Aline mengerjapkan mata ketika merasakan ada sinar hangat yang menyorot wajahnya dalam rentan waktu yang cukup lama. Perlahan-lahan Aline membuka mata dan terkejut mendapati langit sudah cukup cerah terpampang dari jendela kamarnya.Jam berapa ini? Aline perlahan bangun, dan hampir berteriak ketika melihat jarum jam sudah menunjukkan angka 10! Astaga!Dengan sedikit panik, Aline turun dari ranjang, membuka pintu kamar dan mendapati rumah begitu sepi. Agaknya Aline lupa, jam segini tentu Adam sudah berada di rumah sakit dan di rumah besar itu hanya tinggal dia, mak Surati dan pak Ugi, tidak ada yang lain lagi.“Untung bukan orang kantoran, kalo iya, habis lah sudah!” rintih Aline yang merasa bersyukur dia tidak harus bekerja di kantor yang jam masuk dan pulangnya sudah ditentukan perusahaan.Aline hendak kembali masuk ke dalam kamar untuk mandi, ketika panggilan itu mengejutkan dirinya.“Mbak Aline sudah bangun? Ini Mak bawain sarapan, Mbak.”Mak Surati muncul dengan nampan di tangan,
“Apa? Jadi kalian belum pernah gituan?”Aline kontan nyengir lebar, meskipun tahu lawan bicara tidak berada di depannya, namun reflek itulah yang kini Aline lakukan ketika mendapat pertanyaan itu dari Nagita, sahabatnya sejak ia duduk di bangku semester satu.“Heh! Mendadak budek atau mendadak pingsan?” salak Nagita galak ketika ia tidak kunjung mendapatkan jawaban dari mulut Aline.“Segitunya, gue denger kok!” balas Aline sewot, ini anak kenapa sih? Lagi PMS?Terdengar helaan panjang dari seberang, Aline begitu yakin bahwa setelah ini, ibu hamil satu itu pasti akan mengomeli dirinya panjang kali lebar. Tentu Nagita sudah dengar jelas semua petaka yang menimpa Aline, bagaimana ia mendadak harus menggantikan saudari kembarnya menikah karena insiden itu.“Lu ini gimana sih, Lin? Riskan banget tau, nggak?”Aline yang tengah mengerjakan pembaruan bab novel on-going miliknya yang beberapa hari mangrak, kontan menyingkir sejenak dari depan laptop. Dengan ponsel yang masih menempel di teling
“... lalu apa rencanamu selanjutnya, Vin?”Senyum Kelvin sontak lenyap, ia menundukkan kepala barang beberapa detik, kemudian menghela napas panjang dan kembali mengangkat kepalanya. Ditatapnya wanita paruh baya yang memiliki garis hidung dan mata begitu mirip dengan Aleta, sang kekasih.“Yang ada di pikiran saya untuk saat ini adalah tetap di sini sampai Aleta sadar, Tante. Setelah dia sadar dan kami bisa bicara dari hati ke hati, saya baru bisa tentukan apa rencana saya selanjutnya.”Desi tersenyum getir, ia ikut menghela napas panjang, pandangannya tidak beralih dari lelaki yang ternyata sudah cukup lama menjalin kasih dengan Aleta, anak sulungnya itu. Pantas saja Aleta kemudian sampai nekat bunuh diri demi mempertahankan cinta mereka.“Tapi kamu tentu punya plan A dan B untuk saat ini, kan? Nah apa plan yang sudah kamu rancang sedemikian rupa? Tentu tidak mungkin kamu tidak punya rencana atau goals sama sekali, kan, Vin?”Kembali Kelvin tersenyum dengan sorot mata pedih, sebuah so
Mata Aline berbinar cerah begitu melihat sample lipstik berjejer di atas meja display. Refleks Aline menarik tangan Adam, menyeret lelaki itu untuk mendekat ke counter make-up asal Korea yang menjadi favorit Aline.Adam hanya tersenyum begitu manis, pasrah ditarik istrinya seperti ini. Bukankah ini hal yang langka? Jadi Adam tidak akan mensia-siakan kesempatan ini, bukan? Setelah melangkah beberapa langkah, mereka tiba di depan counter yang langsung mendapat sambutan dari BA brand kosmetik tersebut.“Selamat datang, mari silahkan, Kak. Mau cari skincare atau make-up?” sapa wanita berkulit bersih itu dengan begitu ramah.“Lipcream dong, Kak. Yang seri paling baru kemarin.” Aline menjawab dengan penuh antusias, ia sama sekali tidak melepaskan tangan Adam dari genggamanya.“Untuk seri terbaru kebetulan sekali baru datang stock, Kak, jadi warnanya komplit. Ini untuk tester sample warnanya. Silahkan.”Adam mencebik ketika tangan itu melepaskan tangannya. Bisa dia lihat Aline begitu semanga
Adam langsung meraih tangan Aline begitu keluar dari booth itu. Di genggamnya tangan itu erat seraya membawanya melangkah. Paperbag yang tadi Aline bawa, kini sudah berpindah ke tangan Adam lengkap dengan hasil jepretan di booth yang menjadi saksi bisu di mana untuk pertama kalinya Aline membalas ciuman Adam. Apa perasaan Adam saat ini? Tentunya tidak perlu dijelaskan lagi! Dia begitu bahagia sampai-sampai ia merasakan langkahnya begitu ringan dan rasanya ia seperti hendak terbang. "Mas? Kita mau kemana?"Adam tersentak, ia menoleh dan mendapati Aline menatapnya dengan tatapan penuh tanya. "Pulang dong. Oh kamu ingin kemana lagi, Sayang? Sekalian." tawar Adam tanpa melepaskan genggaman tangannya. "Ya aku juga mau pulang, Mas. Cuma kan mobil kita parkir di basement. Kenapa ini kita malah naik ke atas?"Adam melotot, benar juga! Sekarang mereka tengah berdiri di eskalator yang bergerak ke lantai atas. Adam terkekeh, Aline melepaskan genggaman tangan mereka lalu mencubit perut Adam d
"... kamu serius?"Aline kembali mengangguk pelan, ia lantas menundukkan wajahnya sembari mengigit kuat-kuat bibirnya yang basah efek pagutan Adam beberapa detik yang lalu. Ia terkejut ketika dua tangan Adam masing-masing memegangi sisi kanan-kiri kepalanya, dahi Adam pun beradu dengan kepala Aline, membuat Aline lantas mendongak sedikit sampai ujung hidung mereka bersentuhan. Dengan jarak yang sangat dekat, mata mereka beradu. Sorot sayu itu masih menyapa Aline, dengan deru napas yang memburu. "Aku tidak pernah memaksamu, Sayang. Aku tidak masalah menunggu sampai sesiap kamu dan kalau hari ini kamu mengatakan sudah siap, aku sangat berterima kasih."Dua tangan itu meraup wajah Aline, mempertahankan posisi wajah itu tetap mendongak ke atas. Tanpa menunggu waktu lama, Adam kembali meraih bibir itu. Melumat bibir Aline dengan sedikit lebih kasar. Sebuah tindakan yang membuat Aline terkejut namun sama sekali tidak melakukan penolakan. Ia malah menyukainya! Aline bahkan mulai berani mem
Aline membelalakkan mata. Akan sedikit lebih sakit? Ini aja sudah cukup sakit dan Adam bilang setelah ini akan terasa lebih sakit? Yang benar saja!“Mas, ini aja udah sakit, Mas! Perih!” Aline hendak memberontak, namun baru bergerak sedikit, inti tubuhnya terasa begitu pedih. Ia baru ingat, sebagian organ vital suaminya sudah melesak masuk ke dalam.Adam hanya tersenyum, menundukkan wajah lalu kembali meraih bibir Aline. Dengan lembut dan perlahan, Adam kembali hendak membuat Aline terbuai dalam indah dan nikmat ciumannya seperti biasa. Sebuah taktik yang agaknya berhasil Adam lakukan karena tubuh Aline yang tadi sempat kaku dan tegang kini terasa kembali rileks.Perlahan tapi pasti, Adam kembali mendorong miliknya masuk ke dalam, lebih dalam dan jauh lagi pada tubuh sang istri. Momen yang jujur sudah Adam nantikan sejak mereka menikah kemarin. Adam pikir akan butuh waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk bisa meluluhkan hati Aline, rupanya tidak selama itu.Milik Adam yang t
Adam tersenyum, ia menatap tubuh polos yang memeluk tubuhnya dengan begitu posesif. Bekas-bekas keringat masih tergambar di sana-sini, belum lagi bekas kemerahan yang sengaja Adam tinggalkan untuk tanda kepemilikannya di tubuh itu. Sumpah, dalam keadaan seperti ini istrinya ini terlihat berkali-kali lebih cantik! Sanggat cantik dan menggoda, Adam akui itu. Tidak salah, kan, dia lantas memilih sosok ini untuk dia jadikan teman hidup? Rasa kantuk sebenarnya sudah menyerang Adam sejak ia melepaskan cairan pelepasannya beberapa menit yang lalu. Tubuhnya terasa lemas, enak tapi lemas. Andai saja pemandangan di depan matanya tidak seindah ini, tentu Adam akan lebih memilih menuruti hasrat kantuknya daripada memandangi Aline yang sudah terlelap sejak beberapa saat yang lalu. Agaknya sama seperti Adam, dia juga sangat kelelahan. “Kamu adalah orang pertama yang membuat aku percaya dan semakin yakin bahwa manusia kembar identik sekalipun tidak sepenuhnya sama, Lin. Seperti kamu dan Aleta.” Ad
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny
"APAAA?"Wajah Adam memucat, ia menatap lurus dengan tatapan tidak percaya. Kacau sudah kalau begini! Bayangan bagaimana ribetnya mencelupkan testpack itu satu persatu tengah malam kembali terngiang dan sekarang, semuanya sia-sia. "Kok bisa?" tanya Adam setelah dia tersadar dari rasa terkejutnya. "Aleta ke sini, Mas. Nah kita lagi ngobrol, nyerempet bahas kehamilan aku. Aku nggak tau kalo Mama dateng dan tau-tau udah nonggol di belakang kita."Adam spontan menepuk jidatnya sambil geleng-geleng kepala. Mendadak kepalanya pusing. Setelah ini agaknya dia harus bersiap kena omel, mau bagaimana lagi? "Mama di mana sekarang?" "Lagi di depan, nelpon Papa. Aku masih di ruang makan sama Aleta." jawab suara itu lirih.Dengan sedikit kesal, Adam menghirup udara banyak-banyak. Ia menghembuskan napas perlahan-lahan dengan mata terpejam. Hanya beberapa detik, ia kembali membuka mata sambil menarik napas dalam. "Yaudah kalau begitu, Sayang. Kabari aja kalau ada apa-apa. Mas tutup dulu." desis A
"Morning, Beibs!"Aline hampir saja tersedak teh yang memenuhi mulutnya, ia menoleh dan terkejut mendapati Aleta yang sudah muncul sepagi ini dengan wajah sumringah. "Eh, tumben pagi buta udah sampe sini? Diusir sama mama?" tanya Aline asal, membuat Aleta melotot gemas ke arah saudara kembarnya. "Sembarangan!" desis Aleta yang langsung mencomot selembar roti yang ada di meja. "Nggak tidur di rumah aku kemarin, Lin."Dengan begitu santai ia meraih toples selai kacang, mengoleskan selain kacang di atas selembar roti yang dia ambil. "Eh, terus tidur di mana? Emperan toko?" kembali Aline bertanya asal, membuat Aleta rasanya ingin menelan bulat-bulat saudarinya ini kalau saja dia tidak sedang hamil. "Apartemen Kelvin, jangan ngomong mama tapi, ya?" jawabnya jujur apadanya, dia malas Aline makin ngelantur menebaknya tidur di mana. Mata Aline membulat, ia menatap Aleta dengan tatapan tidak percaya. Sementara Aleta, ia memasang wajah menyebalkan sambil mengoles permukaan roti dengan begi
"Vin ... sorry sebelumnya. Kalo boleh tau, lantas papa kandung kamu siapa, Vin?"Kelvin menghela napas panjang, ia menatap langit-langit kamar, sementara Aleta memeluk erat lengan Kelvin tanpa mengendorkan pelukan tangannya. "Kamu pasti nggak percaya kalo aku bilang ini, Ta!" desis Kelvin setengah tertawa lirih. "Memang siapa, Yang?" renggek Aleta mengeluarkan jurus merayunya. Kelvin meraih ponsel di atas nakas, nampak ia serius dengan ponselnya. Mengabaikan Aleta yang masih begitu penasaran dengan penjelasan Kelvin mengenai jati diri yang sebenarnya. Tak selang berapa lama, Kelvin menyerahkan ponsel ke arah Aleta, ponsel dengan artikel yang terpampang di layar ponsel itu. "Kenal orang ini?" Aleta menerima ponsel itu, menatap foto seorang lelaki yang Aleta sendiri sangat familiar dengan wajah itu. Mata itu membelalak, ia menoleh menatap Kelvin dengan tatapan tidak percaya. Lelaki dalam foto ini .... "Yang ... ini serius papa kandung kamu, Yang?"***"Mama kayaknya bener-bener ke
"Papa Feri itu bukan papa kandung aku, Ta."Suara itu begitu lirih, namun telinga Aleta masih cukup sehat dan normal untuk menangkapnya. Mata Aleta membulat, ia melihat ekspresi sedih yang tergambar di wajah itu. Sementara Aleta, ia masih begitu terkejut dan menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. "Mama sama papa bilang kalo cukup kami aja yang tahu tentang kenyataan ini. Bahkan orang tua mereka pun tidak ada yang tahu. Tapi aku rasa, kamu sebagai calon istri aku berhak tahu, bagaimana asal-usul lelaki yang bakalan nikahin kamu, Ta."Kelvin menghela napas panjang, ia memalingkan wajah, menatap langit-langit kamar dengan wajah sedikit putus asa. Sementara Aleta? Ia masih terkejut dan belum tahu hendak bicara apa. "Selain merasa kalah dalam segalanya sama Adam, fakta ini adalah salah satu faktor yang bikin aku mundur pas denger kamu mau dijodohin." suara itu kembali terdengar. "Memang siapa aku kalo dibandingin sama Adam? Aku cu--""Vin!" Aleta akhirnya bersuara, ia menyingkirkan g