"Jadi mau diantar ke rumah sakit?" Adam tengah mengancingkan kemeja, ditatapnya Aline yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi semerbak dari perpaduan shampoo dan body shower milik Aline menguar begitu kuat, membuat satu ruangan begitu harum dan segar. "Kayaknya nanti aku berangkat sendiri aja, Mas. Aku baru ingat habis ini ada zoom meeting sama editor." jawab Aline sambil mengeringkan rambut. Adam tersenyum, ia sudah siap turun untuk sarapan sekarang. Tapi tentu saja harus bersama sang istri. Adam ingin makan di temani istrinya ini. "Yasudah kalo begitu. Nanti Mas susul sepulang kerja. Bawa mobil aja, nggak usah bawa motor!" pesan Adam lalu meraih handuk dari tangan sang istri. "Eh ... eh! Masih mau aku pakai, Mas!" tentu saja! Rambut Aline masih basah, ia baru beres keramas setelah semalam, sepulang dari rumah sakit Adam kembali mengajaknya bercinta sampai tengah malam. "Temenin Mas sarapan dulu aja, yuk. Keburu telat, Sayang." mohon Adam lalu melemparkan begitu saja handu
"PAPA!"Aline terisak, teriakan dan panggilan riang dari bocah lelaki yang berusia sekitar 3 tahunan itu masih melekat kuat di ingatan dan terus terngiang-ngiang di telinga Aline. Bagaimana hangat dan mesra interaksi antara suaminya dan bocah itu makin membuat hati Aline hancur berkeping-keping. Jadi paket pakaian bayi yang sering dikirim ke kerumah itu untuk bocah tadi? Mainan seharga 250 ribu rupiah yang konon untuk pasien suaminya, ternyata untuk dia? Adam sudah punya anak dari perempuan lain? Tentu Aline lihat betul wanita dengan seragam perawat yang berdiri di depan pintu dan tersenyum lebar melihat Adam datang dan memeluk anak mereka! Semua sudah jelas! Air mata Aline banjir. Ia melupakan agenda meetingnya bersama para editor. Lupa akan donat dan janjinya mengunjungi Aleta.Aleta ... Apakah sebenarnya saudari kembarnya itu tahu rahasia yang Adam miliki? Bahwa sebenarnya lelaki itu sudah punya anak dari wanita lain? Jadi untuk itu Aleta malah lebih memilih bunuh diri daripada
"Loh ... Nduk? Kok sampai sini?"Tentu Murti terkejut bukan main ketika melihat cucunya mendadak muncul di depan pintu dengan mata sembab. Baru saja dia bahagia semalam mendapat kabar soal sadarnya Aleta, jangan bilang kalau ..."Yang ... Aline nggak mau balik, Yang ... pengen di sini sementara waktu!" gumamnya dengan tangis pecah."Loh ... loh! Iki ono opo tha? Kamu ini kenapa tiba-tiba datang terus nangis koyo ngene iki?" tentu Murti kebingungan. Aline tidak mau pulang? Dia mau di sini? Memang apa yang terjadi pada cucu kembarnya ini? Apa ini ada hubungannya dengan Aleta yang sudah sadar? Murti tahu betul, lelaki yang beberapa minggu yang lalu dinikahi cucu kembarnya ini sebenarnya adalah lelaki yang hendak dijodohkan dengan saudari kembar gadis ini."Udah sini ayo masuk!" Murti menghampiri Aline, membawa gadis itu masuk ke dalam rumah dan memintanya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.Harapannya tentu semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Entah pada Aleta maupu
"Sudah paham semua tugas kalian?"Murti menatap 4 orang yang sudah bertahun-tahun ikut bekerja dengannya ini. Ada tugas penting yang harus mereka lakukan selama Aline tinggal sementara di rumah ini. Jujur Murti kurang suka dengan cara Aline yang main asal kabur, tapi apa boleh buat? Daripada Aline kabur ke mana-mana yang tidak jelas dan mengancam keselamatan cucunya ini, lebih baik memang Aline tinggal di sini sampai suasana hatinya membaik, bukan? "Tentu paham, Yang. Akan segera kami lakukan!""Bagus!" desis Murti puas dengan para pekerjanya ini. "Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalo mbak Aline di sini. Nanti sore antar ke rumah pak RT untuk melapor dan meminta beliau tutup mulut juga.""Siap, Eyang.""Kalo gitu, cepat kerjakan tugas kalian. Jangan lupa siapkan kamar mbak Aline. Dia perlu istirahat."Keempat pegawai itu kompak mengangguk. Segera pamit undur diri dari hadapan Murti dan Aline yang masih sesegukan dan menitikkan air mata.Murti menoleh, tidak lebay kalau sampai cucu
"Astaga!" Adam hampir saja membanting ponsel ke meja ketika mendapati bahkan pesan yang dia kirim pada Aline sejak tadi pagi masih belum juga berubah status.Dua tangan Adam meraup wajahnya dengan kasar, ia segera meraih kembali ponsel itu dan bergegas bangkit. Ini tidak bisa dibiarkan! Adam harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Pulang, Dok?" sebuah sapaan Adam dapatkan ketika hendak keluar dari OK."Iya, udah kelar semua, kan? Saya duluan!"Adam berharap tidak ada cito dadakan. Ia sudah cukup pusing dan khawatir seharian ini. Tidak ada kabar dari istrinya benar-benar sukses membuat Adam macam orang ling-lung. Dan Adam sudah tidak tahan lagi.Dengan langkah cepat, ia menuju parkiran. Tempat yang hendak Aline datangi tadi adalah rumah sakit tempat Aleta dirawat, bukan? Jadi Adam akan segera meluncur kesana.Adam begitu panik, otaknya blank sampai dia lupa ada nomor yang bisa dia hubungi untuk sekedar menanyakan dimana keberadaan sang istri. Ia segera membawa mobilnya pergi dar
Adam sudah tidak lagi mampu berkata-kata. Ia langsung menutup telepon tanpa bicara sepatah katapun. Pandangan Adam beralih pada keluarga sang istri, semua yang ada di sana menatapnya penuh dengan raut penasaran. "Dam ... ada apa? Semua baik-baik saja, kan?" raut panik langsung tergambar di wajah Desi, begitu pula dengan yang lain. "Aline nggak ada di rumah, Ma. Dia pergi dari tadi pagi belum kembali." jawab Adam lirih dengan suara bergetar. Apa yang harus Adam katakan sekarang? Ia yakin betul bahwa Aline mengikutinya sampai rumah Rosa tadi. Melihat bagaimana Reval begitu manja dan berteriak-teriak memanggilnya papa. Adam yakin Aline melihat itu semua dan atas dasar itulah kini Aline pergi entah kemana. Ini analisa Adam. "Apa? Dia kemana, Dam? Jangan bercanda deh!" tanya Aleta tidak terima. Adiknya pergi dan belum pulang sampai sekarang? Dengan posisi sama sekali tidak bisa dihubungi? Saudara mana yang tidak panik? "Aku nggak bercanda! Serius." tegas Adam dengan wajah gusar. Kerin
Aline menghela napas panjang. Bersyukur sekali dia bisa tetap profesional tidak peduli hatinya tengah hancur berkeping-keping. Baru saja dia kelar mengupload bab terbaru untuk 3 novel on-going miliknya di dua platform berbeda. Kini ia duduk di depan laptop, menantikan komentar-komentar readers perihal bab terbaru yang dia upload barusan. Jujur, komentar-komentar itu yang membuat Aline merasa kerja kerasnya tidak sia-sia dan tentu saja hanya komentar-komentar itu yang akan menghiburnya untuk saat ini. "Sepi!" desis Aline seraya memalingkan wajah ke arah ponsel. Ponselnya masih dalam mode pesawat. Rumah ini lengkap dengan wifi, yang membuat Aline bisa bekerja tanpa harus menghidupkan sambungan datanya. Ia tentu harus mengingat betul bahwa nilai hari ini sampai entah kapan, Aline ingin menyembunyikan diri, tidak mau berhubungan dengan siapapun kecuali Murti. "Kenapa hidup aku drama banget sih? Lama-lama kutulis bisa jadi satu buku." desis Aline nelangsa, tidak terasa air matanya meni
(Flashback Adam) Adam hendak menuju OK, ia hampir saja berbalik dan menonjok sosok itu ketika secara tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan cukup keras. "Kaget?" tanya sosok itu dengan alis terangkat, tawanya sontak pecah, ia terbahak-bahak melihat wajah Adam yang begitu masam. "Untung senior, Bang. Coba kalo bukan!" desis Adam lalu melanjutkan melangkah. Romi melangkah di sisi Adam, mengikuti Adam yang hendak menuju OK. Tempat di mana skill dan kemampuan mereka digembleng untuk kemudian bisa menjadi pemimpin jalannya operasi. "Jangan gitulah, kita ini kan rekan seperjuangan!" Romi menepuk bahu Adam dengan sedikit keras, membuat Adam kembali mencebik gemas. "Eh btw, Dam ...." Romi nampak seperti teringat sesuatu, wajahnya berubah serius. "Kenapa lagi?" Adam hanya melirik sekilas, kembali fokus pada langkahnya menuju ruangan dingin yang terkadang mampu membuatnya menggigil. "Pasien istimewamu jadi mau didorong masuk?" tanya Romi dengan nada serius. Sejenak Adam menoleh, w
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak