"Mas ...." panggil Aline setelah sekian lama mereka terdiam di atas mobil yang melaju."Hmmm ... ya, Sayang? Kenapa?"Sayang?Aline tertegun, ia menoleh dan menatap ke arah Adam. Rupanya bukan hanya dirinya yang terkejut dan tertegun dengan panggilan barusan, Adam pun sama! Ia nampak terkejut dan tertegun. "Mmm ... aku pengen tengokin Aleta, boleh?" desis Aline lirih. Ia ingin melihat kondisi Aleta sudah sampai mana. Apakah dia sudah sadar? Sudah bisa Aline timpuk kepalanya karena hal bodoh yang Aleta lakukan membuat Aline harus terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan macam ini. Oh ... jangan lupakan gincu Aline yang dicomot Aleta tanpa dia kembalikan! Gincu itu keluaran Korea dengan harga yang cukup lumayan. Seenaknya saja dia menyikat gincu milik Aline, kurang ajar! Wajah Adam nampak berubah. Apakah ia kikuk karena harus melihat Aleta? Merasa bersalah melihat Aleta terbaring koma atau sebenarnya dia kikuk karena sebenarnya dia begitu mencintai Aleta? Tetapi kalau begitu
"Lin, kamu kenapa?" Adam meraih tangan Aline, namun dengan secepat kilat, Aline menepis tangan Adam, setengah berlari ke arah depan entah apa yang hendak dia kejar. Pikiran Adam berkecamuk seketika, "Jangan-jangan ...." Adam tersentak, ia segera mengejar langkah sang istri sebelum dia terlalu jauh. "Aline, tunggu!" suara Adam sedikit keras, namun masih dalam batas wajar untuk di area rumah sakit. Ia yakin bahwa istrinya itu melihat sesuatu yang membuatnya macam kesetanan seperti itu. Sementara Aline, ia sama sekali tidak memperdulikan teriakan Adam. Ia yakin dia tidak salah lihat. Itu Kevin! Ya ... Aline tahu dan hafal betul wajahnya! Lelaki dengan jaket biru yang dia lihat itu adalah Kelvin! "Vin, tunggu!"Aline segera menarik tangan lelaki itu, membuat tubuhnya berbalik dan tanpa basa-basi, Aline melayangkan sebuah tamparan keras di pipi mantan kekasih dari Aleta itu. PLAKKK! Adam terkejut, ia segera berlari lebih cepat dan menarik Aline sebelum istrinya itu makin mengamuk. "
"Mau langsung pulang? Atau pengen ke mana?"Aline tersentak, ia menoleh menatap Adam yang sudah membawa mobilnya melaju meninggalkan rumah sakit. Mereka sudah selesai dengan kunjungan mereka dan sudah saatnya mereka pulang. "Antar ke rumah, Mas. Mau ambil laptop sama beberapa perangkat aku buat kerja." jawab Aline lesu. "Oke, kita ke rumah mama sama papa Beni. Atau malam ini pengen tidur sana?" Sebuah penawaran yang langsung membuat mata Aline membelalak. Adam menawarkan untuk tidur di rumahnya? "Boleh memang?" tentu itu yang Aline tanyakan. Dia harus pastikan apakah suaminya itu serius memberi penawaran atau hanya menge-prank dirinya saja. "Boleh dong!" jawab Adam santai. "Kapanpun kamu pengen tidur di rumah, tentu boleh. Tapi izin aku dulu ya?"Aline tersenyum, kenapa lelaki ini baik sekali sih? Entah Adam hanya tengah memancing dan mencoba merayunya, Aline sendiri tidak tahu. Harapannya sih bukan hanya karena tengah mencoba merayu. Tapi kalau dilihat-lihat, Adam ini memang aga
Aline tertegun, ia menatap Adam yang pandangannya tetap lurus ke depan, meskipun Aline tahu, sesekali suaminya itu melirik ke arahnya. Jadi begitu? Jawaban kenapa Adam kekeuh ingin menikahi Aline adalah karena sebenarnya Adam jatuh cinta pada Aline? Tepat seperti dugaan Aline sebelumnya?Ah! Kenapa malah jadi begini sih?Aline tidak mau munafik dan menampik perihal apa pendapatnya tentang penampilan lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya ini. Seperti yang kemarin-kemarin Aline katakan, Adam itu ganteng! Tapi ganteng saja tidak bisa membuat Aline lantas langsung jatuh cinta begitu saja, kan? Ini masalah hati, sebuah permasalahan yang sejak awal Aline tekankan ketika ia diminta untuk menikahi Adam.“Ma-Mas ... Mas Adam ngajak aku pacaran?” tanya Aline masih tidak tahu harus berkata apa dan menanggapi apa perihal semua kalimat yang meluncur keluar dari mulut Adam barusan.Genggaman tangan Adam terlepas, semata-mata hanya untuk mengendalikan setir mobil, setelah semua stabil, ia kembali
Desi yang hendak berangkat ke rumah sakit tertegun melihat mobil itu berhenti di halaman rumah. Bukankah itu ... Desi meletakkan tas di sofa, mendekati pintu lantas membuka pintu lebar-lebar. Benar saja! Nampak Aline turun dari mobil, diikuti langkah gagah Adam di belakangnya. Ada setitik perasaan bahagia melihat pasangan itu. Bukanlah mereka sangat serasi sekali? Terlepas dari sebenarnya bukan Aline yang hendak dinikahkan dengan sosok dokter bedah ganteng 35 tahun itu, tetapi Desi tidak bisa memungkiri bahwa mereka begitu serasi! "Ma, mau kemana?" sapa Aline yang langsung mengulurkan tangannya. Dengan sopan dan hormat mencium punggung telapak tangan ibunya. "Ke rumah sakit, kalian sendiri dari mana?" senyum Desi makin lebar ketika kini gantian Adam yang mencium tangannya penuh hormat. "Ya sama, kita habis dari sana juga, Ma." Aline bergegas masuk, menjatuhkan diri di atas sofa tanpa menunggu dipersilahkan. Ini masih rumahnya, kan? "Gimana kondisi Aleta? Sudah ada kemajuan?" Desi
Bibir mereka akhirnya terlepas setelah sepersekian detik lamanya berpagut. Deru napas keduanya memburu, Adam belum mau menyingkirkan wajahnya dari hadapan Aline. Wajah mereka masih begitu dekat, membuat gejolak dalam diri Adam semakin menjadi-jadi.Adam hendak membaringkan tubuh itu ke atas ranjang, ketika tangan Aine mencengah dengan menahan tubuh Adam yang hendak condong menindihnya.“Please, Mas ... jangan!” desis Aline dengan wajah tertunduk.Ia mengigit bibirnya kuat-kuat untuk menaha tangisnya yang siap meledak. Sementara Adam tertegun di tempatnya duduk. Hatinya seperti dihantam palu cukup keras. Kepalanya mendadak pusing ketika gelora yang berapi-api itu mendadak padam dan sesuatu yang mengeras dalam celananya mendadaak kembali lemas.“Kamu belum siap?” tanya Adam lirih.Aline hanya mengangguk pelan, isaknya pecah membuat bahunya naik-turun efek tangis yang dia ledakkan. Adam mendesah, ia menundukkan wajahnya, lalu meraih tubuh itu ke dalam pelukan. Aline tidak menolak, tidak
"Aku nggak tahu kamu suka novel dia atau enggak, tapi begitu dapat kabar novel terbaru dia lauching dan bisa di cari di toko buku, aku ajak aja kamu ke sini."Senyum Aline merekah sempurna, tumpuka buku dan deretan buku-buku yang berjejer di rak-rak besar itu merupakan pemandangan paling indah di mata Aline. Aline menoleh, nampak Adam tersenyum begitu manis menatapnya."Happy shooping. Pilih buku apapun yang kamu suka, aku yang bayar, perdana dan pertama kali bayarin kamu shooping setelah kita resmi nikah, kan?"Aline mengangguk cepat, dia sama sekali tidak mau mendebat apapun. Buku-buku itu terlalu menggoda untuk diabaikan begitu saja. Aline segera melesat, mendekati beberapa buku yang disusun di atas meja sementara Adam hanya tersenyum seraya meraih tas bening yang tersedia di dekatnya.Adam segera melangkah dan berdiri di sisi Aline yang nampak asyik dengan sebuah buku di tangan. Matanya begitu serius membaca blurb yang ada di belakang buku. Adam tersenyum, menatap wajah berbinar i
Aline menatap takjub ruangan yang ada di lantai atas bagian belakang, di mana jendela kaca besar yang ada di dinding menyajikan hamparan rumput hijau dengan bunga plus kolam renang yang ada di taman belakang. Ruangan itu benar kata Adam, cukup luas, lebih luas dari kamar utama yang juga berada di lantai atas.Ruangan dengan lantai kayu dan penuh rak buku yang juga bernuansa kayu cokelat itu benar-benar seperti ruangan impuan Aline selama ini. Ada dua buah sofa berwarna cream yang nampak sangat empuk dan nyaman. Dengan meja di antara kursi itu dan tidak lupa di sisi lain ada meja yang tidak terlalu tinggi serta karpet bulu untuk lesehan.“Jadi di sini aku suka baca-baca dan ngerjain penelitian aku, Sayang.” Adam menutup pintu, menyalakan AC dan membuka gorden berbahan voile sehingga pemandangan belakang rumah yang tadinya tertutup selapis kain tipis berwarna putih itu kini terbentang jelas di mata Aline.“Di rak paling ujung sana, itu kole
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g