Waktu menunjukkan jam tujuh pagi. Kenzie masih sibuk di dalam kamar bersama Angel. "Mbak, udah, dong. Lama amat, keburu kesiangan ke tempat kerja." Kenzie mengeluh karena Angel masih menyapu pipinya dengan bedak. "Diem, kamu harus terlihat cantik. Jangan malu-maluin, Mbak!""Ya Tuhan, Mbak. Emangnya harus cantik? Rapi doang gak cukup?" Kenzie benar-benar sudah tidak betah didandani oleh Angel. Spons yang menempel di pipi Kenzie akhirnya tersingkir dan saat itu juga empasan napas si tomboy begitu terlihat seolah rasa lega dirasakannya saat ini. "Rapi? Mana ada? Kamu enggak boleh pakek baju ini. Nanti Mbak yang pinjemin." "Astagaaa ... ribet betul, Mbak." "Nurut pokoknya. Selain rapi, kamu juga harus terlihat cantik, paham?" "Terserah Mbak, lah. Pusing aku." "Nah! Makanya nurut sama Mbak."Angel kembali membubuhkan make up pada wajah Kenzie. Sebetulnya, Kenzie memang sudah cantik. Namun, penampilan tomboynya membuat pandangan kaum Adam seolah tertutup. "Sempurna." Angel takjub
Kenzie yang masih memegang daun pintu langsung tersentak ketika tangan seseorang itu malah turun dan menimpali tangannya. Debar ketakutan yang semakin kencang dirasakan Kenzie saat ini. Dia hendak memutar daun pintu tersebut, tetapi tangan besar itu seolah menghalanginya. "Enzie." Suara laki-laki itu terdengar jelas dan Kenzie baru menyadari, kalau ternyata dia menghafal suara tersebut. "Rion?" Perlahan Kenzie memutar badannya. Kini si tomboy melihat senyum manis dari laki-laki yang sudah tidak asing baginya, walaupun kini penampilannya sudah berubah. "Iya, ini gue, Rion.""Ish! Lu ngagetin gue aja, deh," keluh Kenzie. Rona kesal sekaligus bahagia kini terlihat di wajahnya. Gadis tomboy itu pun memukul lengan Rion. "Aduh, sakit!" Rion mengusap lengan yang baru saja dipukul oleh Kenzie. "Heleh, lemah! Gimana mau lindungi cewek lu, nanti?" "Enggak usah dilindungi, dia kuat, kok. Bahkan lebih kuat daripada gue." "Hah? Siapa? Lu udah punya cewek?" tanya Kenzie. "Lu nanya gue kek
Kenzie dan Rion menoleh pada wanita dalam mobil yang terparkir di pinggir jalan. 'Aduh ... pasti bertengkar,' batin Rion sambil memejamkan mata sejenak ketika menyadari Wanda lah yang ada dalam mobil itu. "Kenapa lu yang repot? Rion aja mau gendong gue. Oh ... gue tau, lu iri karena gak bisa digendong sama Pak Owen?" ledek Kenzie sambil tertawa. Wanda yang ada dalam mobil terlihat kesal ketika mendengar ledekan gadis tomboy yang selalu dia anggap musuh sekaligus pesaingnya. Kenzie memang memiliki otak yang cerdas, tidak heran dia diterima untuk menyelesaikan tugas akhir kampus di Frederic Corp. perusahaan besar di kota tersebut. "Sorry, enggak level maen gendong-gendongan. Apalagi di pinggir jalan, memalukan!""Hahaha ... Wanda, Wanda. Lu cuma mau julid doang? Kasihan gue sama Pak Owen punya pacar julid kayak lu!" "Apa lu bilang?" Wanda pun terpancing emosi dan keluar dari mobilnya. "Turun, lu!" "Ngapain? Gue nyaman digendong Rion. Lu iri pasti." Kenzie kembali tertawa dan hal it
Perasaan yang ada pada Rion saat ini tidak menentu. Dia merasa senang sekaligus tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Kenzie barusan. 'Apa gue mimpi?' batin Rion bergemuruh berusaha mempercayai, tetapi hal ini sedikit mustahil baginya. Perlahan, pemuda yang telah bermetamorfosis itu membalikkan tubuhnya untuk menatap wajah Kenzie. Namun, seketika mata penuh pengharapan itu harus meredup ketika melihat mata Kenzie terpejam sempurna. "Hadeuuhh ... ternyata dia ngelindur," ucap Rion sambil menepuk dahinya sendiri. Bibir Rion melengkung merasa lucu, kesal dan menggemaskan saat menyaksikan mata kehijauan itu terpejam sempurna. "Ada-ada aja lu." Rion mengusap pucuk kepala Kenzie. 'Kenapa gue semakin sayang sama dia, Tuhan? Apakah gue salah mempunyai perasaan ini sama dia?' ucap hati Rion.*** Waktu menunjukkan jam sembilan malam. Rion telah tiba di rumah mewah Frederic. Di salah satu sudut ruangan terlihat Frederic dan Owen yang sedang berbincang hangat. "Rion! Kemari," pangg
Kenzie memacu motor matic cukup kencang untuk mengejar laju mobil hitam yang sudah berada cukup jauh di depan sana. Di dalam mobil, pria yang mengenakan breton hat hitam merasa ada yang mengejarnya. Beberapa kali, pria yang mengemudikan mobil mewah itu melirik pada kaca spion. "Kenapa, Pak?" Rion bertanya pada sopirnya, karena berulang kali matanya melirik pada spion."Sepertinya ada yang mengikuti kita, Tuan muda." Si sopir menjawab dengan mata yang masih tajam melihat ke spion mobil. Rion yang sedang sibuk melihat ponsel akhirnya ikut menoleh ke belakang. Melihat seseorang yang membawa motor cukup kencang dan terlihat sedang mengajar mobilnya. 'Aataga! Itu, kan, Enzie,' ucap hati Rion saat menyadari kalau wanita yang disangka mengikuti mobilnya merupakan teman baiknya. Namun, untuk apa dia mengejar mobil Rion? "Pak, minggir, deh. Dia mau apa? Tapi nanti Bapak yang bertanya, ya?" "Oh ... baik, Tuan."Selayaknya seorang pekerja, dia haruslah menurut akan perintah dari sang majik
Perlahan Kenzie mendorong pintu itu dan melangkah masuk dengan pandangan sedikit merunduk karena dia merasa canggung dengan kemejanya yang masih basah. "Maaf, Pak, saya––" ucap Kenzie terputus saat dia menyadari sosok laki-laki yang sedang duduk di singgasana bos. "Rion?" Bibir Kenzie seolah kelu ketika menyadari memang benar dialah yang duduk di sana. Keadaan hening dengan berkas yabg masih menutupi dada. Kenzie masih mematung dengan bola mata kehijauan yang tentu saja tidak berkedip karena tidak mempercayai hal ini. Bagaimana mungkin, Rion ada di posisi tersebut? "Silahkan duduk, Enzi." Suara bariton itu membuat Kenzie tersadar dari lamunan. "I––iya, Rion, eh, Pak Rion." Kenzie gelagapan dengan diiringi langkah yang mendekat ke arah meja. Perlahan Kenzie menarik kursi, lalu duduk dan berusaha tenang meskipun dalam otaknya penuh dengan pertanyaan. "Rion, eh, Pak. Saya mau––" ucap Kenzie terhenti. "Ssstttt ... tidak usah manggil gue dengan sebutan Pak. Karena status gue di sini
Kenzie tertegun dengan apa yang dia dengar saat itu. Dia menampik hal yang sangatlah tidak mungkin bagi mereka untuk bersatu. Apalagi, jika dia mengingat janji yang telah terukir sesaat mereka mengikat janji sebagai sahabat. Sejenak gadis tomboy itu terkenang masa lalu ketika di awal-awal kuliah dulu. "Dasar cupu! Lu enggak pantes kuliah di sini. Penampilan culun, kacamata tebal, pakek kemeja kegedean, badan cungkring. Cwiihhh! Apa plusnya, sih, lu? Hingga kampus ini nerima mahasiswa kek elu?!" cerca sesama mahasiswa yang baru saja beberapa bulan kuliah di sana. "Maaf, kenapa kamu bilang seperti itu? Apakah saya merugikan kamu? Kampus menerima saya karena prestasi saya.""Halah! Banyak bacot, lu!" Rion didorong oleh orang tersebut. "Heh! Lu kalau mau berantem jangan di sini. Ini kampus, woy! Bukan ring tinju." Gadis tomboy melerai kedua laki-laki yang sedang beradu mulut. Cekcok pun terjadi hingga akhirnya gadis bernama Wanda melerai dan mengajak laki-laki tersebut menjauh dari si
Kenzie seolah masih belum tersadar kalau dirinya sedang melamun. Apalagi, gaya bahasa Rion yang kembali seperti dulu. "Maksud, lu?" "Aahhh ... shiittt!" Rion memegang tengkuknya. "Maksudnya, gue suka sama lu dari dulu. Mau, gak, lu jadi pacar gue? " Mata sipit itu terlihat semakin mengecil kala memandang wajah Kenzie, wanita yang dia sayangi. "Rion? Lu enggak lagi becandain gue, kan?" Raut ragu kini terpampang jelas di wajah Kenzie. Rion melepaskan tangannya yang masih menempel di tengkuk. Kini, mata sipit itu terlihat melebar menatap mata kehijauan milik Kenzie. Perlahan Rion menggenggam kedua tangan Kenzie. Mata mereka kini saling bertatap lekat. "Adakah ekspresi becanda di wajah gue?" Kenzie menatap sepasang mata sipit berwarna hitam yang tajam. "Kalau ada, tolong beri tahu gue dari arah mana dan harus bagaimana untuk buktiin sama lu, kalau gue bener-bener sayang sama lu." Rion mengucapkan dengan wajah penuh keyakinan. "Gue percaya. Gue percaya, Rion, tapi––""Masih ada ker
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru