"Isinya apa, Mak?" potong Aline yang sudah sangat tidak sabar. "Isinya pakaian bayi dan perlengkapan bayi, Mbak.""Apa?"***Mak Surati nampak galau. Ia tengah food preping untuk seminggu ke depan seperti biasanya. Hanya saja pikirannya jadi tidak tenang. Ini berkaitan dengan percakapannya beberapa saat yang lalu dengan istri bosnya itu. Tentang apa jawaban yang dia katakan perihal pertanyaan Aline soal Adam. "Salah nggak sih aku jawab begitu tadi? Cuma kan emang bener isi paketnya pakaian bayi." Mak Surati benar-benar ragu. "Tapi ... untuk apa mbak Aline tanya seperti itu, ya? Apa ada sesuatu?"Jujur nak Surati sendiri tidak bertanya lebih lanjut pada Adam perihal apa tujuannya memesan pakaian bayi itu. Toh itu diluar kewenangan dia yang hanya seorang asisten rumah tangga saja. Walaupun Adam sendiri sering cerita banyak hal tentang kehidupan pribadinya, terlebih soal sang papa yang tidak suka melihat Adam menjadi dokter. Bukan tanpa alasan, dia tahu betul siapa orang tua dari bos
Adam menghela napas panjang. Ia sudah memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah. Tepat di sebelah Jazz merah milik sang istri. Sejenak Adam tertegun. Obrolannya dengan Yunus tadi terus menghantui Adam. Segala macam ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini Adam abaikan, kini kembali bangkit dan menghantui Adam dalam setiap detik. "Nggak ada yang bisa jamin dia tetap bisa stabil begitu keluar dari sana, kan? Toh dia sudah berulang kali!" desah Adam lesu, rasanya daya di tubuhnya sudah lenyap entah kemana. Adam bisa saja mengundurkan diri dan minta pindah ke kota lain. Ada banyak sejawatnya menawarkan loker. Hanya saja yang jadi masalah sejak dulu adalah papanya! Papanya selalu menjadi penghambat gerak Adam, terlebih dalam urusan ini. "Semoga kejadian dulu tidak lagi terulang. Jangan sampai!" Ia segera melepaskan sabuk pengaman begitu mesin mobil dia matikan. Turun dari mobil dan melangkahkan kaki meninggalkan halaman depan guna masuk ke dalam rumah. Tidak nampak aktivitas ketik
DEG! Jantung Adam rasanya hampir meloncat dari tempatnya. Keringat dingin langsung mengucur membasahi dahi dan tubuh Adam. Kaki Adam mendadak lemas. Perlukah dia jujur sekarang? Terlebih sosok itu ... Ah tidak! Dia tidak boleh membuat istrinya ini khawatir! Aline tidak boleh beranggapan kalau menikah dengan Adam adalah kesialan untuknya, meskipun Adam yakin sekali ketika mendapatkan perintah untuk menggantikan Aleta menikah dengan dirinya dulu, Aline sudah menganggap bahwa pernikahan ini adalah sebuah kesialan untuk Aline. Otak Adam segera bekerja keras. Mencari alasan yang tepat dan pas hingga tidak memunculkan kecurigaan pada diri Aline. Tapi kira-kira apa? Ah! Iya ... Adam punya ide! "Oh itu, ya?" Adam merangkai sebuah senyum palsu. "Itu buat pasien aku, Sayang. Masih anak-anak dan dia spesial banget buat aku."Bisa Adam lihat kini kening istrinya itu berkerut. Membuat Adam melebarkan senyumnya dan mengelus pipi itu dengan sangat lembut. "Spesial gimana?" ada nada cemburu di b
Aline belum mau bangkit dari bath tub. Ia tengah berendam dengan air hangat dan busa gelembung memenuhi tubuhnya.Persendian Aline rasanya ingin lepas. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat suka dengan aktivitas yang dia lakukan bersama sang suami. Adam selalu sukses memanjakan dirinya. Membawanya terbang tinggi ke angkasa dan mencapai puncak itu. Bagaimana Aline tidak meleleh dibuatnya? Aline tersenyum, memejamkan mata seraya menikmati aroma scented candles yang dia nyalakan dan letakkan di dekat bathtub. Rasanya benar-benar rileks. Sementara Aline tengah merilekskan diri, Adam nampak berbaring di atas ranjang dengan satu tangan memegang ponsel. Ponsel itu menempel di telinganya, ia nampak menyimak sesuatu yang membuat wajahnya sedikit mengeras. "Jangan besok. Kan aku sudah bilang untuk akhir-akhir ini kunjungan aku akan sedikit berkurang?" tanya Adam dengan suara lirih. Satu tangan Adam yang lain menyeka keringat yang masih membasahi wajahnya. Nampak kening Adam berkeru
"Sayang, pelan!" Adam agak kewalahan mengejar langkah Aline. Aline hampir saja berlari kalau suara ketukan lantai dan sepatu tidak sekeras ini. Adam mengekor dari belakang dengan sedikit susah payah. Setelah menyusuri lorong rumah sakit, mereka sudah sampai di depan ruangan ICU. Tepat sebelum Aline mendekati nurse station, pintu kaca itu terbuka dan sosok Desi muncul dari dalam sana dengan mata sembab dan wajah memerah. "Ma! Aleta kenapa, Ma?" sebuah pertanyaan yang otomatis keluar dari mulut Aline dengan begitu panik. Desi menatap Aline dengan linangan air mata, senyumnya merekah. Dia tidak menjawab, malah menoleh ke belakang dan tak selang lama, bed itu dorong keluar. Sebuah pemandangan yang familiar itu menyapa Aline. Sebuah raut wajah yang sangat mirip dengan dirinya dengan sebuah senyum lemah merekah di wajah yang masih pucat itu. "Hai ...." sapa suara itu lemah, sementara Aline tertegun di tempatnya berdiri. Air matanya menitik dan beberapa detik kemudian tangisnya pecah.
Adam buru-buru keluar dari ruangan inap Aleta ketika mendapati nomor 'itu' yang menghubungi dirinya. Jantung Adam berdetak 2 kali lebih cepat, Adam segera melangkah keluar dari bangsal untuk mengamankan diri. "Halo, kenapa?" tentu itu yang Adam tanyakan. Untuk apa dia menelepon malam begini? Bukan apa-apa, dia tahu betul sekarang Adam sudah beristri, otomatis dia tidak bisa lagi bebas menghubungi Adam seperti ketika belum menikah dulu. Rasa kesal Adam mendadak luntur ketika mendengar suara itu. Sebuah suara menahan isak tangis setengah memelas. Hati Adam mendadak trenyuh. Sebuah kenangan pahit masa lalu menariknya kembali ke dalam masa itu. Mata Adam memerah, seandainya waktu bisa diputar ... seandainya Adam bisa kembali ke masa itu ... akan dia pastikan untuk segera pulang dari rumah sakit malam itu. Hingga kejadian itu tidak harus terjadi dan semuanya tidak harus serumit ini. ***"Gimana? Jadi nyonya Adam, enak?" goda Aleta ketika dengan telaten saudari kembarnya itu menyuapi b
“Apa alasannya?” mata Aleta terbelalak, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak.Sementara itu, Aline menatap saudari kembarnya dengan bibir mengerucut. Apa yang salah dengan pertanyaan yang baru saja Aline ucapkan itu? Rasanya tidak ada yang salah. Wajar sekali kalau kemudian Aline bertanya apa alasan Aleta melakukan tindakan nekat itu, bukan?“Aku serius, lama-lama aku lempar ini mangkuk sampai kena jidat kamu!” ancam Aline dengan wajah cemberut.Aleta menghentikan tawanya, matanya menatap dalam ke dalam mata Aline, membuat Aline terkesiap beberapa detik.“Menurutmu apa?” ujar Aleta balik bertanya. “Kalau semisal kamu ada di posisi aku, apa yang akan kamu lakukan, Line?” bukannya menjawab, Aleta malah balik bertanya, membuat Aline rasanya sudah tidak sabar lagi dan ingin benar-benar melempar mangkuk berisi bubur itu tepat di jidat saudari kembarnya.“Kalau aku jadi kamu, aku kabur dan membawa serta saudari kembarku agar tidak tidak harus jadi tumbal dalam perjanjian gila ini!” ja
"Jadi mau diantar ke rumah sakit?" Adam tengah mengancingkan kemeja, ditatapnya Aline yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi semerbak dari perpaduan shampoo dan body shower milik Aline menguar begitu kuat, membuat satu ruangan begitu harum dan segar. "Kayaknya nanti aku berangkat sendiri aja, Mas. Aku baru ingat habis ini ada zoom meeting sama editor." jawab Aline sambil mengeringkan rambut. Adam tersenyum, ia sudah siap turun untuk sarapan sekarang. Tapi tentu saja harus bersama sang istri. Adam ingin makan di temani istrinya ini. "Yasudah kalo begitu. Nanti Mas susul sepulang kerja. Bawa mobil aja, nggak usah bawa motor!" pesan Adam lalu meraih handuk dari tangan sang istri. "Eh ... eh! Masih mau aku pakai, Mas!" tentu saja! Rambut Aline masih basah, ia baru beres keramas setelah semalam, sepulang dari rumah sakit Adam kembali mengajaknya bercinta sampai tengah malam. "Temenin Mas sarapan dulu aja, yuk. Keburu telat, Sayang." mohon Adam lalu melemparkan begitu saja handu
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny