Adam melangkah menapaki anak tangga, ketika kakinya mendarat di anak tangga terakhir, ia tertegun dengan tatapan nanar menatap sosok itu. Adam diam tak bergerak di tempatnya berdiri, setelah yakin dan memastikan bahwa yang dia lihat tengah tidur memeluk bantal sofa itu adalah benar istrinya, Adam kembali melangkahkan kaki, mendekati Aline yang nampak begitu lelap tidur di sofa yang ada di depan tv.Perasaan Adam berkecamuk, ia sontak berlutut di dekat sofa, menatap lekat-lekat wajah itu dengan perasaan campur aduk. Jadi sepeninggalnya tadi Aline terbangun dari tidurnya? Apakah Aline mencari keberadaannya? Adam melirik pintu kaca yang menghubungkan dengan balkon, benar saja, pintu itu bahkan belum tertutup sempurna.Adam bergegas bangkit, menutup dan mengunci pintu itu lalu kembali menghampiri Aline yang terlihat begitu pulas tertidur.“Kok tidur sini sih, Sayang?” gumam Adam lirih sambil membawa tubuh itu ke dalam gendongannya.Ia segera membawa tubuh itu masuk ke dalam kamar. Apakah
Aline menggelengkan kepalanya, ia kembali membenamkan wajah ke dada Adam. Rasanya begitu nyaman dan hangat. Membuat Aline terlena akan kenyamanan yang ia dapatkan dari dekapan dan pelukan sang suami.Senyum Aline merakah, entah mengapa rasanya Aline tidak ingin melepaskan diri dari dekapan Adam. Ia ingin sampai pagi terus berada di pelukan sang suami. Dia tidak lagi merasa kikuk atau risih dengan sentuhan Adam. Seperti yang dia bilang tadi, pelukan dan dekapan ini rasanya begitu menenangkan dan melenakan!Aline mencoba memejamkan mata, hangat dan nyaman yang dia peroleh membuat mataya memberat. Lambat laun Aline bahkan tidak lagi bisa mempertahankan matanya agar tetap terjaga, terlebih aroma maskulin yang dia hirup dari parfum milik Adam membuat Aline makin tidak kuasa menahan matanya dan tidak perlu waktu lama, kini Aline terlelap begitu damai dan nyaman dalam dekapan suaminya, lelaki yang bahkan sebenarnya Aline tolak keberadaannya di sekitar Aline.Penolakan yang agaknya harus dipe
Aline mengerjapkan mata ketika merasakan ada sinar hangat yang menyorot wajahnya dalam rentan waktu yang cukup lama. Perlahan-lahan Aline membuka mata dan terkejut mendapati langit sudah cukup cerah terpampang dari jendela kamarnya.Jam berapa ini? Aline perlahan bangun, dan hampir berteriak ketika melihat jarum jam sudah menunjukkan angka 10! Astaga!Dengan sedikit panik, Aline turun dari ranjang, membuka pintu kamar dan mendapati rumah begitu sepi. Agaknya Aline lupa, jam segini tentu Adam sudah berada di rumah sakit dan di rumah besar itu hanya tinggal dia, mak Surati dan pak Ugi, tidak ada yang lain lagi.“Untung bukan orang kantoran, kalo iya, habis lah sudah!” rintih Aline yang merasa bersyukur dia tidak harus bekerja di kantor yang jam masuk dan pulangnya sudah ditentukan perusahaan.Aline hendak kembali masuk ke dalam kamar untuk mandi, ketika panggilan itu mengejutkan dirinya.“Mbak Aline sudah bangun? Ini Mak bawain sarapan, Mbak.”Mak Surati muncul dengan nampan di tangan,
“Apa? Jadi kalian belum pernah gituan?”Aline kontan nyengir lebar, meskipun tahu lawan bicara tidak berada di depannya, namun reflek itulah yang kini Aline lakukan ketika mendapat pertanyaan itu dari Nagita, sahabatnya sejak ia duduk di bangku semester satu.“Heh! Mendadak budek atau mendadak pingsan?” salak Nagita galak ketika ia tidak kunjung mendapatkan jawaban dari mulut Aline.“Segitunya, gue denger kok!” balas Aline sewot, ini anak kenapa sih? Lagi PMS?Terdengar helaan panjang dari seberang, Aline begitu yakin bahwa setelah ini, ibu hamil satu itu pasti akan mengomeli dirinya panjang kali lebar. Tentu Nagita sudah dengar jelas semua petaka yang menimpa Aline, bagaimana ia mendadak harus menggantikan saudari kembarnya menikah karena insiden itu.“Lu ini gimana sih, Lin? Riskan banget tau, nggak?”Aline yang tengah mengerjakan pembaruan bab novel on-going miliknya yang beberapa hari mangrak, kontan menyingkir sejenak dari depan laptop. Dengan ponsel yang masih menempel di teling
“... lalu apa rencanamu selanjutnya, Vin?”Senyum Kelvin sontak lenyap, ia menundukkan kepala barang beberapa detik, kemudian menghela napas panjang dan kembali mengangkat kepalanya. Ditatapnya wanita paruh baya yang memiliki garis hidung dan mata begitu mirip dengan Aleta, sang kekasih.“Yang ada di pikiran saya untuk saat ini adalah tetap di sini sampai Aleta sadar, Tante. Setelah dia sadar dan kami bisa bicara dari hati ke hati, saya baru bisa tentukan apa rencana saya selanjutnya.”Desi tersenyum getir, ia ikut menghela napas panjang, pandangannya tidak beralih dari lelaki yang ternyata sudah cukup lama menjalin kasih dengan Aleta, anak sulungnya itu. Pantas saja Aleta kemudian sampai nekat bunuh diri demi mempertahankan cinta mereka.“Tapi kamu tentu punya plan A dan B untuk saat ini, kan? Nah apa plan yang sudah kamu rancang sedemikian rupa? Tentu tidak mungkin kamu tidak punya rencana atau goals sama sekali, kan, Vin?”Kembali Kelvin tersenyum dengan sorot mata pedih, sebuah so
Mata Aline berbinar cerah begitu melihat sample lipstik berjejer di atas meja display. Refleks Aline menarik tangan Adam, menyeret lelaki itu untuk mendekat ke counter make-up asal Korea yang menjadi favorit Aline.Adam hanya tersenyum begitu manis, pasrah ditarik istrinya seperti ini. Bukankah ini hal yang langka? Jadi Adam tidak akan mensia-siakan kesempatan ini, bukan? Setelah melangkah beberapa langkah, mereka tiba di depan counter yang langsung mendapat sambutan dari BA brand kosmetik tersebut.“Selamat datang, mari silahkan, Kak. Mau cari skincare atau make-up?” sapa wanita berkulit bersih itu dengan begitu ramah.“Lipcream dong, Kak. Yang seri paling baru kemarin.” Aline menjawab dengan penuh antusias, ia sama sekali tidak melepaskan tangan Adam dari genggamanya.“Untuk seri terbaru kebetulan sekali baru datang stock, Kak, jadi warnanya komplit. Ini untuk tester sample warnanya. Silahkan.”Adam mencebik ketika tangan itu melepaskan tangannya. Bisa dia lihat Aline begitu semanga
Adam langsung meraih tangan Aline begitu keluar dari booth itu. Di genggamnya tangan itu erat seraya membawanya melangkah. Paperbag yang tadi Aline bawa, kini sudah berpindah ke tangan Adam lengkap dengan hasil jepretan di booth yang menjadi saksi bisu di mana untuk pertama kalinya Aline membalas ciuman Adam. Apa perasaan Adam saat ini? Tentunya tidak perlu dijelaskan lagi! Dia begitu bahagia sampai-sampai ia merasakan langkahnya begitu ringan dan rasanya ia seperti hendak terbang. "Mas? Kita mau kemana?"Adam tersentak, ia menoleh dan mendapati Aline menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Pulang dong. Oh kamu ingin kemana lagi, Sayang? Sekalian." tawar Adam tanpa melepaskan genggaman tangannya. "Ya aku juga mau pulang, Mas. Cuma kan mobil kita parkir di basement. Kenapa ini kita malah naik ke atas?"Adam melotot, benar juga! Sekarang mereka tengah berdiri di eskalator yang bergerak ke lantai atas. Adam terkekeh, Aline melepaskan genggaman tangan mereka lalu mencubit perut Adam d
"... kamu serius?"Aline kembali mengangguk pelan, ia lantas menundukkan wajahnya sembari mengigit kuat-kuat bibirnya yang basah efek pagutan Adam beberapa detik yang lalu. Ia terkejut ketika dua tangan Adam masing-masing memegangi sisi kanan-kiri kepalanya, dahi Adam pun beradu dengan kepala Aline, membuat Aline lantas mendongak sedikit sampai ujung hidung mereka bersentuhan. Dengan jarak yang sangat dekat, mata mereka beradu. Sorot sayu itu masih menyapa Aline, dengan deru napas yang memburu. "Aku tidak pernah memaksamu, Sayang. Aku tidak masalah menunggu sampai sesiap kamu dan kalau hari ini kamu mengatakan sudah siap, aku sangat berterima kasih."Dua tangan itu meraup wajah Aline, mempertahankan posisi wajah itu tetap mendongak ke atas. Tanpa menunggu waktu lama, Adam kembali meraih bibir itu. Melumat bibir Aline dengan sedikit lebih kasar. Sebuah tindakan yang membuat Aline terkejut namun sama sekali tidak melakukan penolakan. Ia malah menyukainya! Aline bahkan mulai berani mem
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny