Aline mendesah pasrah, bahkan jam empat subuh dia sudah harus bangun dan bersiap dirias. Segala macam penolakan yang dia lakukan hanya sia-sia belaka. Tidak ada yang membela dan berpihak kepadanya sama sekali, hal yang lantas membuat Aline kalah dan akhirnya setuju dengan segala macam ide gila untuk menggantikan posisi Aleta sebagai wanita yang dinikahi sosok Adam Putra Narendra.
Kondisi Aleta masih sama, tidak ada peningkatan yang signifikan, membuat Aline makin tidak berkutik dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolak penikahan yang sudah di depan mata. Semua data Aleta sudah diganti dengan data Aline. Itu artinya, Aline akan benar-benar menjadi istri Adam, sah baik di mata agama maupun di mata negara.
“Mbak Aline mirip banget sama mbak Aleta, ya?” gumam sang MUA yang mulai memulas foundation di permukaan kulit wajah Aline.
Ya iya lah mirip, namanya juga kembar identik. Gerutu Aline dalam hati, ia mendadak dongkol mendengar nama Aleta disebut. Kenapa sih orang itu pikirannya pendek sekali? Lihat sekarang, harus Aline yang menangung semua perbuatan Aleta gila yang Aleta lakukan.
“Iya, kami identik, Mbak.” jawab Aline yang tetap berusaha lembut dan baik pada perias kondang yang merupakan perias pilihan Aleta itu.
Bagaimanapun perias ini tidak punya salah apa-apa pada Aline. Semua ini murni kesalahan Aleta! Ah ... bukan! Ini kesalahan kedua orang tua mereka yang entah apa yang merasuki mereka sampai-sampai begitu kolot melakukan perjodohan di zaman modern seperti ini. Ya ... semua ini salah orang tua mereka!
Aline menghela napas panjang, pasrah membiarkan perias mulai mendadani wajah dan penampilannya untuk acara yang sama sekali tidak pernah Aline bayangkan dan harapkan dalam hidupnya.
Maksudnya, Aline memang punya impian untuk menikah, tetapi bukan dengan Adam dan bukan seperti ini juga caranya! Aline membayangkan tokoh-tokoh novel yang dia ciptakan. Tentang bagaimana mereka bertemu dengan pasangan dan kemudian menikah. Aline selalu menulisnya dengan begitu manis dan romantis, tetapi kenapa tiba giliran Aline menikah, ia malah harus mengalami hal macam tokoh novel yang ditulis oleh teman penulisnya yang lain?
Terpaksa menikahi calon kakak ipar.
Menikahi calon kakak ipar.
Menikahi calon suami kakaku.
Dan entah apa lagi, intinya hampir seperti kisah Aline ini lah! Sudah banyak Aline baca novel yang berkisah tentang pernikahan konyol yang harus dia jalani hari ini. Kenapa bukan penulis aslinya saja yang mengalami hal ini? Kenapa harus Aline yang selalu membuat dan menuliskan kisah lakon yang dia buat dengan begitu manis dan membahagiakan?
“Mbak, kalau misal masih ngantuk, bisa kok riasnya sambil tidur dulu. Cuma nanti pas sanggul rambut, Mbak harus bangun, ya?”
Aline tersentak, ia menoleh menatap wanita berjilbab yang tengah meriasnya itu. Agaknya itu hal yang bagus. Tanpa banyak bicara Aline mengangguk pelan, bangkit dan melangkah ke kasur hotel yang menjadi tempat pernikahan akan digelar.
Tidur barang beberapa menit tentu sangat lumayan, bukan?
***
Adam menatap jendela kamar hotel yang disiapkan khusus untuk mengurus segala hal persiapan pengantin. Hotel yang merupakan milik keluarga Adam sendiri, dan salah satu calon warisan yang akan jatuh ke tangan Adam. Mendadak hatinya risau. Apakah acara hari ini akan berjalan lancar? Bagaimana kalau Aline membuat ulah macam sang kakak?
“Ah ... ayolah, kenapa jadi begini sih, Dam?” ia berusaha memperingatkan dirinya sendiri.
Ini hari besar dalam seumur hidup Adam, tentu Adam tidak akan mensia-siakan dan mengacaukan hari ini. Tidak sama sekali dan dia berharap, Aline pun akan melakukan hal yang sama dengan apa yang Adam lakukan.
Adam membalikkan badan, melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah sebentar lagi! Adam sendiri sudah siap dengan jarik dan beskap sejak beberapa waktu yang lalu. Tubuhnya terbungkus beskap warna putih gading yang membuat Adam menjelma menjadi sosok putra bangsawan Jawa nan gagah dan tampan.
“Dam ... kita turun dulu, yuk!”
Adam menoleh, mendapati sang ayah sudah muncul dari balik pintu. Adam menghirup udara banyak-banyak, kepalanya terangguk pelan sebagai jawaban dari apa yang Budi perintahkan kepadanya.
Adam melangkah ke arah pintu, semakin ia mendekati pintu, jantungnya semakin kencang berdegub jantungnya sehat, kan? Dia tidak akan kena serangan jantung pagi ini, kan?
***
“Ya ampun, Sayang ... kamu cantik banget!”
Aline tertegun di depan cermin rias. Kini tubuhnya sudah terbalut sempurna dengan kebaya warna putih gading dan segala macam hiasa rambut serta bunga menjutai yang begitu semerbak harum. Ia begitu menikmati pemandangan di depannya sampai-sampai mengabaikan sang ibu yang terharu melihat betapa cantik anak gadisnya dalam balutan busana pengantin.
Aline baru tersadar dan tersentak dari rasa kagumnya setelah sebuah tepukan mendarat di bahu Aline. Ia menoleh, Desi yang sudah terbalut kebaya warna ungu itu nampak menyinggingkan senyum, membuat Aline mau tidak mau ikut menyungingkan senyum.
“Siap untuk hari ini, Sayang?” tanya Desi yang otomatis membuat Aline menebik dengan bibir manyun.
“Kalau Aline jawab tidak, apakah acara akan dibatalkan?” sebuah pertanyaan gila meluncur dari mulut Aline. Kalimat yang mampu membuat wajah hangat dan ramah seorang Desi, kini berubah menajdi wajah kesal dan gemas.
“Lin, jangan bercanda! Akad kalian lima belas menit lagi!” gumam suara itu memperingatkan.
Lima belas menit? Mata Aline membelalak, jangankan lima belas menit, lima belas tahun pun Aline kalau ditanya maka jawabannya tentu tidak akan siap! Dia ingin menikah dengan lelaki pilihannya sendiri, bukan lelaki pllihan kedua orang tuanya.
Tapi sekali lagi, bisa apa Aline melawan dan menolak? Aline menghela napas panjang, ia mengangguk dan pasrah ketika Desi membantunya berdiri. Bukan hanya Desi, sang perias dan asistennya pun ikut membantu Aline berdiri dari kurisnya.
Dengan susah payah Aline melangkahkan kaki. Kenapa orang mau menikah saja harus seribet ini? Sungguh sangat menyebalkan sekali! Aline beberapa kali hampir terjerembab karena kakinya menginjak jarik yang dia kenakan. Untung Desi dengan sigap membantu dan mempertahankan tubuh Aline agar tidak jatuh.
Aline merasakan jantungnya berdegub dua kali lebih cepat. Lima belas menit lagi ... sebenarnya Aline bisa menggunakan waktu yang tersisa untuk kabur dari tempat ini. Tetapi sekali lagi, pakaian yang ia kenakan mempersulit gerak dan langkah Aline kalau benar dia hendak kabur.
“Ingat, Lin ... setelah ijab qobul dilaksanakan, maka semua tanggung jawah mama dan papa jatuh ke pundak Adam.” Jelas Desi lirih sambil membimbing Aline melangkah.
Aline hanya mengangguk, ia terus melangkahkan kaki dibantu sang mama. Mereka tiba di ballroom yang begitu mewah dengan desain bunga-bunga dan beberapa dekorasi lain. Bisa Aline lihat cukup banyak tamu yang hadir untuk sekedar memberi doa kepada dia dan Adam di acara hari ini. Semua mata para tamu tertuju pada Aline, hal yang membuat Aline mendadak kikuk setengah mati.
Ia terus melangkah, hingga akhirnya ia hampir tiba di meja yang mana sudah banyak orang yang duduk di kursi yang mengelilingi meja. Aline sukses mengendalikan diri, kecuali ketika sosok dengan beskap yang warnanya senada dengan kebaya yang Aline kenakan itu menoleh dan menatapnya dengan saksama.
“Nah itu calon suami kamu, Lin! Ganteng, ya?”
“Sah?” “SAH!” Suara sahutan itu menggema dengan begitu luar biasa, membuat jantung Aline bergetar dan matanya refleks memanas. Kenapa takdirnya seburuk ini? Menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya? Bagaimana bisa kehidupan Aline jadi macam kisah novel begini? Aline fokus merenungi nasibnya, air matanya menitik dan ia terlonjak kaget ketika lengannya ada yang menyentuh. Ia sontak memalingkan wajah, mendapati Adam, lelaki yang kini sudah sah dan resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan alis berkerut. Dengan hati-hati Aline menyeka air matanya, bisa dia lihat Adam mengulurkan tangan, sebuah kode yang dia tahu betul apa maksud dari uluran tangan tersebut. Aline menerima uluran tangan itu, menciumnya dengan hati dongkol setengah mati yang dia sembunyikan di balik raut tenang wajahnya. Ia bahkan membiarkan Adam mengecup puncak kepalanya, hal yang pertama kali dilakukan laki-laki selain Beni kepada Aline. Aline memejamkan mata, akan jadi apa hidupnya setelah ini?
“Ini batasnya!” Aline meletakkan bantal di tengah-tengah antara dia dan Adam.Ia sudah beres mandi dan berganti pakaian, sementara Adam bahkan baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu nampak santai dengan boxer celana pendek dan kaos polos berwarna hitam. Adam tertegun menatap bantal itu, sedetik kemudian kepalanya terangguk pelan sebagai tanda setuju.“Mas dilarang melewati batas garis, ngerti?” tanya Aline kembali menegaskan batas wilayah mereka masing-masing malam ini di kamar hotel.“Oke, I see!” jawab Adam lalu menjatuhkan diri ke atas kasur dan merebahkan tubuhnya.Aline nampak terkejut, jantunya berdegub kencang dengan hati was-was. Bagaimana tidak? Statusnya dan Adam adalah sepasang suami-istri sekarang, bisa saja Adam lantas memaksa Aline melayani gairahnya yang sebenarnya merupakan tugas Aline sebagai seorang istri.Melayani gairah Adam? Aline akan bertelanjang tubuh dan pasrah diapa-apakan oleh Adam? NO WAY! Tidak bahkan untuk seujung kukupun!Aline tidak pernah mengin
Aline mengerjapkan mata ketika merasakan ada yang menepuk pipinya dengan lembut. Ia melonjak kaget ketika matanya terbuka dan mendapati Adam sudah duduk di tepi ranjang. "Nggak usah kaget kayak lihat setan gitu ah, Lin!" protes Adam dengan wajah masam. Aline segera bangun, duduk di atas ranjang sambil balas menatap kesal ke arah Adam. "Habisnya Mas bikin kaget, nggak salah kalo sampai kayak liat setan!" balas Aline dengan sorot mata tidak bersahabat. Adam mendesah, ia lantas menoleh ke arah meja yang ada tidak jauh dari ranjang. Membuat Aline ikut menoleh ke sana dan tertegun ketika mendapati apa yang ada di atas meja itu. "Aku bawakan sarapan, kamu cepat makan ya? Aku ada urusan sama papa di bawah." gumamnya lalu bangkit dan melangkah menuju pintu.Aline masih tertegun di tempatnya duduk. Padahal Aline tidak pernah ramah pada sosok itu, tapi kenapa Adam selalu bersikap manis kepadanya? Sosok itu hampir menghilang di balik pintu ketika kemudian Aline berteriak memanggil Adam. "M
"Sudah semua, kan?"Aline menoleh, nampak Adam menatapnya dengan saksama. Ia segera menutup kopernya dan menganggukkan kepala. Adam lantas mendekat, meraih koper Aline dan menurunkannya dari atas ranjang. "Kita pulang kalo gitu." Adam hendak menarik koper itu, ketika tangan Aline mencekal tangannya dan melarang dia pergi. "Tunggu, Mas!" ujarnya sambil mencengkeram kuat lengan Adam. Adam menatap mata Aline dengan alis berkerut, sementara Aline nampak risau dan takut-takut. Sebuah pemandangan yang lantas membuat Adam kembali bersuara. "Ada apa lagi?"Aline menghela napas panjang, kepalanya menunduk barang beberapa detik. Kemudian kembali terangkat dan menatap Adam dengan sorot mata ragu. "Kita balik ke rumah papa Budi, Mas?" sebuah pertanyaan yang lantas membuat Adam terkekeh. "Mas serius ini!" Aline mencebik, bisa dilihat bahwa wajahnya nampak sangat kesal. Adam menghentikan tawanya, "Kenapa harus pulang ke rumah papa kalau kita sudah punya rumah sendiri? Kita pulang ke rumah ki
"Mas ...." panggil Aline setelah sekian lama mereka terdiam di atas mobil yang melaju."Hmmm ... ya, Sayang? Kenapa?"Sayang?Aline tertegun, ia menoleh dan menatap ke arah Adam. Rupanya bukan hanya dirinya yang terkejut dan tertegun dengan panggilan barusan, Adam pun sama! Ia nampak terkejut dan tertegun. "Mmm ... aku pengen tengokin Aleta, boleh?" desis Aline lirih. Ia ingin melihat kondisi Aleta sudah sampai mana. Apakah dia sudah sadar? Sudah bisa Aline timpuk kepalanya karena hal bodoh yang Aleta lakukan membuat Aline harus terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan macam ini. Oh ... jangan lupakan gincu Aline yang dicomot Aleta tanpa dia kembalikan! Gincu itu keluaran Korea dengan harga yang cukup lumayan. Seenaknya saja dia menyikat gincu milik Aline, kurang ajar! Wajah Adam nampak berubah. Apakah ia kikuk karena harus melihat Aleta? Merasa bersalah melihat Aleta terbaring koma atau sebenarnya dia kikuk karena sebenarnya dia begitu mencintai Aleta? Tetapi kalau begitu
"Lin, kamu kenapa?" Adam meraih tangan Aline, namun dengan secepat kilat, Aline menepis tangan Adam, setengah berlari ke arah depan entah apa yang hendak dia kejar. Pikiran Adam berkecamuk seketika, "Jangan-jangan ...." Adam tersentak, ia segera mengejar langkah sang istri sebelum dia terlalu jauh. "Aline, tunggu!" suara Adam sedikit keras, namun masih dalam batas wajar untuk di area rumah sakit. Ia yakin bahwa istrinya itu melihat sesuatu yang membuatnya macam kesetanan seperti itu. Sementara Aline, ia sama sekali tidak memperdulikan teriakan Adam. Ia yakin dia tidak salah lihat. Itu Kevin! Ya ... Aline tahu dan hafal betul wajahnya! Lelaki dengan jaket biru yang dia lihat itu adalah Kelvin! "Vin, tunggu!"Aline segera menarik tangan lelaki itu, membuat tubuhnya berbalik dan tanpa basa-basi, Aline melayangkan sebuah tamparan keras di pipi mantan kekasih dari Aleta itu. PLAKKK! Adam terkejut, ia segera berlari lebih cepat dan menarik Aline sebelum istrinya itu makin mengamuk. "
"Mau langsung pulang? Atau pengen ke mana?"Aline tersentak, ia menoleh menatap Adam yang sudah membawa mobilnya melaju meninggalkan rumah sakit. Mereka sudah selesai dengan kunjungan mereka dan sudah saatnya mereka pulang. "Antar ke rumah, Mas. Mau ambil laptop sama beberapa perangkat aku buat kerja." jawab Aline lesu. "Oke, kita ke rumah mama sama papa Beni. Atau malam ini pengen tidur sana?" Sebuah penawaran yang langsung membuat mata Aline membelalak. Adam menawarkan untuk tidur di rumahnya? "Boleh memang?" tentu itu yang Aline tanyakan. Dia harus pastikan apakah suaminya itu serius memberi penawaran atau hanya menge-prank dirinya saja. "Boleh dong!" jawab Adam santai. "Kapanpun kamu pengen tidur di rumah, tentu boleh. Tapi izin aku dulu ya?"Aline tersenyum, kenapa lelaki ini baik sekali sih? Entah Adam hanya tengah memancing dan mencoba merayunya, Aline sendiri tidak tahu. Harapannya sih bukan hanya karena tengah mencoba merayu. Tapi kalau dilihat-lihat, Adam ini memang aga
Aline tertegun, ia menatap Adam yang pandangannya tetap lurus ke depan, meskipun Aline tahu, sesekali suaminya itu melirik ke arahnya. Jadi begitu? Jawaban kenapa Adam kekeuh ingin menikahi Aline adalah karena sebenarnya Adam jatuh cinta pada Aline? Tepat seperti dugaan Aline sebelumnya?Ah! Kenapa malah jadi begini sih?Aline tidak mau munafik dan menampik perihal apa pendapatnya tentang penampilan lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya ini. Seperti yang kemarin-kemarin Aline katakan, Adam itu ganteng! Tapi ganteng saja tidak bisa membuat Aline lantas langsung jatuh cinta begitu saja, kan? Ini masalah hati, sebuah permasalahan yang sejak awal Aline tekankan ketika ia diminta untuk menikahi Adam.“Ma-Mas ... Mas Adam ngajak aku pacaran?” tanya Aline masih tidak tahu harus berkata apa dan menanggapi apa perihal semua kalimat yang meluncur keluar dari mulut Adam barusan.Genggaman tangan Adam terlepas, semata-mata hanya untuk mengendalikan setir mobil, setelah semua stabil, ia kembali
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny