Wajah Rion seketika heran melihat Angel yang bereaksi seperti itu. "Mbak kenapa?" "Tolong panggilkan dokter, Rion. Ada sesuatu yang terjadi pada Enzie," terang seorang wanita yang berusia lebih tua dari Rion. Sebetulnya Angel telah mencoba menghubungi dokter melalui pemanggil yang telah terhubung di ruangan. Hanya saja, dokter tidak kunjung datang dan hal tersebut membuat Angel panik. Baru saja Rion berdiri dari tempat duduknya. Seorang dokter dan asistennya terlihat menuju ke ruang ICU. "Dokter tolong, tolong adik saya, Dok. Monitornya tiba-tiba berbunyi cepat. Itu kenapa, Dok?" terang Angel setelah dokter berada di depan pintu ruang ICU. "Biar saya periksa dulu, ya, Mbak. Permisi." Dokter itu pun masuk lebih dulu. "Maaf, Mbak. Biar Dokter periksa keadaan pasien, ya? Dan maaf, Mbak tidak boleh masuk dulu," jelas suster saat menahan tubuh Angel yang berusaha masuk ke ruang ICU. Walau pun berat, akhirnya Angel menuruti apa yang dipinta oleh suster. "Mbak tenang, ya?" Rion mencoba
"Rion." Terdengar sayup-sayup suara wanita memanggil namanya. "Hey, Rion. Bangun, Rion!" Saat ini pipi Rion terasa ada yang menepuk. Pemuda berkacamata itu akhirnya terperanjat. Matanya terbuka, lalu tubuhnya langsung berdiri tegak. "No! Itu bukan Enzie, dia masih hidup, Mbak. Aku yakin!" Reaksi Rion menjadikan Angel heran. 'Apa yang terjadi dengan dia?' Dalam hati Angel bertanya."Kamu kenapa Rion? Pasti kamu bermimpi ada hal buruk yang terjadi menimpa Enzie, ya?" Senyum simpul kini terukir indah di bibir merah Angel. Rion sempat terdiam ketika kakinya masih tegap berdiri. Tangannya mulai mengusap tengkuk saat dia menyadari dirinya berada di luar kamar ICU. Lalu apa yang baru saja terjadi pada Rion tadi?"Enzie ingin bertemu denganmu. Temuilah, dia sudah siuman dan menunggumu di dalam."Rion terdiam. Terlihat raut wajah yang bingung ketika mendengar kabar dari Angel. Bukan tidak senang, dia hanya masih bingung dengan apa yang terjadi sesungguhnya. "Bukankah kata Mbak, Enzie tela
Sudah sekitar satu Minggu berlalu, Frederick ada di rumah dan menjalani perawatan bersama seorang suster yang bernama Khanza. Dia seorang perempuan berusia lebih tua dua tahun dari Rion. "Su-dah cu-kup," ujar Frederick ketika Khanza menyuapi dirinya. Khanza pun meletakkan piring di meja, lalu menyeka sisa makanan yang ada di sudut pipi Frederick. "Terima-kasih," ujar Frederick ketika Khanza membersihkan sisa makanan. Khanza tersenyum, "Sama-sama, Tuan." Khanza cukup telaten menjalankan tugasnya sebagai seorang perawat. Dia mengajak Frederick ke halaman rumah menggunakan kursi roda. "Kita berjemur, ya, Tuan?" ucap si perawat berwajah cantik dan Frederick pun mengangguk.Perlahan, gadis itu mendorong kursi roda ke sebuah taman yang indah. Sudah lama Fredrick tidak merasakan nuansa di taman. Semenjak stroke menggerogoti tubuhnya, dia lebih senang menyendiri dan mengurung diri di dalam rumah. Semilir angin telah mengusap tubuh Frederick yang disertai oleh hangatnya sinar mentari pa
Suasana dalam kamar begitu mencekam ketika tidak ada cerita atau kata-kata celoteh dari keduanya. "Kenapa lu rindu sama gue?" Kenzie bertanya dengan suara pelan, nyaris tidak terdengar. Rion tidak menjawab, hanya tatap mata teduh di balik kacamata yang cukup tebal. "Rion, jawab pertanyaan gue," pinta Kenzie dengan tangan masih mencengkeram sweater berwarna hitam. "Jawab gimana, Enzie? Sepertinya tanpa gue bilang, pun, lu udah tau kenapa." "Jawab, Rion!" Kenzie menyentak Rion dengan bola mata hijau yang seolah hendak keluar dari tempatnya. "Oke, fine! Gue jawab." Rion menarik napas dalam. "Iya. Iya kalau gue rindu, gue rindu sama lu, Enzie. Karena gue––" Kenzie menunggu kata yang seolah Rion gantung di udara. "Karena gue sayang sama lu," lirih Rion dengan merundukkan kepala, wajah Rion tidak berani menatap Kenzie. Perlahan, jemari Kenzie pun melepaskan cengkeramannya dari sweater Rion. "Sejak kapan lu sayang sama gue?" lirih suara Kenzie terdengar di telinga Rion, serta panda
Suasana malam di rumah Frederic cukup sepi. Owen yang masih lembur sedangkan Kemala yang masih sibuk dengan urusan perkumpulan ibu-ibu sosialitanya. "Opa?" sapa Rion ketika tubuh Frederic diselimuti oleh Khanza. "Iya, ma-suk, Rion," jawab Frederic yang semakin membaik. Perkataannya pun sudah semakin jelas."Apa boleh aku mengganggu waktunya, Opa?" tanya Rion ketika waktu menunjukkan jam delapan malam. "Boleh," jawab Frederic. "Khan-za, tolong ka-mu tinggalkan ka-mar ini," pinta Frederic yang dibarengi oleh anggukkan dari perawatnya. "Baik, Tuan." Khanza pun pergi meninggalkan kamar Frederic dan menutup pintu kamar.Kini di dalam kamar itu hanya menyisakan Frederic dan Rion. Sesungguhnya ada satu hal yang menjadi pertanyaan Rion untuk kakeknya. "Bicaralah." Frederic berucap. Tubuhnya masih bersandar pada head board ranjang. "Kenapa Opa memilihku menjadi pewaris dari Frederic Corp.? Padahal, aku tidak bisa apa-apa, Opa. Aku tidak punya pengalaman untung memimpin perusahaan. Benar
"Mbak, aku ambil air mineral satu, ya?" ucap Kenzie. "Iya, Mbak." Kenzie kembali duduk setelah mengambil satu botol air mineral dalam lemari pendingin, lalu tangannya mulai memutar tutup botol air mineral tersebut. "Ya Tuhan ... susah sekali," keluh Kenzie yang sepertinya sudah sangat tersiksa oleh rasa pedas mie ayam yang ditimbulkan menjadikan lidahnya seolah terbakar. Tidak ada kata, Rion langsung mengambil alih botol yang sedang dipegang oleh Kenzie, lalu membukanya. "Ini." Rion kembali menyerahkan botol itu pada Kenzie. Gadis tomboy itu memang mengambil botol minum tersebut, tetapi tidak ada kata-kata terima kasih atau sekadar senyum, Kenzie malah langsung meneguknya di depan Rion. Sesungguhnya si culun yang telah bermetamorfosis bak seekor ulat menjadi kupu-kupu cantik itu heran dengan sikap Kenzie yang seolah marah tanpa alasan. Oh ... Rion, ayolah, kamu harusnya lebih peka terhadap perempuan yang marah tanpa sebab. Rion hanya menemani Kenzie makan siang hingga akhirn
Waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Kenzie masih sibuk di dalam kamar bersama Angel. "Mbak, udah, dong. Lama amat, keburu kesiangan ke tempat kerja." Kenzie mengeluh karena Angel masih menyapu pipinya dengan bedak. "Diem, kamu harus terlihat cantik. Jangan malu-maluin, Mbak!""Ya Tuhan, Mbak. Emangnya harus cantik? Rapi doang gak cukup?" Kenzie benar-benar sudah tidak betah didandani oleh Angel. Spons yang menempel di pipi Kenzie akhirnya tersingkir dan saat itu juga empasan napas si tomboy begitu terlihat seolah rasa lega dirasakannya saat ini. "Rapi? Mana ada? Kamu enggak boleh pakek baju ini. Nanti Mbak yang pinjemin." "Astagaaa ... ribet betul, Mbak." "Nurut pokoknya. Selain rapi, kamu juga harus terlihat cantik, paham?" "Terserah Mbak, lah. Pusing aku." "Nah! Makanya nurut sama Mbak."Angel kembali membubuhkan make up pada wajah Kenzie. Sebetulnya, Kenzie memang sudah cantik. Namun, penampilan tomboynya membuat pandangan kaum Adam seolah tertutup. "Sempurna." Angel takjub
Kenzie yang masih memegang daun pintu langsung tersentak ketika tangan seseorang itu malah turun dan menimpali tangannya. Debar ketakutan yang semakin kencang dirasakan Kenzie saat ini. Dia hendak memutar daun pintu tersebut, tetapi tangan besar itu seolah menghalanginya. "Enzie." Suara laki-laki itu terdengar jelas dan Kenzie baru menyadari, kalau ternyata dia menghafal suara tersebut. "Rion?" Perlahan Kenzie memutar badannya. Kini si tomboy melihat senyum manis dari laki-laki yang sudah tidak asing baginya, walaupun kini penampilannya sudah berubah. "Iya, ini gue, Rion.""Ish! Lu ngagetin gue aja, deh," keluh Kenzie. Rona kesal sekaligus bahagia kini terlihat di wajahnya. Gadis tomboy itu pun memukul lengan Rion. "Aduh, sakit!" Rion mengusap lengan yang baru saja dipukul oleh Kenzie. "Heleh, lemah! Gimana mau lindungi cewek lu, nanti?" "Enggak usah dilindungi, dia kuat, kok. Bahkan lebih kuat daripada gue." "Hah? Siapa? Lu udah punya cewek?" tanya Kenzie. "Lu nanya gue kek