Entah dinamakan sial atau keberuntungan, ponsel Kenzie kembali berdering dan sahabatnya meminta si tomboy itu untuk segera menemuinya di tempat kerja.
"Lu selamat untuk saat ini, tapi besok, jangan harap!" ucap Kenzie sambil menunjuk wajah Rion.Pria bertubuh kerempeng itu hanya dapat mengangguk pasrah."Awas, besok gue akan kejar lu ke mana pun dan jawaban lu akan gue anggap utang! Ingat itu baik-baik, Rion!" ancam Kenzie sebelum dia pergi meninggalkan Rion.Dada Rion yang terasa sesak seketika lega ketika melihat Kenzie menaiki sebuah bus. Hal itu cukup membuat pemuda bermata sipit itu dapat tenang, meskipun dia menyadari hal ini hanya sementara karena esok hari Kenzie pasti akan mengejarnya dan mencecar dengan begitu banyak pertanyaan.Tin! Tin!Suara klakson mobil yang tiba-tiba berada di hadapannya membuat Rion terperanjat."Maaf, Tuan muda. Saya tadi sudah mencoba memanggil, tetapi sepertinya Tuan muda Rion sedang melamun," ujar pria yang memakai breton hat di dalam mobil.Rion tidak menjawab, dia membuka pintu dan duduk di kursi belakang, "Jalan!" titahnya.Mobil Mercy warna hitam metalik itu akhirnya melesat ke rumah sakit sesuai apa yang telah diperintahkan oleh Rion.**Mobil berhenti di depan lobi rumah sakit. Rion turun, sedangkan sopir pribadinya memarkirkan mobil.Rion melangkah menemui resepsionis untuk menanyakan ruangan Tuan Frederic dirawat. Tidak menunggu waktu lama, pemuda berkacamata itu melangkah ke ruangan yang telah diinfokan padanya.Tepat di lantai lima, lift yang dinaiki Rion berhenti dan dia pun melanjutkan langkah ke kamar di mana kakeknya dirawat.Pintu berwarna putih didorong oleh Rion. Di sana hanya ada Tuan Frederic yang terbaring dengan mata terpejam, oksigen yang terpasang pada bagian hidung, dan juga selang infus yang tersambung ke tangannya.Rion melangkah perlahan-lahan dan berharap derap langkahnya tidak mengganggu istirahat sang Kakek. Namun, baru saja empat langkah, lelaki renta dengan rambut yang hampir semuanya memutih itu pun akhirnya membuka mata. "Ri-on?" Suara seraknya terdengar begitu pelan."Gimana keadaan Opa?" tanya Rion setelah dia meraih kursi, lalu mendudukinya di samping ranjang Tuan Frederic."Se-sak," jawab Tuan Frederic terbata."Opa istirahat saja. Aku akan menemani Opa di sini.""Ti-dak. Aku i-ngin ber-cerita padamu, Ri-on." Suara Tuan Frederic terbata-bata. Dia seolah-olah ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi begitu sulit untuk berbicara. Terlebih saat ini napasnya terasa sesak."Opa ingin bicara apa? Kalau tidak kuat, istirahat saja dulu."Tuan Frederic menggeleng. Dia begitu ingin mengungkapkan sesuatu, tetapi bibirnya begitu sulit untuk berkata.Pria sepuh itu terus berusaha untuk berbicara pada cucunya yang mewarisi hampir seluruh aset kekayaan keluarga Frederic, tetapi Rion kesulitan untuk mencerna maksud dari kakeknya tersebut."Selamat siang." Seseorang dari ambang pintu terdengar menyapa.Kedua pria berbeda usia itu pun akhirnya menoleh ke arah sumber suara. "Siang, Dok," ucap Rion, sedangkan Tuan Frederic hanya tersenyum saja."Bagaimana keadaannya saat ini, Pak? Apakah dadanya masih terasa sakit?" Dokter itu bertanya begitu ramah kepada pasiennya.Rion mendengarkan pertanyaan dokter untuk kakeknya tersebut. Pengecekan pun dilakukan oleh dokter dan asisten wanita yang hadir bersamanya. Setelah itu, Rion pun bertanya