Mata Aline membelalak. Adam dengan begitu santai dan tenang tanya kepadanya perihal mahar? Memang siapa juga yang hendak menikah dengan dia? Aline tidak mau! Dia memang masih jomblo, dia terlalu serius dengan pekerjaannya sebagi seorang penulis novel sampai-sampai Aline tenggelam dalam dunia dan cerita yang dia buat sendiri. Hal yang membuat Aline sedikit mengasingkan diri dari dunia nyata dan mengabaikan kisah asmara tidak peduli dia sudah seperempat abad. Dan hal ini tidak lantas membuat Aline auto mau dan pasrah harus menggantikan Aleta menikahi Adam!
“Mas ... tapi aku nggak mau!” akhirnya Aline bisa bersuara, setelah beberapa saat ia terbungkam oleh suara-suara mendominasi di sekitarnya.
Wajah Adam nampak terkejut, namun hanya sesaat, ia kembali dengan wajah tenangnya menatap Aline yang sudah siap meledakkan tangis.
“Lantas, kalau kamu tidak setuju, kamu punya saran apa untuk acara minggu depan, Lin?” tanya Adam tanpa memalingkan wajah dari Aline.
Aline menyeka air matanya, ia menghirup udara banyak-banyak dan berusaha tetap tenang agar semua ide dan kalimat penolakan yang sudah Aline rancang tidak menguap dan lenyap begitu saja dari otaknya.
“Ya kita bisa pakai cara pertama tadi. Aku bisa pura-pura jadi Aleta di acara besok itu. Tapi yang nikah sama mas Adam tetep Aleta.” Jelas Aline yang berharap semua orang bisa mengerti dan menerima keputusannya.
Adam tersenyum sinis, ia mendesah lalu mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Kepala lelaki itu menunduk sesaat, lalu dia kembali mengangkat wajah dan menatap Aline yang berharap-harap cemas akan keputusan yang akan diambil untuk masalah ini.
“Sayangnya tidak semudah itu, Lin.” suara Adam begitu tegas, suara yang menekankan bahwa apa yang keluar dari mulut lelaki itu sama sekali tidak bisa dibantah.
“Kenapa? Kan tidak ada yang tahu kecuali keluarga besar kita, semua akan baik-baik saja.” Aline masih tidak menyerah. Ini tentang masa depannya! Jadi Aline akan lakukan apapun demi masa depan Aline.
“Aku nggak mau, aku nggak setuju! Satu-satunya cara dan jalan keluar yang bisa aku terima adalah dengan kamu menggantikan Aleta untuk menikah denganku.”
Aline kembali melotot, apa-apaan ini? Mulutnya sudah siap menyemburkan protes ketika tepukan itu kompak masing-masing menepuk bahu kanan dan kirinya. Membuat suara yang sudah siap meledak keluar mendadak tercekat di tenggorokan Aline.
“Lin ... sudahlah, terima saja.” Desi mengelus pipi Aline, bayangan air mata masih nampak di mata itu.
“Ta-tapi, Ma ... Al--.”
“Cuma kamu satu-satunya harapan keluarga kita, Lin. Tolong kali ini saja ... tolong papamu ini!” Beni ikut menelus pipi Aline, membuat air mata Aline kembali menitik dan banjir.
Bisa Aline rasakan dadanya begitu sesak. Mimpi apa dia semalam sampai-sampai hari ini berubah jadi begitu buruk dan mengerikan untuk Aline? Menemukan Aleta dalam kondisi macam tadi saja sudah cukup membuat Aline tergoncang dan sekarang ... sekarang dia mendadak harus menikahi calon kakak iparnya sendiri?
“Adam itu laki-laki yang baik, Lin. Sangat baik! Tentu papa tidak akan macam-macam dan asal-asalan dalam hal masa depan anak-anak papa.” Beni meraup wajah Aline, menatap mata Aline dengan cucuran air mata.
Aline menundukkan wajah, berusaha menghindari sorot mata yang selalu sukses membuat Aline luluh dan tidak berkutik. Kali ini, tentu Aline tidak akan semudah itu menyerah dan pasrah dengan takdir dadakan super gila yang mengancam masa depan Aline.
“Tapi, Pa, Aline kan nggak cin—“
“Cinta bisa muncul seiring kalian bersama-sama.” potong Beni tegas, sama seperti Adam, Beni nampak tidak mau dibantah.
“Ya ta—“
“Saya bisa ajak Aline bicara empat mata saja, Pa?” suara itu memotong kalimat penolakan Aline, membuat Aline menatap kearahnya dengan sorot mata tidak mengerti.
Wajah Beni langsung sumringah, kepalanya terangguk cepat sebagai tanda bahwa Beni setuju dan mengizinkan Adam membawa Aline pergi berdua.
“Silahkan, Dam. Kalian hati-hati ya, tapi?”
Adam mengangguk pelan, sementara Aline masih termangu di tempatnya duduk dengan hati berkecamuk. Dia bahkan sudah tidak lagi bisa berpikir apapun. Pasrah saja ketika tangan itu meraih tangan Aline dan membawa Aline pergi dari sana.
“Eh ... mau nagapain?” tentu Aline protes, Adam diam-diam ingin bicara empat mata saja dengan dirinya? Apa yang mau dibahas dokter bedah ini?
“Ikut sebenar, aku rasa kita perlu banyak bicara, Lin! Kau tahu itu!”
***
“Mas, ini tuh gila bener!” Aline hampir berteriak, kini dia sudah duduk di jok yang ada di sebelah Adam. Entah hendak dibawa kemana Aline ini, ia pasrah saja.
“Apanya yang gila, sih, Lin” Adam menoleh seklias, senyumnya merekah berbanding terbalik dengan wajah Aline yang masam dan pucat pasi.
“Ya harusnya kamu nikah sama Aleta, Mas!” Aline tidak mengerti, kenapa bisa-bisanya calon istri koma dan Adam malah mengejar-ngejar Aline untuk mau dia nikahi?
“Dan kau lihat sendiri, kan, bagaimana kondisi Aleta sekarang?”
Sebuah kalimat tanya balik yang membuat Aline makin gemas dan kesal pada sosok yang kini tengah mengemudikan mobil di sebelahnya. Tanpa Adam jelaskan, tentu Aline tahu betul bagaimana kondisi saudari kembarnya itu! Dia ikut masuk dan melihat bagaimana Aleta terbaring tidak berdaya dengan banyak selang menempel di tubuhnya, entah apa fungsinya, Aline sendiri juga tidak tahu!
“Dan dengan kondisi calon istri yang demikian, kamu malah sibuk mencari penggantinya daripada menunggu dia sadar?” tentu ini adalah senjata ampuh yang bisa Aline pakai untuk membela diri, melepaskan diri dari jerat pernikahan tiba-tiba yang bahkan sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya sedikitpun.
“Yang pertama, bukankah tadi kau bilang bahwa sebenarnya Aleta terpaksa menjalani pernikahan denganku? Dia punya kekasih dan tidak mencintaiku sampai-sampai dia nekat bunuh diri, lebih memilih meregang nyawa daripada jadi istriku. Itu yang pertama. Dan yang kedua, sama seperti Aleta, aku juga sebenarnya terpaksa menjalani pernikahan dengannya, aku tidak mencintai dia.”
Aline terbelalak, ia menoleh dan menatap Adam yang nampak begitu tenang di balik kemudinya. Ah ... bahkan Adam-pun juga terpaksa menjalani perjodohan ini? Hal yang tidak bisa Aline terima tentu kenapa sekarang jadi dia yang terseret dan ikut terpaksa menjalani semua perjodohan gila dan konyol yang mengikat Adam dan Aleta? Kenapa harus Aline?
“Kalau begitu Mas punya pacar, kan? Bawa aja besok minggu dan nikahi dia, selesai urusan!” otak Aline sudah tidak bisa dia gunakan berpikir lagi, mendadak otaknya blank!
Terdengar helaan napas kasar dari sebelah, Aline tidak berani menoleh. Pasti Adam tengah menoleh ke arahnya dan melotot tajam. Tapi sebodoh amat! Aline akan berjuang untuk melepaskan diri, titik!
“Line, jangan bercanda! Pernikahan ini untuk menyatukan keluargamu dengan keluargaku. Bukan keluargaku dengan keluarga orang lain! Dan satu hal lagi ... aku tidak punya pacar!”
Aline kembali melotot, kini dia menoleh ke arah Adam! Tidak punya pacar? Kenapa makin lama Aline makin terjepit dan tidak bisa berbuat apa-apa?
“Percayalah padaku, semua akan baik-baik saja.” Gumam Adam dengan begitu santai, “Ngomong-ngomong ... kamu juga nggak punya pacar, kan?”
Aline mendesah pasrah, bahkan jam empat subuh dia sudah harus bangun dan bersiap dirias. Segala macam penolakan yang dia lakukan hanya sia-sia belaka. Tidak ada yang membela dan berpihak kepadanya sama sekali, hal yang lantas membuat Aline kalah dan akhirnya setuju dengan segala macam ide gila untuk menggantikan posisi Aleta sebagai wanita yang dinikahi sosok Adam Putra Narendra.Kondisi Aleta masih sama, tidak ada peningkatan yang signifikan, membuat Aline makin tidak berkutik dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menolak penikahan yang sudah di depan mata. Semua data Aleta sudah diganti dengan data Aline. Itu artinya, Aline akan benar-benar menjadi istri Adam, sah baik di mata agama maupun di mata negara.“Mbak Aline mirip banget sama mbak Aleta, ya?” gumam sang MUA yang mulai memulas foundation di permukaan kulit wajah Aline.Ya iya lah mirip, namanya juga kembar identik. Gerutu Aline dalam hati, ia mendadak dongkol mendengar nama Aleta disebut. Kenapa sih orang itu pikirannya
“Sah?” “SAH!” Suara sahutan itu menggema dengan begitu luar biasa, membuat jantung Aline bergetar dan matanya refleks memanas. Kenapa takdirnya seburuk ini? Menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi kakak iparnya? Bagaimana bisa kehidupan Aline jadi macam kisah novel begini? Aline fokus merenungi nasibnya, air matanya menitik dan ia terlonjak kaget ketika lengannya ada yang menyentuh. Ia sontak memalingkan wajah, mendapati Adam, lelaki yang kini sudah sah dan resmi menjadi suaminya itu menatapnya dengan alis berkerut. Dengan hati-hati Aline menyeka air matanya, bisa dia lihat Adam mengulurkan tangan, sebuah kode yang dia tahu betul apa maksud dari uluran tangan tersebut. Aline menerima uluran tangan itu, menciumnya dengan hati dongkol setengah mati yang dia sembunyikan di balik raut tenang wajahnya. Ia bahkan membiarkan Adam mengecup puncak kepalanya, hal yang pertama kali dilakukan laki-laki selain Beni kepada Aline. Aline memejamkan mata, akan jadi apa hidupnya setelah ini?
“Ini batasnya!” Aline meletakkan bantal di tengah-tengah antara dia dan Adam.Ia sudah beres mandi dan berganti pakaian, sementara Adam bahkan baru saja keluar dari kamar mandi. Lelaki itu nampak santai dengan boxer celana pendek dan kaos polos berwarna hitam. Adam tertegun menatap bantal itu, sedetik kemudian kepalanya terangguk pelan sebagai tanda setuju.“Mas dilarang melewati batas garis, ngerti?” tanya Aline kembali menegaskan batas wilayah mereka masing-masing malam ini di kamar hotel.“Oke, I see!” jawab Adam lalu menjatuhkan diri ke atas kasur dan merebahkan tubuhnya.Aline nampak terkejut, jantunya berdegub kencang dengan hati was-was. Bagaimana tidak? Statusnya dan Adam adalah sepasang suami-istri sekarang, bisa saja Adam lantas memaksa Aline melayani gairahnya yang sebenarnya merupakan tugas Aline sebagai seorang istri.Melayani gairah Adam? Aline akan bertelanjang tubuh dan pasrah diapa-apakan oleh Adam? NO WAY! Tidak bahkan untuk seujung kukupun!Aline tidak pernah mengin
Aline mengerjapkan mata ketika merasakan ada yang menepuk pipinya dengan lembut. Ia melonjak kaget ketika matanya terbuka dan mendapati Adam sudah duduk di tepi ranjang. "Nggak usah kaget kayak lihat setan gitu ah, Lin!" protes Adam dengan wajah masam. Aline segera bangun, duduk di atas ranjang sambil balas menatap kesal ke arah Adam. "Habisnya Mas bikin kaget, nggak salah kalo sampai kayak liat setan!" balas Aline dengan sorot mata tidak bersahabat. Adam mendesah, ia lantas menoleh ke arah meja yang ada tidak jauh dari ranjang. Membuat Aline ikut menoleh ke sana dan tertegun ketika mendapati apa yang ada di atas meja itu. "Aku bawakan sarapan, kamu cepat makan ya? Aku ada urusan sama papa di bawah." gumamnya lalu bangkit dan melangkah menuju pintu.Aline masih tertegun di tempatnya duduk. Padahal Aline tidak pernah ramah pada sosok itu, tapi kenapa Adam selalu bersikap manis kepadanya? Sosok itu hampir menghilang di balik pintu ketika kemudian Aline berteriak memanggil Adam. "M
"Sudah semua, kan?"Aline menoleh, nampak Adam menatapnya dengan saksama. Ia segera menutup kopernya dan menganggukkan kepala. Adam lantas mendekat, meraih koper Aline dan menurunkannya dari atas ranjang. "Kita pulang kalo gitu." Adam hendak menarik koper itu, ketika tangan Aline mencekal tangannya dan melarang dia pergi. "Tunggu, Mas!" ujarnya sambil mencengkeram kuat lengan Adam. Adam menatap mata Aline dengan alis berkerut, sementara Aline nampak risau dan takut-takut. Sebuah pemandangan yang lantas membuat Adam kembali bersuara. "Ada apa lagi?"Aline menghela napas panjang, kepalanya menunduk barang beberapa detik. Kemudian kembali terangkat dan menatap Adam dengan sorot mata ragu. "Kita balik ke rumah papa Budi, Mas?" sebuah pertanyaan yang lantas membuat Adam terkekeh. "Mas serius ini!" Aline mencebik, bisa dilihat bahwa wajahnya nampak sangat kesal. Adam menghentikan tawanya, "Kenapa harus pulang ke rumah papa kalau kita sudah punya rumah sendiri? Kita pulang ke rumah ki
"Mas ...." panggil Aline setelah sekian lama mereka terdiam di atas mobil yang melaju."Hmmm ... ya, Sayang? Kenapa?"Sayang?Aline tertegun, ia menoleh dan menatap ke arah Adam. Rupanya bukan hanya dirinya yang terkejut dan tertegun dengan panggilan barusan, Adam pun sama! Ia nampak terkejut dan tertegun. "Mmm ... aku pengen tengokin Aleta, boleh?" desis Aline lirih. Ia ingin melihat kondisi Aleta sudah sampai mana. Apakah dia sudah sadar? Sudah bisa Aline timpuk kepalanya karena hal bodoh yang Aleta lakukan membuat Aline harus terjebak dalam pernikahan yang tidak dia inginkan macam ini. Oh ... jangan lupakan gincu Aline yang dicomot Aleta tanpa dia kembalikan! Gincu itu keluaran Korea dengan harga yang cukup lumayan. Seenaknya saja dia menyikat gincu milik Aline, kurang ajar! Wajah Adam nampak berubah. Apakah ia kikuk karena harus melihat Aleta? Merasa bersalah melihat Aleta terbaring koma atau sebenarnya dia kikuk karena sebenarnya dia begitu mencintai Aleta? Tetapi kalau begitu
"Lin, kamu kenapa?" Adam meraih tangan Aline, namun dengan secepat kilat, Aline menepis tangan Adam, setengah berlari ke arah depan entah apa yang hendak dia kejar. Pikiran Adam berkecamuk seketika, "Jangan-jangan ...." Adam tersentak, ia segera mengejar langkah sang istri sebelum dia terlalu jauh. "Aline, tunggu!" suara Adam sedikit keras, namun masih dalam batas wajar untuk di area rumah sakit. Ia yakin bahwa istrinya itu melihat sesuatu yang membuatnya macam kesetanan seperti itu. Sementara Aline, ia sama sekali tidak memperdulikan teriakan Adam. Ia yakin dia tidak salah lihat. Itu Kevin! Ya ... Aline tahu dan hafal betul wajahnya! Lelaki dengan jaket biru yang dia lihat itu adalah Kelvin! "Vin, tunggu!"Aline segera menarik tangan lelaki itu, membuat tubuhnya berbalik dan tanpa basa-basi, Aline melayangkan sebuah tamparan keras di pipi mantan kekasih dari Aleta itu. PLAKKK! Adam terkejut, ia segera berlari lebih cepat dan menarik Aline sebelum istrinya itu makin mengamuk. "
"Mau langsung pulang? Atau pengen ke mana?"Aline tersentak, ia menoleh menatap Adam yang sudah membawa mobilnya melaju meninggalkan rumah sakit. Mereka sudah selesai dengan kunjungan mereka dan sudah saatnya mereka pulang. "Antar ke rumah, Mas. Mau ambil laptop sama beberapa perangkat aku buat kerja." jawab Aline lesu. "Oke, kita ke rumah mama sama papa Beni. Atau malam ini pengen tidur sana?" Sebuah penawaran yang langsung membuat mata Aline membelalak. Adam menawarkan untuk tidur di rumahnya? "Boleh memang?" tentu itu yang Aline tanyakan. Dia harus pastikan apakah suaminya itu serius memberi penawaran atau hanya menge-prank dirinya saja. "Boleh dong!" jawab Adam santai. "Kapanpun kamu pengen tidur di rumah, tentu boleh. Tapi izin aku dulu ya?"Aline tersenyum, kenapa lelaki ini baik sekali sih? Entah Adam hanya tengah memancing dan mencoba merayunya, Aline sendiri tidak tahu. Harapannya sih bukan hanya karena tengah mencoba merayu. Tapi kalau dilihat-lihat, Adam ini memang aga
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g