Pria jangkung berparas tampan yang terlihat rapi mengenakan jas warna hitam serta celana kain dengan warna senada itu kini berada tepat di antara Rion dan Kenzie.
Mata sipit Rion melebar ketika pandangannya terfokus pada pria dengan gaya kasual dan terlihat begitu elegan."Tu-tuan Muda?" Pemuda itu berdiri dari bangku dan menjawab dengan terbata saat menyadari ternyata Owen yang menghampirinya.Owen yang sedang berdiri tegak itu mengernyitkan dahi. Dia begitu bingung dengan ucapan adik tirinya tersebut.'Sejak kapan Rion memanggilku dengan sebutan Tuan muda?' Owen berucap di dalam hatinya."Ada apa Tuan Muda kemari?" sambung Rion sambil mengedipkan matanya dengan cepat. Pria culun itu memang ingin merahasiakan jati dirinya di depan Kenzie, untung saja Owen mengerti."Ayahmu sakit dan sedang dirawat, dia memintaku untuk menjemput kamu," ujar Owen yang berusaha mengimbangi sandiwara Rion. Namun, tampaknya akting mereka sedikit gagal.Kenzie akhirnya ikut berdiri, lalu dia menyenggol lengan Rion. Perlahan, gadis itu bergeser lebih dekat lagi pada Rion. "Sejak kapan ayahmu hidup lagi? Bukankah kamu pernah bilang kalau Ayah dan ibumu itu sudah meninggal?" bisik Kenzie yang membuat Rion mengusap tengkuknya.Owen yang sepertinya mengerti keadaan tersebut, akhirnya cepat-cepat mengalihkan pembicaraan."Boleh saya bicara berdua dengan Rion di mobil?" ucap Owen yang dijawab anggukkan oleh Kenzie.Rion mengikuti Owen masuk ke Mercy dan duduk berdampingan."Kenapa Kakak malah bilang Papa sakit, sih?" keluh Rion ketika mereka sudah duduk di bangku belakang mobil."Mana aku tau kalau kamu sudah cerita tentang Papa dan mamamu.""Ahhh ... sudahlah! Sekarang ceritakan apa yang mau Kakak sampaikan? Sebentar lagi aku ada kelas. Mengenai si Enzie biar aku pikirkan nanti kalau dia bertanya," ucap Rion sambil menggaruk kepala yang sesungguhnya tidak gatal.Owen akhirnya menceritakan maksud kedatangannya ke kampus Rion karena ingin mengabarkan kalau Opa Frederic-lah yang dirawat di rumah sakit."Apa? Opa sakit? Sakit apa?" Mata sipit Rion membelalak saat mendengar cerita Owen."Opa dibawa ke rumah sakit satu jam lalu dan aku pun mendapatkan kabar dari Ibu saat masih di kantor.""Tapi, Kak, aku tidak bisa ke rumah sakit sekarang karena masih ada kelas.""Iya, tidak apa-apa. Sebisanya kamu saja karena Opa saat ini juga sedang beristirahat," jawab Owen, bermaksud menenangkan Rion yang memang dianggap dekat dengan Opa Frederic."Kenapa Kakak malah repot datang ke sini? Bukankah Kak Owen bisa telpon aku?" Rion memicingkan mata seolah-olah sedang mencari hal yang mungkin saja disembunyikan oleh kakak tirinya itu."Ponselmu tidak aktif," jawab Owen.Rion akhirnya turun dari Mercy tersebut dan tidak lama setelah pintu ditutup, mobil itu melesat dengan kecepatan tinggi meninggalkan kampus.Di dekat bangku kayu terlihat Kenzie sedang menatap Rion yang sepertinya meminta penjelasan."Ayo, masuk!" Lelaki berkacamata itu akhirnya menarik tangan Kenzie, tetapi perempuan itu tidak mau beranjak dari duduknya."Gak mau, jelasin dulu sama gue. Apa maksud dari pria tadi? Apa saat ini lu lagi bohongin gue?" cecar Kenzie dengan sorot mata tajam.Rion membulatkan mata. Akhirnya hal yang dia takutkan terjadi juga, Kenzie menuntut penjelasan darinya."Nanti aku jelasin. Sebentar lagi ada kelas Pak Anton. Ingat, telat sedikit saja dia akan menghukum kita. Apa kamu mau?""Enggaklah!""Ya, sudah, ayo masuk! Tinggal lima menit lagi kelas akan dimulai."Kenzie tidak dapat berbuat apa-apa. Terlebih, dia ada janji dengan teman kos-nya siang nanti. Dia tidak mau terkena sanksi yang akan menyebabkan pulang terlambat karena ada hal sangat penting siang nanti.***Mentari kini tepat di atas kepala. Kelas pun telah usai. Rion menyadari kalau sahabatnya itu masih meminta penjelasan tentang Owen dan siapa orang yang dimaksud oleh lelaki itu."Aku balik duluan, ya?" Rion berdiri dari kursinya setelah menyampirkan tas di pundaknya."Tunggu!" Kenzie menarik kemeja yang dimasukkan ke dalam celana."Apa?" tanya Rion yang masih berdiri, tetapi wajahnya melihat pada tangan Kenzie yang masih menarik kemeja hitam yang dia kenakan."Jelasin dulu sama gue!""Perihal?" Rion menyipitkan mata sipitnya."Jangan pura-pura lupa, deh.""Reward, kan? Kamu mau apa?" Rion mengalihkan pembicaraan.Sepasang mata kehijauan itu pun melirik kesal pada Rion, lalu diputarkan bola mata itu yang terlihat semakin kesal."Ck! Ayolah, Rion. Lu jangan pura-pura lupa untuk nyeritain siapa pria misterius itu dan apa maksud dia bilang Ayah lu sakit, sedangkan Ayah lu udah meninggal hampir satu tahun lalu," ujar Kenzie dengan mimik wajah yang begitu kesal.Rion mengusap tengkuknya, dia bingung untuk mencari alasan karena Kenzie bukanlah perempuan polos yang mudah dibohongi."Riooonnn!" panggil Kenzie semakin kesal."Em ... itu, aku, dia, itu––" Kata-kata Rion akhirnya terhenti karena ponsel yang ada di tas Kenzie berbunyi. "Angkatlah dulu," pinta Rion dengan napas yang sedikit lega."Tidak penting!" jawab Kenzie tegas."Bukankah tadi kamu bilang sedang ada janji? Siapa tau itu telpon dari dia." Rion masih berusaha mencari ide sambil otaknya terus berputar mencari alasan untuk jawaban yang sulit karena telah terpojok.Kenzie menepuk keningnya. "Astaga! Gue sampe lupa kalau ada janji sama Mbak Angel." Kenzie terlihat terburu-buru membuka resleting tas ranselnya, lalu meraih benda pipih warna hitam yang dari tadi berdering kencang. "Halo?" Kenzie menjawab panggilan ponselnya.Rion memperhatikan Kenzie yang sepertinya sibuk dengan ponselnya. Pria Culun itu akhirnya berjalan mengendap-endap agar Kenzie tidak menyadari kepergiannya.Rion berjalan cepat ketika sudah keluar dari kelas. Keberuntungan sedang berpihak padanya saat ini karena dia dapat lolos dari Kenzie."Huft ... selamat," ucap Rion ketika ada di dekat gerbang kampus."RIOOONNN!!! JANGAN KABUR, LU!!!" Bak petir di siang bolong, suara Kenzie begitu menggelegar terdengar oleh Rion."Mati!" ucap Rion sembari berhenti melangkah dan menepuk keningnya.Otak Rion berputar mencari alasan untuk jawaban yang akan dia utarakan pada Kenzie. Perempuan itu memang cukup cerdas, sehingga Rion cukup kesulitan untuk sekadar membohonginya. Sesungguhnya, Rion tidak bermaksud seperti itu, tetapi semuanya memang menjadi rahasia besar di dalam keluarga Tuan Frederic. Di mana anak dari istri kedua itu identitasnya harus disembunyikan. Apalagi, Yola bukanlah dari golongan bangsawan. Tentu saja keberadaannya disembunyikan, walaupun mereka menikah sah secara agama dan negara."Mau ke mana, lu?" ucap Kenzie yang telah memegang lengan Rion."Ke rumah sakit-lah.""Ceritakan dulu, siapa pria itu dan kenapa dia bilang kalau Ayah lu masih hidup? Atau, diam-diam, lu yang udah bohongin gue, Rion?"Pertanyaan Kenzie benar-benar membuat kepala Rion hampir pecah, terasa sakit dan juga pusing. Bagaimana Rion menjelaskannya? Sejauh ini, Rion selalu menutupi jati dirinya sebagai anggota keluarga yang kaya raya di kota itu."Oh ... jadi memang benar kalau lu itu udah bohongin gue? Lu sebenernya orang kaya, bukan?" Kenzie mencecar Rion dengan pertanyaan yang menyudutkannya.'Bagaimana aku bisa memberitahu Kenzie, sedangkan dia begitu tidak suka pada orang kaya? Apa setelah mengetahui statusku nanti, dia akan menjauhiku?'Batin Rion bergejolak. Dia begitu takut kehilangan sosok sahabat yang dari dulu bersamanya. Hanya Kenzie yang menerima Rion apa adanya. Wajar saja pemuda berkacamata itu ketakutan kalau harus berpisah dengan sahabat baiknya.Entah dinamakan sial atau keberuntungan, ponsel Kenzie kembali berdering dan sahabatnya meminta si tomboy itu untuk segera menemuinya di tempat kerja. "Lu selamat untuk saat ini, tapi besok, jangan harap!" ucap Kenzie sambil menunjuk wajah Rion. Pria bertubuh kerempeng itu hanya dapat mengangguk pasrah."Awas, besok gue akan kejar lu ke mana pun dan jawaban lu akan gue anggap utang! Ingat itu baik-baik, Rion!" ancam Kenzie sebelum dia pergi meninggalkan Rion.Dada Rion yang terasa sesak seketika lega ketika melihat Kenzie menaiki sebuah bus. Hal itu cukup membuat pemuda bermata sipit itu dapat tenang, meskipun dia menyadari hal ini hanya sementara karena esok hari Kenzie pasti akan mengejarnya dan mencecar dengan begitu banyak pertanyaan. Tin! Tin! Suara klakson mobil yang tiba-tiba berada di hadapannya membuat Rion terperanjat. "Maaf, Tuan muda. Saya tadi sudah mencoba memanggil, tetapi sepertinya Tuan muda Rion sedang melamun," ujar pria yang memakai breton hat di dalam mobil.
Mata sipit Rion membulat saat melihat si tomboy ada di hadapannya. Debar dalam dada semakin kencang dan dalam hatinya berkata, 'akankah ini akhir dari persahabatanku dengan Enzie, Tuhan?'Keduanya terdiam. Rion yang masih sibuk dengan angannya dan Kenzie yang sibuk dengan segala perkiraan serta sanggahan yang ada di otaknya. Namun, kebisuan mereka berakhir saat pintu ruang kerja Owen terbuka. "Saya tunggu dari tadi, kenapa tidak masuk?" Tanya Owen ketika melirik seorang perempuan berseragam hitam-putih. "Tunggu, kamu siapa? Bukankah yang harusnya membawa berkas itu Angel? Ke mana dia?" "Maaf, Pak. Saya disuruh oleh Mbak Angel untuk memberikan laporan ini pada Bapak. Di sini saya hanya seseorang yang diberikan kesempatan untuk magang di perusahaan Bapak." Kenzie mencoba menjelaskan. "Baiklah, mari masuk." Owen lebih dulu masuk ke ruang kerja. "Lu jangan pergi, Rion. Urusan kita belum selesai." Kenzie pun akhirnya ikut serta masuk ke ruang kerja Owen. Rion mulai gelisah. Dia tidak
Kenzie Menarik tangan Rion dan berlari di trotoar yang disoroti warna oranye dari lampu-lampu pinggir jalan. "Enzie, mau ke mana?" "Enggak usah banyak tanya, lu bawa duit cash, bukan?" "Ada, tapi buat apa?" Langkah Kenzie terhenti, mata kehijauannya kini menatap Rion––pria berkacamata yang memang terlihat culun dengan gaya rambut yang mulai panjang menutupi telinga. "Gue mau bikin lu gak dipandang culun lagi," ucap Kenzie dengan tatap penuh keyakinan. "Kamu mau merubah penampilanku?" "Ssttt .... Gue memang mau merubah penampilan lu, tapi tidak dengan hati lu. Lu tetap Rion, pria baik yang gue kenal. Gue hanya ingin, lu gak minder.""Tapi––" "Gue gak menerima bantahan, terlebih gue punya reward dari lu." Rion tidak dapat membantah, dia hanya bisa pasrah ketika jemari lentik Kenzie menariknya kembali untuk berlari. "Gak usah lari juga, Enzie!" Separuh napas Rion sudah tersengal karena Kenzie mengajaknya berlari cukup kencang. Saat ini mereka ada di salah satu mall yang cukup
Dalam keheningan malam, Rion tidak dapat beristirahat dengan tenang. Terlebih ketika mengingat Fredrick yang bisa saja nyawanya terancam. Owen masih belum pulang, sedangkan Kemala sepertinya sudah terlelap. 'Apa Kak Owen di rumah sakit, ya?' Batin Rion berkata. Lamunannya terempas ketika dering ponsel menyapa malam yang cukup dingin. "Halo?" Rion mengangkat panggilan telepon dari Kakaknya. "Rion, aku tidak dapat menemani Opa malam ini. Apakah Ibu sudah pulang dari rumah sakit?" tanya Owen dari dalam sambungan ponsel. "Mama tampaknya kelelahan, Kak. Sepertinya sudah tidur. Aku kira Kakak sudah ada di rumah sakit." "Tidak. Ada urusan lain di luar kantor." "Ya sudah, selesaikan urusan Kakak, biar aku yang menjaga Opa." "Baiklah, makasih, ya, De." Sambungan ponsel terputus dan Rion bergegas mendobel kemejanya dengan sweater warna hitam. Ya, Rion memang penyuka warna itu. Barang-barang yang dia miliki, hampir semuanya berwarna hitam. "Jalan," pinta Rion pada sopir pribadinya. "M
Ponsel masih ada di tangan Rion. Namun, seketika sorot matanya beralih pada seorang perempuan yang baru saja turun dari mobil angkot. Wanita itu terlihat berjalan menuju bengkel. "Mbak!" Rion memanggil wanita yang sepertinya dia kenal. Ya, pemuda itu merasa pernah melihat wanita yang baru saja turun dari mobil angkot. "Iya?" jawab wanita tersebut dan seketika langkahnya pun terhenti saat menjawab panggilan dari seorang pemuda. "Maaf, sepertinya saya pernah melihat, Mbak di kontrakan Kenzie. Apa Mbak teman kostnya Kenzie, ya?" tebak Rion cukup percaya diri karena dia cukup sering melihat wanita itu disapa oleh Kenzie. "Iya, Enzie teman satu kontrakanku. Bahkan, dia sudah seperti adikku." "Kebetulan. Saya ada perlu sama Enzie. Kami sudah janjian di bengkel ini, tapi sudah lebih dari dua jam, Enzie belum juga datang. Apakah Mbak tau dia ke mana?" tanya Rion dengan tatap heran. Seketika ekspresi wajah wanita yang ada di hadapan Rion menjadi sedih. "Sebetulnya––" Kata-kata wanita it
