Aline belum mau bangkit dari bath tub. Ia tengah berendam dengan air hangat dan busa gelembung memenuhi tubuhnya.Persendian Aline rasanya ingin lepas. Namun ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sangat suka dengan aktivitas yang dia lakukan bersama sang suami. Adam selalu sukses memanjakan dirinya. Membawanya terbang tinggi ke angkasa dan mencapai puncak itu. Bagaimana Aline tidak meleleh dibuatnya? Aline tersenyum, memejamkan mata seraya menikmati aroma scented candles yang dia nyalakan dan letakkan di dekat bathtub. Rasanya benar-benar rileks. Sementara Aline tengah merilekskan diri, Adam nampak berbaring di atas ranjang dengan satu tangan memegang ponsel. Ponsel itu menempel di telinganya, ia nampak menyimak sesuatu yang membuat wajahnya sedikit mengeras. "Jangan besok. Kan aku sudah bilang untuk akhir-akhir ini kunjungan aku akan sedikit berkurang?" tanya Adam dengan suara lirih. Satu tangan Adam yang lain menyeka keringat yang masih membasahi wajahnya. Nampak kening Adam berkeru
"Sayang, pelan!" Adam agak kewalahan mengejar langkah Aline. Aline hampir saja berlari kalau suara ketukan lantai dan sepatu tidak sekeras ini. Adam mengekor dari belakang dengan sedikit susah payah. Setelah menyusuri lorong rumah sakit, mereka sudah sampai di depan ruangan ICU. Tepat sebelum Aline mendekati nurse station, pintu kaca itu terbuka dan sosok Desi muncul dari dalam sana dengan mata sembab dan wajah memerah. "Ma! Aleta kenapa, Ma?" sebuah pertanyaan yang otomatis keluar dari mulut Aline dengan begitu panik. Desi menatap Aline dengan linangan air mata, senyumnya merekah. Dia tidak menjawab, malah menoleh ke belakang dan tak selang lama, bed itu dorong keluar. Sebuah pemandangan yang familiar itu menyapa Aline. Sebuah raut wajah yang sangat mirip dengan dirinya dengan sebuah senyum lemah merekah di wajah yang masih pucat itu. "Hai ...." sapa suara itu lemah, sementara Aline tertegun di tempatnya berdiri. Air matanya menitik dan beberapa detik kemudian tangisnya pecah.
Adam buru-buru keluar dari ruangan inap Aleta ketika mendapati nomor 'itu' yang menghubungi dirinya. Jantung Adam berdetak 2 kali lebih cepat, Adam segera melangkah keluar dari bangsal untuk mengamankan diri. "Halo, kenapa?" tentu itu yang Adam tanyakan. Untuk apa dia menelepon malam begini? Bukan apa-apa, dia tahu betul sekarang Adam sudah beristri, otomatis dia tidak bisa lagi bebas menghubungi Adam seperti ketika belum menikah dulu. Rasa kesal Adam mendadak luntur ketika mendengar suara itu. Sebuah suara menahan isak tangis setengah memelas. Hati Adam mendadak trenyuh. Sebuah kenangan pahit masa lalu menariknya kembali ke dalam masa itu. Mata Adam memerah, seandainya waktu bisa diputar ... seandainya Adam bisa kembali ke masa itu ... akan dia pastikan untuk segera pulang dari rumah sakit malam itu. Hingga kejadian itu tidak harus terjadi dan semuanya tidak harus serumit ini. ***"Gimana? Jadi nyonya Adam, enak?" goda Aleta ketika dengan telaten saudari kembarnya itu menyuapi b
“Apa alasannya?” mata Aleta terbelalak, sedetik kemudian ia tertawa terbahak-bahak.Sementara itu, Aline menatap saudari kembarnya dengan bibir mengerucut. Apa yang salah dengan pertanyaan yang baru saja Aline ucapkan itu? Rasanya tidak ada yang salah. Wajar sekali kalau kemudian Aline bertanya apa alasan Aleta melakukan tindakan nekat itu, bukan?“Aku serius, lama-lama aku lempar ini mangkuk sampai kena jidat kamu!” ancam Aline dengan wajah cemberut.Aleta menghentikan tawanya, matanya menatap dalam ke dalam mata Aline, membuat Aline terkesiap beberapa detik.“Menurutmu apa?” ujar Aleta balik bertanya. “Kalau semisal kamu ada di posisi aku, apa yang akan kamu lakukan, Line?” bukannya menjawab, Aleta malah balik bertanya, membuat Aline rasanya sudah tidak sabar lagi dan ingin benar-benar melempar mangkuk berisi bubur itu tepat di jidat saudari kembarnya.“Kalau aku jadi kamu, aku kabur dan membawa serta saudari kembarku agar tidak tidak harus jadi tumbal dalam perjanjian gila ini!” ja
"Jadi mau diantar ke rumah sakit?" Adam tengah mengancingkan kemeja, ditatapnya Aline yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wangi semerbak dari perpaduan shampoo dan body shower milik Aline menguar begitu kuat, membuat satu ruangan begitu harum dan segar. "Kayaknya nanti aku berangkat sendiri aja, Mas. Aku baru ingat habis ini ada zoom meeting sama editor." jawab Aline sambil mengeringkan rambut. Adam tersenyum, ia sudah siap turun untuk sarapan sekarang. Tapi tentu saja harus bersama sang istri. Adam ingin makan di temani istrinya ini. "Yasudah kalo begitu. Nanti Mas susul sepulang kerja. Bawa mobil aja, nggak usah bawa motor!" pesan Adam lalu meraih handuk dari tangan sang istri. "Eh ... eh! Masih mau aku pakai, Mas!" tentu saja! Rambut Aline masih basah, ia baru beres keramas setelah semalam, sepulang dari rumah sakit Adam kembali mengajaknya bercinta sampai tengah malam. "Temenin Mas sarapan dulu aja, yuk. Keburu telat, Sayang." mohon Adam lalu melemparkan begitu saja handu
"PAPA!"Aline terisak, teriakan dan panggilan riang dari bocah lelaki yang berusia sekitar 3 tahunan itu masih melekat kuat di ingatan dan terus terngiang-ngiang di telinga Aline. Bagaimana hangat dan mesra interaksi antara suaminya dan bocah itu makin membuat hati Aline hancur berkeping-keping. Jadi paket pakaian bayi yang sering dikirim ke kerumah itu untuk bocah tadi? Mainan seharga 250 ribu rupiah yang konon untuk pasien suaminya, ternyata untuk dia? Adam sudah punya anak dari perempuan lain? Tentu Aline lihat betul wanita dengan seragam perawat yang berdiri di depan pintu dan tersenyum lebar melihat Adam datang dan memeluk anak mereka! Semua sudah jelas! Air mata Aline banjir. Ia melupakan agenda meetingnya bersama para editor. Lupa akan donat dan janjinya mengunjungi Aleta.Aleta ... Apakah sebenarnya saudari kembarnya itu tahu rahasia yang Adam miliki? Bahwa sebenarnya lelaki itu sudah punya anak dari wanita lain? Jadi untuk itu Aleta malah lebih memilih bunuh diri daripada
"Loh ... Nduk? Kok sampai sini?"Tentu Murti terkejut bukan main ketika melihat cucunya mendadak muncul di depan pintu dengan mata sembab. Baru saja dia bahagia semalam mendapat kabar soal sadarnya Aleta, jangan bilang kalau ..."Yang ... Aline nggak mau balik, Yang ... pengen di sini sementara waktu!" gumamnya dengan tangis pecah."Loh ... loh! Iki ono opo tha? Kamu ini kenapa tiba-tiba datang terus nangis koyo ngene iki?" tentu Murti kebingungan. Aline tidak mau pulang? Dia mau di sini? Memang apa yang terjadi pada cucu kembarnya ini? Apa ini ada hubungannya dengan Aleta yang sudah sadar? Murti tahu betul, lelaki yang beberapa minggu yang lalu dinikahi cucu kembarnya ini sebenarnya adalah lelaki yang hendak dijodohkan dengan saudari kembar gadis ini."Udah sini ayo masuk!" Murti menghampiri Aline, membawa gadis itu masuk ke dalam rumah dan memintanya untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.Harapannya tentu semoga tidak ada hal buruk yang terjadi. Entah pada Aleta maupu
"Sudah paham semua tugas kalian?"Murti menatap 4 orang yang sudah bertahun-tahun ikut bekerja dengannya ini. Ada tugas penting yang harus mereka lakukan selama Aline tinggal sementara di rumah ini. Jujur Murti kurang suka dengan cara Aline yang main asal kabur, tapi apa boleh buat? Daripada Aline kabur ke mana-mana yang tidak jelas dan mengancam keselamatan cucunya ini, lebih baik memang Aline tinggal di sini sampai suasana hatinya membaik, bukan? "Tentu paham, Yang. Akan segera kami lakukan!""Bagus!" desis Murti puas dengan para pekerjanya ini. "Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalo mbak Aline di sini. Nanti sore antar ke rumah pak RT untuk melapor dan meminta beliau tutup mulut juga.""Siap, Eyang.""Kalo gitu, cepat kerjakan tugas kalian. Jangan lupa siapkan kamar mbak Aline. Dia perlu istirahat."Keempat pegawai itu kompak mengangguk. Segera pamit undur diri dari hadapan Murti dan Aline yang masih sesegukan dan menitikkan air mata.Murti menoleh, tidak lebay kalau sampai cucu
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g