pada dokter tentang apa penyebab kakeknya sakit dan sesak seperti saat ini."Apa?!" Mata Rion membulat saat dokter itu membacakan hasil tes laboratorium yang dipegangnya.Rion sama sekali tidak menyangka kenapa bisa seperti ini. Bagaimana mungkin kakeknya bisa keracunan di rumahnya sendiri? Apakah ada orang yang begitu membencinya, sehingga tega memberikan racun pada makanan sang Kakek?"Aku akan memperkarakan hal ini pada pihak kepolisian, Opa." Rion berucap sambil menggenggam tangan Tuan Frederic setelah dokter dan asistennya pergi meninggalkan ruangan tersebut."Ti-dak semu-dah itu, Ri-on.""Iya, aku tau, Opa, tapi paling tidak mereka pasti akan mengusut dan kita akan mengetahui dalang di balik rentetan peristiwa yang membuat Opa sampai seperti saat ini.""Dan, se-te-lah ini. Pe-lakunya akan se-makin mem-buatku men-derita?""Maksud Opa?" Rion menyipitkan mata ketika Tuan Frederic bercerita.Begitu susah payah, Tuan Frederic mengutarakan maksudnya. Lelaki sepuh itu meminta kertas dan ballpoint pada Rion, kemudian dia menuliskan inti dari prediksinya.Hampir setengah halaman pada selembar kertas tertulis inti-inti kemungkinan yang menimpa Tuan Frederic. Awalnya Rion begitu berat untuk mempercayai kalau memang ada orang yang berusaha mencelakakan Tuan Frederic."Apa itu Mama Kemala?" ucap Rion dengan bola mata begitu tajam ketika bertanya pada kakeknya.Tuan Frederic menggeleng. "A-ku ti-dak tau, ka-rena tidak mem-punyai buk-ti apa-apa."Rion terdiam, memikirkan satu per satu orang yang mungkin saja bisa jadi tersangka atau terlibat dalam perencanaan pembunuhan kepada kakeknya. Terlebih, di rumah Tuan Frederic begitu banyak orang dan semuanya bisa saja menjadi tersangka.Ini bukan perkara mudah bagi Rion. Pria tersebut ingin membawa masalah ini ke jalur hukum, tetapi Tuan Frederic menolaknya dengan alasan keselamatannya yang akan terancam. Apa mungkin seorang yang berpenampilan culun seperti Rion dapat mengungkap tabir hitam ini?"Ri-on?" Tuan Frederic memanggil dan Rion pun terlihat sedikit kaget."Iya, Opa?""A-ku su-dah me-mutus-kan su-paya ka-mu terlibat un-tuk me-ngurus pe-rusahaan.""Tapi tidak mungkin untuk saat ini, Opa. Aku juga tidak enak pada Kak Owen yang tiba-tiba harus mengubah kedudukannya?""A-ku ti-dak me-nyuru-mu se-perti itu. A-ku ha-nya ing-in, ka-mu i-kut me-mantau peru-sahaan."Sejenak Rion terdiam dan menelaah apa yang dimaksud oleh kakeknya. Setelah beberapa saat, pria culun itu akhirnya mempunyai kesimpulan dan caranya sendiri untuk mengungkap perkara yang diyakini ada kaitannya antara keracunan pada Tuan Frederic dan perusahaan yang saat ini sedikit goyah."Te-mui Ow-en. Beri tau di-a, ka-lau ka-mu akan mem-bantu di Fre-deric corp.""Baik, Opa," ucap Rion yang kemudian terlihat kaget ketika ada wanita yang masuk ke kamar inap Tuan Frederic. "Mama?" Mata Rion membulat saat melihat Kemala dan seorang perawat bersamanya."Kenapa?" tanya Kemala dengan pongah.Ada perasaan cemas pada diri Rion ketika Kemala datang untuk menemani Tuan Frederic. Terlebih dia membawa seorang perawat dari luar untuk mengurus Tuan Frederic yang saat ini sedang sakit. Tidak menutup kemungkinan kalau perawat itu juga pesuruh Kemala, bukan? Rion akhirnya memutuskan pamit pada kakeknya untuk pergi ke perusahaan walau dengan berat hati.***Tepat jam tiga sore, ketika Owen masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya, Rion mengetuk pintu ruang kerja Kakak tirinya itu."Masuk!" jawab Owen dari dalam."Sore, Kak?" sapa Rion setelah pintu terbuka."Rion?" sepasang mata seorang pria yang mempunyai jambang tipis itu pun menyipit. "Tumben. Ada apa ke sini?" sambungnya dan akhirnya menyuruh Rion untuk duduk."Aku ada tugas magang dan ingin ditempatkan di sini, tapi aku tidak ingin mendapat jabatan tinggi seperti Kak Owen. Aku ingin menjadi karyawan biasa seperti halnya anak magang yang lain."Owen tersenyum."Kenapa? Apa kamu belum siap untuk terkenal?" tanya Owen dengan bibir tersungging sarkastik."Tidak, Kak. Bukan seperti itu. Aku hanya tidak ingin pihak kampus merasa heran. Mana ada anak magang yang menduduki jabatan tinggi? Bisa-bisa aku dicurigai merupakan salah seorang dari anggota keluarga Frederic. Apa Kakak lupa, kalau identitasku di kampus saja dirahasiakan?"Owen berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan mendekati sang Adik yang ada di depan meja kerjanya."Mungkin ini belum saatnya. Aku yakin, saat itu akan datang dan kamu akan menjadi pewaris tunggal di sini," ucap Owen sambil menepuk-nepuk pundak adik tirinya itu.Setelah mengobrol cukup panjang, akhirnya Rion memutuskan untuk pulang, sedangkan Owen masih terlihat sibuk dan mengharuskannya untuk lembur."Pulang dan beristirahatlah. Mungkin aku akan pulang larut malam. Jaga kondisi badan, aku tidak ingin kau sakit, Rion." Sungguh terlihat kalau Owen begitu perhatian dan menyayangi Rion walau dia hanya adik tirinya.Rion pun mengangguk dan berpamitan pada Owen. Pria culun itu akhirnya bangkit dari kursi dan keluar dari ruang kerja sang pemimpin perusahaan."Aduh!" ucap seorang wanita yang mengenakan pakaian hitam putih."Maaf, maaf, aku tidak sengaja," ucap Rion tanpa menatap wajah orang yang dia tubruk.Pemuda berkacamata itu membantu memunguti lembar-lembar kertas berserakan yang keluar dari map. "Sekali lagi, aku minta maaf, ya?" Rion memberikan lembar kertas yang ada di tangannya."Rion? Lu ngapain ada di sini?" ucap perempuan tersebut yang ternyata Kenzie.Mata sipit Rion membulat saat melihat si tomboy ada di hadapannya. Debar dalam dada semakin kencang dan dalam hatinya berkata, 'akankah ini akhir dari persahabatanku dengan Enzie, Tuhan?'Keduanya terdiam. Rion yang masih sibuk dengan angannya dan Kenzie yang sibuk dengan segala perkiraan serta sanggahan yang ada di otaknya. Namun, kebisuan mereka berakhir saat pintu ruang kerja Owen terbuka. "Saya tunggu dari tadi, kenapa tidak masuk?" Tanya Owen ketika melirik seorang perempuan berseragam hitam-putih. "Tunggu, kamu siapa? Bukankah yang harusnya membawa berkas itu Angel? Ke mana dia?" "Maaf, Pak. Saya disuruh oleh Mbak Angel untuk memberikan laporan ini pada Bapak. Di sini saya hanya seseorang yang diberikan kesempatan untuk magang di perusahaan Bapak." Kenzie mencoba menjelaskan. "Baiklah, mari masuk." Owen lebih dulu masuk ke ruang kerja. "Lu jangan pergi, Rion. Urusan kita belum selesai." Kenzie pun akhirnya ikut serta masuk ke ruang kerja Owen. Rion mulai gelisah. Dia tidak
Kenzie Menarik tangan Rion dan berlari di trotoar yang disoroti warna oranye dari lampu-lampu pinggir jalan. "Enzie, mau ke mana?" "Enggak usah banyak tanya, lu bawa duit cash, bukan?" "Ada, tapi buat apa?" Langkah Kenzie terhenti, mata kehijauannya kini menatap Rion––pria berkacamata yang memang terlihat culun dengan gaya rambut yang mulai panjang menutupi telinga. "Gue mau bikin lu gak dipandang culun lagi," ucap Kenzie dengan tatap penuh keyakinan. "Kamu mau merubah penampilanku?" "Ssttt .... Gue memang mau merubah penampilan lu, tapi tidak dengan hati lu. Lu tetap Rion, pria baik yang gue kenal. Gue hanya ingin, lu gak minder.""Tapi––" "Gue gak menerima bantahan, terlebih gue punya reward dari lu." Rion tidak dapat membantah, dia hanya bisa pasrah ketika jemari lentik Kenzie menariknya kembali untuk berlari. "Gak usah lari juga, Enzie!" Separuh napas Rion sudah tersengal karena Kenzie mengajaknya berlari cukup kencang. Saat ini mereka ada di salah satu mall yang cukup
Dalam keheningan malam, Rion tidak dapat beristirahat dengan tenang. Terlebih ketika mengingat Fredrick yang bisa saja nyawanya terancam. Owen masih belum pulang, sedangkan Kemala sepertinya sudah terlelap. 'Apa Kak Owen di rumah sakit, ya?' Batin Rion berkata. Lamunannya terempas ketika dering ponsel menyapa malam yang cukup dingin. "Halo?" Rion mengangkat panggilan telepon dari Kakaknya. "Rion, aku tidak dapat menemani Opa malam ini. Apakah Ibu sudah pulang dari rumah sakit?" tanya Owen dari dalam sambungan ponsel. "Mama tampaknya kelelahan, Kak. Sepertinya sudah tidur. Aku kira Kakak sudah ada di rumah sakit." "Tidak. Ada urusan lain di luar kantor." "Ya sudah, selesaikan urusan Kakak, biar aku yang menjaga Opa." "Baiklah, makasih, ya, De." Sambungan ponsel terputus dan Rion bergegas mendobel kemejanya dengan sweater warna hitam. Ya, Rion memang penyuka warna itu. Barang-barang yang dia miliki, hampir semuanya berwarna hitam. "Jalan," pinta Rion pada sopir pribadinya. "M
Ponsel masih ada di tangan Rion. Namun, seketika sorot matanya beralih pada seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil angkot. Wanita itu terlihat berjalan menuju bengkel. "Mbak!" Rion memanggil wanita yang sepertinya dia kenal. Ya, pemuda itu merasa pernah melihat wanita yang baru saja turun dari mobil angkot. "Iya?" jawab wanita tersebut dan seketika langkahnya pun terhenti saat menjawab panggilan dari seorang pemuda. "Maaf, sepertinya saya pernah melihat, Mbak di kontrakan Kenzie. Apa Mbak teman kostnya Kenzie, ya?" tebak Rion cukup percaya diri karena dia cukup sering melihat wanita itu disapa oleh Kenzie. "Iya, Enzie teman satu kontrakanku. Bahkan, dia sudah seperti adikku." "Kebetulan. Saya ada perlu sama Enzie. Kami sudah janjian di bengkel ini, tapi sudah lebih dari dua jam, Enzie belum juga datang. Apakah Mbak tau dia ke mana?" tanya Rion dengan tatap heran. Seketika ekspresi wajah wanita yang ada di hadapan Rion menjadi sedih. "Sebetulnya––" Kata-kata wanita it
Wajah Rion seketika heran melihat Angel yang bereaksi seperti itu. "Mbak kenapa?" "Tolong panggilkan dokter, Rion. Ada sesuatu yang terjadi pada Enzie," terang seorang wanita yang berusia lebih tua dari Rion. Sebetulnya Angel telah mencoba menghubungi dokter melalui pemanggil yang telah terhubung di ruangan. Hanya saja, dokter tidak kunjung datang dan hal tersebut membuat Angel panik. Baru saja Rion berdiri dari tempat duduknya. Seorang dokter dan asistennya terlihat menuju ke ruang ICU. "Dokter tolong, tolong adik saya, Dok. Monitornya tiba-tiba berbunyi cepat. Itu kenapa, Dok?" terang Angel setelah dokter berada di depan pintu ruang ICU. "Biar saya periksa dulu, ya, Mbak. Permisi." Dokter itu pun masuk lebih dulu. "Maaf, Mbak. Biar Dokter periksa keadaan pasien, ya? Dan maaf, Mbak tidak boleh masuk dulu," jelas suster saat menahan tubuh Angel yang berusaha masuk ke ruang ICU. Walau pun berat, akhirnya Angel menuruti apa yang dipinta oleh suster. "Mbak tenang, ya?" Rion mencoba
"Rion." Terdengar sayup-sayup suara wanita memanggil namanya. "Hey, Rion. Bangun, Rion!" Saat ini pipi Rion terasa ada yang menepuk. Pemuda berkacamata itu akhirnya terperanjat. Matanya terbuka, lalu tubuhnya langsung berdiri tegak. "No! Itu bukan Enzie, dia masih hidup, Mbak. Aku yakin!" Reaksi Rion menjadikan Angel heran. 'Apa yang terjadi dengan dia?' Dalam hati Angel bertanya."Kamu kenapa Rion? Pasti kamu bermimpi ada hal buruk yang terjadi menimpa Enzie, ya?" Senyum simpul kini terukir indah di bibir merah Angel. Rion sempat terdiam ketika kakinya masih tegap berdiri. Tangannya mulai mengusap tengkuk saat dia menyadari dirinya berada di luar kamar ICU. Lalu apa yang baru saja terjadi pada Rion tadi?"Enzie ingin bertemu denganmu. Temuilah, dia sudah siuman dan menunggumu di dalam."Rion terdiam. Terlihat raut wajah yang bingung ketika mendengar kabar dari Angel. Bukan tidak senang, dia hanya masih bingung dengan apa yang terjadi sesungguhnya. "Bukankah kata Mbak, Enzie tela
Sudah sekitar satu Minggu berlalu, Frederick ada di rumah dan menjalani perawatan bersama seorang suster yang bernama Khanza. Dia seorang perempuan berusia lebih tua dua tahun dari Rion. "Su-dah cu-kup," ujar Frederick ketika Khanza menyuapi dirinya. Khanza pun meletakkan piring di meja, lalu menyeka sisa makanan yang ada di sudut pipi Frederick. "Terima-kasih," ujar Frederick ketika Khanza membersihkan sisa makanan. Khanza tersenyum, "Sama-sama, Tuan." Khanza cukup telaten menjalankan tugasnya sebagai seorang perawat. Dia mengajak Frederick ke halaman rumah menggunakan kursi roda. "Kita berjemur, ya, Tuan?" ucap si perawat berwajah cantik dan Frederick pun mengangguk.Perlahan, gadis itu mendorong kursi roda ke sebuah taman yang indah. Sudah lama Fredrick tidak merasakan nuansa di taman. Semenjak stroke menggerogoti tubuhnya, dia lebih senang menyendiri dan mengurung diri di dalam rumah. Semilir angin telah mengusap tubuh Frederick yang disertai oleh hangatnya sinar mentari pa
Suasana dalam kamar begitu mencekam ketika tidak ada cerita atau kata-kata celoteh dari keduanya. "Kenapa lu rindu sama gue?" Kenzie bertanya dengan suara pelan, nyaris tidak terdengar. Rion tidak menjawab, hanya tatap mata teduh di balik kacamata yang cukup tebal. "Rion, jawab pertanyaan gue," pinta Kenzie dengan tangan masih mencengkeram sweater berwarna hitam. "Jawab gimana, Enzie? Sepertinya tanpa gue bilang, pun, lu udah tau kenapa." "Jawab, Rion!" Kenzie menyentak Rion dengan bola mata hijau yang seolah hendak keluar dari tempatnya. "Oke, fine! Gue jawab." Rion menarik napas dalam. "Iya. Iya kalau gue rindu, gue rindu sama lu, Enzie. Karena gue––" Kenzie menunggu kata yang seolah Rion gantung di udara. "Karena gue sayang sama lu," lirih Rion dengan merundukkan kepala, wajah Rion tidak berani menatap Kenzie. Perlahan, jemari Kenzie pun melepaskan cengkeramannya dari sweater Rion. "Sejak kapan lu sayang sama gue?" lirih suara Kenzie terdengar di telinga Rion, serta panda