Wajah Rion seketika heran melihat Angel yang bereaksi seperti itu. "Mbak kenapa?" "Tolong panggilkan dokter, Rion. Ada sesuatu yang terjadi pada Enzie," terang seorang wanita yang berusia lebih tua dari Rion. Sebetulnya Angel telah mencoba menghubungi dokter melalui pemanggil yang telah terhubung di ruangan. Hanya saja, dokter tidak kunjung datang dan hal tersebut membuat Angel panik. Baru saja Rion berdiri dari tempat duduknya. Seorang dokter dan asistennya terlihat menuju ke ruang ICU. "Dokter tolong, tolong adik saya, Dok. Monitornya tiba-tiba berbunyi cepat. Itu kenapa, Dok?" terang Angel setelah dokter berada di depan pintu ruang ICU. "Biar saya periksa dulu, ya, Mbak. Permisi." Dokter itu pun masuk lebih dulu. "Maaf, Mbak. Biar Dokter periksa keadaan pasien, ya? Dan maaf, Mbak tidak boleh masuk dulu," jelas suster saat menahan tubuh Angel yang berusaha masuk ke ruang ICU. Walau pun berat, akhirnya Angel menuruti apa yang dipinta oleh suster. "Mbak tenang, ya?" Rion mencoba
"Rion." Terdengar sayup-sayup suara wanita memanggil namanya. "Hey, Rion. Bangun, Rion!" Saat ini pipi Rion terasa ada yang menepuk. Pemuda berkacamata itu akhirnya terperanjat. Matanya terbuka, lalu tubuhnya langsung berdiri tegak. "No! Itu bukan Enzie, dia masih hidup, Mbak. Aku yakin!" Reaksi Rion menjadikan Angel heran. 'Apa yang terjadi dengan dia?' Dalam hati Angel bertanya."Kamu kenapa Rion? Pasti kamu bermimpi ada hal buruk yang terjadi menimpa Enzie, ya?" Senyum simpul kini terukir indah di bibir merah Angel. Rion sempat terdiam ketika kakinya masih tegap berdiri. Tangannya mulai mengusap tengkuk saat dia menyadari dirinya berada di luar kamar ICU. Lalu apa yang baru saja terjadi pada Rion tadi?"Enzie ingin bertemu denganmu. Temuilah, dia sudah siuman dan menunggumu di dalam."Rion terdiam. Terlihat raut wajah yang bingung ketika mendengar kabar dari Angel. Bukan tidak senang, dia hanya masih bingung dengan apa yang terjadi sesungguhnya. "Bukankah kata Mbak, Enzie tela
Sudah sekitar satu Minggu berlalu, Frederick ada di rumah dan menjalani perawatan bersama seorang suster yang bernama Khanza. Dia seorang perempuan berusia lebih tua dua tahun dari Rion. "Su-dah cu-kup," ujar Frederick ketika Khanza menyuapi dirinya. Khanza pun meletakkan piring di meja, lalu menyeka sisa makanan yang ada di sudut pipi Frederick. "Terima-kasih," ujar Frederick ketika Khanza membersihkan sisa makanan. Khanza tersenyum, "Sama-sama, Tuan." Khanza cukup telaten menjalankan tugasnya sebagai seorang perawat. Dia mengajak Frederick ke halaman rumah menggunakan kursi roda. "Kita berjemur, ya, Tuan?" ucap si perawat berwajah cantik dan Frederick pun mengangguk.Perlahan, gadis itu mendorong kursi roda ke sebuah taman yang indah. Sudah lama Fredrick tidak merasakan nuansa di taman. Semenjak stroke menggerogoti tubuhnya, dia lebih senang menyendiri dan mengurung diri di dalam rumah. Semilir angin telah mengusap tubuh Frederick yang disertai oleh hangatnya sinar mentari pa
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru