru Zavier dengan mata berbinar saat melihat Ayra berjalan mendekat."Iya, Sayang." Ayra tersenyum, lalu duduk di kursi bersama Pak Revan, berhadapan dengan putra mereka.Tanpa diduga, Zavier langsung melontarkan pertanyaan yang membuat Ayra hampir tersedak."Bu, kata Mbak Lala tadi malam Ibu dan Ayah bikin adik buat Zavier. Mana adiknya? Kok nggak diajak ke sini?" tanyanya polos.Mbak Lala yang baru saja menuangkan teh untuk dirinya sendiri langsung menepuk jidatnya. Semalam, ia hanya mencoba membujuk Zavier yang merengek ingin masuk ke kamar ibunya. Karena tidak ingin mengganggu malam pernikahan Pak Revan dan Ayra, ia asal saja mengatakan bahwa mereka sedang "membuat adik" untuknya. Namun, ia sama sekali tak menyangka bocah itu akan menanyakannya lagi keesokan paginya."Maaf, Bu… Tadi malam Zavier terus merengek, jadi saya—""Nggak apa-apa, Mbak," potong Ayra, b