Aku terbangun mendengar suara getaran dari ponsel yang berada di nakas.
"Hoam ...!" Mata ini masih berat untuk dibuka.
Segera kuraih ponsel. Ada tiga pesan masuk ke aplikasi chat yang populer banyak dipakai orang. Dua dari Mas Bintang dan satu dari Fajar, adikku.
Pesan pertama yang kubaca dari Fajar karena terlihat paling atas.
[Tunggu sore ya Kak, kejutanmu datang, semoga suka. Pasti suka karena kejutannya dariku.] Aku tersenyum membaca pesan darinya.
Kubuka pesan kedua dari Mas Bintang.
[Dek, Mas nggak bisa lama-lama.] Aku mengernyitkan dahi.
[Nanti malam Papa kesana.] Kulihat pesan terkirim pukul 08.10, dan dia lupa menghapusnya. Aku tertawa getir membaca dua pesan tersebut. Sepertinya salah kirim,
Akhirnya aku tetap bersama Mas Bintang pergi ke rumah sakit buat cek kehamilan. Semua berjalan lancar tanpa kendala berarti. Aku memang dinyatakan berbadan dua. Kehamilanku sehat dan memasuki usia kandungan lima Minggu. Jujur aku tidak menyadari kalau aku sedang hamil. Aku hanya mengalami kelelahan dan mengantuk saja. Yang paling parah cuma pusing. Kukira hanya gejala masuk angin ataupun karena darah rendah. Tidak tahunya karena hamil.Setelah pemeriksaan selesai, kami memutuskan pulang. Lebih tepatnya aku yang ingin. Kutolak semua ajakannya untuk pergi ke tempat lain yang memang disengaja untuk mengambil hatiku. Rasanya malas kalau berpura bahagia dan menjadi istri yang penurut setelah semua kebusukannya terbongkar.Selama di perjalanan pulang dari rumah sakit, kami masih dalam mode diam. Tidak ada yang memulai lebih dulu untuk berbicara. Di dalam mobil, aku maupun Mas Bintang sama-sama membuang muka.
"Non! Non Aya, ini Bi Sri. Bibi bawakan makanan buat Non Aya, disuruh Pak Bintang.""Masuk aja Bi, nggak dikunci." Bi Sri masuk dengan membawakan makanan untukku."Dimakan dulu, baru minum obat. Kata Pak Bintang, Non Aya pusing lagi?""Nggak papa Bi, tapi Aya makannya dikit aja, kan baru sarapan pagi tadi," kilahku."Ini sudah jam sebelas Non, nggak papa makan banyak, sudah masuk jam makan siang juga. Non bagus kalau makan banyak, buat tambahan energi," jelas Bi Sri.Aku tersenyum mendengar penjelasan Bi Sri."Mas Bintang masih di rumah atau sudah pergi?" tanyaku penasaran."Pak Bintang kayaknya sudah pergi Non. Pas Bibi naik keatas, Pak Bintang juga pamit pergi sama Ibu." Aku mengangguk mendengar pen
Aku menunduk saat mata kami saling serobok tak sengaja. Kutarik lengan Fajar menjauh dari lelaki tersebut."Jar! Kamu ngapain ajak dia kesini? Jangan bilang dia kejutan yang kamu maksud?" sambil berbisik aku menanyainya."Kenapa Kak? Memang Kakak berharap kalau kejutannya dia?" Senyum seringai menghiasi wajahnya."Kamu mau cari masalah dengan Kakak?" Kucubit pinggangnya karena kesal."Woh ... Santai saja, kenapa sewot, takut CLBK ya?" Lagi kucubit pinggangnya lebih kuat. Fajar meringis kesakitan. Adik kurang ajar ini memang harus diberi pelajaran. Kakaknya lagi bicara serius malah dibecandain."Ya, siapa?" Ibu menghampiri kami yang masih betah berdiri di depan. Matanya menatap heran dan lalu tersenyum saat mengenali pemuda yang berdiri disampingku.&n
"Kamu kerja dimana Jar? Mas baru tahu kalau kamu sudah kerja." Mas Bintang bertanya pada Fajar seraya mengusap punggung tanganku."Belum kerja sih, masih bantu-bantu saja, yah ... kayak magang gitu. Sekalian belajar langsung sama ahlinya," jawab Fajar tersenyum sambil melirik ke arah Mas Daffa."Oh ...." Mas Bintang masih menatap Mas Daffa dengan tajam. Kenapa tatapannya mengisyaratkan sesuatu. Apa Mas Bintang mengenal Mas Daffa? Atau ... Ya Tuhan, jangan sampai Mas Bintang tahu kalau Mas Daffa lah orang yang mengirimkan fotonya itu ke ponselku."Padahal kalau kamu mau kerja bisa coba di tempat Mas loh? Mungkin Mas bisa carikan yang cocok sama kamu.""Ya nggak mungkin Mas, bidang pekerjaannya tidak sesuai dengan jurusan yang Fajar ambil. Lagian mana mau kantor Mas menerima seorang mahasiswa yang belum mempunyai gela
"Sudah hampir Maghrib. Lebih baik kami pulang dulu Kak," ucap Fajar pamit kepadaku."Memangnya kalian langsung pulang ke--""Pulang ke hotel Kak, kita disini dua hari. Jadi nginap disana," sela Fajar memberitahu."Loh, kenapa nggak nginap disini saja? 'kan masih ada satu kamar kosong yang biasa kamu tempati kalau nginap disini Jar? Sekalian kita makan malam bersama," imbuh Ibu menawari Fajar agar bermalam di rumah ini."Nggak usah Bu, nggak enak. Lagian saya bawa Mas Daffa. Kebetulan juga hotel tempat kami menginap dekat sama tempat janjian meeting sama klien nantinya." Fajar menolak tawaran Ibu dengan sopan."Oh ... Gitu. Terserah Nak Fajar saja. Ngomong-ngomong Nak Daffa, Ibu lihat kamu masih muda, sudah menikah?" tanya Ibu kepada Mas Daffa. Sepertinya Ibu penasaran dengan
"Kamu dulu punya hubungan dekat dengannya 'kan?" imbuhnya lagi. Mulutku menganga mendengarnya. aku mencoba menekan salivaku. "Maksud Ibu?" ulangku mempertanyakan kembali pertanyaannya."Aku tidak sembarangan menjadikan seseorang sebagai menantuku. Bintang anakku satu-satunya, tentu saja aku akan memberikan yang terbaik untuknya. Aku pasti menyelidiki terlebih dahulu tentang siapa dirimu Ya. Fakta yang kudapat dulu ternyata kamu hampir saja menikah dengannya," jelas Ibu dengan seringai senyum yang menakutkan.Aku terdiam, bingung harus menjawab apa. Bibirku tiba-tiba kelu seketika. Informasi yang Ibu dapat itu memang benar. Jika saja Ibu tidak datang dan menceritakan tentang janji perjodohan tersebut, mungkin sekarang aku bukan istri Mas Bintang, melainkan istrinya Daffa. Hubunganku terpaksa kandas karena janji itu. Ingin aku menolaknya, tapi ketakutanku lebih besar mengi
Lagi asyik melihat timeline postingan teman di Efbe, ada satu pesan inbox masuk terlihat olehku. Langsung kubuka saja, karena penasaran.[Bisa ketemu?] Mataku terbelalak membaca pesan tersebut. Dari Salma.Bertemu? Untuk apa? Kurang kerjaan nih orang. Aku mencibir sendiri.[Aku tahu kamu sudah membaca pesan ini, kita harus ketemu.] Menghela nafas panjang, lalu kuhembuskan pelan. Mungkin dia tahu kalau sekarang akunku sedang aktif. Malas, tidak kubalas.[Ada yang harus kita bicarakan.][Penting.] masih belum kubalas.[Ini tentang suami kita.] Wow ... Aku speechless. 'Suami kita', kata baru yang ajaib bagiku. Tidak, tidak usah kubalas, tidak penting. Ngapain bertemu, terus yang dibahas 'suami kita', oh Tuhan ... Aku tidak ing
"Bu, hari ini Aya mau ke supermarket beli perlengkapan dan stok bahan makanan. Ada yang mau dititip?" ujarku bertanya kepada Ibu."Ehm ... Nggak ada Ya. Perlengkapan bahan dapur kita memangnya sudah habis?""Iya Bu," jawabku sambil menyendok nasi ke mulut. Kami sedang sarapan pagi."Mas temani, Ya?" tawar Mas Bintang. Refleks aku menoleh ke arahnya. Tumben. Kupikir dia akan menemui keluarga bahagianya tersebut karena Salma mengirim banyak pesan malam tadi minta ditemui. Eh, tidak. Aku lupa. Pesan Salma telah kuhapus. Tentu saja Mas Bintang tidak tahu pesan itu."Mas 'kan kerja, tidak perlu. Biasa juga Aya pergi sendiri," jawabku sesantai mungkin. Ibu dan Mas Bintang mendadak berhenti menyendok makanan di piring mereka dan menatapku bersamaan."Aya kok ngomongnya begitu?
Akhirnya aku menikah dengan Mas Daffa setelah dua bulan dari lamaran kemarin. Keluarga Mas Daffa sangat open kepadaku. Mereka menerima keadaanku dengan tangan terbuka. Tidak ada nyinyiran atau sindiran pedas dari mulut mereka. Apalagi orangtuanya. Mas Daffa sekarang cuma mempunyai Ibu saja, ayah Mas Daffa sudah tiada. Mama Lola sangat baik kepadaku. Perlakuannya sama seperti Ibunya Mas Bintang dulu, penuh kasih sayang.Aku ikut tinggal bersama Mas Daffa ke rumahnya. Masih satu kota dengan Fajar. Untuk kedua kalinya, aku meninggalkan Fajar sendirian lagi di rumah. Tidak apa, untung dia anak lelaki. Aku yakin ia bisa jaga diri dan pergaulan.***Baru kali ini kurasakan kebahagiaan berumah tangga, setelah menikah dengan Mas Daffa. Kami saling terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari diri kami masing-masing. Barang pribadi bebas dipegang siapa saja, entah aku ata
Sepanjang jalan pulang ke kota asalku, aku merenung. Sungguh bukan impianku mempunyai pernikahan yang sesingkat ini. Kuikhlaskan hati pada Ilahi, dengan memantapkan hati tetap teguh melangkah membuka lembaran baru di hidupku. Mencoba berprasangka baik terhadap Sang pencipta atas ujian hidup yang telah ditakdirkan kepada hambaNya. Akhirnya aku kembali kesini, ke tempat masa kecilku dulu dan meniti hidup yang baru.Bulan silih berganti, aku sudah bergelut beraktivitas mengajar di salah satu taman kanak-kanak. Rasanya senang bisa berinteraksi dengan mereka. Berteman baik dengan kepolosan dan tingkah polah lucu mereka. Tak pernah kudengar lagi kabar mantan suamiku. Terakhir saat berkunjung ke rumahnya, aku dibuat terkejut dengan kenyataan menyedihkan kalau Mas Bintang mengalami depresi berat. Keadaan Ibu yang cuma berbaring di tempat tidur lebih mengiris hatiku. Aku tidak bisa berbuat
"Mas, itu sudah nggak penting, sekarang keselamatan Kia yang harus kita pikirkan, bukankah kamu sangat menyayanginya?" ucapnya dengan sesegukan dan menatapku sendu.Aku tidak habis pikir, begitu mudahnya ia bilang tidak penting. Kia bukan anak kandungku. Golongan darah kami berbeda. Lalu anak siapa dia?Aku masih mendebatnya dan memaksanya memberitahuku yang sebenarnya. Ia tergugu menangis dan bersujud di kakiku. Memohon ampun dan memintaku memaafkannya. Dia sendiri bilang tidak tahu siapa lelaki yang merupakan ayah kandung Kia. Aneh, bagaimana mungkin? Jadi benar kata Ibu selama ini kalau Salma bukan wanita baik-baik. Berapa lelaki yang sudah menidurinya? Aku menolaknya dan bergegas keluar dari ruangan tersebut. Salma mencoba mengejarku tapi tidak kugubris. Hatiku hancur mengetahui semua kebenaran ini. Kia, maafkan Ayah, aku tidak sanggup untuk tetap di sini menunggumu pulih. Aku perlu wak
Kukira bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, ternyata salah. Tidak mungkin dua kursi bisa duduk bersama. Entah apa yang terjadi, Salma dan Cahaya bisa saling bertemu. Apakah mereka janjian atau tidak disengaja, mungkin semua ini sudah takdir Allah. Yang tidak kumengerti kenapa bisa mendadak seperti ini? Di saat aku belum siap untuk mempertemukan mereka dan sesuatu yang tidak kuinginkan malah terjadi. Aku tahu dari cara Cahaya melihatku ia sangat marah. Bahkan panggilan dan penjelasanku tak digubrisnya. Ia pergi dengan emosi yang memuncak hingga mengalami kecelakaan. Bukan cuma Aya, tapi Ibu pun jatuh sakit karena jantungnya kumat lagi mendengar Aya kecelakaan. Yang menyakitkan aku harus kehilangan anak yang sangat kunantikan kehadirannya. Aya keguguran. Kecelakaan itu penyebabnya. Sebab itu pula hubunganku dengan Aya kembali memburuk. Fajar sudah tahu kisah sebenarnya dan ikutan marah padaku. Ia juga melarangku mendekati kakaknya bahkan mereka akan pulang ke rumah mereka.
"Sudahkan, Mas tutup teleponnya. Tenangin Kia, kamu ibunya, masa tidak bisa menenangkan anak sendiri," ucapku sewot. Lalu sambungan panggilan benar kuputus sepihak. Biarlah kali ini tidak kuhiraukan Kia, aku yakin Salma bisa mengatasi anaknya sendiri.Untuk saat ini aku fokus ke Cahaya. Aku harus memikirkan cara agar Aya membatalkan keinginannya untuk pergi dari rumah ini.***Kulihat Aya membereskan baju dan memasukkannya ke dalam koper. Aku memberitahunya agar jangan lama berada disana, kasihan Ibu, ujarku. Lagi-lagi kata Ibu yang terucap, Aya menoleh ke arahku sekilas, dapat kulihat masih ada sorot kemarahan dari matanya. Aya hanya diam, dia tidak menggubris omonganku. Untungnya ia masih mau memasak dan menyiapkan sarapan pagi kami. Aku terus menatapnya, Ibu menyuruhku mengantarkan Aya pulang, tapi Aya menolak, ia bahkan hampir berkata dengan nada marah kepada Ibu,
"Ya, sini duduk," pintaku, dengan menepuk atas kasur di sebelahku. Aya menolak, ia lebih memilih berdiri memandangi luar jalanan dari balik jendela. Kulihat di sudut matanya tampak buliran air mata. Hatiku semakin terenyuh, sesakit itukah rasanya Ya, maaf, lirihku dalam hati.Kutarik nafas panjang sebelum memulai kebenaran ini. "Wanita itu namanya Salma. Dia ... Istriku." Akhirnya kalimat itu terucap juga dari bibirku.Aya tampak syok, raganya merosot kebawah, dan terduduk di lantai. Dia menangis. Tak tega melihatnya, kulangkahkan kaki menghampirinya."Stop! berhenti disana!" teriaknya dengan berlinang air mata sambil mengangkat telapak tangan ke udara. Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aya terlihat bukan dirinya, untuk pertama kali kulihat kilatan kemarahan di kedua netranya. Ia juga berani membentakku."Kapan kalia
"Maaf Ya, kasih Mas waktu untuk membuktikan kalau Mas juga mencintaimu," aku meyakinkannya lagi. Perasaanku kali ini tidak enak. Ada rasa takut yang dalam saat Aya mulai bicara seperti ini. Yang lebih mengejutkan tiba-tiba Aya menanyakan tentang Salma. Pasti Ibu yang cerita, tapi kenapa? Bukankah kami sepakat untuk menyembunyikannya? Kutarik tubuhnya berbaring bersamaku. Kupeluk ia erat. Aku berusaha meyakinkannya kalau aku mencintainya, sangat mencintainya, apa pun yang diceritakan Ibu tentang Salma jangan sampai membuatnya meragukanku.Kuminta ia segera tidur karena aku pun juga sudah mengantuk. Kupejamkan mataku. Tapi firasatku mengatakan kalau ia belum tidur."Ehem ..., sudah puas menatap wajahku ini?"Aku tidak tahu seperti apa ekspresinya, tapi dengan adanya pergerakan tubuhnya saat kupeluk aku tahu ia terkejut.
Ibu terkena stroke. Kaki sebelahnya tidak bisa digerakkan, tapi bukan lumpuh. Kata dokter ini masih ringan. Ibu diminta terus mengikuti terapi untuk pemulihan kakinya.Sungguh pukulan berat untukku. Karena akulah yang tanpa sengaja membuat Ibu mengalami hal itu.Cahaya tidak tahu penyebab Ibu masuk rumah sakit. Aku dan Ibu sepakat merahasiakannya dari Aya.Ibu mulai menjaga jarak denganku. Dia hanya bersikap hangat padaku, bila ada Aya di sisinya, setelah itu sikapnya dingin. Sedingin es. Tidak pernah Ibu begitu denganku. Ini baru seumur hidupku diacuhkan oleh orang yang paling kusayang.Ibu memintaku untuk tutup mulut dan jangan sampai masalah ini diketahui Aya. Ibu bahkan memaksaku untuk meninggalkan Salma. Maaf Bu, aku tidak bisa. Kia–anakku butuh sosok ibu dan ayahnya. Jadi selama ini aku
Kusentuh kembali lekuk wajah cantik Cahaya yang tertidur pulas di sebelahku. Sekarang entah kenapa ini jadi candu untukku. Aku tak bisa mengendalikan hasrat dalam diri. Semalam aku menggila dengan menyerangnya bertubi-tubi, hingga wanita cantik di sampingku ini terkulai lemah tak berdaya. Aneh, kenapa rasanya berbeda dengan Salma? Aku tidak merasakan sensasi menakjubkan seperti ini di malam pertama kami. Rasanya pun tak bisa kuingat seolah tak pernah menjamahnya. Dengan Salma, aku sekedar melampiaskan saja, tapi dengan Cahaya, aku ..., Ah sudahlah. Kalau dibandingkan begini aku merasa berdosa dengan Salma.***Setelah malam panas itu, aku berusaha keras menjauhi Cahaya. Sikapku malah semakin dingin dengannya. Bukan karena tak suka, tapi karena takut akan mengulangi lagi malam panas itu. Aku sangat merasa bersalah dengan Salma. Dua janji telah kulanggar. Namun tetap saja, pesona Cahaya lebih kuat hingga membuat