"Loh ... Nduk? Kok sampai sini?"Tentu Murti terkejut bukan main ketika melihat cucunya mendadak muncul di depan pintu dengan mata sembab. Baru saja dia bahagia semalam mendapat kabar soal sadarnya Aleta, jangan bilang kalau ..."Yang ... Aline nggak mau balik, Yang ... pengen di sini sementara waktu!" gumamnya dengan tangis pecah."Loh ... loh! Iki ono opo tha? Kamu ini kenapa tiba-tiba datang terus nangis koyo ngene iki?" tentu Murti kebingungan. Aline tidak mau pulang? Dia mau di sini? Memang apa yang terjadi pada cucu kembarnya ini? Apa ini ada hubungannya dengan Aleta yang sudah sadar? Murti tahu betul, lelaki yang beberapa minggu yang lalu dinikahi cucu kembarnya ini sebenarnya adalah lelaki yang hendak dijodohkan dengan saudari kembar gadis ini."Udah sini ayo masuk!" Murti menghampiri Aline, membawa gadis itu masuk ke dalam rumah dan memintanya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.Harapannya tentu semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Entah pada Aleta maupu
"Sudah paham semua tugas kalian?"Murti menatap 4 orang yang sudah bertahun-tahun ikut bekerja dengannya ini. Ada tugas penting yang harus mereka lakukan selama Aline tinggal sementara di rumah ini. Jujur Murti kurang suka dengan cara Aline yang main asal kabur, tapi apa boleh buat? Daripada Aline kabur ke mana-mana yang tidak jelas dan mengancam keselamatan cucunya ini, lebih baik memang Aline tinggal di sini sampai suasana hatinya membaik, bukan? "Tentu paham, Yang. Akan segera kami lakukan!""Bagus!" desis Murti puas dengan para pekerjanya ini. "Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalo mbak Aline di sini. Nanti sore antar ke rumah pak RT untuk melapor dan meminta beliau tutup mulut juga.""Siap, Eyang.""Kalo gitu, cepat kerjakan tugas kalian. Jangan lupa siapkan kamar mbak Aline. Dia perlu istirahat."Keempat pegawai itu kompak mengangguk. Segera pamit undur diri dari hadapan Murti dan Aline yang masih sesegukan dan menitikkan air mata.Murti menoleh, tidak lebay kalau sampai cucu
"Astaga!" Adam hampir saja membanting ponsel ke meja ketika mendapati bahkan pesan yang dia kirim pada Aline sejak tadi pagi masih belum juga berubah status.Dua tangan Adam meraup wajahnya dengan kasar, ia segera meraih kembali ponsel itu dan bergegas bangkit. Ini tidak bisa dibiarkan! Adam harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi."Pulang, Dok?" sebuah sapaan Adam dapatkan ketika hendak keluar dari OK."Iya, udah kelar semua, kan? Saya duluan!"Adam berharap tidak ada cito dadakan. Ia sudah cukup pusing dan khawatir seharian ini. Tidak ada kabar dari istrinya benar-benar sukses membuat Adam macam orang ling-lung. Dan Adam sudah tidak tahan lagi.Dengan langkah cepat, ia menuju parkiran. Tempat yang hendak Aline datangi tadi adalah rumah sakit tempat Aleta dirawat, bukan? Jadi Adam akan segera meluncur kesana.Adam begitu panik, otaknya blank sampai dia lupa ada nomor yang bisa dia hubungi untuk sekedar menanyakan dimana keberadaan sang istri. Ia segera membawa mobilnya pergi dar
Adam sudah tidak lagi mampu berkata-kata. Ia langsung menutup telepon tanpa bicara sepatah katapun. Pandangan Adam beralih pada keluarga sang istri, semua yang ada di sana menatapnya penuh dengan raut penasaran. "Dam ... ada apa? Semua baik-baik saja, kan?" raut panik langsung tergambar di wajah Desi, begitu pula dengan yang lain. "Aline nggak ada di rumah, Ma. Dia pergi dari tadi pagi belum kembali." jawab Adam lirih dengan suara bergetar. Apa yang harus Adam katakan sekarang? Ia yakin betul bahwa Aline mengikutinya sampai rumah Rosa tadi. Melihat bagaimana Reval begitu manja dan berteriak-teriak memanggilnya papa. Adam yakin Aline melihat itu semua dan atas dasar itulah kini Aline pergi entah kemana. Ini analisa Adam. "Apa? Dia kemana, Dam? Jangan bercanda deh!" tanya Aleta tidak terima. Adiknya pergi dan belum pulang sampai sekarang? Dengan posisi sama sekali tidak bisa dihubungi? Saudara mana yang tidak panik? "Aku nggak bercanda! Serius." tegas Adam dengan wajah gusar. Kerin
Aline menghela napas panjang. Bersyukur sekali dia bisa tetap profesional tidak peduli hatinya tengah hancur berkeping-keping. Baru saja dia kelar mengupload bab terbaru untuk 3 novel on-going miliknya di dua platform berbeda. Kini ia duduk di depan laptop, menantikan komentar-komentar readers perihal bab terbaru yang dia upload barusan. Jujur, komentar-komentar itu yang membuat Aline merasa kerja kerasnya tidak sia-sia dan tentu saja hanya komentar-komentar itu yang akan menghiburnya untuk saat ini. "Sepi!" desis Aline seraya memalingkan wajah ke arah ponsel. Ponselnya masih dalam mode pesawat. Rumah ini lengkap dengan wifi, yang membuat Aline bisa bekerja tanpa harus menghidupkan sambungan datanya. Ia tentu harus mengingat betul bahwa nilai hari ini sampai entah kapan, Aline ingin menyembunyikan diri, tidak mau berhubungan dengan siapapun kecuali Murti. "Kenapa hidup aku drama banget sih? Lama-lama kutulis bisa jadi satu buku." desis Aline nelangsa, tidak terasa air matanya meni
(Flashback Adam) Adam hendak menuju OK, ia hampir saja berbalik dan menonjok sosok itu ketika secara tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan cukup keras. "Kaget?" tanya sosok itu dengan alis terangkat, tawanya sontak pecah, ia terbahak-bahak melihat wajah Adam yang begitu masam. "Untung senior, Bang. Coba kalo bukan!" desis Adam lalu melanjutkan melangkah. Romi melangkah di sisi Adam, mengikuti Adam yang hendak menuju OK. Tempat di mana skill dan kemampuan mereka digembleng untuk kemudian bisa menjadi pemimpin jalannya operasi. "Jangan gitulah, kita ini kan rekan seperjuangan!" Romi menepuk bahu Adam dengan sedikit keras, membuat Adam kembali mencebik gemas. "Eh btw, Dam ...." Romi nampak seperti teringat sesuatu, wajahnya berubah serius. "Kenapa lagi?" Adam hanya melirik sekilas, kembali fokus pada langkahnya menuju ruangan dingin yang terkadang mampu membuatnya menggigil. "Pasien istimewamu jadi mau didorong masuk?" tanya Romi dengan nada serius. Sejenak Adam menoleh, w
"Sudah kuduga!" desis Romi ketika Adam membersihkan diri dari sisa-sisa peperangan yang baru saja dia akhiri. Adam mendesah panjang, ia duduk di kursi sambil menundukkan kepala. Setelah ini dia harus keluar, memberitahu keluarga si pasien bahwa ayah mereka sudah pergi dan tidak lagi mungkin bisa kembali. Ini bukan kali pertama, tetapi bagi Adam rasanya tetap begitu berat menyampaikan hal ini kepada keluarga pasien. "Kalo begitu, cepat kau beri tahu mereka, Dam."Kembali Adam mendesah, tetapi kini dia bangkit, menepuk punggung Romi lalu melangkah keluar dengan tegap. Tidak ada yang tahu bagaimana berkecamuknya hati Adam saat ini. Namun apapun itu, tugas tetap tugas dan Adam harus melakukannya. Ia mendorong dengan perlahan pintu itu, nampak beberapa orang yang duduk di sana spontan berdiri dan melangkah mendekati Adam. Keringat Adam mengucur, apa yang harus dia katakan? Kenapa mendadak dia kehilangan semua kemampuannya berbicara? ***Romi menatap nanar kepergian Adam. Semoga benar t
"BANG! BANGUN, BANG! AYO BANGUN!" teriak Adam kencang. Sebuah teriakan bodoh, teramat sangat bodoh mengingat jika Romi benar-benar bangun, maka akan sangat gawat mengingat sayatan di perut yang dibuat untuk menyetop darah yang merembes keluar itu belum di tutup. Garis horisontal itu adalah garis kedua yang Adam lihat hari ini. Yang mana garis ini adalah sebuah pukulan yang teramat sangat keras dan menyakitkan untuk Adam sendiri. "Tidak, Bang ... jangan pergi!" Desis Adam lirih, tubuhnya lemas seketika. Adam jatuh tersungkur di lantai. Ia menangis meraung-raung. Tidak lagi malu dilihat anak koas. Tidak lagi gengsi menahan tangis, Adam sudah tidak peduli apapun lagi. Ia hanya ingin meluapkan kemarahan, kesedihan dan kebenciannya yang teramat sangat pada dirinya sendiri. "Dam, kau kenal dekat dengan Romi, kan? Tenangkan dirimu dan tolong kabari istrinya karena tidak ada satupun dari kita yang tahu berapa nomor istrinya." Adam mengangkat wajah, menatap dokter Stefan dan dokter Pramo