Suasana hening beberapa saat ketika Rion menunggu jawaban dari Owen.
"Kecuali—""Katakan, Kak! Kecuali apa? Hal apa yang bisa membuat Opa mengubah keputusannya?" Wajah Rion terlihat kesal karena Owen terkesan bertele-tele untuk menjawab pertanyaan yang dia lontarkan."Kak? Cepat katakan!" pinta Rion kesal.Owen tersenyum, lalu mendekati Rion yang terlihat resah dari tempat dia berdiri."Kamu ingin tau jawabannya, Rion?" Owen bertanya dengan senyum sarkastik dan Rion mengangguk cepat karena penasaran.Owen melangkah maju dan kini berdiri tepat di samping Rion. "Kecuali kalau Opa hanya bermimpi, hahaha ...." Owen tertawa puas ketika menjahili adik tirinya itu.Rion tidak bodoh, tetapi hanya penampilannya saja yang culun dan membuat siapa pun akan menilai kalau pemuda berkacamata itu kurang normal."Ck! Percuma juga aku tanya padamu, Kak!" Bibir Rion mengerucut, ketika menyadari telah dijahili oleh Owen."Sudah, tidur sana. Besok kamu kuliah, kan?" ucap Owen sambil menepuk pundak Rion.Rion mengangguk."Sana, tidur!" Suara Owen meninggi karena Rion tak juga beranjak ke kamarnya."Baiklaaahhh ... karena percuma juga membahas hal ini sama Kak Owen," kata Rion sambil berjalan mendekati anak tangga yang meliuk untuk sampai di kamarnya.Pintu berwarna putih telah terlihat di depan mata Rion. Dia masuk, lalu mengempaskan tubuhnya ke ranjang setelah mengganti pakaiannya dengan piyama polos berwarna navy.Sejenak, si Culun itu melihat langit-langit kamar dan terlintas satu wajah wanita yang sangat dia sayangi. "Mama." Spontan, kata itu meluncur dari bibirnya.Rion teringat masa-masa indah dan hangat ketika Ibu dan ayahnya masih hidup. Dia merasa menjadi anak yang paling beruntung bisa lahir dari seorang wanita cantik dan pintar. Namun, entah mengapa setelah Yola--ibunya--meninggal, Rion menjadi orang yang lemah. Pikirannya sedikit lemot dan agak susah untuk berkonsentrasi."Sial! Kenapa malah jadi susah tidur?"Rion mematikan lampu kamar dan menyisakan lampu tidur yang hanya berbias oranye hangat di kamarnya dan mencoba menutup mata. Berkali-kali pemuda culun itu mencoba terlelap setelah melepas kacamatanya, tetapi lagi-lagi malah terjaga, bahkan angannya melayang ke mana-mana.Berbagai posisi tidur pun telah dia coba hingga akhirnya Rion kesal dan turun dari ranjang big size-nya. Pemuda itu melangkah dan menuju ke kamar Owen yang berada di sudut lain."Kak, Kakak? Kak Owen uda tidur apa belum?" panggil Rion dari luar sambil mengetuk pintu.Tidak ada suara dari dalam sana, mungkin saja Owen sudah terlelap karena waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari.Rion akhirnya memutuskan kembali ke kamar. Dia harus begadang malam ini karena memang tidak bisa tidur. Baru saja memutar tubuhnya, suara bariton terdengar memanggilnya. "Rion!"Pemuda berkacamata itu akhirnya kembali membalikkan tubuh jangkungnya. "Kak Owen? Kirain sudah tidur," kata Rion dengan seulas senyum."Belum, tadi aku lagi ke kamar mandi. Kenapa? Enggak bisa tidur?" tebak Owen yang memang sudah hafal kebiasaan adiknya hampir satu tahun ini.Rion tersenyum dan Owen pun mengerti maksud adiknya."Masuklah." Owen membuka pintu kamar dengan lebar.***Tepat jam tujuh pagi, di ruang makan dengan meja panjang yang tertutup kain putih dan begitu banyak menu sarapan di atasnya, keluarga Tuan Frederic sudah bersiap untuk menikmati hidangan yang tersaji.Suasananya masih kaku, Kemala masih kesal terhadap ayah mertuanya atas keputusan pewaris yang jatuh kepada Rion tadi malam.Semuanya terlihat menikmati sarapan yang telah tersaji. Namun, tidak terlalu lama hal itu seolah-olah memudar tatkala Rion menangkap raut wajah kesal yang diperlihatkan Kemala.'Apakah Ibu masih marah sama aku?' Dalam hati Rion berucap ketika hendak memasukkan sepotong sandwich dalam mulutnya."Hey, Rion, kamu kenapa?" Owen menyenggol lengan Rion yang duduk di sampingnya."Eh, tidak apa-apa, Kak," ujar Rion, lalu mempercepat makannya.Akhirnya Owen mengerti kenapa adik tirinya bersikap seperti itu ketika tatapan Kemala yang begitu sinis ketika melihat ke arah Rion. Pemuda berjambang tipis itu hanya bisa menggeleng melihat kelakukan ibunya yang seperti anak kecil ketika mainan yang diinginkannya malah dimiliki oleh orang lain."Opa, Ma, Kak, aku permisi berangkat ke kampus," pamit Rion sambil meraih tas yang ada di kursi, lalu menyampaikannya di pundak.Rion berjalan cepat menuju halaman rumah. Mercy berwarna hitam metalik sudah bersiap untuk mengantarnya."Silakan, Tuan muda Rion," ucap seorang laki-laki berseragam serba hitam dan kepalanya memakai breton hat.Rion tersenyum, lalu memasuki mobil Mercy mewahnya.Mobil melaju kencang menuju kampus. Tidak ada pembahasan apa pun antara Rion dan sopirnya yang khusuk dengan kendali setir."Hentikan mobil di tempat biasa!" pinta Rion saat mobil masih sekitar lima ratus meter dari kampus."Baik, Tuan Muda."Karena sopir itu penasaran, akhirnya lelaki yang usianya berkisar empat puluh tahun itu memberanikan diri untuk bertanya."Maaf, Tuan. Selama saya bekerja, kenapa Tuan muda selalu minta turun sebelum sampai kampus? Bahkan, masih cukup jauh." Raut sopir itu terlihat heran.Rion tersenyum dan meraih tas ranselnya. "Hentikan laju mobilnya!"Seketika mobil direm mendadak dan itu cukup membuat sopirnya Rion merasa kaget karena Rion malah minta menghentikan mobil lebih jauh dari biasanya."Kamu tidak usah mengetahui apa kebiasaanku, cukup antarkan aku ke mana pun aku minta," kata Rion sambil membuka pintu mobil."Ba-baik, Tuan. Maaf," kata si Sopir dengan keringat yang hampir menetes di dahinya.Pemuda itu menggendong tas ransel di pundaknya dan melangkah tanpa menatap lagi wajah sopirnya. Rion ternyata sanggup membuat sopirnya terlihat gugup, bahkan takut."Woy!!!" Rion kaget ketika ada yang menepuk pundaknya cukup kencang."Astaga, ternyata kamu, Nzie!" Rion hampir saja memukul, tetapi tidak dilakukannya ketika menyadari kalau yang menepuk pundaknya merupakan seorang perempuan cantik."Kenapa? Mau mukul? Pukul, nih, muka gue!" kata perempuan cantik yang kini berdiri sejajar dengan Rion."Enggaklah. Emangnya aku cowok apaan berani mukul cewek?""Hahaha … lagian, gue enggak percaya kalau lu bisa mukul gue, Rion.""Mulai, deh, kamu mandang aku enggak punya keberanian." Si Culun kesal ketika menghadapi perempuan tomboy itu.Kenzie Lovexia atau biasa dipanggil Enzie, perempuan muda yang mempunyai bola mata kehijauan, keturunan Indo-Jerman, berusia 24 tahun, wajah tirus, hidung mancung, rambut lurus panjang diikat sembarang, dan berpenampilan tomboy yang telah menjadi sahabat Rion sejak pertama masuk kuliah."Rion, gue punya tantangan hari ini buat lu," ucap Kenzie."Apa itu?""Kita adu kecepatan lari sampe kampus," tantang Kenzie sembari menaik-turunkan alisnya bersama senyum simpul yang menggoda."Apa hadiahnya?" Rion mengangkat satu alisnya."Apa pun yang lu mau, bakal gue kasih. Tapi ingat, yang terjangkau, ya? Begitu pun kalau gue menang. Gue bebas meminta apa pun dari lu. Gimana?"Mata Rion memindai tubuh Kenzie yang tidak terlalu tinggi. Bibirnya seketika itu juga tersenyum ketika kata hatinya meyakini kalau dirinya akan memenangkan tantangan kali ini."Oke!""Baiklah. Gue hitung sampe tiga, setelah itu kita lari sampe kampus. Are you ready?"Rion mengangguk, lalu keduanya mengambil ancang-ancang untuk berlari."Satu––" Kenzie menghentikan hitungannya sejenak. "Tiga!!!" Gadis itu berlari sekencang mungkin."Woiii!!! Enzie, kamu curang!" teriak Rion kesal ketika Kenzie sudah berlari lebih dulu.Ternyata perempuan tomboy itu berlari cukup kencang. Ditambah lagi motor dan mobil yang berlalu-lalang membuat Rion sedikit kesulitan ketika hendak berlari untuk mengejar Kenzie. Tepat di depan gerbang kampus, Kenzie terlihat sudah berkacak pinggang dengan bibir merah muda yang tersenyum seolah-olah meledek. "Haiii, Rion? Baru sampe?" ucap Kenzie saat melihat Rion dengan napas ngos-ngosan dan tangan yang mengusap peluh di dahi. "Kamu curang, Enzie," kata Rion dengan napas yang masih tersengal-sengal. "Bisa-bisanya kamu menghitung tiga, tanpa adanya dua terlebih dahulu. Dasar licik!" kesal Rion. "Wait! Dari mana liciknya? Bukannya gue bilang, setelah hitungan ketiga, kita langsung berlari?" Sejenak Rion terdiam. Dia menelaah apa yang diucapkan oleh perempuan bermata kehijauan itu. "Sial! Sepertinya kamu ngerjain aku, ya?" Kenzie tertawa terbahak-bahak ketika meyakini kalau Rion memang polos dan begitu mudah dikerjai. "Emang enak?! Gue tunggu hadiah dari lu, Rion. Byeee!" Kenzi
Pria jangkung berparas tampan yang terlihat rapi mengenakan jas warna hitam serta celana kain dengan warna senada itu kini berada tepat di antara Rion dan Kenzie. Mata sipit Rion melebar ketika pandangannya terfokus pada pria dengan gaya kasual dan terlihat begitu elegan. "Tu-tuan Muda?" Pemuda itu berdiri dari bangku dan menjawab dengan terbata saat menyadari ternyata Owen yang menghampirinya. Owen yang sedang berdiri tegak itu mengernyitkan dahi. Dia begitu bingung dengan ucapan adik tirinya tersebut.'Sejak kapan Rion memanggilku dengan sebutan Tuan muda?' Owen berucap di dalam hatinya. "Ada apa Tuan Muda kemari?" sambung Rion sambil mengedipkan matanya dengan cepat. Pria culun itu memang ingin merahasiakan jati dirinya di depan Kenzie, untung saja Owen mengerti. "Ayahmu sakit dan sedang dirawat, dia memintaku untuk menjemput kamu," ujar Owen yang berusaha mengimbangi sandiwara Rion. Namun, tampaknya akting mereka sedikit gagal. Kenzie akhirnya ikut berdiri, lalu dia menyengg
Entah dinamakan sial atau keberuntungan, ponsel Kenzie kembali berdering dan sahabatnya meminta si tomboy itu untuk segera menemuinya di tempat kerja. "Lu selamat untuk saat ini, tapi besok, jangan harap!" ucap Kenzie sambil menunjuk wajah Rion. Pria bertubuh kerempeng itu hanya dapat mengangguk pasrah."Awas, besok gue akan kejar lu ke mana pun dan jawaban lu akan gue anggap utang! Ingat itu baik-baik, Rion!" ancam Kenzie sebelum dia pergi meninggalkan Rion.Dada Rion yang terasa sesak seketika lega ketika melihat Kenzie menaiki sebuah bus. Hal itu cukup membuat pemuda bermata sipit itu dapat tenang, meskipun dia menyadari hal ini hanya sementara karena esok hari Kenzie pasti akan mengejarnya dan mencecar dengan begitu banyak pertanyaan. Tin! Tin! Suara klakson mobil yang tiba-tiba berada di hadapannya membuat Rion terperanjat. "Maaf, Tuan muda. Saya tadi sudah mencoba memanggil, tetapi sepertinya Tuan muda Rion sedang melamun," ujar pria yang memakai breton hat di dalam mobil.
Mata sipit Rion membulat saat melihat si tomboy ada di hadapannya. Debar dalam dada semakin kencang dan dalam hatinya berkata, 'akankah ini akhir dari persahabatanku dengan Enzie, Tuhan?'Keduanya terdiam. Rion yang masih sibuk dengan angannya dan Kenzie yang sibuk dengan segala perkiraan serta sanggahan yang ada di otaknya. Namun, kebisuan mereka berakhir saat pintu ruang kerja Owen terbuka. "Saya tunggu dari tadi, kenapa tidak masuk?" Tanya Owen ketika melirik seorang perempuan berseragam hitam-putih. "Tunggu, kamu siapa? Bukankah yang harusnya membawa berkas itu Angel? Ke mana dia?" "Maaf, Pak. Saya disuruh oleh Mbak Angel untuk memberikan laporan ini pada Bapak. Di sini saya hanya seseorang yang diberikan kesempatan untuk magang di perusahaan Bapak." Kenzie mencoba menjelaskan. "Baiklah, mari masuk." Owen lebih dulu masuk ke ruang kerja. "Lu jangan pergi, Rion. Urusan kita belum selesai." Kenzie pun akhirnya ikut serta masuk ke ruang kerja Owen. Rion mulai gelisah. Dia tidak
Kenzie Menarik tangan Rion dan berlari di trotoar yang disoroti warna oranye dari lampu-lampu pinggir jalan. "Enzie, mau ke mana?" "Enggak usah banyak tanya, lu bawa duit cash, bukan?" "Ada, tapi buat apa?" Langkah Kenzie terhenti, mata kehijauannya kini menatap Rion––pria berkacamata yang memang terlihat culun dengan gaya rambut yang mulai panjang menutupi telinga. "Gue mau bikin lu gak dipandang culun lagi," ucap Kenzie dengan tatap penuh keyakinan. "Kamu mau merubah penampilanku?" "Ssttt .... Gue memang mau merubah penampilan lu, tapi tidak dengan hati lu. Lu tetap Rion, pria baik yang gue kenal. Gue hanya ingin, lu gak minder.""Tapi––" "Gue gak menerima bantahan, terlebih gue punya reward dari lu." Rion tidak dapat membantah, dia hanya bisa pasrah ketika jemari lentik Kenzie menariknya kembali untuk berlari. "Gak usah lari juga, Enzie!" Separuh napas Rion sudah tersengal karena Kenzie mengajaknya berlari cukup kencang. Saat ini mereka ada di salah satu mall yang cukup
Dalam keheningan malam, Rion tidak dapat beristirahat dengan tenang. Terlebih ketika mengingat Fredrick yang bisa saja nyawanya terancam. Owen masih belum pulang, sedangkan Kemala sepertinya sudah terlelap. 'Apa Kak Owen di rumah sakit, ya?' Batin Rion berkata. Lamunannya terempas ketika dering ponsel menyapa malam yang cukup dingin. "Halo?" Rion mengangkat panggilan telepon dari Kakaknya. "Rion, aku tidak dapat menemani Opa malam ini. Apakah Ibu sudah pulang dari rumah sakit?" tanya Owen dari dalam sambungan ponsel. "Mama tampaknya kelelahan, Kak. Sepertinya sudah tidur. Aku kira Kakak sudah ada di rumah sakit." "Tidak. Ada urusan lain di luar kantor." "Ya sudah, selesaikan urusan Kakak, biar aku yang menjaga Opa." "Baiklah, makasih, ya, De." Sambungan ponsel terputus dan Rion bergegas mendobel kemejanya dengan sweater warna hitam. Ya, Rion memang penyuka warna itu. Barang-barang yang dia miliki, hampir semuanya berwarna hitam. "Jalan," pinta Rion pada sopir pribadinya. "M
Ponsel masih ada di tangan Rion. Namun, seketika sorot matanya beralih pada seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil angkot. Wanita itu terlihat berjalan menuju bengkel. "Mbak!" Rion memanggil wanita yang sepertinya dia kenal. Ya, pemuda itu merasa pernah melihat wanita yang baru saja turun dari mobil angkot. "Iya?" jawab wanita tersebut dan seketika langkahnya pun terhenti saat menjawab panggilan dari seorang pemuda. "Maaf, sepertinya saya pernah melihat, Mbak di kontrakan Kenzie. Apa Mbak teman kostnya Kenzie, ya?" tebak Rion cukup percaya diri karena dia cukup sering melihat wanita itu disapa oleh Kenzie. "Iya, Enzie teman satu kontrakanku. Bahkan, dia sudah seperti adikku." "Kebetulan. Saya ada perlu sama Enzie. Kami sudah janjian di bengkel ini, tapi sudah lebih dari dua jam, Enzie belum juga datang. Apakah Mbak tau dia ke mana?" tanya Rion dengan tatap heran. Seketika ekspresi wajah wanita yang ada di hadapan Rion menjadi sedih. "Sebetulnya––" Kata-kata wanita it
Wajah Rion seketika heran melihat Angel yang bereaksi seperti itu. "Mbak kenapa?" "Tolong panggilkan dokter, Rion. Ada sesuatu yang terjadi pada Enzie," terang seorang wanita yang berusia lebih tua dari Rion. Sebetulnya Angel telah mencoba menghubungi dokter melalui pemanggil yang telah terhubung di ruangan. Hanya saja, dokter tidak kunjung datang dan hal tersebut membuat Angel panik. Baru saja Rion berdiri dari tempat duduknya. Seorang dokter dan asistennya terlihat menuju ke ruang ICU. "Dokter tolong, tolong adik saya, Dok. Monitornya tiba-tiba berbunyi cepat. Itu kenapa, Dok?" terang Angel setelah dokter berada di depan pintu ruang ICU. "Biar saya periksa dulu, ya, Mbak. Permisi." Dokter itu pun masuk lebih dulu. "Maaf, Mbak. Biar Dokter periksa keadaan pasien, ya? Dan maaf, Mbak tidak boleh masuk dulu," jelas suster saat menahan tubuh Angel yang berusaha masuk ke ruang ICU. Walau pun berat, akhirnya Angel menuruti apa yang dipinta oleh suster. "Mbak tenang, ya?" Rion mencoba