Ternyata perempuan tomboy itu berlari cukup kencang. Ditambah lagi motor dan mobil yang berlalu-lalang membuat Rion sedikit kesulitan ketika hendak berlari untuk mengejar Kenzie.
Tepat di depan gerbang kampus, Kenzie terlihat sudah berkacak pinggang dengan bibir merah muda yang tersenyum seolah-olah meledek."Haiii, Rion? Baru sampe?" ucap Kenzie saat melihat Rion dengan napas ngos-ngosan dan tangan yang mengusap peluh di dahi."Kamu curang, Enzie," kata Rion dengan napas yang masih tersengal-sengal. "Bisa-bisanya kamu menghitung tiga, tanpa adanya dua terlebih dahulu. Dasar licik!" kesal Rion."Wait! Dari mana liciknya? Bukannya gue bilang, setelah hitungan ketiga, kita langsung berlari?"Sejenak Rion terdiam. Dia menelaah apa yang diucapkan oleh perempuan bermata kehijauan itu."Sial! Sepertinya kamu ngerjain aku, ya?"Kenzie tertawa terbahak-bahak ketika meyakini kalau Rion memang polos dan begitu mudah dikerjai."Emang enak?! Gue tunggu hadiah dari lu, Rion. Byeee!" Kenzie berlalu pergi meninggalkan Rion yang masih berdiri di depan pintu gerbang kampus.Tidak berselang lama, seorang dosen perempuan memasuki kelas Rion. Suasana menjadi hening saat wanita yang terkenal galak itu hendak memulai mata kuliah pagi ini.Tiba-tiba saja sang dosen mengadakan kuis tanpa pemberitahuan. Sontak semua mahasiswa dan mahasiswi di kelas itu memprotes karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Namun, hal itu tidak berpengaruh apa-apa karena kuis tetap berjalan dan keadaan pun semakin hening."Silakan dikerjakan, saya ke toilet sebentar," kata sang Dosen yang bangkit dari singgasananya, lalu merapikan pakaian yang dikenakannya.Tentu saja hal itu dimanfaatkan oleh semua anak kampus yang berada di kelas tersebut. Semuanya riuh untuk mencontek pada orang yang dianggap pintar di kelas tersebut."Enzie!" Rion berseru memanggil sahabatnya, tetapi dengan suara yang dipelankan. Sementara Kenzie hanya menjawab sahutan Rion dengan alis yang diangkat sebagai kata ganti 'apa?'."Aku lihat." Tanpa menunggu persetujuan Kenzie, Rion menyambar lembar jawaban milik sahabatnya itu dari mejanya."Ya, ya, ya, ambil saja. Hitungannya nanti gue satuin dengan reward juara lari.""Terserah kamu!" Tanpa memandang, Rion berucap dengan mata terfokus pada selembar jawaban.Tiga puluh menit berlalu. Semua jawaban pun telah terkumpul di meja dosen yang katanya hanya ke toilet sebentar itu. Namun, nyatanya dia malah tidak kembali ke kelas entah karena alasan apa."Kita makan?" ajak Rion ketika dia bangkit dari tempat duduknya."Gak-lah. Gue lagi gak ada duit," ucap perempuan tomboy, tetapi berparas cantik itu."Aku yang nraktir," ujar Rion yang membuat Kenzie mendongakkan pandangan ke arah Rion yang telah berdiri di sebelah mejanya sejak tadi."Serius?" Sepasang mata kehijauan itu menatap Rion."Iya." Rion menjawab singkat."Asyiiikkk!" Kenzie berdiri dari tempat duduknya. "Eh, tunggu dulu! Ini bukan imbalan untuk contekan tadi, bukan?" Kenzie memastikan."Emmm ... termasuklah.""Oh ... gak jadi kalo gitu. Gue ingin reward lain dari lu soalnya," jawab Kenzie yang kembali duduk."Hahaha ... enggak. Aku hanya bercanda. Ayoklah, kita makan dan ini merupakan traktiran aku buat kamu. Hanya traktiran, bukan reward, seperti apa yang kamu inginkan."Tentu saja Kenzie bersemangat untuk pergi ke kantin karena Rion yang mentraktir dirinya. Siapa, sih, orang yang tidak ingin ditraktir?Rion berjalan santai sambil sesekali membetulkan kacamatanya, sedangkan Kenzie tampak ceria dengan ocehan-ocehan cerewetnya.Akhirnya, mereka berada di kantin dan di sana ada satu meja yang kosong dan mereka memutuskan untuk duduk di sana. Namun, saat hendak melangkah, Kenzie menarik tangan Rion."Kenapa?" tanya Rion dengan wajah heran ketika menatap Kenzie."Gue gak mau duduk di sana.""Laaahhh ... kenapa? Hanya meja itu yang kosong. Kita mau duduk di mana lagi kalau bukan di sana, Enzie?""Kita pesan saja, nanti makan di taman atau di bangku luar kampus," usul Kenzie."Ada-ada saja." Rion menggelengkan kepala akan permintaan sahabatnya itu.Rion rupanya tidak menyadari kalau seorang perempuan cantik dari fakultas sebelah sudah duduk di dekat meja kosong yang tadi hendak dia duduki. Di sana ada Wanda, gadis cantik dan stylish, tetapi mempunyai adab yang tidak baik."Mbak, saya pesan mie goreng spesial dan es teh manis dua, dibungkus, ya?" ucap Rion setelah tadi menanyakan apa yang mau dipesan oleh Kenzie."Baik, Mas. Ditunggu, ya?" jawab si pelayan kantin yang ramah.Rion berdiri di depan meja kasir untuk menunggu pesanannya bersama Kenzie. Namun, tiba-tiba saja suatu hal yang tidak mengenakkan terjadi."Culun, minggir, lu!" ucap Wanda sambil mendorong pundak Rion dengan kasar.Rion yang tidak tahu apa-apa akhirnya sedikit oleng, tubuhnya hampir terhempas karena dia tidak ada persiapan untuk menangkis atau bahkan sekadar pertahanan diri."Dasar culun, budek lagi. Gue bilang minggir, beg*k!""Heh! Lu bisa baik-baik ngomongnya, kan? Hanya karena terhalangi tubuh Rion saja, lu udah begini sewot. Mau lu apa, hah?!" ucap Kenzie yg tersulut emosi.Wanda tersenyum sarkastik mendengar ucapan Kenzie yang dianggap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dirinya."Keinginan gue dari si Culun?" tanya Wanda dengan membulatkan mata. "Cih! Gue gak mau apa-apa dari orang cupu seperti dia!"Rion bingung dengan kedua perempuan yang malah saling menyerang omongan tersebut. Dia sesungguhnya tidak ingin ada keributan, apalagi hanya karena hal sepele seperti saat ini. Untung saja, pesanan Rion telah siap. Pemuda culun itu akhirnya meraih tangan Kenzie dan berlalu pergi begitu saja setelah membayar pesanan mereka."Lepasin!" Kenzie mengempaskan tangan Rion yang sedang menggenggam erat jemarinya.Dengan sekali hentakkan, tangan Rion pun berhasil lepas."Maaf," ucap Rion."Rion, kenapa harus seperti ini? Lu dipermalukan, loh, sama si Wanda. Apa lu gak sakit hati? Gue aja yang cuma jadi pendengar ngerasa gedek dengan ucapannya yang seperti sampah!"Rion tersenyum saat mendengarkan luapan kekesalan Kenzie."Rion! Kenapa malah ketawa?""Mau gimana lagi?""Lawan, dong! Harga diri lu di mana?""Yaelah, kamu udah lupa kalau aku laki-laki, sedangkan dia perempuan? Bagaimana aku melawannya? Udah dikatain culun, mau dibilang banchii, pula?"Sejenak Kenzie terdiam ketika menyimak semua perkataan Rion yang memang benar. Akhirnya, pemuda berkacamata itu mengajak Kenzie untuk menikmati mie goreng yang telah dia pesan.Bangku taman di pinggir jalan akhirnya menjadi pilihan mereka berdua. Menikmati laju kendaraan di bawah pohon rindang siang hari ternyata cukup mengasyikkan ketika melewatinya dengan sahabat sambil menikmati mie goreng juga es teh manis.Diam-diam, Kenzie menatap wajah Rion yang sedang menikmati makan siangnya. Menu yang sama persis dengannya.'Rion, emang gue gak tau lu itu siapa? Yang gue tau, lu pria culun dan apa adanya. Lu terlihat biasa-biasa saja dan hal ini yang bikin gue nyaman ketika ada di samping lu. Lu laki-laki yang sederhana, Rion,' ujar Kenzie di dalam hatinya.Uhuk!Rion terbatuk dan pada saat itu juga, Kenzie segera mengakhiri lamunannya karena tidak mau ketahuan oleh laki-laki pemilik tubuh kerempeng itu."Minumlah." Kenzie menyodorkan cup yang berisi es teh."Makasih." Rion pun segera menyeruput es tersebut hingga setengah gelas dan Kenzie masih memandangi wajah polos Rion.Tiba-tiba, sebuah mobil Mercy berwarna hitam berhenti tepat di depan Rion dan Kenzie. Perempuan tomboy itu akhirnya terfokus pada pria yang baru saja turun dari mobil tersebut. Terlebih, dia menghampiri bangku yang sedang mereka duduki."Rion?" sapa seorang lelaki yang baru turun dari mobil tersebut.Hal itu menjadi sebuah tanda tanya besar bagi Kenzie. Bagaimana bisa, lelaki yang tampak seperti orang kaya itu mengenali Rion.Pria jangkung berparas tampan yang terlihat rapi mengenakan jas warna hitam serta celana kain dengan warna senada itu kini berada tepat di antara Rion dan Kenzie. Mata sipit Rion melebar ketika pandangannya terfokus pada pria dengan gaya kasual dan terlihat begitu elegan. "Tu-tuan Muda?" Pemuda itu berdiri dari bangku dan menjawab dengan terbata saat menyadari ternyata Owen yang menghampirinya. Owen yang sedang berdiri tegak itu mengernyitkan dahi. Dia begitu bingung dengan ucapan adik tirinya tersebut.'Sejak kapan Rion memanggilku dengan sebutan Tuan muda?' Owen berucap di dalam hatinya. "Ada apa Tuan Muda kemari?" sambung Rion sambil mengedipkan matanya dengan cepat. Pria culun itu memang ingin merahasiakan jati dirinya di depan Kenzie, untung saja Owen mengerti. "Ayahmu sakit dan sedang dirawat, dia memintaku untuk menjemput kamu," ujar Owen yang berusaha mengimbangi sandiwara Rion. Namun, tampaknya akting mereka sedikit gagal. Kenzie akhirnya ikut berdiri, lalu dia menyengg
Entah dinamakan sial atau keberuntungan, ponsel Kenzie kembali berdering dan sahabatnya meminta si tomboy itu untuk segera menemuinya di tempat kerja. "Lu selamat untuk saat ini, tapi besok, jangan harap!" ucap Kenzie sambil menunjuk wajah Rion. Pria bertubuh kerempeng itu hanya dapat mengangguk pasrah."Awas, besok gue akan kejar lu ke mana pun dan jawaban lu akan gue anggap utang! Ingat itu baik-baik, Rion!" ancam Kenzie sebelum dia pergi meninggalkan Rion.Dada Rion yang terasa sesak seketika lega ketika melihat Kenzie menaiki sebuah bus. Hal itu cukup membuat pemuda bermata sipit itu dapat tenang, meskipun dia menyadari hal ini hanya sementara karena esok hari Kenzie pasti akan mengejarnya dan mencecar dengan begitu banyak pertanyaan. Tin! Tin! Suara klakson mobil yang tiba-tiba berada di hadapannya membuat Rion terperanjat. "Maaf, Tuan muda. Saya tadi sudah mencoba memanggil, tetapi sepertinya Tuan muda Rion sedang melamun," ujar pria yang memakai breton hat di dalam mobil.
Mata sipit Rion membulat saat melihat si tomboy ada di hadapannya. Debar dalam dada semakin kencang dan dalam hatinya berkata, 'akankah ini akhir dari persahabatanku dengan Enzie, Tuhan?'Keduanya terdiam. Rion yang masih sibuk dengan angannya dan Kenzie yang sibuk dengan segala perkiraan serta sanggahan yang ada di otaknya. Namun, kebisuan mereka berakhir saat pintu ruang kerja Owen terbuka. "Saya tunggu dari tadi, kenapa tidak masuk?" Tanya Owen ketika melirik seorang perempuan berseragam hitam-putih. "Tunggu, kamu siapa? Bukankah yang harusnya membawa berkas itu Angel? Ke mana dia?" "Maaf, Pak. Saya disuruh oleh Mbak Angel untuk memberikan laporan ini pada Bapak. Di sini saya hanya seseorang yang diberikan kesempatan untuk magang di perusahaan Bapak." Kenzie mencoba menjelaskan. "Baiklah, mari masuk." Owen lebih dulu masuk ke ruang kerja. "Lu jangan pergi, Rion. Urusan kita belum selesai." Kenzie pun akhirnya ikut serta masuk ke ruang kerja Owen. Rion mulai gelisah. Dia tidak
Kenzie Menarik tangan Rion dan berlari di trotoar yang disoroti warna oranye dari lampu-lampu pinggir jalan. "Enzie, mau ke mana?" "Enggak usah banyak tanya, lu bawa duit cash, bukan?" "Ada, tapi buat apa?" Langkah Kenzie terhenti, mata kehijauannya kini menatap Rion––pria berkacamata yang memang terlihat culun dengan gaya rambut yang mulai panjang menutupi telinga. "Gue mau bikin lu gak dipandang culun lagi," ucap Kenzie dengan tatap penuh keyakinan. "Kamu mau merubah penampilanku?" "Ssttt .... Gue memang mau merubah penampilan lu, tapi tidak dengan hati lu. Lu tetap Rion, pria baik yang gue kenal. Gue hanya ingin, lu gak minder.""Tapi––" "Gue gak menerima bantahan, terlebih gue punya reward dari lu." Rion tidak dapat membantah, dia hanya bisa pasrah ketika jemari lentik Kenzie menariknya kembali untuk berlari. "Gak usah lari juga, Enzie!" Separuh napas Rion sudah tersengal karena Kenzie mengajaknya berlari cukup kencang. Saat ini mereka ada di salah satu mall yang cukup
Dalam keheningan malam, Rion tidak dapat beristirahat dengan tenang. Terlebih ketika mengingat Fredrick yang bisa saja nyawanya terancam. Owen masih belum pulang, sedangkan Kemala sepertinya sudah terlelap. 'Apa Kak Owen di rumah sakit, ya?' Batin Rion berkata. Lamunannya terempas ketika dering ponsel menyapa malam yang cukup dingin. "Halo?" Rion mengangkat panggilan telepon dari Kakaknya. "Rion, aku tidak dapat menemani Opa malam ini. Apakah Ibu sudah pulang dari rumah sakit?" tanya Owen dari dalam sambungan ponsel. "Mama tampaknya kelelahan, Kak. Sepertinya sudah tidur. Aku kira Kakak sudah ada di rumah sakit." "Tidak. Ada urusan lain di luar kantor." "Ya sudah, selesaikan urusan Kakak, biar aku yang menjaga Opa." "Baiklah, makasih, ya, De." Sambungan ponsel terputus dan Rion bergegas mendobel kemejanya dengan sweater warna hitam. Ya, Rion memang penyuka warna itu. Barang-barang yang dia miliki, hampir semuanya berwarna hitam. "Jalan," pinta Rion pada sopir pribadinya. "M
Ponsel masih ada di tangan Rion. Namun, seketika sorot matanya beralih pada seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil angkot. Wanita itu terlihat berjalan menuju bengkel. "Mbak!" Rion memanggil wanita yang sepertinya dia kenal. Ya, pemuda itu merasa pernah melihat wanita yang baru saja turun dari mobil angkot. "Iya?" jawab wanita tersebut dan seketika langkahnya pun terhenti saat menjawab panggilan dari seorang pemuda. "Maaf, sepertinya saya pernah melihat, Mbak di kontrakan Kenzie. Apa Mbak teman kostnya Kenzie, ya?" tebak Rion cukup percaya diri karena dia cukup sering melihat wanita itu disapa oleh Kenzie. "Iya, Enzie teman satu kontrakanku. Bahkan, dia sudah seperti adikku." "Kebetulan. Saya ada perlu sama Enzie. Kami sudah janjian di bengkel ini, tapi sudah lebih dari dua jam, Enzie belum juga datang. Apakah Mbak tau dia ke mana?" tanya Rion dengan tatap heran. Seketika ekspresi wajah wanita yang ada di hadapan Rion menjadi sedih. "Sebetulnya––" Kata-kata wanita it
Wajah Rion seketika heran melihat Angel yang bereaksi seperti itu. "Mbak kenapa?" "Tolong panggilkan dokter, Rion. Ada sesuatu yang terjadi pada Enzie," terang seorang wanita yang berusia lebih tua dari Rion. Sebetulnya Angel telah mencoba menghubungi dokter melalui pemanggil yang telah terhubung di ruangan. Hanya saja, dokter tidak kunjung datang dan hal tersebut membuat Angel panik. Baru saja Rion berdiri dari tempat duduknya. Seorang dokter dan asistennya terlihat menuju ke ruang ICU. "Dokter tolong, tolong adik saya, Dok. Monitornya tiba-tiba berbunyi cepat. Itu kenapa, Dok?" terang Angel setelah dokter berada di depan pintu ruang ICU. "Biar saya periksa dulu, ya, Mbak. Permisi." Dokter itu pun masuk lebih dulu. "Maaf, Mbak. Biar Dokter periksa keadaan pasien, ya? Dan maaf, Mbak tidak boleh masuk dulu," jelas suster saat menahan tubuh Angel yang berusaha masuk ke ruang ICU. Walau pun berat, akhirnya Angel menuruti apa yang dipinta oleh suster. "Mbak tenang, ya?" Rion mencoba
"Rion." Terdengar sayup-sayup suara wanita memanggil namanya. "Hey, Rion. Bangun, Rion!" Saat ini pipi Rion terasa ada yang menepuk. Pemuda berkacamata itu akhirnya terperanjat. Matanya terbuka, lalu tubuhnya langsung berdiri tegak. "No! Itu bukan Enzie, dia masih hidup, Mbak. Aku yakin!" Reaksi Rion menjadikan Angel heran. 'Apa yang terjadi dengan dia?' Dalam hati Angel bertanya."Kamu kenapa Rion? Pasti kamu bermimpi ada hal buruk yang terjadi menimpa Enzie, ya?" Senyum simpul kini terukir indah di bibir merah Angel. Rion sempat terdiam ketika kakinya masih tegap berdiri. Tangannya mulai mengusap tengkuk saat dia menyadari dirinya berada di luar kamar ICU. Lalu apa yang baru saja terjadi pada Rion tadi?"Enzie ingin bertemu denganmu. Temuilah, dia sudah siuman dan menunggumu di dalam."Rion terdiam. Terlihat raut wajah yang bingung ketika mendengar kabar dari Angel. Bukan tidak senang, dia hanya masih bingung dengan apa yang terjadi sesungguhnya. "Bukankah kata Mbak, Enzie tela
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru