Kenzie memacu motor matic cukup kencang untuk mengejar laju mobil hitam yang sudah berada cukup jauh di depan sana. Di dalam mobil, pria yang mengenakan breton hat hitam merasa ada yang mengejarnya. Beberapa kali, pria yang mengemudikan mobil mewah itu melirik pada kaca spion. "Kenapa, Pak?" Rion bertanya pada sopirnya, karena berulang kali matanya melirik pada spion."Sepertinya ada yang mengikuti kita, Tuan muda." Si sopir menjawab dengan mata yang masih tajam melihat ke spion mobil. Rion yang sedang sibuk melihat ponsel akhirnya ikut menoleh ke belakang. Melihat seseorang yang membawa motor cukup kencang dan terlihat sedang mengajar mobilnya. 'Aataga! Itu, kan, Enzie,' ucap hati Rion saat menyadari kalau wanita yang disangka mengikuti mobilnya merupakan teman baiknya. Namun, untuk apa dia mengejar mobil Rion? "Pak, minggir, deh. Dia mau apa? Tapi nanti Bapak yang bertanya, ya?" "Oh ... baik, Tuan."Selayaknya seorang pekerja, dia haruslah menurut akan perintah dari sang majik
Perlahan Kenzie mendorong pintu itu dan melangkah masuk dengan pandangan sedikit merunduk karena dia merasa canggung dengan kemejanya yang masih basah. "Maaf, Pak, saya––" ucap Kenzie terputus saat dia menyadari sosok laki-laki yang sedang duduk di singgasana bos. "Rion?" Bibir Kenzie seolah kelu ketika menyadari memang benar dialah yang duduk di sana. Keadaan hening dengan berkas yabg masih menutupi dada. Kenzie masih mematung dengan bola mata kehijauan yang tentu saja tidak berkedip karena tidak mempercayai hal ini. Bagaimana mungkin, Rion ada di posisi tersebut? "Silahkan duduk, Enzi." Suara bariton itu membuat Kenzie tersadar dari lamunan. "I––iya, Rion, eh, Pak Rion." Kenzie gelagapan dengan diiringi langkah yang mendekat ke arah meja. Perlahan Kenzie menarik kursi, lalu duduk dan berusaha tenang meskipun dalam otaknya penuh dengan pertanyaan. "Rion, eh, Pak. Saya mau––" ucap Kenzie terhenti. "Ssstttt ... tidak usah manggil gue dengan sebutan Pak. Karena status gue di sini
Kenzie tertegun dengan apa yang dia dengar saat itu. Dia menampik hal yang sangatlah tidak mungkin bagi mereka untuk bersatu. Apalagi, jika dia mengingat janji yang telah terukir sesaat mereka mengikat janji sebagai sahabat. Sejenak gadis tomboy itu terkenang masa lalu ketika di awal-awal kuliah dulu. "Dasar cupu! Lu enggak pantes kuliah di sini. Penampilan culun, kacamata tebal, pakek kemeja kegedean, badan cungkring. Cwiihhh! Apa plusnya, sih, lu? Hingga kampus ini nerima mahasiswa kek elu?!" cerca sesama mahasiswa yang baru saja beberapa bulan kuliah di sana. "Maaf, kenapa kamu bilang seperti itu? Apakah saya merugikan kamu? Kampus menerima saya karena prestasi saya.""Halah! Banyak bacot, lu!" Rion didorong oleh orang tersebut. "Heh! Lu kalau mau berantem jangan di sini. Ini kampus, woy! Bukan ring tinju." Gadis tomboy melerai kedua laki-laki yang sedang beradu mulut. Cekcok pun terjadi hingga akhirnya gadis bernama Wanda melerai dan mengajak laki-laki tersebut menjauh dari si
Kenzie seolah masih belum tersadar kalau dirinya sedang melamun. Apalagi, gaya bahasa Rion yang kembali seperti dulu. "Maksud, lu?" "Aahhh ... shiittt!" Rion memegang tengkuknya. "Maksudnya, gue suka sama lu dari dulu. Mau, gak, lu jadi pacar gue? " Mata sipit itu terlihat semakin mengecil kala memandang wajah Kenzie, wanita yang dia sayangi. "Rion? Lu enggak lagi becandain gue, kan?" Raut ragu kini terpampang jelas di wajah Kenzie. Rion melepaskan tangannya yang masih menempel di tengkuk. Kini, mata sipit itu terlihat melebar menatap mata kehijauan milik Kenzie. Perlahan Rion menggenggam kedua tangan Kenzie. Mata mereka kini saling bertatap lekat. "Adakah ekspresi becanda di wajah gue?" Kenzie menatap sepasang mata sipit berwarna hitam yang tajam. "Kalau ada, tolong beri tahu gue dari arah mana dan harus bagaimana untuk buktiin sama lu, kalau gue bener-bener sayang sama lu." Rion mengucapkan dengan wajah penuh keyakinan. "Gue percaya. Gue percaya, Rion, tapi––""Masih ada ker
Rion terlihat panik sebab dari awal tidak terlihat tanda-tanda Kenzie sedang sakit. "Kenapa ini, Mas?" tanya customer yang sedang makan bersebelahan di samping meja Rion. "Entah." Rion masih berusaha menyadarkan Kenzie, tangannya masih menepuk-nepuk pelan pipi Kenzie. Keadaan di sana semakin ramai. Bukan hanya sesama customer saja, pekerja di sana juga semua berkerumun dan merasa heran. Karena takut terjadi hal buruk, Rion segera membawa Kenzie ke rumah sakit/klinik menggunakan taksi yang telah dipesankan oleh salah satu pekerja di kafe tersebut. "Enzie, lu kenapa, sih?" Rion masih menggenggam tangan Kenzie erat, sedangkan gadis tomboy itu terlihat tidak berdaya di pangkuan Rion. Perjalanan terasa begitu lama, padahal jarak kafe ke klinik/rumah sakit tidak terlalu jauh. Sepanjang jalan, pria berparas oriental itu terlihat sedih, bahkan dia tidak menyadari ada air mata hampir keluar dari sudut matanya. Sejenak Rion berpikir pada kedua orang tua yang meninggalkannya lebih dulu. Me
Waktu menunjukkan jam satu dinihari. Kenzie terbangun dari tidurnya karena mimpi. "Astaga!" ucap Kenzie dengan keringat yang mengucur di keningnya. Pandangannya tiba-tiba saja tertuju ke samping tempat tidur. Di sisinya ada Rion yang sudah terlelap sembari duduk, tetapi kepala yang menempel ke bad. 'Ternyata cuma mimpi.' Kenzie berucap dalam hatinya. Perlahan jemari Kenzie mengusap rambut Rion dengan lembut. Bibirnya tersenyum saat menyadari laki-laki yang dia sayangi ada menemaninya hingga larut. 'Tapi kenapa mimpiku buruk sekali?' Kenzie masih berucap dalam hatinya. Dia masih bingung kenapa bisa mimpi seperti itu. Padahal, sebelum tidur dia bercanda dengan Rion. Bahkan selalu tertawa hingga ia mengantuk dan akhirnya tertidur. Misalkan bermimpi, seharusnya mimpi indah atau mimpi hal-hal yang bisa membuat tertawa. Kenapa malah mimpi buruk yang datang pada Kenzie. Kenzie tidak menyadari kalau ternyata kuku-kukunya menyentuh kulit kepala Rion dan secara otomatis laki-laki itu pun t
Waktu menunjukkan jam tujuh malam di kediaman Frederic telah berkumpul seluruh anggota keluarga. Ada Owen, Rion, Kemala, bahkan Willson yang diundang untuk meresmikan keputusan Frederic setelah semua surat-surat telah usai ditandatangani dengan pembagiannya masing-masing. Lebih dari delapan puluh persen memang harta Fredric jatuh ke tangan Rion. Kali ini Kemala lebih terlihat tenang, karena di dalam surat tersebut, Owen masih memegang kendali Frederic Corp sepenuhnya. Willson pun memberikan lampiran kertas yang telah dibubuhi oleh cap, tandatangan serta materai sebagai pengesahan surat tersebut agar lebih kuat di mata hukum. 'Aku tidak rela dengan pembagian ini, lihat saja kamu, Rion!' Dalam hati Kemala menggerutu dengan binar mata yang memang tidak terlihat bahagia. "Semua telah saya sampaikan. Apakah ada yang ingin ditanyakan?" tanya Willson setelah semua keputusan telah disampaikan. Keadaan di ruang yang dipakai untuk rapat menjadi hening. Entah dipahami atau mungkin malah mer
Sial sekali, Rion malah menyenggol guci besar yang ada di pojokan. Memang tidak sampai pecah, tetapi suaranya terdengar cukup kencang karena mungkin suasana sudah sepi. "Siapa di sana?" Suara Kemala terdengar di telinga Rion. 'Mati! Aku harus gimana, Tuhan?' Dalam hati Rion berucap. Rion melangkah pergi, tetapi baru saja dua langkah dia memutuskan untuk diam di sana. Bukankah ini merupakan kesempatan dia mengetahui perihal yang dibahas ibu tirinya? Rion kembali stay berdiri tepat di depan pintu kamar Kemala hingga akhirnya pintu tersebut terbuka. "Rion? Sedang apa kamu di depan pintu kamar Mama?" "Tidak sengaja aku mendengar Mama lagi berbicara dengan pria ketika aku hendak ke dapur. Sebetulnya, apa yang sedang Mama lakukan? Dan dengan siapa Mama bicara?" cerca Rion. "Emm ... itu, Mama––Mama––" Kata-kata Kemala terjeda dan seolah menguap di udara. Dia bingung harus menjawab apa pada Rion. "Maaf, Tuan muda. Saya hanya membantu Nyoya Kemala untuk menjelaskan perkara keputusan Tua