"BANG! BANGUN, BANG! AYO BANGUN!" teriak Adam kencang. Sebuah teriakan bodoh, teramat sangat bodoh mengingat jika Romi benar-benar bangun, maka akan sangat gawat mengingat sayatan di perut yang dibuat untuk menyetop darah yang merembes keluar itu belum di tutup. Garis horisontal itu adalah garis kedua yang Adam lihat hari ini. Yang mana garis ini adalah sebuah pukulan yang teramat sangat keras dan menyakitkan untuk Adam sendiri. "Tidak, Bang ... jangan pergi!" Desis Adam lirih, tubuhnya lemas seketika. Adam jatuh tersungkur di lantai. Ia menangis meraung-raung. Tidak lagi malu dilihat anak koas. Tidak lagi gengsi menahan tangis, Adam sudah tidak peduli apapun lagi. Ia hanya ingin meluapkan kemarahan, kesedihan dan kebenciannya yang teramat sangat pada dirinya sendiri. "Dam, kau kenal dekat dengan Romi, kan? Tenangkan dirimu dan tolong kabari istrinya karena tidak ada satupun dari kita yang tahu berapa nomor istrinya." Adam mengangkat wajah, menatap dokter Stefan dan dokter Pramo
Adam menatap pilu wanita dengan perut besar di hadapannya. Ia tengah jongkok sambil memeluk nisan yang bahkan catnya masih sedikit basah. Inilah peristirahatan terakhir sahabatnya. Senior yang sudah macam saudara kandung bagi Adam. Seseorang yang bahkan sampai rela kehilangan nyawa hanya demi memastikan Adam baik-baik saja. Jeki adalah anak bungsu dari almarhum Henry. Anak bungsu yang sedikit berbeda dari kakak-kakaknya. Seperti kebanyakan anak bungsu, ia begitu dimanja, dituruti semua yang dia inginkan sampai terjatuh begitu dalam pada pergaulan salah sasaran. Berteman akrab dengan psikotropika membuat kerusakan sarafnya begitu parah dan tekanan serta didikan keras dari kakak sulungnya yang malu atas segala perbuatan Jeki membuat dia akhirnya mengidap penyakit kejiwaan. Kompleks bukan? Sebuah penyakit yang lantas membuat Jeki nekat hendak membunuh Adam karena berpikiran bahwa Adam lah yang harus bertanggungjawab atas kematian sang bapak. "Ros!" Adam menepuk lembut bahu wanita it
Budi mengeram, sementara Adam menyeka air matanya yang mendadak menitik. Ia baru saja selesai menceritakan permasalahan yang selama ini dia pendam seorang diri. Sementara Budi, wajahnya nampak tegang, matanya fokus lurus ke depan. "Jadi kau pikir papamu ini yang membuat semua itu terjadi?" tanya Budi dengan nada dingin. "Papamu nggak bakalan segila itu, Dam! Nggak mungkin papa mau nyelakain kamu sampai kayak gitu!"Tentu apa yang Budi katakan ini benar. Kalau hanya demi membuat Adam berhenti jadi dokter, ia tidak perlu memakai cara sekeji itu. Cukup suap dirut rumah sakit tempat Adam bekerja, buat dia memecat Adam tanpa harus mengorbankan nyawa, ini lebih enak dan simpel, tanpa harus ada pertumpahan darah dan nyawa yang melayang. "Apa kabar anak itu sekarang?" tanya Budi dengan nada suara dingin. "Sudah masuk PAUD, namanya Reval." jawab Adam berusaha menenangkan diri. Dadanya mendadak sesak teringat kejadian itu. "Nggak kau kawini aja ibunya sekalian?" Budi melirik sedikit, fokusn
"Jangan lupa, Dam ... papa tunggu keputusanmu!"Adam menoleh, mereka sudah tiba lagi di depan rumah keluarga Beni. Tanpa hasil apa-apa karena mereka tadi hanya berputar-putar sambil membicarakan rahasia apa yang Adam sembunyikan selama ini. Ia benar-benar tidak mengira bahwa semuanya akan seperti ini, bahwa apa yang Rosa katakan ada benarnya. Ia tidak hanya terancam kehilangan profesi yang selama ini dia perjuangkan. Alasan Adam menyembunyikan kekacauan yang dulu pernah terjadi, tetapi Adam juga terancam kehilangan istrinya. Wanita yang mampu membuat Adam seketika jatuh hati kala pertama melihat mata itu dalam-dalam. "Pa!" Panggil Adam ketika Budi hendak turun dari mobil. "Ya?" Budi menoleh, menatap Adam dengan satu alis terangkat. "Malam ini juga Adam buat suratnya, bulan depan Adam resign setelah semua tanggung jawab Adam selesai dan tolong ... tolong bawa Aline balik ke Adam, Pa." mohon Adam dengan mata memerah. Budi tersenyum, sebuah senyum penuh kemenangan tergambar di wajah
"Oh gitu? Ndak jadi minta pisah?" goda Murti dengan senyum penuh arti.Aline sontak tersentak, ia langsung menoleh dan menatap neneknya dengan wajah memerah. "Nggak gitu, Yang! Bukan begitu maksudnya!"Murti terkekeh, menepuk bahu Aline sambil menggeleng cepat. "Ndak usah ngelak, Eyang tahu apa arti di balik sorot mata kamu, Nduk!"Aline tergagap, mulutnya setengah terbuka dengan ekspresi terkejut. Bukan begitu maksudnya. Aline hanya ingin mencari tahu apa arti dia sebenarnya di mata Adam. Walaupun ia tahu, terlalu berharap pada yang tidak pasti hanya akan melukai hatinya makin dalam. "Kamu itu sebenarnya masih cinta, to, sama Adam? Ngaku ajalah!" kejar Murti masih dengan senyum di bibir. Aline mendesah, memalingkan wajah mencoba menghindari tatapan Murti yang seolah mengintimidasinya. Sebuah tatapan yang seolah menelanjangi Aline sampai tembus ke organ-organ dalam tubuhnya. Aline tidak berkutik. Bukan membenarkan apa yang dituduhkan Murti kepadanya, hanya saja Aline tidak tahu apa
"Ayo tidur! Kenapa ini nggak mau tidur!"Aline mendesah panjang. Ia sudah berbaring di atas kasur. Matanya menatap lurus ke langit-langit kamar. Sudah cukup larut, kenapa dia belum ingin tidur? Kenapa matanya belum mengantuk?Aline melirik sebelahnya. Kosong! Di kasur berukuran 200 kali 200 cm ini dia hanya berbaring seorang diri. Sangat terasa lapang sekali, seperti ada yang kurang. Sebuah hal yang entah mengapa membuat hati Aline hampa. Terasa sangat hampa. Ia seperti kehilangan sesuatu, sekeping puzzle dalam hatinya, apakah Adam kepingan puzzle itu? Atau luka yang Adam torehkan yang jadi kepingan puzzle di hati Aline yang hilang ini? "Kenapa rasanya aku pengen balik?" desis Aline lirih. "Aku ini kenapa sih?" Aline memaki dirinya sendiri, ia lantas memiringkan tubuhnya, memeluk guling sambil melayangkan pikiran jauh sejauh-jauhnya. Ingatan Aline kembali pada tiap momen yang sudah dia lalui bersama Adam. Bagaimana awalnya dia bisa menikahi lelaki itu ... bagaimana perilaku dan sika
Aline mengerjapkan mata, ia melirik ke arah jendela yang tirainya sudah tersingkap rapi. Cahaya matahari menerobos masuk dari sana, membuat cahaya itu rasanya seperti menyiksa indera penglihatan Aline ketika matanya pertama kali terbuka."Ah ... Eyang!" Aline mendesah, ini pasti ulah eyangnya.Aline lupa, kalau di sini, bangun siang adalah sebuah dosa. Mungkin karena tahu Aline sedang patah hati saat ini, jadi Murti tidak menggedor pintu setengah berteriak atau mengguncang bahunya kuat-kuat."Jam berapa sih?" Aline menguap, bangkit dari kasur sambil mengucek matanya. Ia lantas melongok ke arah jam dinding dan mencebik ketika tahu sekarang ini masih pukul 7 pagi."Astaga masih sepagi ini padahal!" gerutunya lalu menyibak selimut dan menurunkan kaki.Aline memang tidak pernah bangun pagi. Ia selalu begadang dan tidur selepas subuh. Ia mulai menulis dari sore sampai subuh, diselingi istirahat makan dan tentu saja mandi. Itu sudah jadi kebiasaan, dan semuanya berubah ketika dia sudah meni
Hati Adam rasanya seperti ditusuk mendengar pertanyaan itu. Apakah dia dan Aline akan tetap bersama? Apakah Aline mau pulang ke rumah ini? Adam sendiri belum tahu pasti. Meskipun Budi menjanjikan hal tersebut, tetapi Adam bahkan sama sekali belum bisa bicara dengan sang istri. Jadi harus Adam jawab apa pertanyaan itu?Sebuah senyum terpaksa dengan mata memerah Adam sajikan, ia menghela napas panjang. Menatap mak Surati dengan tatapan memelas dan mengiba. "Bantu doa ya, Mak? Bantu doa supaya Aline mau balik ke sini. Supaya dia masih mau tetep jadi istri Adam."***Rosa menghela napas panjang begitu berhasil membujuk Reval untuk berangkat sekolah hari ini. Sedikit demi sedikit dia akan mulai untuk menjauhkan Reval dari Adam. Bukan bermaksud untuk tidak berterima kasih atas semua bantuan finansial dari lelaki itu, tapi Rosa sadar diri, mereka bukan siapa-siapa Adam. "Papa besok kemari, kan, Ma?"Rosa tersentak, ia menoleh dan menatap dalam-dalam mata Reval yang tidak lepas dari wajahn