Wanita paruh baya dengan garis wajah mirip ayah datang menghampiriku dengan raut muka yang sedih. Tampak berkaca-kaca matanya menatap wajahku lekat.
"Aya!" Ia langsung menyambar memelukku dengan erat dan menangis tersedu-sedu di bahuku.
Aku dan Fajar saling pandang, seolah paham dengan kode yang kuberi, Fajar hanya membalasnya dengan mengendikan bahu.
"Maafkan Tante Ya, ini semua salah Tante." Wanita paruh baya ini masih terisak dengan berkata maaf di sela tangisannya.
"Iya, Tante, Aya maafkan. Tapi ini kenapa? Tante salah apa?" tanyaku bingung dengan mencoba mengurai pelukannya yang semakin kuat hingga terasa menyiksa. Aku merasa sesak dibuatnya.
"Tidak ... Tante yang salah, hukum saja Tante, kalau bukan karenaku, kamu nggak akan mengalami nasib yang kayak gini," sahutnya lagi mas
"Ehm ... itu, itu Tante tanya orang waktu mengunjungi rumahmu Ya, katanya kamu masuk rumah sakit, jadi Tante langsung menuju kesini," jawabnya masih dengan meremas-remas jemarinya dan menunduk. Ia terlihat gugup. Entahlah, apa hanya perasaanku saja.Aku menatap Fajar mencari tahu apakah jawaban Tante Yuna benar. Karena jujur aku sendiri tidak tahu menahu keadaan rumah selama terbaring di rumah sakit ini.Fajar manggut-manggut seolah membenarkan. "Oh mungkin yang kerja di rumah Kakak itu yang ngasih tahu kondisi Kak Aya, saat Fajar sudah sampai sana, Fajar mendapat kabar kalau Kak Aya kecelakaan," tebaknya."Nah itu, i-iya. Tante tahunya dari mereka. Sejak dari kemarin perasaan Tante nggak enak sama kamu, kayak ada sesuatu yang buruk menimpa kamu Ya, jadi Tante putuskan malam itu juga berangkat pergi ke kota ini buat nemui kamu. Tapi sampai di
Fajar memandang penuh arti ke arah Ibu, lalu berganti arah ke sosok wanita paruh baya satunya. Ada sesuatu yang ingin disampaikan, tapi masih ditahannya.Kuamati dua sosok tersebut lamat-lamat."Ada apa sebenarnya Bu, Tante? biasanya kalian tidak begini?" tanyaku menghentikan perdebatan mereka.Sontak keduanya kaget. Tante Yuna masih meremas jemarinya. Aku tahu dia mencoba menetralkan kegugupannya dengan cara seperti itu. Sudah kucermati gaya bicaranya dari tadi. Raut wajahnya pun tidak bisa berbohong, mudah sekali ditebak. Aku menatapnya tajam. Berbeda sama Ibu yang lebih pintar memainkan raut wajah."Memangnya kami kenapa Nak?" sahut Ibu menatapku sayu."Ada yang kalian sembunyikan dari kami, bukan begitu Tante?" tembak Fajar sembari melirik ke arah Tante Yuna.
Aku masih menangis sesegukan dalam dekapan Fajar. Tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi ini semua. Rasanya seperti mimpi buruk."Cahaya, dengarkan Ibu dulu, Ibu bisa jelaskan semuanya," bujuk Ibu merangsek maju dengan membawa kursi rodanya menuju ke arahku."Tahan, Nyonya Tiar, tetap disana. Kakakku tidak akan mau berdekatan dengan seorang pembohong." Fajar mendesis dan mengarahkan telapak kanannya ke udara untuk menghentikan gerak Ibu yang mencoba mendekati."Tante Yuna! bawa temanmu itu keluar dari sini, kami tidak ingin melihat wajahnya lagi." Fajar menunjuk wajah Ibu dengan telunjuknya.Ibu menggeleng. Tidak Jar, kasih Ibu kesempatan untuk menjelaskannya, Cahaya harus tahu kalau Ibu benar-benar menyayanginya setulus hati Ibu," ungkap Ibu dengan berlinang air mata di wajah pucatnya yang keriput dimakan
Aku memandang keluar dari jendela kamar rawatku ini untuk mengalihkan kesedihan di hati. Tampak taman depan penuh dengan bunga dan tanaman beraneka warna. Indah. Melihatnya, mengingatkanku akan kenangan bersama Ibu. Kami sering menyiram bersama atau sekedar duduk santai memandangi keindahan mereka.Aku mengerjap. Air mata menetes dari kedua sudut mata. Kuhirup oksigen dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Lega? Belum. Masih ada yang berdenyut nyeri. Kutekan dada ini, berharap sakitnya hilang. Tidak mau juga, rasa itu masih betah bersemayam di dalamnya. Entah kapan dia akan pergi.***"Kak," sapa Fajar membuyarkan lamunanku."Ya.""Semua sudah beres, kita bisa pergi sekarang," ujarnya. Aku menganggukkan kepala."Barang Kakak sudah lengkap? ap
Aku melirik ke arah Fajar. "Iya Kak, buat nenangin diri dulu. Biar nggak keingat sama kecelakaan yang lalu," balas Fajar menjawab pertanyaan Mas Daffa. Syukur Fajar tidak mengatakan alasan yang sebenarnya."Oh, baguslah buat menyegarkan pikiran juga. Bintang tahu 'kan?"Sebenarnya aku malas menjawab rasa penasaran Mas Daffa. Tapi kalau tidak dijawab juga nggak enak karena aku numpang naik mobilnya. "Iya," sahutku cepat lalu segera menyenderkan badan ke punggung kursi dan memejamkan kedua mata. Aku berharap Mas Daffa berhenti bertanya atau mengajak bicara setelah melihat posisiku sekarang.***"Kak, bangun. Sudah sampai." Tangan Fajar mencolek bahuku pelan. "Hoamm ...." Aku berpura terbangun. Padahal aku tidak tertidur sepanjang jalan."Maaf ketiduran," ucapku samb
Kusentuh setiap sisi dalam kamar ini. Dari ranjang sampai ke meja kerja Mas Bintang. Aku duduk sebentar di kursi kebesarannya saat bekerja. Nyaman. Menghela nafas panjang lalu segera bangkit berjalan menuju lemari pakaian. Kuambil selembar kemejanya, kuusap dan kuhirup bau harum aroma khas parfum yang sering ia pakai di tubuhnya. Tersadar, kujatuhkan kemeja tersebut ke bawah.Untuk apa aku membaui harum bajunya? bukankah aku ingin melupakannya?Kulipat dan kuletakkan kembali kemeja tersebut ke tempat semula. Kupandangi tumpukan bajuku yang masih tersisa banyak di dalam lemari ini.'bawa apa tidak ya?' pikirku.Mataku mengitari sisi kamar. 'sudahlah, biarkan saja disini. Terlalu banyak kalau kubawa pulang semua. Terserah kalau Mas Bintang mau membuangnya'.&nbs
Untuk apa Mas Bintang menghubungiku sebanyak ini? Merindu kah? atau baru menyesal karena tidak mencegah kepergianku. Tidak, kurasa tidak keduanya. Kuletakkan kembali ponsel ke atas kasur. Tepatnya dibanting.Drrtt ... Drrtt ... Drrtt ...Ponselku berdering.Kuambil ponsel tadi dengan posisi masih rebahan. Kumiringkan kepala ke kanan. "Mas Bintang," gumamku.Kubiarkan deringnya berbunyi sampai nada terakhir, panggilan pun berakhir.Haruskah kublokir nomornya? Tidak, nanti dulu. Mungkin lebih baik kulihat dulu isi pesannya yang belum dibuka.{Angkat Ya}"Nggak," ketusku bergumam sendiri.{Kamu dimana?}"Bukan urusanmu!"
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya selesai sudah aku diinterogasi oleh Mas Daffa. Interogasi? Yah ... anggaplah begitu. Mas Daffa hanya memintaku menyiapkan buku nikah, KTP, dan kartu KK. Selebihnya biar dia yang menyiapkan semua dokumen untuk persyaratan pengajuan gugatan cerai. Setidaknya aku tidak perlu repot bolak-balik ke kantor pengadilan untuk mengurusnya. Tapi tetap saja saat ada panggilan sidang dari pengadilan, aku diharapkan hadir karena akulah yang mengajukan gugatan perceraian.Setelah Mas Daffa pergi, langsung saja kuhajar Fajar dengan kemarahanku."Kamu gimana sih Jar, nggak bantu Kakak sama sekali," ujarku sewot sambil menepuk bahunya dengan keras."Aduh ..., Sakit Kak. Apa yang harus Fajar bantu? Kak Aya kan tinggal ceritakan semuanya, itu ... bisa," ucapnya berkelit."Tapi setidaknya
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia
"Maaf Ya, kasih Mas waktu untuk membuktikan kalau Mas juga mencintaimu," aku meyakinkannya lagi. Perasaanku kali ini tidak enak. Ada rasa takut yang dalam saat Aya mulai bicara seperti ini. Yang lebih mengejutkan tiba-tiba Aya menanyakan tentang Salma. Pasti Ibu yang cerita, tapi kenapa? Bukankah kami sepakat untuk menyembunyikannya? Kutarik tubuhnya berbaring bersamaku. Kupeluk ia erat. Aku berusaha meyakinkannya kalau aku mencintainya, sangat mencintainya, apa pun yang diceritakan Ibu tentang Salma jangan sampai membuatnya meragukanku.Kuminta ia segera tidur karena aku pun juga sudah mengantuk. Kupejamkan mataku. Tapi firasatku mengatakan kalau ia belum tidur."Ehem ..., sudah puas menatap wajahku ini?"Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya, tapi dengan adanya pergerakan tubuhnya saat kupeluk aku tahu ia terkejut.
Ibu terkena stroke. Kaki sebelahnya tidak bisa digerakkan, tapi bukan lumpuh. Kata dokter ini masih ringan. Ibu diminta terus mengikuti terapi untuk pemulihan kakinya.Sungguh pukulan berat untukku. Karena akulah yang tanpa sengaja membuat Ibu mengalami hal itu.Cahaya tidak tahu penyebab Ibu masuk rumah sakit. Aku dan Ibu sepakat merahasiakannya dari Aya.Ibu mulai menjaga jarak denganku. Dia hanya bersikap hangat padaku, bila ada Aya di sisinya, setelah itu sikapnya dingin. Sedingin es. Tidak pernah Ibu begitu denganku. Ini baru seumur hidupku diacuhkan oleh orang yang paling kusayang.Ibu memintaku untuk tutup mulut dan jangan sampai masalah ini diketahui Aya. Ibu bahkan memaksaku untuk meninggalkan Salma. Maaf Bu, aku tidak bisa. Kia–anakku butuh sosok ibu dan ayahnya. Jadi selama ini aku
Kusentuh kembali lekuk wajah cantik Cahaya yang tertidur pulas di sebelahku. Sekarang entah kenapa ini jadi candu untukku. Aku tak bisa mengendalikan hasrat dalam diri. Semalam aku menggila dengan menyerangnya bertubi-tubi, hingga wanita cantik di sampingku ini terkulai lemah tak berdaya. Aneh, kenapa rasanya berbeda dengan Salma? Aku tidak merasakan sensasi menakjubkan seperti ini di malam pertama kami. Rasanya pun tak bisa kuingat seolah tak pernah menjamahnya. Dengan Salma, aku sekedar melampiaskan saja, tapi dengan Cahaya, aku ..., Ah sudahlah. Kalau dibandingkan begini aku merasa berdosa dengan Salma.***Setelah malam panas itu, aku berusaha keras menjauhi Cahaya. Sikapku malah semakin dingin dengannya. Bukan karena tak suka, tapi karena takut akan mengulangi lagi malam panas itu. Aku sangat merasa bersalah dengan Salma. Dua janji telah kulanggar. Namun tetap saja, pesona Cahaya lebih kuat hingga membuat