"Mas tapi nggak usah segitunya juga ih!" tentu Aline menolak. Dikira enak kemana-mana ada yang mengawal begitu? Dia suka kebebasan! "Nggak usah begitu gimana? Ini semua demi memastikan keselamatan kamu, Sayang!" tangan Adam mencengkeram bahu sang istri, menatap Aline dengan tatapan yang sangat serius. Aline mendesah, ia balas menatap Adam dengan tatapan protes dan tidak setuju. Bisa jadi orang itu sudah sembuh atau bahkan sudah lupa dengan apa yang terjadi. Untuk apa terlalu takut? "Mas, aku jarang keluar rumah. Jadi buat apa sih pakai cari supir sama pengawal?" paling Aline hanya pergi ke rumah mama, apakah juga perlu dikawal? Berasa anak presiden saja! Sudah helaan napas kasar terdengar. Wajah yang tadi memancarkan kebahagiaan dan rasa puas yang teramat sangat, kini berubah gusar dan frustasi. Aline tersenyum, melingkarkan tangan ke tubuh sang suami dan mendekapnya erat-erat. "Sudahlah, aku janji akan selalu waspada dan hati-hati kalo kemana-mana. Jadi tolong ... jangan terlalu
Adam tersenyum begitu ia keluar dari kamar mandi. Dilihatnya tubuh polos sang istri masih terbaring tanpa busana di atas ranjang. Kalau tidak ingat mereka tengah berada di rumah Murti dan harus segera bertolak untu kembali pulang, rasanya Adam ingin sekali lagi memacu tubuh itu sebagai kompensasi karena Aline sudah main pergi begitu saja meninggalkan dirinya."Sayang ... cepet mandi gih. Apa mau aku mandiin?" sebuah pertanyaan yang kontan membuat sosok itu bangkit dan menatapnya dengan tatapan kesal."Udah! Kok jadi terus-terusan!" protes Aline lalu bangkit dan melangkah masuk ke kamar mandi.Adam terkekeh, ia segera memakai pakaian bersih yang tadi pegawai Murti antarkan ke depan kamar. Untung sekali baju ini muat. Kalau tidak Adam tidak tahu harus pakai baju apa selama dia di sini.Selesai berpakaian, Adam lantas melangkah keluar kamar. Di saat yang sama, Asep sudah muncul dan berdiri di depan pintu."Mas Adam, ditunggu Eyang sama yang lain di meja makan." gumamnya sopan."Baik kalo
Suasana mendadak hening. Bahkan denting sendok yang beradu dengan cangkir pun terhenti. Semua mata fokus pada Aline. Wajah itu nampak sungguh-sungguh, tidak ada Kebohongan atau nada bercanda baik dari suara maupun ekspresinya. Budi menghela napas panjang, menyesap kopi dalam cangkir lalu kembali meletakkan cangkir pada tempatnya. "Kamu yakin, Lin?" tanya Budi tanpa mengalihkan pandangan dari sang menantu. "Tentu. Kebetulan dulu Aline kuliah juga ilmunya ada sedikit yang bisa dipakai, Pa. Aline nggak keberatan masuk jurusan perhotelan. Intinya nggak melenceng jauh. Beda sama mas Adam."Budi masih meneliti wajah itu. Hingga kemudian kembali helaan napas terdengar darinya. Membuat suasana makin tegang dan mendebarkan."Biar papa pikir dulu, Lin. Yang jelas papa terima ide dari kamu ini. Tapi papa butuh waktu untuk memutuskan." ujarnya kemudian.Aline mengangguk pelan, wajahnya nampak lega bukan main. Meskipun Budi belum memberikan jawaban dan persetujuan, setidaknya ia sudah menjabark
Beni berada satu mobil bersama Budi. Mereka ditemani satu orang supir, sementara orang-orang Budi yang lain berada di depan membawa mobil Aline.Ada sedikit perasaan tidak enak Beni terhadap besannya ini. Ini berhubungan dengan permintaan yang Aline minta pagi tadi."Pak ... sebelumnya saya ingin meminta maaf kalau kesannya Aline lancang karena su--""Ah tidak! Sama sekali tidak!" potong Budi cepat. "Saya malah benar-benar tersentuh dengan bagaimana Aline mengorbankan diri demi suaminya. Saya bisa lihat dari sorot mata Aline kalo dia benar-benar tulus melakukan itu demi Adam, Pak."Ada sedikit kelegaan di dalam hati Beni. Ia takut jika Budi mengira ia memerintahkan Aline melakukan itu dan bertujuan untuk menguasai aset Budi sekeluarga, tapi ternyata pemikiran Budi lebih luas dan bijaksana."Sepertinya keputusan kita menikahkan mereka itu tidak salah." desis Beni dengan senyum merekah."Benar. Kenapa sejak dulu tidak Aline saja yang saya lamar buat Adam? Kan Aleta tidak harus sampai be
"Ya ampun mbak Aline kemana aja sih, Mbak? Mak ikut khawatir sama mbak Aline!" Mak Surati kontan histeris begitu melihat Aline muncul di depan pintu bersama Adam. Aline tersenyum, ia lantas mendekap wanita paruh baya yang kontan bercucuran air mata itu. "Lagi ngambek sama mas Adam, Mak. Maaf kalo udah bikin Mak jadi khawatir." desis Aline sambil mengusap-usap punggung mak Surati. "Wealah, Mbak ... jangan ngambek-ngambek lagi ya, Mbak. Ikut kepikiran Mak dari rumah." Aline terkekeh, "Ya kalo itu tergantung mas Adam sih, Mak. Kalo cari perkara lagi ya Aline ngambek." jawabnya sambil melirik sang suami. "Iya deh iya ... nggak cari gara-gara lagi kok, serius!" desis Adam yang sadar tengah dilirik sang istri dengan tatapan tidak menyenangkan. Mak Surati tertawa, ia lantas membukakan pintu untuk tuan dan nyonya rumah tersebut. Entah apa yang kemarin terjadi di antara sepasangan suami-istri itu, dia sendiri juga tidak tahu. Yang jelas nyonya rumah ini sudah kembali dan itu sudah sangat
Rosa baru saja selesai mengganti selang infus salah seorang pasien di bangsal anak ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia segera melepas handscoon yang dia kenakan dan merogoh saku seragam."Eh, udah beres urusanmu?" spontan Rosa bergumam sendiri ketika mendapati nama Adam lah yang muncul di layar ponsel. "Halo, kenapa? Udah ketemu Aline-nya?" Tentu itu yang Rosa tanyakan. Masalah yang terjadi kemarin adalah kaburnya istri Adam karena salah paham dengan hubungan Rosa dengan sang suami. Masalah yang sampai menyeret Rosa ke depan bapak Adam dan tentu saja Aline. "Udah. Ini udah di rumah. Kamu masuk apa hari ini? Reval gimana?" tanya suara itu yang kontan membuat Rosa menghela napas panjang. "Kalian baik-baik saja, kan? Aku nggak mau dapat masalah kalau sampai pernikahan kamu kenapa-kenapa." Rosa mengabaikan pertanyaan Adam, ada sesuatu hal yang penting dan harus dia pastikan daripada menjawab pertanyaan itu. "Baik. Justru itu yang ingin aku bicarakan sekarang, Ros."Jantung Rosa
"Jadi apakah nanti kalo aku punya anak kembar perempuan, aku akan dibuat pusing karena masalah rebutan gincu?" tanya Adam dari balik kemudi.Mereka sedang dalam perjalanan menuju sebuah mall di tengah kota, hendak memberi sebuah hadiah manis untuk Reval yang akan berkunjung besok."Ya nggak cuma rebutan gincu aja sih. Rebutan kamar, saling berebut barang-barang lucu satu sama lain, bahkan kadang masalah sendok buat makan pun kami rebutan." jelas Aline yang nampak senyam-senyum mengingat momen absurb-nya bersama Aleta."Astaga, tujuannya apa coba?" Adam terkekeh, tidak habis pikir dengan apa yang barusan dijelaskan oleh sang istri."Ya tujuannya cari ribut. Kita suka aja ribut terus bikin mama sama papa pusing. Seru gitu dan kalau nggak ribut barang sehari, rasanya kayak ada yang kurang!Tawa mereka kembali pecah. Mereka kompak tertawa bersama-sama. Sebuah tanda dan bukti bahwa masalah di antara mereka sudah tidak ada lagi. Bahwa mereka kini lebih dekat dan hangat dari sebelumnya."Bay
“Kamu yakin beli sebanyak itu, Sayang?” tanya Adam sambil menatap sang istri dengan tatapan terkejut.Aline hanya tersenyum sambil mengangguk pelan. Ia segera menyodorkan mainan-mainan itu ke meja kasir dan memberi kode pada Adam untuk segera membuka dompet dan menyelesaikan pembayaran.“Bakal seneng banget tuh bocah.” gumam Adam sambil merogoh dompetnya.“Sejenis sogokan sih, aku yakin dia nanti bakalan terkejut dan bingung ketika harus berkenalan dengan istri papanya ini.” Aline menerima kartu berwarna hitam itu dari tangan Adam, menggenggam kartu itu di tangan sambil menatap barang belanjaannya yang tengah dihitung oleh petugas kasir.“Cepat atau lambat memang dia harus tau sih. Ya walaupun di usianya yang sekarang tentu dia belum bisa paham.” Adam mendesah, ia kembali merangkul pinggang sang istri, tidak peduli pada banyak orang yang ada di sekitar mereka.Adam hanya merangkul pinggang istrinya, tidak sedang mencumbunya di tempat ini!“Ia bahkan belum pernah lihat bapaknya, ya? Di