Untuk apa Mas Bintang menghubungiku sebanyak ini? Merindu kah? atau baru menyesal karena tidak mencegah kepergianku. Tidak, kurasa tidak keduanya. Kuletakkan kembali ponsel ke atas kasur. Tepatnya dibanting.
Drrtt ... Drrtt ... Drrtt ...
Ponselku berdering.
Kuambil ponsel tadi dengan posisi masih rebahan. Kumiringkan kepala ke kanan. "Mas Bintang," gumamku.
Kubiarkan deringnya berbunyi sampai nada terakhir, panggilan pun berakhir.
Haruskah kublokir nomornya? Tidak, nanti dulu. Mungkin lebih baik kulihat dulu isi pesannya yang belum dibuka.
{Angkat Ya}
"Nggak," ketusku bergumam sendiri.
{Kamu dimana?}
"Bukan urusanmu!"
<
Setelah melalui perdebatan panjang akhirnya selesai sudah aku diinterogasi oleh Mas Daffa. Interogasi? Yah ... anggaplah begitu. Mas Daffa hanya memintaku menyiapkan buku nikah, KTP, dan kartu KK. Selebihnya biar dia yang menyiapkan semua dokumen untuk persyaratan pengajuan gugatan cerai. Setidaknya aku tidak perlu repot bolak-balik ke kantor pengadilan untuk mengurusnya. Tapi tetap saja saat ada panggilan sidang dari pengadilan, aku diharapkan hadir karena akulah yang mengajukan gugatan perceraian.Setelah Mas Daffa pergi, langsung saja kuhajar Fajar dengan kemarahanku."Kamu gimana sih Jar, nggak bantu Kakak sama sekali," ujarku sewot sambil menepuk bahunya dengan keras."Aduh ..., Sakit Kak. Apa yang harus Fajar bantu? Kak Aya kan tinggal ceritakan semuanya, itu ... bisa," ucapnya berkelit."Tapi setidaknya
Empat belas hari sudah aku berada disini. Di rumah masa kecilku. Mas Bintang masih berusaha menghubungiku lewat Fajar karena nomornya sudah kublokir.Sesuai dugaan Mas Daffa, Mas Bintang menolak gugatan cerai yang kulayangkan kepadanya. Dia bersikukuh tetap ingin mempertahankan rumah tangga kami.Pernah juga di hari ketujuh atau seminggu aku berada disini, Mas Bintang nekat mendatangiku. Ia bahkan sudah kehilangan urat malunya dengan rela berlutut di depan pintu rumah dan memohon agar aku membatalkan gugatan cerai kami. Para tetangga dan warga sekitar heboh menyaksikan aksinya. Bahkan ada yang sengaja ingin merekam mengambil videonya, untung sempat dihalangi Fajar. Fajar bahkan mengancam akan melaporkan ke polisi siapa pun yang sengaja merekam atau memvideokan aksi Mas Bintang, dan untungnya mereka tidak ada yang berani melakukan karena tahu Fajar kuliah hukum.
Kuputuskan berkunjung ke rumah Mas Bintang setelah selesai menghadiri persidangan terakhir kami. Nomor Mas Bintang dari Minggu kemarin tidak bisa dihubungi. Selama ini aku hanya berkomunikasi dengan Bi Sri. Bibi masih kerja disana. Bibi bilang keadaan rumah kacau. Ibu hanya berbaring diatas tempat tidurnya. Sedang Mas Bintang, kadang pulang, kadang tidak.Mungkin dia bermalam di rumah Salma. Syukurlah kalau akhirnya Mas Bintang memutuskan bersama Salma. Mungkin mereka memang berjodoh, akulah yang salah telah memasuki kenyaman hidup mereka. Namun alangkah bagusnya kalau Salma tinggal bersama Ibu disana, berusaha merebut hati Ibu apa salahnya. Kenapa mereka masih pisah rumah? apa karena Ibu belum memberikan restunya? Banyak pertanyaan bersarang di benakku."Apa rencanamu Ya setelah ini? Apa yang ingin kamu lakukan?" tanya Mas Daffa sembari tangannya tetap siaga di batang stir.
"Apa Bu?" aku tercengang mendengar ucapan Ibu barusan."Menikah? Kenapa Ibu bisa memutuskan semuanya tanpa persetujuan Bintang terlebih dulu! lalu apa ini? Perjodohan apa Bu? Ibu jangan bercanda," pekikku masih tidak percaya.Bagaimana mungkin Ibu tidak meminta pendapatku mengenai hal sepenting ini, dan langsung saja merencanakan pernikahanku dengan orang asing. Lewat perjodohan pula? Ini bukan jamannya Siti Nurbaya, dan aku pria, bukan wanita. Apakah masih jamannya main jodoh-jodohan begitu?Jodoh yang Ibu pilihkan sejak aku kecil? Permainan apa itu Bu. Kita hidup di jaman milenial, tidak ada lagi perjanjian seperti itu."Ibu yakin kamu pasti suka sama dia, dia wanita baik-baik, Ibu kenal betul keluarganya. Ayolah Bintang dengarkan Ibu, bukankah kamu sayang sama Ibu. Mungkin ini permintaan terakhir ibu, siapa tahu esok Ibu mat
Kupacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Ibu saja sampai terhentak raganya karena laju mobil yang dikemudikan."Bintang! pelankan mobilmu! Kamu mau Ibu mati?" teriak Ibu yang duduk di sampingku dengan mata melotot menatapku tajam.Dalam keadaan senang saja tak dapat kutolak perintahnya, apalagi dalam keadaan marah. Laju mobil terpaksa kupelankan. Kudengar Ibu mendesah lega sembari memperbaiki letak hijab dikepalanya."Kamu kenapa sih Nak, menyetir seperti itu, marah sama Ibu?" tanyanya lembut.Sudah tahu tapi masih nanya, itulah Ibu. Apa mungkin aku bisa protes akan keputusannya? Itu tidak mungkin."Jawab dong! 'kan anak Ibu punya mulut," bujuk Ibu sambil mengusap lenganku.Ibu paling bisa membujuk. Mana mungkin aku bisa marah den
"Tuh kan Mas, artinya aku nggak berarti di hidupmu, kalau begitu sama saja, aku kayak wanita simpananmu," sungutnya lagi dengan berderai air mata."Bukan gitu Dek, kamu sangat berarti untukku, Mas terpaksa Dek, tapi kamu tenang saja, setelah nikah, Mas akan buat dia nggak betah hidup sama Mas, dan akhirnya dia minta cerai. Mas harus punya alasan yang jelas untuk bercerai dengannya, minimal dari wanita itu sendiri yang mengajukannya lebih dulu, agar Ibu nggak curiga sama Mas."Setelah cukup lama berdebat, akhirnya Salma memberikan keputusannya. "Baiklah, Mas boleh nikahi tapi ada syaratnya," ucapnya sambil menyeka air mata."Syarat? apa?" tanyaku penasaran."Setelah Mas nikah sama dia, Mas harus bersikap dingin dengannya, pastikan jangan sampai dia hamil, dan Mas harus lebih sering disini sama aku diban
Akhirnya selesai sudah ijab kabul pernikahanku, kini aku berdiri di atas pelaminan bersama seseorang yang bukan wanita impianku, menyambut uluran ucapan selamat dan doa dari para tamu yang hadir. Tak kusangka ternyata resepsi pernikahannya sangat mewah, Ibu benar-benar hebat dapat mewujudkannya dalam waktu seminggu. Bahkan aku saja tidak sadar bisa berada disini secepat ini seakan semua sudah terkoordinir dengan baik. Gadis bernama Cahaya yang telah resmi menjadi istriku itu tampak bahagia dan tersenyum cerah. Berbeda terbalik denganku yang merana menerima nasib ini dengan pasrah.Ini malam pertama kami. Aku sengaja berlama-lama dibawah menemani sanak saudara yang masih berkumpul dan bercengkrama untuk menuntaskan kerinduan. Karena esok semua akan kembali seperti semula. Mereka pulang ke kota mereka masing-masing."Bin, nggak naik? Kasihan lo mempelai wanitanya udah nungguin tuh di atas," celetuk
Cahaya Asyifa Zulma, nama cantik yang cocok bersanding dengan Bintang Arsya Firdaus. Serasi, itu kata Ibu. Ia sangat suka memanggil nama kami secara bergandengan. Cahaya-Bintang, atau Bintang-Cahaya. Dua nama yang disandingkan selalu bergema di dalam rumah ini. Aku hanya tersenyum saat mendengar ia memanggilku begitu. Entah karena mulai suka atau terbiasa. Bagaimana lagi, Ibu kecanduan memanggil nama kami begitu.Hampir dua bulan kami tinggal bersama. Apakah kalian percaya kalau aku belum sama sekali menyentuhnya? percayalah ... memang seperti itu kebenarannya. Sekuat itukah aku menahannya? Bohong. Pesonanya sangat menggoda. Namun selalu kulampiaskan ke Salma. Bahkan bulan madu saja, aku memaksa Ibu ikut kami, untuk menghindari berduaan saja dengan Cahaya. Dengan berbagai cara aku memiliki ide cemerlang untuk menaklukan hati Ibu, kecuali satu, Salma. Hatinya sekeras batu untuk mau menerima Salma menjadi menantunya.